Selasa, September 30, 2008

Emmaus 21


Hujan tidak juga kunjung reda. Hawa dingin semakin menyengat. Dengan berbekal cahaya temaram lampu taman, aku mencoba berjalan menyisir gang, dengan tujuan sebuah kamar di bilangan bangunan tua. Kamar nomor 21, tujuanku. Kira-kira, delapan meter di muka kamar itu, aku disambut dengan sebuah ukiran kayu besar yang menempel pada dinding di sebelah kiri. Dari ukiran itu terbaca, “Dengan langkah berat, aku sampai di Emmaus. Mataku terhalang seperti dahulu pada murid-murid-Nya. Namun, hatiku berkobar karena Dia di Emmaus.” Samar-samar, aku masih bisa membacanya, dan ukiran itu memperingatkanku bahwa aku telah memasuki bangunan yang begitu luas dan besar ini. Inilah wisma Emmaus, di mana romo-romo yang sudah sepuh tinggal dan bekerja sebagai pendoa sambil menantikan hari terakhir mereka.

Beberapa langkah di depan pintu Emmaus 21, di mana daun pintunya terbuka setengah, bau harum gaharu sudah menusuk hidungku. Jam 2 pagi ini, aku dibangunkan oleh temanku, bahwa ada berita berkabung, “Romo Topo meninggal!” Sungguh, suasana sedingin ini membuat kulitku merinding untuk memasuki kamar itu.
Sejurus tanganku membuka daun pintu itu, aku terkejut karena bed yang biasanya berada di sisi lain dari kamar berbentuk L ini, kini sudah berpindah ke tengah kamar, persis satu setengah meter di dekat pintu. Di atas bed itu, tampak seorang terbaring tak bergerak dan dari kaki hingga bahunya telah diselimuti kain putih. Bed itu terlalu besar untuk ukuran orang yang terbaring di atasnya. Di ujung bed, di dekat kaki, tertancap tiga batang gaharu di sebuah gelas yang berisi beras. Dari situlah bau harum tadi berasal. Di samping bed duduklah sendirian seorang laki-laki dengan sehelai kapas di tangannya.
Aku mendekati bed, dan perlahan-lahan ada bau aneh lain yang menyeruak masuk ke hidungku. Bau ini ikut tercampur dengan harumnya gaharu. Aku mencoba mencari dari mana asalnya. Di sebelah kiri pintu, ada sebuah lemari yang dipenuhi dengan perlengkapan pengobatan. Di bagian atas terdapat jarum suntik, botol infus, stetoskop, bejana aluminium, dan beberapa botol kecil yang berisi cairan suntikan. Di bagian bawah terdapat kain-kain putih dan beberapa pakaian. Tapi, bukan itu sumber bau aneh itu, karena bau obat tentu saja khas dan berbeda dengan bau aneh yang tercium olehku.
Arah pandanganku bergeser ke kanan dan mencoba menyisir ruangan itu. Pandanganku tertabrak pada sebuah TV 21 inchi merk Sony dan seperangkat telepon. Kemudian aku mencoba memalingkan ke sisi lain dari ruangan, di mana, sehari yang lalu, bed yang sekarang di tengah kamar, berada di situ. Bagian ini khusus untuk perawatan bagi romo-romo sepuh yang berada dalam kondisi kritis. Memang demikianlah Emmaus 21 digunakan, selain untuk kamar bersemayam bagi yang sudah meninggal, sehari-harinya digunakan juga untuk perawatan khusus.
Di tempat tadi ada sebaskom peralatan kedokteran yang tampaknya pernah dipakai. Ada botol infus bekas dan kain basah. “Bukan itu,” pikirku. Kembali aku menggeser kepalaku dan menatap sebuah ruangan di sebelah kanan pintu masuk. Ada WC. Pintunya tidak tertutup rapat, sehingga dari sudut kecil penglihatan dan celah-celah sempit penciuman, aku dapat menangkap bahwa WC itu bersih dan tidak ada bau aneh keluar dari WC itu.
Aku heran. Ruangan berukuran 12 meter persegi ini tidak menyisakan barang lain yang bisa kuamati sejenak untuk mencari sumber bau aneh tadi. Lalu, aku mengalihkan perhatian pada tubuh yang terbaring ini. Yang terlihat dengan jelas dari bagian tubuh ini hanyalah bagian kepalanya. Lubang hidung dan telinga telah ditutupi dengan kapas. Dan setiap beberapa saat, laki-laki penunggu tadi mengusapkan kapas di bagian pinggir mulutnya. Ada cairan yang keluar dari mulutnya. Aku mencoba memperhatikan lebih teliti.
***
Persis 5 bulan yang lalu aku mengambil kesempatan mengisi liburan ekskursi di Padepokan Bumiku. Setelah sekian lama mengharap, baru kali ini aku bisa ke padepokan yang begitu sederhana ini. Di salah satu sudut halaman aku sempat membaca ukiran kayu bertuliskan “memetri bumi anjejagi gesang”. Sedangkan di sudut lain tertera, “Alam bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tak bisa hidup tanpa alam.” Aku tertegun dengan untaian kalimat itu, dan seiring dengan ketertegunan itu, aku pun tak pernah habis pikir dengan perjuangan dan kerja keras yang telah dilakukan romo Topo demi lestarinya lingkungan hidup.
Baru sejam di padepokan, aku sudah diajak berkeliling kebun dan ladang. Semua kebutuhan dan perlengkapan hidup di padepokan itu tercukupi lewat pengolahan alam yang arif. Untuk konsumsi harian, ada sayuran dan buah-buahan kebun. Untuk tambahan protein, ada peternakan ayam dan sapi. Di beberapa sudut tempat disediakan dua jenis kotak sampah, yang satu berlabelkan sampah organik, yang lain non-organik. Untuk kebutuhan memasak harian tidak perlu minyak, rupanya ada digester biogas. Bahkan untuk penerangan malam hari, tempat ini mengandalkan pembangkit tenaga air dari aliran sungai di ujung ladang.
Wah, aku sungguh terkesan dengan kehidupan semacam ini, bahkan tidak jarang anak-anak sekolah datang untuk belajar mengenal alam di padepokan ini. “Kalau kita dapat melayani alam, maka alam juga akan memberikan sesuatu,” katanya suatu kali. Aku setuju. Alam benar-benar sudah lelah menghadapi tingkah manusia, terlalu banyak berkorban, tetapi jarang sekali dihargai.
Di hari berikutnya aku diajak romo untuk membantu menyiangi rerumputan di kebun kacang. Ketika hari semakin terik, romo masih tetap setia melanjutkan pekerjaannya. Aku sempat mengeluh karena panas. “Kamu tuh gimana tho, wong yang membuat bumi ini semakin panas khan kamu sendiri, koq sekarang gak mau menanggung perbuatanmu sendiri.” Aku terhentak. Dan semenjak itulah aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak merusak lingkungan.
***
Aku baru sadar kalau bau itu berasal dari cairan di mulutnya. Romo Topo meninggal karena sakit Lever kronis. Air yang keluar dari mulutnya berasal dari pembuluh-pembuluh darahnya yang pecah. Hampir seluruh hidupnya dibaktikan dalam totalitas memperjuangkan kelestarian alam. Sampai-sampai dia seringkali lupa diri bahkan dengan kesehatannya sendiri.
Aku mulai menundukkan kepala dan berdoa. Dalam hening, aku mengharu, betapa dia begitu dekat dengan alam, sehingga karena kedekatan itulah dia semakin dekat pula dengan Sang Pemilik alam itu.
Beberapa menit kemudian, aku tinggalkan kamar itu. Udara di luar semakin dingin. Hujan juga masih cukup deras. Dan waktu terus bergeser mendekati fajar. Aku melangkah kembali ke kamarku. Selamat jalan, Romo!***

Yogyakarta, Agustus 2008
Read More...

Senin, September 29, 2008

Trilogy of my Blogs


Mengapa mesti Trilogi?
mungkin teman-teman bertanya alasan di balik pembuatan trilogi blog ini.
Kata hati ingin mengatakan bahwa sebenarnya banyak hal sekali yang bisa di-eksplore dari diri kita. so, aku ingin membuat per bidang/kategori.
kalau hanya 1 saja mungkin tidak cukup...
tapi kalo 4 ato 5 terlalu banyak. oleh karena itu, aku milih 3 saja, 'trilogi', sehingga mudah diingat.
blog pertama, nicosj.blogspot.com. Blog ini murni tentang diriku dan pergulatanku.
blog kedua, for-the-better-world.blogspot.com. Blog ini mungkin salah satu cara yang bisa aku sumbangkan buat orang lain secara lebih luas, tanpa mengenal batas. semua orang punya impian tentang dunia yg lebih baik. aku juga melihat hal itu, dan ingin mewujudkannya. mungkin hanya sebatas tulisan saja.
blog ketiga, greenclimber.blogspot.com. Nah, blog ini salah satu sisi diriku, yang tanpa sadar seringkali membuatku kelihatan aslinya. Sedikit banyak aku suka petualangan. Oleh karena itu, secara khusus aku menceritakan petualangan-petualanganku di tempat ini. Sekaligus aku mencoba fokus terhadap lingkungan hidup.

akhirnya selamat membaca!! Read More...

Sabtu, September 27, 2008

Mitos Gua Plato


Dalam perumpamaan tentang gua, Plato sebenarnya hendak membicarakan manusia. Manusia dapat dibandingkan dengan orang-orang tahanan yang sejak lahirnya terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah kepada dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang dari orang-orang yang lewat hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain.

Kemudian tiba-tiba ada satu tahanan yang memberontak, memalingkan lehernya, bergerak dan memandang ke arah cahaya, dan semua ini hanya dengan rasa sakit dan silau karena cahaya. Ia mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang bukan merupakan realitas yang sebenarnya. Dia keluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Mula-mula, ia berpikir bahwa ia telah meninggalkan realitas. Tetapi, berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Ia memandang matahari tidak sebagai pantulan, melainkan memandang matahari itu dan ciri-cirinya senyata-nyatanya.
Ia ingat akan gua dan akan teman-teman senasibnya, akhirnya dia kembali ke gua dan berceritera kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. Tetapi teman-temannya tidak percaya, dan seandainya mereka tidak terbelenggu mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.
Ternyata untuk melihat realitas sebenarnya merupakan suatu hal yang sulit. Tahanan yang bebas itu harus mengalami rasa sakit dan mata yang kabur karena silaunya cahaya. Suatu perubahan dari sebuah kemapanan pengetahuan dan kepercayaan adalah suatu hal yang tampak jahat – lepas dari kebiasaan. Dan tidak sampai di situ saja, untuk mengalami penyesuaian dengan realitas sebenarnya, matanya kabur terlebih dahulu dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal.
Dari uraian di atas, secara singkat dapat diintepretasikan bahwa gua tadi ialah dunia yang disajikan kepada pancaindera kita. Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan tahanan yang terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja. Tetapi, ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas inderawi tidak lain daripada bayang-bayang saja. Orang-orang itu adalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, mencoba beradaptasi, dan berangsur-angsur mereka menemukan Idea ‘yang baik’, yakni matahari sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran (realitas sebenarnya), yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari pancaindera yang menyesatkan.
Ada tiga hal yang hendak disampaikan Plato melalui perumpamaannya itu:
a.Kita manusia adalah tawanan dari gambaran dan pendapat-pendapat yang kita peroleh dari ‘dalang’ dan ‘pemain boneka’. Kita dapat mengatakan bahwa pendapat, ‘pengetahuan’ dan kepercayaan-kepercayaan dimanipulasi oleh para pembentuk opini umum.
b.Filsafat membebaskan manusia dari keterbelengguan rohnya. Filsafat membebaskan kita dari prasangka, pendapat, dan anggapan-anggapan dangkal yang tidak benar. Filsafat membuat kita melihat kenyataan yang sebenarnya.
c.Pembebasan oleh filsafat itu tidak disukai oleh semua orang. Ada yang tidak senang diganggu gugat dalam prasangka dan praduga mereka. Melepaskan pendapat-pendapat yang sudah lama diakrabi mesti menyakitkan. Prasangka-prasangka merupakan alam di mana kita sudah mapan, di mana segala-galanya sudah mempunyai tempatnya, yang tidak ingin kita ganggu gugat. Kita tidak ingin keluar dari keakraban itu. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan Filsafat membantu kita untuk membebaskan diri dari kedangkalan, praduga dan prasangka (meninggalkan mitos) dan menghadapi realitas yang sebenarnya.
Read More...

Rabu, September 24, 2008

Slamet


Liburan tahun lalu, aku dan beberapa teman pergi naik gunung. Kali ini kami menuju ke Purwokerto, hendak mendaki gunung Slamet. Memang sejak di novisiat naik gunung menjadi semacam kesukaan. Bukan pertama-tama karena keinginan untuk dapat melihat sunrise atau petualangan serunya, tetapi terlebih karena prosesnya menuju puncak dan turun kembali ke bawah.

Naik gunung itu seperti menapaki peziarahan rohani. Sebelum naik gunung, setiap pendaki butuh persiapan yang sangat matang, bahkan sampai detik-detik pendakian. Mereka mesti siap mental, fisik, dan tentu saja perlengkapan serta perbekalan. Perencanaan mesti dibayangkan dan dikontemplasikan. Bila berencana mendaki 2 hari, berarti perbekalan mesti disiapkan untuk 3 hari atau lebih. Bila berencana mendaki 3 hari, perbekalan mesti disiapkan untuk 4 hari atau lebih.
Jauh hari sebelum pendakian, fisik juga mesti siap. Pemanasan setiap hari, minimal jogging. Selain itu, bila pendakian dilakukan bersama-sama, tentu kekompakan tim juga ditentukan: siapakah yang akan menjadi leader, sweeper, dan siapakah anggota yang tampaknya paling lemah?
Kini tibalah hari keberangkatan. Dalam perjalanan pendakian, ditentukanlah prosesnya. Banyak hal diperhatikan, ritme langkah kaki, stamina tubuh, jeda untuk istirahat, berhenti untuk berkemah, bahkan perhatian dan pertolongan bagi teman yang sudah kepayahan.
Tidak hanya secara tim menentukan, tetapi terlebih juga secara individu. Lewat proses pendakian ini, aku semakin mengenal diriku, seberapa mampu aku berjalan, seberapa kuat lagi aku bertahan. Memang kadangkala, proses ini tidaklah sesederhana itu, sebab rasa putus asa dan keinginan untuk tidak melanjutkan lagi pendakian seringkali begitu saja muncul. Ada juga faktor-faktor lain di luar diri kita yang turut menentukan proses ini, tetapi keputusan kitalah yang menentukan. Bila sampai di puncak, hanya ada satu kegembiraan dan syukur yakni karena penyertaan Tuhan sampai sejauh ini.
Demikianpun kehidupan rohani kita. Rahmat Tuhan bukan datang begitu saja. Kita mesti menyiapkan diri kita. Persiapan itu adalah kesediaan diri kita untuk dibentuk oleh Tuhan sendiri. Setiap hari ditempa dengan olah rohani. Proses pendakian sama halnya dengan kita belajar semakin mengenal diri kita, belajar berdiskresi, menentukan manakah jalan yang benar untuk sampai ke rahmat itu. Kadangkala ada rasa putus asa, rasa desolasi dan kering tak kunjung usai. Tapi dengan jiwa besar kita terima itu hingga akhirnya sampai pada rahmat di puncak.
Puncak adalah rahmat itu sendiri. Sesampai di puncak, kita bersyukur atas itu dan memohon agar kita tetap tekun dan selalu dikuatkan. Sebab, perjalanan turun dari gunung justru lebih menyakitkan, sebab mesti menahan beban 2 kali, yakni tubuh kita dan gravitasi bumi. Untuk itulah rahmat di puncak menjadi bekal yang cukup pada saat kita mengalami desolasi lagi.
Mendaki gunung bagiku bukanlah suatu pengalaman yang sia-sia atau bahkan membuang waktu. Tetapi, mendaki gunung adalah pengalaman yang menghidupkan kerohanianku. Gunung Slamet baru saja kudaki, semoga kerohanianku juga slamet.
Read More...

Selasa, September 23, 2008

Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permisif

Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang seragam, apapun itu bentuknya. Fakta bahwa ada begitu banyak suku, budaya, agama dan norma hidup menunjukkan bahwa bangsa kita itu multi-etnis, multi-kultural, multi-agamis dan multi-pandangan. Seolah-olah sudah takdir bagi yang terlahir di Indonesia untuk menyadari kenyataan bahwa dirinya berbeda dari yang lain.
Namun fakta perbedaan itu tidak hanya ada pada lembaga-lembaga formal di atas saja. Sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang begitu kompleks dan sangat plural. Bangsa Indonesia sudah mengalami segalanya—untuk menyebut satu per satu kondisi perbedaan yang lain: demokrasi dan kediktatoran militer, undang-undang dasar nonagamis dan syariah Islam, kekayaan ekstrem lapisan atas dan fight for survival orang kecil, nasionalisme dan separatisme, toleransi dan kekerasan ekstrem, Islam dengan mayoritas besar yang moderat dengan kelompok garis keras hingga yang ekstrem, korupsi yang meresapi semua bidang kehidupan masyarakat dan hukum yang bisa dipermainkan, tradisionalis dan modernis, lokalis dan globalis.

Pluralisme inilah yang seringkali menandai sikap kebanyakan orang Indonesia untuk permisif, seolah-olah “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Pindah situasi, pindah tempat, di situlah normanya berganti. “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.”
Mungkin sebagian besar orang akan beralasan bahwa dengan adanya pluralisme ini, sepantasnyalah kita menjunjung toleransi. Tetapi toleransi macam apa kalau jelas-jelas di depan mata terjadi tindak korupsi, namun dibiarkan begitu saja. Toleransi macam apa jika kemiskinan dan ketidakadilan rakyat kecil diabaikan, sedangkan sebagai wakil rakyat malah menuntut tunjangan 10 juta. Toleransi macam apa bila nyawa 202 orang di Bali dibiarkan sebagai bentuk penghargaan terhadap sebuah keyakinan tertentu. Bukankah itu sikap toleran yang permisif? Tidakkah ini berarti sikap toleransinya berdampak negatif? Masih adakah orang yang berani menjadi whistle blower ?
Memang benar zaman kita acapkali disebut era keruntuhan “narasi-narasi besar”. Pada era ini keyakinan yang bersandar pada nilai-nilai absolut mengalami gugatan serius. Di semua lini kehidupan, mulai dari sosial, politik, hukum, sampai seni seakan berlaku diktum: nilai apapun yang bertendensi menjadi absolut harus ditolak. Gugatan terhadap ‘absolutisme’ itu juga berlangsung pada ranah etika dan moral. Relativisme moral berpendapat ada banyak bentuk moralitas yang sama benarnya. Moralitas orang Barat, misalnya tak lebih benar daripada moralitas orang Asia. Ekstremnya, moralitasku berbeda dengan moralitasmu. Relativisme moral menyanggah klaim superioritas nilai moral. Dengan begitu, ia menawarkan jalan menuju pluralitas pilihan, pendapat dan opsi moral.
Oleh karena latar belakang di ataslah, tulisan singkat ini hendak mengupas problem serius atas terciptanya gugatan terhadap nilai-nilai absolut. Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu berlaku permisif terhadap tindakan yang nyata-nyata melanggar prinsip dasar moral? Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu seolah-olah menjadi seorang relativis praktis, tanpa harus mengatakan bahwa diri mereka adalah penganut relativisme? Lalu, hal-hal penting macam apa yang membuat seseorang seharusnya memegang dasar-dasar moralitas—sekaligus ini menggugat tindakan toleransi permisif?
Tulisan ini murni akan ditinjau dari sudut etika dan moral. Penulis sendiri akan banyak mengacu pada karya Mohammad Ali Shomali, seorang filsuf Iran kontemporer, yang berjudul Ethical Relativism (2001).

Kegagalan Menemukan Prinsip Moral yang Memadai
Menurut Shomali, sikap toleransi terhadap pluralisme pandangan yang condong bersifat permisif itu merupakan kegagalan seseorang untuk menemukan perangkat prinsip moral yang memadai. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang berlaku demikian.
Pertama, sebagian orang tidak begitu cerdas atau terlalu malas untuk menempatkan prinsip atau nilai-nilai moral dalam sebuah hierarki nilai. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui atau memahami apa yang harus dilakukan ketika berbagai prinsip atau nilai saling bertentangan. Untuk hal ini, terutama penentuan hierarki nilai, kita berhutang banyak pada W.D. Ross, Max Scheler, dan von Hildebrand. Ross (1877-1971) memberikan jalan keluar terhadap etika Kant yang keras. Menurut Ross, setiap kewajiban selalu merupakan prima facie, artinya suatu kewajiban hanya bersifat mutlak sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dengan kata lain, suatu kewajiban adalah ‘kewajiban untuk sementara’. Apabila berdasarkan pertimbangan lain, ternyata kita tahu bahwa ada kewajiban lain yang lebih penting, kewajiban inilah yang harus didahulukan dari kewajiban pertama tadi. Dalam kasus di atas kiranya jelas bahwa tindakan menghargai nyawa sesama lebih penting daripada sebuah keyakinan ekstrem.
Sedangkan Scheler (1874-1924) mengatakan bahwa orang bertindak bukan demi kewajiban belaka, melainkan demi nilai-nilai. Analisis fenomenologis Scheler memperlihatkan bahwa nilai-nilai itu bisa digolongkan ke dalam empat bagian yang tersusun secara hirarkis. Pertama, nilai enak-tidak enak. Kedua, nilai vital, misalnya kesehatan dan keberanian. Ketiga, nilai rohani, yang meliputi nilai estetis (indah dan jelek) dan nilai etis (kebenaran dan keadilan). Keempat, nilai yang menyangkut obyek absolut (yang kudus, yang profan, dan nilai religius). Menurut Scheler, kewajiban moral terdiri dari keharusan yang dirasakan manusia untuk selalu merealisasikan nilai-nilai yang lebih tinggi di antara nilai-nilai yang mungkin terealisasikan. Namun ajaran Scheler ini diperbaiki oleh von Hildebrand (1889-1966) dengan membedakan antara nilai moral dan nilai non-moral. Kesehatan, misalnya, adalah nilai vital (nilai non-moral), namun kesehatan orang lain (nilai moral) adalah hal yang wajib saya perhatikan. Dengan demikian, jika seseorang benar-benar menggunakan akal budinya dalam menentukan tindakan moral, pastilah akan mempertimbangkan sistem hierarki nilai ini.
Kedua, orang berlaku permisif karena tidak mengetahui bahwa prinsip dan kaidah moral dapat diterapkan lewat berbagai cara, sesuai dengan beragamnya keadaan yang ada sepanjang berubahnya waktu dan masyarakat. Penerapan yang berbeda ini tidak berarti bahwa ada pluralitas prinsip dasar.
Ketiga, orang gagal menemukan prinsip moral yang memadai karena tidak menyadari banyaknya perbedaan yang sebenarnya merupakan akibat penerapan nilai-nilai dan prinsip umum yang berbeda dalam konteks keyakinan yang berbeda, misalnya perbedaan menyangkut sifat manusia, perbedaan alamiah antara jenis kelamin atau ras yang berbeda, dan menyangkut hubungan manusia dengan alam dan dunia adikodrati.
Keempat, terkadang orang berada dalam tekanan pikiran yang hebat sehingga terlalu berat untuk hidup dengan prinsip-prinsip moral. Di samping itu, terkadang ada banyak kepentingan praktis-psikologis yang dipilih seseorang untuk tidak menganut prinsip moral umum, misalnya mencari rasa aman.

Pertimbangan bagi Relativisme Moral Praktis
Mengenai bukti empiris bahwa tindakan yang dapat diterima secara moral cenderung berbeda-beda, baik antara berbagai masyarakat maupun antarwaktu, menurut Shomali, orang harus mempertimbangkan hal-hal berikut sebelum menarik kesimpulan relativistik (yang menciptakan sikap toleransi permisif) dari bukti itu.
Pertama, meskipun tidak ada kesamaan dalam prinsip dasar mengenai sistem moral yang berbeda, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang fakta-fakta nonmoral atau meskipun mengira bahwa perbedaan-perbedaan itu muncul hanya karena orang telah menganut berbagai ukuran moral, orang tidak beralasan menyimpulkan bahwa semua ukuran alternatif yang dianut atau sebagian darinya mestilah benar.
Kedua, ada berbagai kesamaan moral yang penting di seluruh budaya. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa prinsip atau ukuran moral yang dapat diterima secara universal. Pojman (1998:47) mengetengahkan daftar prinsip umum yang mencakup larangan melukai dengan sengaja, membunuh orang yang tidak bersalah, menimbulkan penderitaan, menipu atau mencuri, dan prinsip yang menganjurkan kesetiaan terhadap janji atau sumpah, bersikap adil, berbicara jujur, tahu berterimakasih dan menolong orang lain. Sedangkan James Rachels (2004: 58-60) menyebutkan nilai inti yang sama bagi semua masyarakat dan sebenarnya diperlukan bagi eksistensi sebuah masyarakat, yakni keharusan merawat anak-anak (keturunan), keharusan berkata jujur, dan larangan membunuh. Dari kedua pandangan itu, ada kesimpulan teoretis yang bersifat umum, yakni adanya beberapa prinsip moral universal bagi semua masyarakat. Jika tidak demikian, tidak ada masyarakat yang bisa survive.
Ketiga, adanya perbedaan dan perselisihan moral sejalan dengan adanya prinsip-prinsip moral yang bersifat umum. Menurut Shomali, perselisihan moral itu lebih terletak pada “keragaman penerapan”. Dua budaya atau individu mungkin saja berpegang pada prinsip dasar yang sama namun cara menerapkannya berbeda, karena adanya keyakinan metafisis atau keadaan yang berbeda.
Keempat, ada beberapa implikasi yang tidak dapat ditoleransi dari penolakan terhadap ukuran dan prinsip-prinsip moral yang sah secara universal (implikasi yang tidak diinginkan oleh relativisme moral) : (1) tidak ada manfaatnya bersandar pada ukuran orang lain. Jika relativisme moral benar, kita dapat memutuskan apakah perbuatan itu benar atau salah hanya dengan bersandar pada standar masyarakat kita. Tetapi hanya sedikit orang yang berpikir bahwa masyarakat mereka mempunyai standar moral yang sempurna; (2) upaya pembaruan moral tidak masuk akal. Jika relativisme moral benar, pembaruan moral dan para pembaru moral tidak dapat dibenarkan, karena mereka bertentangan dengan ukuran-ukuran yang sudah ada. Misalnya, orang yang berjuang pada abad ke-8 untuk menghapuskan perbudakan adalah salah, karena mereka menentang perbudakan ketika perbudakan itu sendiri tengah populer; (3) konsep kemajuan dan moralitas ideal tidak bermakna. Biasanya kita berpikir bahwa setidaknya beberapa perubahan (kemajuan) dimaksudkan agar masyarakat kita menjadi lebih baik; (4) tidak ada manfaatnya kritik moral. Jika adat-istiadat berfungsi untuk menentukan apa yang baik dan adil, tentu tidak akan ada ruang untuk mengkritiknya. Jika relativisme benar, orang dapat membuat kritik internal menurut standar mereka sendiri; (5) tidak adanya keyakinan moral mengarah kepada nihilisme. Ini berkaitan dengan fakta bahwa relativisme terkadang diidentifikasi dengan bentuknya yang paling ekstrem yang berpendapat bahwa segala sesuatu diperbolehkan. Namun ada juga fakta bahwa keyakinan dan komitmen moral bergantung pada cara memandang moralitas seseorang sebagai satu-satunya kebenaran atau yang paling masuk akal; (6) kegagalan mengevaluasi ukuran moral orang lain. Menurut relativisme moral, setiap ukuran moral suatu masyarakat tidak mungkin dinilai salah atau benar oleh orang lain. Oleh karena itu, agresi Nazi bukanlah hal yang tidak bermoral, karena menurut mereka sendiri tindakan mereka adalah benar. Kegagalan mencela perilaku semacam itu tampaknya tidak masuk akal. Agresi atau penjajahan selalu keliru di manapun ia berada.

Teori Relativisme Moral Modern
Pada bagian ini, saya sedikit menggambarkan usaha lain dari relativisme moral dalam membangun teorinya. Sekalipun tidak berkaitan langsung dengan relativisme moral praktis, setidaknya teori relativisme moral modern ini membantu kita untuk memetakan persoalan relativisme moral sebenarnya.
Gilbert Harman dan David Wong adalah tokoh relativisme moral yang penting dewasa ini, yang mencoba membangun argumen moderat guna menangkal serangan dan sanggahan terhadap relativisme moral. Mereka yakin bahwa argumen standar relativisme moral —bahwa dalam moralitas semua hal dibenarkan— tidaklah efektif atau bahkan tidak mungkin lagi untuk dianut. Mereka belajar banyak dari argumen-argumen lama, dan akibatnya memposisikan argumen mereka menjadi lebih rumit dibandingkan dengan argumen-argumen relativisme yang terdahulu.
Argumen pokok Gilbert Harman adalah pembahasannya mengenai dasar moralitas. Baginya, dasar moralitas tidak ada bedanya dengan sebuah konvensionalisme moral implisit. Moralitas bergantung pada tawar-menawar yang terjadi dengan sendirinya, yang menyesuaikan diri tanpa mesti dipaksakan diadakan perundingan tertulis. Konvensionalisme moral ini terjadi di dalam adat-istiadat atau budaya masyarakat, dan bisa saja berubah seiring dengan bingkai moralnya, yakni perubahan ruang dan waktu, pergantian generasi dan zaman.
David Wong membangun argumen relativismenya dengan mencoba mencari jalan tengah antara obyektivitas dan subyektivitas moral, mencoba mendamaikan pertentangan antara keduanya. Wong yakin bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antarpribadi (toleran). Kreasi sosial ini berbeda dengan teori konvensionalisme Harman. Teori relativisme moral Wong lebih bersifat kognitif, karena dia mampu menjelaskan dan mendefinisikan moralitas aktual yang sesuai dengan akal sehat dan pengalaman moral manusia. Bahkan dalam analisanya, dia menelurkan gagasan baru yakni mengenai “sistem moral yang memadai”. Dalam sistem inilah dia membedakan moralitas yang berintikan kebaikan dan moralitas yang berintikan hak.
Wong menjelaskan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan menekankan cita-cita tentang bentuk tertentu kehidupan masyarakat di mana individu diterima dan berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu dalam kebebasan dan kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidupnya. Kita dapat mengatakan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Moralitas tersebut menjelaskan berbagai bentuk sifat dan perbuatan sebagai kebaikan yang diperlukan guna mencapai kebaikan umum. Salah satu bagian penting dari moralitas semacam itu adalah pandangan tentang fungsi dan peran sosial. Sebaliknya, moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi yang mendahului, atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas. Moralitas semacam ini memberikan beberapa hak kepada individu untuk melindungi kepentingan mereka.

Dasar-dasar Moralitas
Membabi-buta meyakini relativisme moral sangatlah berbahaya karena berpotensi menjurus pada nihilisme dan anarki. Seperti yang sudah kita sadari pada awal tulisan ini, relativisme moral mengakibatkan seseorang begitu mudah menyatakan sikap toleransi alih-alih bersikap permisif saja. Orang dapat berbuat sesukanya atas nama toleransi, tanpa peduli tanggungjawab dan kewajibannya kepada sesama. Untuk itu, diperlukan seperangkat kriteria moral objektif yang bisa dijadikan pedoman bersama dalam menangani persoalan-persoalan moral pada umumnya. Pada bagian ini, secara menyeluruh akan dipaparkan gagasan Shomali mengenai dasar-dasar moralitas.

Moralitas dan Cinta-Diri
Menurut Shomali, moralitas didasarkan atas hasrat alamiah seseorang untuk memperbaiki diri sendiri dan keinginannya untuk mencapai cita-citanya. Teori ini dapat disebut ‘moralitas cinta-diri’. Untuk melindungi kepentingannya secara utuh, orang perlu memuaskan segala bentuk keinginan naluriahnya, termasuk keinginan untuk menjadi orang yang baik. Orang yang mencintai diri sendiri dan mencintai orangtua, anak-anak, kerabat dan sahabatnya mungkin pula mencintai semua manusia, hewan dan alam. Manusia tidak akan merasakan kehidupan yang menyenangkan jika mereka menyaksikan orang lain menderita atau kelaparan. Kepedulian mereka pada diri sendiri, demi kebahagiaan dan kesempurnaan mereka, mengharuskan mereka bersikap baik. Dengan demikian, teori moralitas cinta-diri mengakomodasi keinginan intrinsik dan asasi dalam diri manusia untuk membahagiakan orang lain, meskipun tidak ada kaitannya dengan kepentingan langsung manusia tersebut. Jadi, semua perbuatan yang disengaja dari setiap pelaku tindakan berasal dari keinginan asasi atau kecenderungan untuk memuaskan perhatian dan kepentingannya.
Di sini memang perlu dicatat bahwa cinta-diri sangat berbeda dengan mementingkan diri sendiri. Perbedaan antara egois dan tidak egois bukanlah ada atau tidak adanya cinta-diri. Perbedaan itu terkait dengan cara seseorang mempertimbangkan kepentingan dan tujuan serta mencoba memenuhi syarat-syarat cinta-diri.
Shomali menyimpulkan bahwa hasrat asasi dan kepentingan manusia yang membentuk moralitas bergantung pada watak manusia, yang memang sama pada setiap manusia. Ada hubungan nyata antara watak manusia dan hasrat maupun kepentingan di dalamnya, dan kedudukan moral dari setiap perbuatan bersumber dari hubungan nyata semacam itu. Dengan kesimpulan ini, pemikiran Shomali tentang moralitas berbeda dengan teori Harman yang yakin bahwa tuntutan moral hanya berlaku pada orang-orang yang memang ingin mengikutinya.

Membuat Keputusan Moral
Moralitas cinta-diri menentukan setiap manusia dalam mengambil keputusan moral. Lewat keputusan moral inilah, manusia mampu menentukan prinsip dasar moral universal, dan tidak membiarkan sikap permisif menguasai dirinya. Untuk sampai pada pengambilan keputusan moral, manusia akan melewati beberapa tahap rumit yang dipengaruhi beberapa faktor. Shomali mencoba menjelaskannya dengan memulai dari faktor pertama, yakni pemahaman dan penilaian. Menurutnya, manusia akan mustahil membuat keputusan tanpa memahami masalah tersebut. Manusia mesti berpikir tentang perbuatan itu dan akibatnya, manfaatnya ataupun kekurangannya. Baru setelah kita mempertimbangkannya, kita akan membuat penilaian terhadap perbuatan itu, benar atau salah. Lalu memutuskan untuk melakukannya atau tidak sama sekali. Selain itu, faktor ini juga mempengaruhi pengambilan sebuah keputusan di mana keputusan itu berangkat dari tindakan yang sudah pernah kita lakukan. Di sini, pemahaman dan penilaian menjadi semacam evaluasi diri.
Faktor kedua adalah melihat motivasi apa di belakang keputusan itu. Di sini Shomali mencoba membedakan antara ‘penalaran teoretis’ dan ‘penalaran praktis’. Penalaran teoretis berkaitan dengan keyakinan dan penalaran praktis berkaitan dengan hasrat atau niat. Shomali berpendapat bahwa setiap penalaran praktis didahului oleh beberapa bentuk penalaran teoretis. Pada mulanya seorang pelaku menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa dalam kenyataannya perbuatan tertentu adalah kondusif atau tidak kondusif bagi cita-citanya. Kemudian, setelah menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa salah satu alternatif memang lebih baik, dia mendapatkan sebuah motivasi untuk berbuat sesuai dengan alternatif itu. Hanya setelah termotivasi kita berniat atau memutuskan untuk melakukan perbuatan tertentu. Di sini dan selama melakukan penilaian, peran emosi dan hasrat sangatlah penting. Selain kedua peran itu, Shomali menambahkan bahwa peran akal tidak kalah pentingnya dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, tiga peran yang disebutkan Shomali menjembatani sekaligus antara emotivisme, hedonisme dan etika Kantian.
Shomali sependapat dengan Hume bahwa manusia punya kecenderungan bawaan untuk bersimpati terhadap orang lain. Atau seperti yang telah Shomali katakan bahwa setiap orang telah dibekali oleh moralitas cinta-diri.
Usaha demi kesenangan atau untuk memuaskan hasrat, tidak berarti kita menerima bentuk hedonisme murni. Shomali menyebutkan ada berbagai bentuk hasrat dan dengan demikian ada pula berbagai bentuk kesenangan. Dia setidaknya menyebutkan tiga bentuk. Pertama, hasrat ‘fisik’ atau ‘sensual’, yakni hasrat yang menimbulkan kesenangan fisik atau sensual, misalnya kesenangan yang muncul karena merasakan makanan yang lezat. Kedua, hasrat ‘semi-abstrak’, yakni hasrat yang tidak secara langsung disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik sehingga tidak berhubungan langsung dengan indera kita, misalnya kesenangan yang dirasakan orang karena mempunyai uang atau jabatan yang tinggi. Ketiga, hasrat ‘abstrak’, inilah hasrat sejati yakni hasrat yang dapat kita rasakan secara langsung, independen dan tidak dapat direduksi kepada hasrat yang lain, misalnya kesenangan yang diperoleh seseorang ketika dia memiliki rasa percaya diri atau rasa tenteram dalam pikiran atau perasaan bahagia. Hasrat abstraklah yang dimaksud Shomali dalam kaitannya dengan moralitas kita. Menurutnya, hasrat abstrak bukan hanya tidak mengarahkan kita kepada perbuatan jahat, tetapi bahkan cenderung menimbulkan sifat yang positif dan baik.
Dengan penjelasan tentang pengambilan keputusan di atas, Shomali berhasil menunjukkan bahwa moralitas baik dan buruk sama sekali tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan atau ditemukan oleh akal budi manusia dengan cara memperhatikan sifat, bakat, dan potensialitas manusia. Dan itu ukurannya sama pada setiap manusia. Oleh karena itu sifatnya universal.

Peran-Peran dalam Pengambilan Keputusan
Selanjutnya, Shomali mengatakan bahwa ada peran internal dan eksternal dalam keputusan moral manusia. Shomali yakin bahwa adanya pemahaman yang benar terhadap peran ini dapat menjelaskan situasi yang kondusif bagi seseorang dalam menentukan sikap moral. Shomali menyebutkan lima macam peran. Pertama, peran keyakinan, pengetahuan dan informasi.
Salah satu bagian penting keputusan moral kita adalah cara kita memahami sebuah persoalan, kemudian cara kita mendapatkan hasil dan akibat-akibat dari setiap sisi persoalan. Perbedaan dalam tataran ini dapat menghasilkan keputusan yang berbeda walaupun masalahnya sama. Bahkan orang yang memiliki cita-cita moral yang sama tidak terlepas juga dari perbedaan ini.
Kedua, peran hasrat. Hasrat merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan kita. Seperti sudah dijelaskan di atas, meskipun hasrat sejati sama pada semua manusia, mungkin penerapannya berbeda. Yang perlu ditekankan pada hasrat sejati adalah arahnya yang selalu pada perbuatan baik. Sedangkan hasrat fisik, sifatnya netral, maksudnya dapat dipuaskan dengan cara yang bermoral maupun tidak bermoral. Dari sinilah seringkali perbuatan buruk berasal.
Ketiga, peran keinginan dan keputusan seseorang. Meskipun ada banyak pembatasan yang diakibatkan oleh berbagai keadaan internal dan eksternal, manusia bebas untuk membuat keputusannya. Tanpa keyakinan akan kehendak bebas, maka sebenarnya tidak ada moralitas. Dan dalam kehendak bebasnya itu, manusia pastilah menganut nilai atau cita-cita yang mengarahkan perbuatan mereka.
Keempat, peran kemampuan mental dan intelektual serta bakat (misalnya kebiasaan baik). Kelima, peran keadaan. Yang dimaksud dengan keadaan adalah sifat atau ciri khas yang berada di sekitar pembuatan keputusan. Itu bisa keadaan fisik dan mental pelaku (mis: sehat atau sakit), perasaan pelaku (mis: senang atau sedih), kemampuan pelaku, keadaan orang lain yang terlibat, waktu, tempat, hukum, budaya, sumber alam yang ada, alat, dan sarana. Setiap perubahan dalam kondisi ini akan mengharuskan pelaku mengubah penilaian terhadap keputusan atau tindakan mereka.
Selanjutnya Shomali menjelaskan bahwa setiap keputusan mestilah memenuhi syarat-syarat pilihan rasional. Dalam hal ini, Shomali mengadopsi pemikiran Paul Taylor. Taylor percaya bahwa sebuah pilihan adalah rasional selama ia bebas, tercerahkan, dan netral. Tetapi situasi ini memang sedikit utopis, karena Taylor sendiri yakin bahwa tidak ada pilihan yang sepenuhnya bebas, tercerahkan dan netral. Namun Shomali menganjurkan hal ini sebagai alat bantu bagi pelaku tindakan untuk membuat penilaian dan keputusan yang lebih baik.
Syarat-syarat kebebasan adalah tidak ditentukan oleh motif yang tidak disadari, tidak dalam keadaan terpaksa atau dengan kata lain orang tersebut sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh hambatan eksternal, dan segala pilihan sepenuhnya ditentukan oleh keputusan orang itu sendiri. Syarat pencerahan adalah mengetahui hakikat jalan hidup yang dipilih, mengetahui segala kemungkinan akibat-akibat dari menjalani suatu pandangan hidup, dan mengetahui sarana apa yang diperlukan untuk menjalankan pandangan hidup itu. Syarat sikap netral adalah bersifat murni, tidak memihak atau bersifat objektif, dan tidak menyimpang, maksudnya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis bawaan yang kronis.

Sifat Manusia: Hal yang Diabaikan oleh Relativisme Moral
Setelah mengikuti alur penjelasan Shomali di atas, terakhir dia menekankan bahwa adanya perbedaan cita-cita atau nilai moral semata tidak menyiratkan bahwa tidak ada satu moralitas yang benar dan paling masuk akal. Menurutnya ada hubungan nyata antara cinta-diri kita dan hasrat, cita-cita dan sifat kita yang sejati. Agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, kaum relativis harus menunjukkan adanya perbedaan jenis sifat manusia. Masyarakat atau individu dengan sistem moral yang berbeda harus terbukti tidak termasuk dalam spesies manusia yang sama. Dan itu tidak mungkin! Salah satu implikasi yang tidak dikehendaki dari pandangan ini adalah bahwa jika seseorang atau sebuah masyarakat memutuskan untuk menganut sebuah moralitas baru, maka orang itu atau masyarakat itu pertama-tama harus mengubah sifat-nya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak dapat mengubah pendirian moral mereka, kecuali jika sifat mereka sudah diubah. Inilah, menurut Shomali, yang tidak dapat diterima oleh kaum relativis.
Kajian tentang sifat manusia jauh lebih sulit daripada yang dapat dilakukan dalam pembahasan tentang relativisme moral. Menurut Shomali ada alasan yang baik untuk berpikir bahwa manusia memiliki sifat yang sama. Tentu secara biologis manusia itu sama. Tetapi yang dimaksud Shomali dengan sifat manusia lebih dari sekadar unsur biologis. Sifat manusia merupakan pandangan ontologis yang menciptakan sifat-sifat yang sama pada semua manusia. Seandainya tidak ada sifat semacam ini di antara manusia, tentu tidak akan ada ruang bagi disiplin ilmu-ilmu. Semua ilmu ini berasumsi bahwa manusia itu sama dan bersikap sama dalam keadaan yang sama.
Manusia terikat dengan sifat mereka dan manusia dengan sifat yang sama itu tidak dapat menganut moralitas yang berbeda. Kaum relativis harus menunjukkan bahwa manusia yang berada dalam keadaan yang sama dapat memiliki moralitas yang berbeda. Ini bisa dianalogikan seperti misalnya kesehatan. Manusia dalam keadaan yang berbeda mungkin membutuhkan bentuk perawatan yang berbeda atau jenis makanan maupun vitamin yang berbeda. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa manusia secara biologis dan fisik hampir sama dan dalam keadaan yang sama mereka membutuhkan gizi dan perawatan kesehatan yang sama. Oleh karena itu, perbedaan dalam bentuknya tidak berarti bahwa kesehatan bukanlah tujuan, atau tidak ada prinsip umum menyangkut kesehatan.
Dengan demikian, objektivitas moral atau penolakan terhadap relativisme moral tidak memutlakkan bahwa semua orang harus berbuat sama. Orang yang berbeda dengan sifat yang sama secara moral bisa diharapkan untuk berbuat secara berbeda. Yang diduga akan dilakukan oleh seorang anak kecil berbeda dari apa yang harus dilakukan oleh orang dewasa. Hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang ibu jelas berbeda dari hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang anak, saudara, atau istri. Orang yang sama, dengan peran yang sama secara moral, bahkan mungkin saja harus melakukan sesuatu yang bertentangan pada waktu atau tempat yang berbeda. Misalnya, Ibu M yang harus menyusui anaknya yang masih bayi, tetapi dia tidak boleh berbuat serupa ketika anak-anaknya itu sudah dewasa. Oleh karena itu, berasumsi bahwa orang yang berbeda mempunyai sifat yang berbeda atau kewajiban maupun tanggungjawab yang berbeda tidak membuktikan relativisme.

Karakteristik Cita-cita Moral yang Benar
Dengan menggunakan pemikiran yang telah dikembangkan sebelumnya, Shomali mencoba menyusun argumennya tentang absolutisme. Argumennya berangkat dari kenyataan bahwa setiap manusia pasti memiliki cita-cita. Dalam prakteknya, manusia menganut berbagai bentuk cita-cita. Cita-cita ini dibentuk oleh berbagai faktor, semisal agama, budaya, pendidikan, profesi, dan lingkungan keluarga. Cita-cita yang dianut melalui cara ini mungkin saja berbeda dan memang bertentangan satu sama lain. Tetapi memiliki fungsi yang sama, yakni menentukan nilai seseorang dan menciptakan bentuk kehidupannya. Setiap orang yang berakal harus selalu memikirkan cita-citanya dan melihat apakah cita-cita itu layak dianut sebagai cita-cita atau tidak. Maka di sini, kita harus membedakan antara apa yang Shomali sebut sebagai cita-cita moral yang sejati dan apa yang secara kebetulan (relatif) dianut sebagai sebuah cita-cita moral.
Shomali menyusun enam karakteristik cita-cita moral yang sejati. Pertama, cita-cita moral yang sejati pastilah selaras dengan sifat manusia. Kedua, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dipahami oleh akal kita, sehingga kita bisa mengikutinya. Ketiga, cita-cita moral itu memenuhi syarat rasional, yakni bebas, tercerahkan dan netral. Keempat, cita-cita moral yang sejati pastilah didukung oleh hasrat sejati kita. Jika tidak demikian, ia tidak dapat menggerakkan kita untuk bertindak menurut apa yang kita anggap baik bagi kita. Kelima, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dicapai dan bersifat praktis. Jika tidak demikian, ia hanyalah mimpi saja dan bukan pedoman hidup. Keenam, cita-cita moral yang sejati mampu mencakup nilai dan ukuran moral yang lain dan menempatkannya dengan tepat dalam tingkatan nilainya, sehingga dapat menjelaskan tujuan atau nilai yang dituju atas suatu perbuatan.
Menurut Shomali, cita-cita memiliki kedudukan penting dan krusial dalam sistem nilai manusia. Terlepas apa atau bagaimana seharusnya cita-cita moral itu, dan terlepas apakah “baik” dapat didefinisikan atau tidak, bagi setiap orang, cita-cita moral merupakan kebaikan tertinggi. Jika misalnya kita menanyakan setiap orang tentang alasan tindakannya, lambat laun dia akhirnya mencapai titik di mana dia tidak dapat bertolak lebih jauh lagi. Titik inilah yang kita anggap sebagai cita-citanya atau tujuan tertingginya. Sedangkan tujuan-tujuan lain hanyalah suatu rangkaian tujuan yang muaranya adalah cita-cita tertinggi itu. Kedekatan atau kejauhan tujuan-tujuan lain tadi dengan tujuan tertinggi akan menentukan kedudukan setiap tujuan atau nilai dalam sistem moral tersebut. Dengan mempertimbangkan hierarki nilai itu, pelaku tindakan dapat memutuskan apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan konflik praktis antara beberapa nilai. Orang harus membedakan antara yang baik dan yang lebih baik atau antara yang buruk dan yang lebih buruk. Shomali menambahkan bahwa argumen relativisme moral sebenarnya berangkat dari perselisihan membedakan manakah hierarki nilai yang benar.

Tali Simpul: Menyoal Korupsi
Pada bagian terakhir Shomali mengembangkan teori tentang dasar-dasar moralitas. Dia mencoba menyelami hakikat moralitas, cita-cita moral dan sifat-sifatnya, berbagai faktor yang terdapat dalam proses itu dan hasil dari pengambilan keputusan. Menurut Shomali, setiap sistem moral didasarkan atas cita-cita moral. Pada mulanya cita-cita moral menentukan nilai seseorang dan kemudian menata nilai-nilai itu. Bagi setiap orang, cita-cita moralnya merupakan kebaikan tertinggi atau tujuan akhir. Cita-cita moral kita pada gilirannya ditentukan oleh cinta kita kepada diri sendiri, dan dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk hidup bahagia. Status moral setiap perbuatan bergantung pada hubungan antara perbuatan itu dan cita-citanya. Sebuah perbuatan adalah baik jika ia dapat mengantar kita pada cita-cita kita. Cinta kita kepada diri sendiri juga membentuk serangkaian hasrat yang mungkin memberi kita motivasi yang memadai untuk melaksanakan apa yang diajarkan penalaran praktis kepada kita. Hal itu menjadi sarana yang baik demi mencapai cita-cita, tujuan dan maksud kita. Apapun yang dituntut oleh hasrat sejati kita (hasrat yang nyata dan tidak dapat direduksi) menjadi nilai alamiah bagi kita. Fakta ini sangat erat kaitannya dengan fakta lain, bahwa “baik” dan “buruk” tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan serta ditemukan oleh akal manusia dengan cara mencermati hakikat, bakat, potensi, dan kesempurnaan manusia.
Selanjutnya Shomali mengatakan bahwa satu-satunya usaha yang masuk akal bagi kaum relativis atau penganut toleransi permisif adalah menunjukkan bagaimana setiap individu atau masyarakat dapat menganut cita-cita yang sejajar dan rasional. Namun, agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, mereka harus membuktikan adanya bermacam-macam sifat manusia, sebab menurut Shomali ada hubungan yang nyata antara cita-cita dan sifat manusia. Masyarakat atau individu, dengan bermacam sistem moral harus dianggap bagian dari spesies manusia yang berbeda, bukan bagian dari apa yang biasanya kita pahami sebagai sifat manusia yang sama. Dengan menyebutkan implikasi yang tidak masuk akal dari asumsi ini, Shomali berpendapat bahwa sikap menerima perbedaan sifat manusia tidak malah berarti mendukung toleransi permisif. Sebab manusia terikat pada sifatnya. Orang yang sama tidak dapat menganut moralitas yang berbeda, sedangkan kaum toleran permisif harus membuktikan bahwa orang yang sama dalam keadaan yang sama benar-benar dapat memiliki moralitas yang berbeda.
Dengan demikian, apa yang digagas oleh Shomali mengenai dasar-dasar moralitas memberikan jawaban yang memadai mengenai aspek penting yang dapat mengubah seseorang melakukan tindakan moral universal. Wacana-wacana kontemporer seperti multikulturalisme, HAM, korupsi, aborsi ataupun etika lingkungan di Indonesia dapat berpijak dari teori ini.
Baiklah bila di akhir tulisan ini, kita memakai gagasan Shomali sebagai pisau cukur dalam menjawab persoalan tentang korupsi. Setidaknya ada tiga permasalahan di balik korupsi. Pertama, budaya korupsi mewabah karena adanya prinsip tahu sama tahu di antara orang-orang di dalam birokrasi apapun di negeri kita ini. Ada semacam konvensionalisme moral implisit, toh sama-sama melakukan korupsi, jadi tidak perlu dilaporkan apalagi dibicarakan —sambil diam-diam memasukkan uang ke dalam kantongnya. Makanya, para koruptor tidak merasa bersalah dengan tindakannya karena mereka memiliki alibi bahwa ada banyak orang yang melakukan hal yang sama. Dengan demikian kalau ada banyak orang melakukannya, kejahatan tersebut adalah sesuatu hal yang biasa. Akibatnya, kebiasaan itu menciptakan hak. Dan kalau satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab. Kalau “semua bertanggungjawab” bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggungjawab? Ini berarti di antara mereka sendiri tidak mungkin saling menyalahkan. Di sini timbullah semacam kreasi sosial, yang secara tidak sengaja dirancang untuk mengatasi pertentangan antarpribadi. Lebih baik membiarkan saja –toleran dan bertindak permisif— daripada ikut terjerat dalam hukum.
Kedua, tiadanya sanksi hukum membuat orang berani melakukan korupsi karena yakin tidak ketahuan atau didiamkan saja. Ketiga, korupsi itu berwajah banyak atau anonim, sebab yang dirugikan tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan penyelewengan uang negara atau rakyat. Siapa yang dirugikan tidak langsung terlihat, berbeda dengan penodongan atau perampokan.
Dari ketiga permasalahan itu, tampak jelas bahwa orang lebih baik bertindak permisif dan toleran daripada memulai untuk mengungkapkan korupsi atau menjadi seorang whistle blower, apalagi bila keberanian untuk jujur itu menjadi ‘senjata makan tuan’, seperti yang dialami oleh Khairiansyah sendiri. Keberanian itu taruhannya memang mahal. Tetapi bila sikap permisif lebih dibudayakan, tidakkah itu berarti kita bukan manusia atau melawan kodrat kemanusiaan kita —seperti apa yang dikatakan Shomali! Jadi, sekalipun keberanian itu mahal harganya, itu tidaklah melawan nilai alamiah (kodrat) yang kita miliki, malahan justru sejajar dengannya.
Selain itu, manusia dengan sifatnya pastilah memiliki cita-cita. Cita-cita yang merusak—lewat praktek korupsi—bukanlah cita-cita yang sejati. Itu hanyalah cita-cita yang secara kebetulan dianut, demi hasrat fisik kita semata. Oleh karena itu, tidak ada cara lain dalam menghancurkan budaya korupsi kecuali dengan cara melawan budaya permisif. Sebab, melawan budaya permisif terhadap korupsi sama halnya dengan mengedepankan salah satu nilai dalam cita-cita kemanusiaan kita, yakni nilai kejujuran. Sebagai kata akhir, peganglah diktum ini, “Hentikan budaya permisif!”***

-salah satu artikel dlm Buku "Korupsi Kemanusiaan" (Andang Listya ed.)
Read More...

Minggu, September 21, 2008

"Mampir Ngombe"

Hidup ini hanyalah mampir ngombe. Semuanya terjadi begitu saja, sekadar untuk mengambil minum melepas lelah. Bagiku sama saja, hidup adalah kesempatan untuk mengambil saripati-saripati dari setiap pengalaman yang dijumpai. Mampir ngombe berarti memaknai setiap langkah yang pernah dipijak.
***
Tepatnya empat tahun yang lalu. Dalam sebuah perjalanan ke kota Surabaya aku dan seorang temanku kehabisan uang di tengah perjalanan. Baru kali ini aku pergi jauh, bahkan keluar kota. Alasan pergi ke Surabaya pun hanya ikut temanku. “Daripada be-te mendingan kita liburan ke surabaya tempat kakekku”, katanya.

Kami memutuskan untuk naik kereta. Tetapi kami tidak langsung ke Surabaya, aku tergiur ajakan temanku untuk mampir dulu di Semarang. Di situ kita jalan-jalan dulu di Simpang Lima dan lihat-lihat kota Semarang. Tentu saja aku senang dan mau saja mengikuti permintaannya, karena memang keluargaku tidak pernah mengajakku keluar kota. Aku berasal dari keluarga sederhana, sejak lahir aku tinggal di Jakarta.
Sesudah seharian jalan-jalan, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini kami meneruskan dengan naik bis. Kami sudah menghitung-hitung biaya yang akan dikeluarkan. Ternyata uangnya hanya cukup untuk naik bis, dan jatah makan malam tidak ada sama sekali. Kami berharap agar kami bisa segera sampai Surabaya.
Di tengah perjalanan, sesuatu yang tidak kami harapkan terjadi. Bis yang kami kendarai mogok. Setelah diperiksa ternyata bis ini tidak bisa melanjutkan lagi perjalanan, karena mesti bongkar mesin. Padahal waktu itu tengah malam, dan berada agak di tengah hutan. Beberapa di antara penumpang memutuskan untuk tinggal di bis, menanti pagi dan melanjutkan perjalanan dengan bis lain yang lewat.
Tetapi kami berpikir lain. Kami mencoba tetap mencari bis lain malam itu. Kondektur mengembalikan sebagian uang transport, dan sambil menunggu bis yang lewat, kami berjalan kaki perlahan-lahan. Sesekali melewati kampung kecil. Baru menjelang pagi, kami memasuki sebuah desa yang cukup besar. Karena hampir sehari kami tidak makan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung. Kami tidak menyangka bahwa sisa uang setelah sarapan itu tinggal dua ribu saja. Kami bingung, dan dalam kebingungan itu kami memutuskan untuk jalan saja. Temanku mengatakan bahwa kota Surabaya sudah dekat. Mungkin sekitar 4 jam jalan kaki.
Setelah 4 jam lewat ternyata kami belum juga sampai kota Surabaya. Aku sudah merasa kecapaian begitupun temanku. Kami mencoba terus melanjutkan perjalanan dengan keyakinan bahwa tidak berapa lama lagi kami akan sampai.
Hari semakin sore, badanku sudah terasa lemah, begitupun temanku. Selama perjalanan tadi kami hanya melewati kota-kota kecil. Sempat kami bertanya ke seorang bapak mengenai seberapa jauh lagi kota Surabaya. Bapak itu mengatakan, “Tidak lama lagi, nak!”
Menurutku bapak itu menjawabnya kalau perhitungan itu dengan naik kendaraan. Sementara itu, aku benar-benar tidak kuat lagi untuk berjalan. Aku memohon pada temanku untuk berhenti sejenak melepas lelah. Bagiku ini kesempatan untuk mengumpulkan tenaga lagi. Ketika aku istirahat, mataku berkunang-kunang, terasa kecapaian. Beberapa menit kemudian, aku tidak tahan lagi untuk muntah. Temanku terkejut, dia berusaha menolong. Dia mau membelikan obat, tetapi itu tidak mungkin, karena sebelum minum obat, mestinya makan dulu, sedangkan uang tinggal dua ribu perak saja.
Dari seberang jalan, ada seorang ibu yang dari tadi memperhatikan kami. Dengan rasa ibanya, dia mendekati kami dan bertanya kepada kami. Ibu ini kelihatan sederhana sekali. Dia mau menolong kami, tetapi sepertinya tidak mungkin karena dia tampak tidak punya apa-apa. Dia berpikir sejenak dan memutuskan mengantar kami ke rumah terdekat untuk sekadar memberikan tempat yang agak layak buat istirahat kami. Sampai di rumah itu, kami diberi teh hangat. Tetapi bapak pemilik rumah itu merasa curiga dengan kami. Walaupun temanku sudah menjelaskan semua pengalaman kami seharian ini, dia tidak mengizinkan kami istirahat di situ. Bapak itu meminta ibu sederhana itu untuk mengantar kami ke ketua RT saja. Sesampai di rumah pak RT, dia berpikiran yang sama, dia lebih curiga, dan meminta kami untuk tinggal di balai desa saja. Ibu yang mengantarkan kami tadi membawa kami ke balai desa, dan setelah itu mohon pamit, karena rumahnya berada di desa tetangga. Dia sebenarnya adalah seorang buruh tani di sawah milih penduduk desa ini.
Sambil duduk beristirahat, kami mencoba berpikir apa yang bisa kami lakukan selanjutnya. Badanku sudah lemas sekali. Hari sudah mulai malam. Azan Mahgrib sudah berkumandang. Sekitar jam setengah 8 malam, seorang bapak mendekati kami. Dia bersorban putih dan memakai kopiah putih. Kami tahu bahwa bapak ini baru pulang dari Mushalla di seberang balai desa ini. Dia bertanya pada kami, mengapa kami bisa terdampar di tempat ini. Dengan rasa agak kesal kami mencoba menjawab pertanyaan bapak ini, karena kami yakin dia juga akan curiga dengan kami, dan setelahnya akan meninggalkan kami.
Tetapi, kenyataannya terjadi sebaliknya. Dia memutuskan untuk membawa kami ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, kami disambut dengan baik oleh keluarganya. Kami disajikan makanan. Setelah itu ibunya membawakan obatan ala kadarnya buatku, biar aku cepat sembuh.
Bapak itu menanyakan banyak hal tentang kami, dari mana kami, sudah kelas berapa, bahkan apa agama kami. Dalam suatu kesempatan bapak itu menceritakan mengapa penduduk di sini begitu curiga dengan orang asing. Kampung ini sudah beberapa kali kecurian. Kali lalu ada yang kecurian ayam. Sebulan yang lalu ada yang sapinya hilang. Seminggu lalu ada yang kehilangan motor. Modusnya hampir sama, mereka menumpang menginap di rumah seorang penduduk.
Tiga bulan yang lalu, ada seorang pencuri tertangkap dan pencuri itu mati dibakar massa. Kejadian ini membuat trauma masyarakat, karena beberapa orang yang terlibat pembakaran ditahan oleh polisi. Waktu itu bapak ini sempat melarang massa untuk menghakimi sendiri pencuri itu. Tetapi perjuangannya sia-sia, dan kejadian itu terlanjur terjadi. Maka dari itu, sekarang penduduk curiga dengan orang asing. Lebih baik menolak daripada mendapatkan sial.
Sehabis cerita, bapak ini mempersilahkan kami istirahat. Malam itu, dia masih melanjutkan mengajar anaknya untuk membaca Al-Quran. Bapak ini ternyata seorang ustad. Sejak awal pertemuan kami, aku merasa takut sekali untuk berbicara dengannya, karena pakaian ibadatnya yang memberikan kesan negatif padaku.
Selama tinggal di Jakarta, aku antipati dengan orang Islam. Alasan yang utama karena kebanyakan anak tetanggaku mengejek aku karena aku anak Katolik. Aku juga trauma dengan membaca beberapa berita di mana di Ambon ada perang atas nama agama, lalu di beberapa tempat ada gereja dibakar, bahkan gerejakupun sekarang tidak mendapatkan izin pembangunan. Maka dari itu aku menutup diri dari mereka.
Tetapi yang kualami sekarang ini berbeda sama sekali. Seorang Ustad, yang notabene taat beribadah dan menjalankan ajaran Islam dengan baik, memperlakukan aku yang Katolik ini dengan cara berbeda, tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Hatiku terharu. Bahkan malam itu, mereka sekeluarga tidur di ruang tamu, menemani kami. Tampaknya mereka tak layak tidur di kamar mereka sendiri, yang lebih nyaman. Mereka mengagungkan tamunya, yang jelas-jelas ‘orang lain’ bagi mereka.
Keesokan harinya setelah sarapan, kami diikutkan pada truk tetangganya yang memang hendak pergi ke Surabaya mengambil barang dagangan. Aku bersyukur sekali atas pengalaman ini. Lewat pengalaman ini sikapku terhadap orang Islam berubah. Damai tidak diciptakan dari menutup diri. Ustad ini mengajarkanku untuk mau menerima siapa saja, tanpa memandang dari agama mana atau dari suku mana. Damai justru hadir lewat terbuka bagi siapapun. Urip mung mampir ngombe. Setelah 4 tahun itu berlalu, sekarang aku justru mempunyai banyak teman dari kalangaan Islam. Kami seringkali berdialog.

Bluntas, Januari 2006
Read More...

Rabu, September 17, 2008

Bangunlah dan Berjalanlah

Derita dan kesusahan manusia tiada pernah habis-habisnya. Setiap hari, entah lewat media massa maupun media elektronik, kita dengar dan lihat cuplikan peristiwa kecelakaan, bencana alam, peperangan, kerusuhan, penggusuran, dsb. Sontak —seringkali— berita itu membuat kita miris kasihan, tergerak hati untuk membantu. Tapi, biasanya rasa kasihan itu hanya bertahan beberapa menit saja. Obyek perhatian beralih pada berita yang lain. Dan berita kesusahan tadi hilang, seperti dibawa angin.
Mengapa ini bisa terjadi?

Ada banyak alasan yang membuatnya demikian. Alasan pertama karena orang itu belum pernah merasakannya sendiri dan tidak bersentuhan langsung dengan kejadian itu (jauh dari tempat kejadian). Alasan kedua, tuduhan bahwa bencana itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri, misalnya tidak memelihara lingkungan dengan baik. Atau alasan ketiga, dukungan bagi musuh korban, misalnya memuji penggusuran karena itu berarti menertibkan lingkungan kota dari sesuatu hal yang mengurangi keindahan.
Cuplikan tentang kehidupan sehari-hari di atas dan reaksi di sekitar peristiwa itu memberikan gambaran singkat tentang sebuah paradigma moralitas yang lemah. Menurut Irish Murdoch “the enemy is the fat relentless ego.” Musuh kita adalah ego kita. Kekuatan ego membuat seseorang tertahan pada dirinya sendiri dan karena itu, tindakan yang semestinya dilakukan sama sekali tidak tersentuh.
Ego itu menunjuk pada kehendak otonom manusia. Tetapi kehendak otonom ini berhenti pada tuduhan saja dan tidak menyentuh pada realitas yang sebenarnya. Padahal kehendak otonom manusia itu selalu terarah pada ‘yang baik’. Setiap peristiwa, tidak hanya terbatas pada peristiwa kesusahan dan penderitaan, memiliki suatu daya tarik ‘yang baik’. Namun, daya tarik ini hanya bisa kita rasakan bila kita bangun (keluar dari diri kita) dan berjalan (melihat dengan mata kita) melihat realitas di sekitar kita, menolong atau memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan kita. Oleh karena itu, “Bangunlah dan Berjalanlah!” (Luk 5:23), lakukanlah hal-hal ‘yang baik’ untuk kita lakukan.

-published by Majalah Utusan, April 2006
Read More...

Senin, September 15, 2008

Dunia yang Keras: Inilah Duniaku


Kali ini mataku dibuka lebih lebar lagi. Serikat mengutusku untuk semakin mengenal duniaku (mengalami dan melatih diri). Probasi ini telah berkata lain dibandingkan 2 probasi luar yang terdahulu. Dunia memang terus berjalan bahkan berlari dan berpacu, tetapi aku tidak melihatnya dari sisi keindahan, ketenangan, kenyamannya, seperti yang kualami sebelumnya. Sekalipun Perigrinasi telah menunjukkan dari sisi lain, namun baru saat ini aku merasakan pengenalan yang lengkap akan duniaku. Aku tidak berani menyatakan bahwa aku sudah ahli tentang dunia ini, lebih daripada aku berani menyatakan bahwa inilah duniaku (di mana aku hidup di dalamnya), inilah realita di hadapanku.

Aku diutus ke tengah-tengah serigala, di antara kehidupan keras para buruh bangunan. Aku tidak ingin terilusi oleh istilah “Ibu Tiri tidak sekejam Ibukota”, tapi aku ingin sungguh mengalami bagian dunia lain yang dipandang dari sisi ketidakamanannya.
Selepas dari Kanisius, dengan bekal kehendak kuat, bersama teman perutusanku, kupanggul tas besar di pundakku. Aku tahu bahwa di terminal Senen banyak copetnya, tapi mau bagaimana? Ini duniaku dan aku mesti melewatinya agar aku sampai tujuanku.
Kutatap wajah anak kecil, yang mencoba bernyanyi dengan suara parau dan hanya mengandalkan bebunyian dari kumpulan tutup botol. Kasihan sekali! Aku hanya diam, tak memberikan uang sepeserpun, kecuali berpikir bahwa mereka sebenarnya hanya diperalat oleh sekelompok orang. Dan, aku merinding melihat eks-napi mabuk naik ke bis yang hanya untuk menodong (dengan cara halus). Aku tak bisa berlagak seperti Superboy, yang menyelamatkan orang-orang dan meninju mereka keluar bis, kecuali aku semakin yakin bahwa inilah duniaku.
Turun dari bis, di kanan-kiri jalan, masih ada banyak genangan air, sisa dari banjir kemarin. Bermaksud ingin menyeberangi sungai, ternyata jembatannya terendam. Setelah berputar cukup jauh, mencari jembatan yang lebih tinggi, masih juga harus menggulung celana ke atas, agar bisa melewatinya dan melintasi jalan-jalan di perumahan Kelapa Gading yang juga masih terendam air. Di mana-mana air, lalu semua ini salah siapa? Tuhan tidak bisa disalahkan, pun bukan karena kemurkaan Tuhan. Ini salahku dan salah semua sesamaku manusia, tapi ini tetap duniaku.
Alamat yang diberikan tidak begitu jelas. Nomer telepon yang bisa dihubungipun tidak nyambung-nyambung. Mulai putus asa, hari sudah sore, perut lapar, tas terasa semakin berat, tapi tujuan juga belum ketemu. Inginnya kembali ke menara gading (Kolese Kanisius). Kalau begitu, masakan, Yesus harus kembali ke surga (kontemplasi penjelmaan). Tidak, pokoknya jalan terus, percuma sudah perigrinasi.
Sekitar jam 5 sore, temanku kembali dari pencarian (secara bergantian -- untuk menghemat tenaga), akhirnya tempat tujuan ketemu. Proyek bangunan yang dimaksud, untuk sementara waktu ditinggal oleh tukang-tukangnya, karena banjir. Kami disambut oleh seorang bapak, yang ditugaskan sebagai penjaga kantor dan gudang proyek. Dia mempercayai kami, ketika kami menunjukkan nomer telepon Pimpro dengan benar. Dia adalah orang pertama yang menerima dan mempersilahkan kami istirahat di bedeng. Bahkan, malam itu juga, dia banyak cerita tentang dirinya, terlebih kelemahannya kalau menghadapi cewek (padahal itu privasinya). Bagaikan sang gembala yang memberikan tumpangan dan memberikan kehangatan bersama ternaknya di kandang Betlehem.
Beberapa anak masuk pula ke bedeng. Pakaiannya tidak karuan. Ada yang rambutnya gondrong dan berwarna merah (pirang). Nah, pasti ini anak-anak proyek! Sepintas perawakan mereka menakutkan, namun setelah berkenalan, ketahuanlah bahwa lingkungan kerja yang membuat mereka menjadi demikian.
Kedatangan kami sebenarnya kelihatan aneh. Kami dianggap orang KKN, ada juga yang menganggap teknisi lapangan kiriman pak Budi (Semarang). Melihat tas-tas besar yang kami bawa dan tampang bersih, mereka tak mudah percaya bahwa kami sungguh-sungguh mencari pekerjaan. Tanpa wasiat dari pak Budi, melamar pekerjaan di proyek ini pasti susah, karena beberapa bulan sebelumnya terjadi kasus pencurian yang melibatkan tukang-tukang yang baru saja kerja beberapa hari di tempat ini.
Aku ditempatkan menjadi kuli, membantu tukang batu. Aku mencoba mengingat-ingat pengalaman membangun kapel La Storta. Kalau tidak bisa, aku melihat cara kerja anak-anak proyek. Teman-teman kerjaku sangat beragam: tukang batu—keramik--kayu (mayoritas) berasal dari Purwodadi, tukang cat dari Cilacap, tukang listrik (dan pipa) dari Tegal, dan tukang lapangan Tenis dari Tulungagung. Masih ada beberapa yang lain (yang ditinjau dari tempat asalnya), yang dalam kategori minoritas: dari Lampung, Banten, dan Sunda.
Pada umumnya, latar belakang mereka adalah masyarakat desa. Selepas lulus SD, mereka memberanikan diri untuk merantau. Tampaknya bagi mereka, merantau adalah sesuatu yang menarik, menantang dan memberikan masa depan, ketimbang menjadi petani.
Umumnya, bekerja di proyek, terlebih dahulu harus menjadi kuli. Sehingga tidak mengherankan bahwa teman-teman kuliku adalah anak-anak yang baru lulus SD. Di antara kuli-kuli aku termasuk di-tua-kan: badanku besar, lulusan SMU, dan umurnya sudah tua. Aku cukup akrab dengan mereka. Ketika kami pindah, dari bedeng ke sebuah kamar kosong di proyek Mess itu, hampir setiap akan dan sesudah kerja, ada saja yang masuk dan mengajak ngobrol -- selalu ramai.
Berbeda dengan para tukang, interaksi mudah terjadi saat bekerja. Ada tukang yang enak diajak bicara, tapi ada juga yang ingin terus menunjukkan kesuperioritasannya. Bahkan aku pernah melihat seorang tukang hampir berkelahi dengan kulinya.
Sebenarnya, hubungan orang per orang, entah antara kuli dengan tukang, atau buruh dengan staf proyek (mandor) lebih melulu bisnis, kasarnya, demi kepentingan Gue. “Aku punya uang, kamu punya tenaga.” Di proyek, jarang ada yang namanya kekeluargaan (budaya yang ditawarkan pada kehidupan pertama mereka -- di desa). Wajar saja, kalau semuanyapun serba seadanya. Jaminan kesehatan hanya sebotol betadine. Kalau tidak dilihat staf proyek, kerjanya asal-asalan (Asal Bapak Senang), tanggungjawab kurang. Kalaupun ada yang berlaku sebaliknya, mungkin hanya segelintir orang. Yang jelas cara bertindak seperti itu populer di mana-mana, entah di proyek ini atau di proyek lain. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Selalu saja mereka mengeluhkan soal bayaran. Tapi, sebenarnya bukan itu.
Inilah kenyataannya. Dunia memang keras. Dunia telah menciptakan lingkungan keras bagi mereka. Bahkan itu mengkondisikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang single fighter. Solidaritas yang ada hanya semu, sebatas teman judi (main kartu dan toto gelap) atau mabuk, bahkan teman ke pelacuran.
Tidak jauh berbeda dengan masyarakat di sekitar proyek. Di sana ada 2 komunitas besar. Perumahan Kelapa Gading terkenal dengan perumahan elite (menengah ke atas). Ini memang diperuntukkan bagi warga TNI-AL. Begitu besarnya perhatian pemerintah kepada pengaman negara. Sekecil-kecilnya pangkat mereka, kehidupannya tetap terjamin. Hanya saja, cara kerja mereka tergantung dari peluit, yang kadang-kadang melampaui suara hati. Di batas perumahan ini, terhampar rumah-rumah kecil yang memanfaatkan lahan di pinggiran Kali Sunter. Kontras sekali, sebab yang satu ini kehidupannya menengah ke bawah.Dari ketiga komunitas yang kujumpai ini, sebenarnya, inti persoalannya sama: Bagaimana bisa hidup merdeka sebagai manusia dan survive di dalamnya? Hanya saja bentuk dan cara yang dilakukan beraneka ragam. Ada yang menindas, ada yang manutan (ABS). Ada yang kerja keras, ada yang duduk santai. Ada yang besar, ada yang kecil. Dan seterusnya.
Read More...