Senin, November 24, 2008

Perjumpaan, What’s wrong with You?

Banyak hal dalam hidup kita yang seringkali terlewati begitu saja tanpa ada artinya. Seolah-olah pernak-pernik kehidupan itu adalah sesuatu yang tak perlu diperdebatkan, sesuatu yang biarlah terjadi begitu saja. Tak terkecuali pengalaman perjumpaan. Tiap hari kita berjumpa pak polisi di perempatan lampu merah. Tiap hari kita berjumpa dengan pedagang kaki lima. Tiap hari kita bertemu tema-teman kita, dan payahnya hanya yang itu-itu saja. Tiap hari kita ketemu saudara kita. Membosankan.
Tetapi cobalah sekali waktu perhatikan salah satu perjumpaan kita dengan orang lain. Tanpa disadari, setiap perjumpaan, meskipun tidak sengaja atau kebetulan, ternyata perjumpaan itu punya arti tersendiri.
Suatu kali aku mengalami perjumpaan dengan serombongan tukang pembuat lapangan tenis. Aku tidak bisa membayangkan betapa tidak enaknya bekerja di hamparan lapangan terbuka, apalagi kalau cuaca begitu ekstrim, entah hujan atau panas yang begitu terik.

Kebetulan dalam perjumpaan itu aku juga sedang bekerja di lapangan, tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Ketika matahari semakin memuncak dan begitu angkuhnya berdiri di atas kepala, tanpa sedikitpun terhalang oleh seberkas awan, serta merta aku langsung mengeluh. Mengeluh karena apa? Mengeluh karena panasnya itu lho… Dengan mudahnya aku berhenti sejenak dari pekerjaanku. Aku mencoba mencari tempat yang enak, yang lebih teduh, yang menghindarkan diriku dari kepanasan alias biar tidak hitam. Wong sudah hitam, mosok harus lebih hitam lagi.
Sewaktu aku berteduh, kebetulan lagi bahwa tempatku berteduh itu tidak jauh dari tempat di mana tukang-tukang pembuat lapangan tenis tadi bekerja. Sejurus kemudian, terjadilah percakapan sederhana antara kami. Aku sempat berkomentar, “Wuih... panasnya siang ini!” Mendengar komentarku itu, tak kusangka muncul jawaban dari salah seorang tukang itu. “Mas, panasnya dunia tuh banyak yang menanggung. Tapi, panasnya neraka tanggung dhewe!”
Aku agak terkejut juga dengan tanggapan itu. Padahal aku Cuma komentar ringan, tapi dia menimpali dengan cukup serius. Walau bagaimana, tanggapannya itu ada benarnya juga. Panasnya dunia yang nanggung seluruh dunia, setidaknya ya sebagian tempat tertentu. Dan benar juga, kalau masuk neraka, panasnya ya tanggung sendiri. Meskipun mungkin banyak jiwa juga di neraka, tapi siapa yang mau menolong. Sedangkan di dunia, masih ada orang lain yang punya hati untuk menolong kita bebas dari panasnya dunia. Karena itulah, kalau aku sedang bekerja di luar ruangan, seringkali aku teringat dengan kata-kata itu.
Nah, itu pengalaman kecil. Ada banyak pengalaman yang lain. Kadang-kadang perjumpaan itu sungguh membawa arti tersendiri. Meskipun tidak jarang pula, kita mudah begitu saja menghiraukannya, ternyata perjumpaan itu membawa makna terdalam.***
Read More...

Kamis, November 13, 2008

Kereta Menuju Surga

Anda pernah naik kereta api?
Sebagian besar di antara kita tentu pernah naik kereta api, transportasi yang relatif aman dan harga tiketnya juga cukup terjangkau. Seumur hidup, saya sudah berulang kali naik kereta. Mungkin hampir mendekati angka 50 kali. Alasan utama saya memilih moda sarana ini adalah soal kenyamanannya. Kereta khan jalannya rata, tidak akan melewati jalan yang berlubang. Jadi, kalo mau tidur selama di perjalanan jelas tidak akan terganggu.

Waktu kecil, saya pernah punya cita-cita ingin jadi masinis kereta api. Bagi saya, masinis itu begitu heroik. Mereka bisa menjalankan kendaraan berat, dan bekerja mengikuti disiplin perkeretaapian dengan ketat, sebab kalau tidak demikian, mungkin akan ada banyak kecelakaan terjadi.

Di rumah pun, ada mainan kereta-keretaan yang dibelikan orangtua. Waktu senggang biasanya saya pakai untuk bermain. Menarik! Tantangannya: bagaimana harus melangsir kereta, bagaimana menarik gerbong-gerbong dengan perkasanya, dsb?
Sekarang, kalau ditanya teman-teman soal keretaapi, jelas saya merasa cukup menguasainya, dari kereta penumpang ekonomi sampai eksekutif serta kereta barang dan sejenisnya. Pernah, 6 tahun lalu persisnya, saya mencoba naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Malang, Jawa Timur. Bagi orang tertentu, itu pilihan yang jelek. Siapa yang mau duduk di kereta kelas ‘kambing’ selama 30 jam? Tapi bagi saya, justru di situlah kenikmatannya naik kereta. Meski 30 jam di kereta, jelas beda dibandingkan naik bis yang ruang geraknya kecil sekali. Di kereta, meski dapat jatah duduk 1 kursi, tidak menutup kemungkinan untuk mengisi waktu senggang dengan jalan-jalan. Mungkin, Anda jarang melakukannya. Cobalah sekali waktu naik kereta, berjalanlah menyusuri lorong-lorong kereta. Ada sesuatu yang menarik. Anda berjalan di atas kereta yang jalan.
Bagi saya naik kereta itu juga memberikan cerminan yang lain. Pernahkah Anda berusaha melihat rel kereta yang Anda lalui? Hal ini mungkin sulit. Kemungkinannya Anda mesti berdiri di depan lokomotif atau sebaliknya di gerbong paling belakang. Tapi, umumnya orang tinggal duduk dan hanya bisa merasakan kalau kereta berjalan di atas rel.
Nah, itulah perjalanan menuju surga. Dalam hidup kita, banyak pengalaman yang seringkali terjadi di luar bayangan kita. Kita punya rencana sendiri, tapi tanpa disadari ada tangan-tangan lain yang ikut membantu kita. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
Suatu hari, saya melakukan perjalanan jauh, ziarah semacam itu, tanpa perbekalan yang cukup. Setelah melihat bekal minum sudah habis, saya berkehendak untuk mampir di rumah orang, minta minum. Tapi, apa yang saya dapat? Ternyata tuan rumah, yang saya minta itu malah menawarkan makanan juga. Apakah karena mereka kasihan? Mungkin juga demikian. Tapi, dari sisi lain, saya menangkap ini adalah sebuah pertolongan yang tak diduga.
Begitulah perjalanan ke surga. Kita kerapkali merasakan jalan yang seolah-olah ‘smooth’, lancar, karena di balik itu Tuhan bekerja lewat tangan-tangan orang lain dalam membantu hidup kita.

Read More...

Sabtu, November 08, 2008

Minggu I Latihan Rohani

Berangkat dari Asas dan Dasar
Asas dan dasar boleh disebut sebagai state of nature manusia dalam Latihan rohani. Asas dan dasar mengantar retretan mengalami peralihan dari kesadaran pasif menuju kesadaran aktif, beralih dari kesadaran ‘umum’ (bersama) menjadi personal ‘milikku’.
Setelah mencapai keadaan/kesadaran demikian, retretan akan mulai terkejut atas dirinya. Retretan sadar bahwa dirinya dan hidupnya tidak sejalan dengan asas dan dasar. Maka, retretan diantar masuk ke dalam minggu I, minggu di mana dirinya menjadi sadar akan keberdosaannya. Dan dari situ kiranya akan timbul kesadaran konkret bahwa perlu pertobatan.

Meditasi Tiga Daya Jiwa tentang “Sejarah Dosa”
Minggu I Latihan Rohani dimulai dengan meditasi tentang “sejarah dosa” (LR 45-54). Bagi Ignatius, ‘sejarah dosa’ itu tidak boleh hanya direnungkan saja: dibaca, dicerna, dan dipahami (secara budi). Tetapi, retretan harus ikut (aktif-afektif, budi dan hati) mengalami dan ikut merasakan rentetan sejarah dosa tersebut. Mengapa? Karena, pada dasarnya seluruh manusia di dunia ikut terlibat dan ambil bagian dalam sejarah dosa tersebut.
Bagaimana hal itu dialami/dijalankan? Diperlukanlah 3 daya jiwa: ingatan, pikiran, dan kehendak. Lewat 3 daya jiwa inilah, retretan akan secara penuh menyadari bahwa seluruh dirinya sungguh-sungguh terlibat dalam kejatuhan manusia.
Sejarah dosa itu dimulai dari dosa pertama, yakni dosa malaikat (LR 50). “…karena jatuh menjadi sombong mereka berubah dari keadaan berahmat jatuh ke dalam kebencian kepada Allah, kemudian diusir masuk neraka.” Akibat dosa satu saja, malaikat ditempatkan di neraka.

Kemudian berlanjut ke dosa kedua, yakni dosa Adam-Hawa (LR 51). “Mereka berdosa karena melanggar perintah Tuhan.” Akibatnya, mereka diusir dari Firdaus, dan hidup dalam susah payah dan laku-tapa berat. Sampai dosa ketiga, yakni orang yang masuk neraka karena satu dosa berat saja (LR 52). Bahkan, ada juga orang yang masuk neraka karena dosa-dosa yang lebih sedikit daripada yang aku lakukan.
Tidak hanya berhenti sampai dosa yang ketiga saja, masih ada dosa yang lain, yakni dosa kita sendiri. Sejarah dosa itu masih berlanjut! Dengan demikian, ketiga dosa itu menjadi semacam pengantar untuk menyadarkan retretan akan dosa-dosanya.
Ketika kesadaran keberdosaan itu semakin memuncak/memusat (pada diri retretan), retretan kemudian diarahkan pada percakapan dengan Yesus yang tersalib. “Apa yang telah kuperbuat, apa yang sedang kuperbuat, dan apa yang harus kuperbuat bagi Kristus?”
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam percakapan ini. Pertama, percakapan ini menjadi semacam puncak dari kesadaran penuh retretan akan dosa-dosa yang telah dia perbuat dan kesadaran akan keterlibatannya dalam sejarah dosa, hingga muncul sikap ngeri terhadap dosa dan kedosaan tersebut. Kedua, percakapan ini menunjukkan peranan Yesus yang begitu besar, yakni sebagai perantara/jembatan antara aku dan Allah, sekaligus sebagai korban pendamaian (penghapus dosa-dosa yang telah aku buat). Ketiga, dan yang paling pokok, percakapan ini bermuara pada sikap Allah yang maharahim. Aku berbeda dengan nasib malaikat/orang dalam dosa pertama, kedua, dan ketiga. Allah justru menerima diriku!

Meditasi Sejarah Dosaku: Kerahiman Ilahi-Penerimaan oleh Allah
Setelah retretan sadar akan posisi keberdosaannya dalam sejarah dosa manusia, pada tahap selanjutnya, dia diarahkan untuk melihat lebih detil dan jelas lagi dosa-dosa yang pernah dibuat selama hidup (LR 55-61). Ada 3 patokan: meninjau tempat dan rumah di mana pernah tinggal, hubungan/relasi yang pernah dibuat dengan orang lain, dan pekerjaan yang pernah dilakukan.
Tidak jarang meditasi tentang sejarah dosa pribadi ini membawa retretan pada situasi penuh penyesalan yang begitu mendalam bahkan menimbulkan kegelisahan dan keputusasaan. Ignatius menyadari bahwa pada tahap ini, diri retretan seperti ditabrak-tabrakkan. Maka dari itu, Ignatius memberikan Pedoman pembedaan roh minggu I. Kegelisahan dan keputusasaan yang muncul akibat dosa bukan berasal dari Allah, itu hanya godaan semata.
Puncak dari meditasi ini adalah kesadaran akan dosa yang berbanding terbalik dengan kasih dan kerahiman Tuhan. Kerahiman Tuhan adalah pintu untuk memperbaiki hidup yang telah rusak. Oleh karena itu, semakin jelaslah bahwa dalam minggu I, Allah sungguh berperan aktif dan mengambil inisiatif lebih dulu. Kesadaran retretan bahwa dirinya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup, menunjukkan bahwa dia tidak dihakimi oleh Allah. Retretan tidak saja diampuni, tetapi diangkat kembali martabatnya. Tuhan tidak membiarkan manusia terbenam dalam kegelapan (negativitas), tetapi sebaliknya, diterima dalam pangkuan-Nya.
Lalu, sekali lagi lewat ulangan meditasi dan dengan 3 percakapan (dengan Bunda, dengan Putera, dan dengan Bapa), retretan semakin disadarkan bahwa dirinya diselamatkan dari kejatuhan ke dalam dosa yang dalam. Tidak hanya pengampunan tetapi penerimaan kembali.
Begitupun pula dalam meditasi tentang Neraka (LR 65-71). Ignatius ingin menunjukkan bahwa struktur dosa begitu kuat, akar-akarnya begitu dalam, sehingga tidak mudah untuk dicabut. Maka dari itu, retretan juga mesti menyadari keadaan dosa yang berakibat neraka. Dalam meditasi ini, 3 daya jiwa diperluas dengan menggunakan pancaindera guna mengindera tempat dosa yang terkutuk, yakni neraka. Sekali lagi, kesadaran keberdosaan itu bukan semata-mata demi penyesalan tetapi demi kesadaran akan besarnya kerahiman Tuhan sendiri.

Efek Dosa Sosial: Pintu ke Minggu II
Perihal keberdosaan semata-mata bukan hanya terputusnya hubunganku dengan Tuhan, tetapi juga terputusnya hubunganku dengan sesama. Dosa selalu berdampak bagi orang lain. Kita bisa menggunakan sebuah gambaran dari Perjanjian Lama. Bagi orang Israel, orang yang berdosa harus disingkirkan dari komunitas/masyarakat. Orang kusta, orang lumpuh, orang buta adalah orang-orang yang tidak layak hidup bersama di dalam masyarakat umum. Dengan demikian, dosa membawa dampak ke dalam kehidupan sosial.
Coba simak dosa-dosa modern dewasa ini: korupsi, terorisme, ketidakadilan, dsb. Dosa-dosa ini menunjukkan aspek-aspek sosial yang sangat mendasar. Tanggungjawab kita semestinya tidak hanya personal tetapi juga tanggungjawab yang mampu mengubah masyarakat kita. Guttierez mengatakan, “kita dibebaskan untuk membebaskan.” Setelah kita memperoleh rahmat kerahiman dari Allah, semestinya kita merealisasikan cinta Tuhan itu dalam kehidupan sosial bersama. Dosa sosial merupakan masalah kerohanian yang lebih serius.
Kesadaran betapa besarnya kerahiman Tuhan atas diri kita, membuat kita mau ikut ambil bagian dalam perjuangan penyelamatan Allah di dunia yang belum usai. Mulai dari sinilah, retretan siap masuk ke dalam minggu II.***

Read More...

Rabu, November 05, 2008

The Feast of All the Saints and Blessed of the Society of Jesus, Nov 5th 2008

Today, we remember all of our brothers who have become companions of the saints in heaven - those who are also recognized as saints and blessed of the Church. 51 have been declared saints, and 151 blessed.
Today’s feast tells us that holiness is our goal in life. When St. Ignatius chose to describe the purpose of The Jesuit Order he used these words: “The end of the society is to devote itself with God’s grace not only to the salvation and perfection of the members’ own souls, but also with the same grace to labor strenuously in giving aid toward the salvation and perfection of the souls of their fellowmen.”

The Jesuits who achieved heaven prove that holiness is within reach and that St. Ignatius did not ask his men to aspire something impossible. During the months he spent on the banks of the Cardoner in Manresa, St. Ignatius experienced God’s extraordinary graces and came to see how the Spiritual Exercises, which he was writing, could be a valid way of achieving holiness.


Individuals do not become holy on their own; God is the source of all holiness. As we praise our Jesuits in heaven today we likewise praise God for all He has done in and through His saints. If the saints achieved anything during their lifetime, it was God who accomplished it. To be holy one must first be humble.
The humility St. Ignatius asks of his followers is the humility that Christ possessed and which the Saints and Blessed of the Society eminently manifested in their lives.
It is sometimes suggested that the saints are really inimitable; for who of us can imitate the courage of Blessed Miguel Pro or the extraordinary patience of St. Alfonso Rodriquez? Perhaps we seek to imitate the wrong things! We can indeed imitate the saints in their humility, seeking to be clothed with the clothing and uniform of Our Lord and to be created as fools as He had been treated. Once we achieve humility, God will then take over and grant courage to his martyrs and patience to his confessors.
Therefore, today’s feast is a feast to encourage all of us who are still working our way to salvation. Holiness is possible to us; and since our Saints and Blessed are in the presence of The Blessed Trinity, these brothers of ours become our intercessors asking God for the graces, strength, and perseverance we need to fulfill our vocation.
Read More...