Sabtu, Maret 14, 2009

Spiritualitas Supir

Setelah seorang Pastor meninggal dan masuk ke surga, ia melihat bahwa seorang supir bis mendapat tempat yang lebih mulia darinya.
"Aku tidak mengerti," keluh sang Pastor pada Petrus. "Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk umatku. Mengapa supir itu lebih tinggi dari diriku?"
Jawab Petrus, “Kebijakan kami di sini adalah tergantung dari hasilnya! Apakah umatmu memperhatikanmu saat kamu memberikan khotbah?"
"Ya ...," Pastor itu mengakui, "beberapa umat selalu tertidur saat aku berkhotbah."
"Itu dia masalahnya," kata Petrus, "kamu tahu, saat orang naik bis yang dikemudikan supir itu, mereka tidak hanya terus terjaga, mereka bahkan terus berdoa."


Cerita itu terdengar lucu dan sekaligus menghentak, karena ada benarnya juga.
Sudah sekian waktu, kira-kira sejak 3 tahun yang lalu, aku mulai dipercaya sebagai supir untuk keperluan komunitas.
Menjadi supir merupakan salah satu pekerjaan yang tidak diinginkan. Menjadi supir hampir sama seperti menjadi satpam maupun menjadi cleaning service. Pekerjaan-pekerjaan ini lebih banyak menggunakan fisik, daripada menggunakan otak. Bahkan dalam struktur jabatan, mereka ini termasuk pekerja kelas bawahan.

Suatu kali aku pernah menawarkan diri dalam sebuah acara besar, untuk menjadi supir, melayani tamu-tamu, dan menghantarkan mereka ke beberapa tempat tujuan. Beberapa dari orang yang mendengarkan tawaranku ini tersenyum sinis. Mereka memandang pekerjaan ini dengan sebelah mata. Kesannya hanya sepele.
Tetapi, aku merasa, dalam banyak hal, peran supir sangatlah menentukan. Meskipun kesannya sepele, berkat supir, banyak kegiatan bisa berjalan dengan baik. Coba bayangkan jika dalam suatu keperluan yang begitu mendesak! Kebetulan ada mobil, tetapi tidak ada yang bisa nyupir. Padahal jika ada supir, masalah yang mendesak itu bisa diselesaikan dengan baik.
Terlepas dari pentingnya peran supir, aku merasa supirpun menghantar banyak orang pada gerak spiritualitasnya. Mengapa? Seperti yang sudah disebutkan dalam ilustrasi cerita di atas. Selama supir menjalankan tugasnya, para penumpang selalu mendukung dengan doa-doa. Semoga perjalanan yang dilalui dapat berjalan lancar dan tanpa ada aral yang melintang. Suasana berkendaraan menjadi sangat kondusif, karena antara penumpang terjadi komunikasi rohani yang begitu indah. Kadang-kadang hal ini tidak kita sadari, tetapi justru di sinilah kekuatan rohani itu berjalan dengan apa adanya.

Aku sendiri, bila diminta sebagai supir, selalu saja dalam perjalanan, ketika menjalankan tugas, dalam hati mengucapkan doa. Aku merasa, kemampuan menyupir bukanlah kemampuan yang mutlak, karena segala perjalanan juga tergantung pada penyertaan Tuhan sendiri.
Bahkan, salah satu terapiku agar aku tidak ngantuk dalam menyupir, adalah dengan berdoa. Biasanya dengan berkomat-kamit sendiri. Meskipun agak aneh, justru dengan cara begini, aku terus bisa terjaga. Salah satu obat agar tidak ngantuk adalah ngomong. Syukur-syukur ada teman ngobrol. Lha, kalo penumpangnya tidur semua, lalu ngobrol sama siapa? Ya, ngobrol sama Tuhan saja. Betul khan!

Kesediaan menjadi supir berarti juga siap sedia untuk melayani. Tidak jarang aku menjumpai, orang-orang besar malahan mau menyupir. Dulu, sewaktu masih tinggal di Semarang, Romo Rektorku malah seringkali menyupiri mobil kami. Sebuah kerendahanhati yang besar. Di sini jelas tampak sekali sikap melayaninya.

Maka dari itu, mengapa mesti malu menjadi supir? Justru, meskipun hanya menjadi supir, ternyata dari situ bisa digali banyak pengalaman rohani.
Read More...