Minggu, Maret 27, 2011

TUKANG BECAK (sebuah cerpen)

(Cerpen ini selain saya posting di blog ini, juga saya kirim ke Majalah Mingguan Hidup, dan diterbitkan oleh majalah tersebut tanggal 8 Mei 2011. Selamat membaca!)

Sungguh menyebalkan! Beginilah resiko naik kereta turun di stasiun Tawang dan pas hujan deras. Bukannya disambut dengan suasana yang segar karena bisa liburan pulang ke rumah, tetapi malah dihadang oleh kekalutan kota tua, yang tiba-tiba menjadi seperti kolam kubangan raksasa.
Pagi itu, kira-kira pukul 4, aku tiba di kota kelahiranku. Sudah hampir 2 tahun ini aku tak sempat pulang ke rumah. Ada banyak alasan. Entah karena banyak kerjaan di Jakarta, entah banyak masalah, ataupun rasa enggan menghamburkan uang tabungan. Namun, karena sudah untuk sekian kalinya mama memintaku untuk liburan, maka kali ini aku pun mau menurutinya.
Seperti biasanya, para tukang becak langsung menyerbu masuk ke peron, menawarkan diri untuk membawakan barang bawaan.
“Mas, mau ke mana?” “Di luar banjir, naik becak, Mas!” “Mau diantar ke mana, Mas?” Sebegitu banyaknya orang yang menawarkan jasa untuk mengantarkan penumpang keluar dari stasiun ini. Semua orang ditawari. Mau tidak mau, semua pasti akan menggunakan jasa mereka. Tidak ada pilihan lain. Kecuali mereka yang dijemput keluarga. Tapi, aku tidak!

Aku sebenarnya benci dengan suasana seperti ini. Apalagi, sangkaku, sebagian besar mereka itu bukanlah orang yang baik-baik. Siapa yang tidak tahu kawasan kota tua semarang? Di beberapa tempat, di malam hari, menjadi daerah yang sangat rawan. Aku yakin mereka adalah bagian kehidupan kota tua yang sangar itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah minta papa untuk menjemput. Tapi, dia tidak bisa. Kakinya sakit, asam uratnya lagi kambuh. Maka, aku harus memilih salah satu dari mereka.
“Ke Dr. Cipto berapa, Pak?”
“Biasa, Mas! 10 ribu saja!”
“Ah, koq mahal amat… 5 ribu saja. khan cuma dekat situ… gak ada 1 km.”
“Ini khan hujan, Mas… jalannya sulit, air tergenang di mana-mana.”
“Pokoknya kalo tidak 5 ribu, saya tidak mau.” Aku berpaling, sambil mencoba mencari-cari becak yang lain.
“Mari, Mas!” sebegitu cepatnya bapak tadi menarik tasku, dan kemudian mempersilakan aku naik ke becaknya.

Aku begitu senang, karena penawaranku diterimanya. Tak lama kemudian, kayuhan bapak itu mulai menggerakkan roda becak. Sementara aku menikmati ketenangan karena terhindar dari air, aku mengajak ngobrol bapak tadi.
“Kalo boleh tahu, Bapak orang mana ya?”
“Saya itu orang Salatiga. Keluarga saya ada di sana,” jawabnya.
“Lha, bapak apa tidak pernah pulang ke rumah?”
“Sesekali saja pulang. Biasanya hari sabtu malam. Tapi, itu tidak tentu. Tergantung penghasilannya berapa setelah kerja seminggu. Sayang kalo uangnya habis untuk ongkos bis.”
“Putra bapak berapa?”
“Saya punya 4 anak. Yang besar kelas 1 SMA. Yang kedua kelas 2 SMP. Yang satunya kelas 4 SD dan yang kecil masih umur 3 tahun.”
“Bapak, di Semarang tinggal di mana?”
“Boro-boro punya kontrakan, Mas. Untuk makan harus menyisihkan uang secukupnya. Kalo tidak seperti itu, bagaimana saya bisa bawa uang untuk keluarga.”
“Lho, terus tidurnya di mana?”
“Tergantung. Tapi biasanya saya tidur di stasiun. Di atas becak sudah nyaman koq.”
“Ini becak Bapak, bukan ya?”
“Bukan! Ini becak juragan. Per hari saya mesti setor 10 ribu.”
Tak terasa, kayuhan becak bapak tadi sudah mengantar aku persis di depan gang masuk rumahku. Aku minta diturunkan di depan portal saja, karena memang tidak mungkin untuk menerobos masuk. Biasanya portal baru dibuka oleh penjaga sekitar jam 6 pagi. Aku ambil uang 10 ribuan, dan kuberikan ke bapak itu.
“Ini kembaliannya, Mas!”
“Gak usah, Pak! Ambil saja semuanya!”
“Maturnuwun!”
“Sama-sama, Pak!”
***
Seharian aku tidak beranjak dari tempat tidur. Papa-mama senang sekali melihat kedatanganku. Seperti pucuk dicinta, ulam tiba. Kerinduan mereka benar-benar terobati. Mereka inginnya siang tadi aku sudah bangun dan ingin bertanya banyak tentang apa saja kegiatanku selama ini di Jakarta. Tapi aku tak begitu peduli. Aku tetap saja di dalam kamar. Namun sore ini, aku dipaksa bangun oleh mama. Kebetulan ini Sabtu sore.
“Ayo ke Gereja. Papa-mama dan adikmu akan ke Gereja sore ini, soalnya besok siang ada undangan mantenan di PRPP.”
Berat rasanya untuk melepas bantal. Apalagi, di Jakarta aku juga jarang pergi ke gereja. Bagaimana mau pergi ke gereja? Kadang hari sabtu saja aku masih di kantor. Hari minggu sepertinya benar-benar barang langka yang sayang untuk dibuang, kecuali untuk bermalas-malasan di tempat kos.
“Ayo, 15 menit lagi, papa sudah mau jalan lho!”
Mendengar suara terakhir dari mama, sedetik aku berpikir.
“Iya, ya! Mending aku berangkat ke Gereja saja. Supaya mama tidak bertanya-tanya soal apakah aku sering ke Gereja atau tidak selama di Jakarta.” Selama ini aku memang selalu bersilat lidah dengan mama lewat telpon. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak pernah lupa ke gereja. Padahal kalau dihitung-hitung, mungkin selama 2 tahun ini aku ke gereja cuma 10 kali.
***
Baru saja aku selesai doa sehabis menerima komuni, tiba-tiba mataku tertabrak dengan sesosok pria yang sedang berjalan persis di samping barisan bangkuku. Aku masih ingat. Rasanya belum lama ketemu bapak ini. Iya, benar! Persis baru tadi pagi aku ketemu bapak ini. Dia tukang becak yang mengantarku dari stasiun.
Setelah berkat penutup, aku bergegas keluar Gereja dan mencari Bapak itu. Aku mencari ke sana-ke mari. Sampai akhirnya aku menemukan Bapak tadi persis berada di dekat pintu gerbang Gereja. Aku mendekat ke sana.
“Pak, masih ingat saya?”
“Masih koq, Dik! Khan baru pagi tadi kita ketemu”
“Lho, bapak ke Gereja ya?”
“Iya, saya orang Katolik. Sudah dua bulan ini saya banyak membantu di Gereja setiap sabtu sore. Saya ikut misa, sekalian membantu satpam untuk jaga parkir. Cari uang tambahan sedikit. Tapi, setelah semua selesai, nanti saya langsung ke Salatiga. Sudah 3 minggu saya tidak pulang.”
“Kalo boleh tahu, nama Bapak siapa?”
“Nama saya Pak Harno! Lha adik namanya siapa?”
“Panggil saja saya Widi, Pak!” Tiba-tiba mama memanggilku untuk segera masuk ke mobil.
“Ok, Pak. Sampai ketemu lagi,” sapaku kepada pak Harno.
Ketika mobilku sampai di portal persis di depan pak Harno, Aku memberikan 2 lembar uang kertas, 10 ribu untuk parkir dan 50 ribu langsung kuberikan ke Pak Harno.
“Ini untuk bapak. Buat oleh-oleh untuk keluarga di Salatiga. Salam ya, Pak!”
Dalam perjalanan pulang aku merenung. Seorang Pak Harno yang telah bekerja begitu berat dan keras, nyatanya dia masih tetap setia untuk pergi ke Gereja, mengikuti Ekaristi, dan bertemu Tuhan. Sungguh berbeda dengan aku. Karena alasan capek bekerja, aku lebih sering tidak pergi ke Gereja. Untuk satu hal ini aku masih berhutang pada Pak Harno. Minggu depan, kalo bertemu lagi, aku akan bertanya, rumahnya di Salatiga di sebelah mana. Toh Semarang-Salatiga tidak jauh. Sekali-kali aku akan main ke sana.***

Semarang, Januari 2011
Read More...

Rabu, Maret 23, 2011

Iman mengalahkan Kesombongan dan Dendam (Mrk 11:11-26)

Pada bagian pertama injil ini kita bisa melihat aspek kemanusiawian pada diri Yesus. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus mendapatkan dirinya lapar. Dari jauh Ia melihat pohon ara, tetapi didapatinya pohon ara itu tidak berbuah. Yesus kesal karena tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, lalu Ia mengutuk pohon tersebut.

Pada bagian berikutnya, Yesus juga menampakkan dirinya yang kesal dan marah. Di Bait Allah, Yesus mengusir para pedagang dengan segala barang jualan mereka. Tindakan ini lebih ganas daripada sekedar kutukan. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikan-Nya. Yesus marah dan mengatakan: “Bukankah ada tertulis Rumah-Ku disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun.”

Maaf, mungkin bagian yang terakhir ini agak sensitif, karena lagi hangat dibahas di milis internos soal misa imlek. Tetapi saya tidak ingin membahasnya juga. Selain memang bukan pada tempatnya, saya juga setuju dengan romo Heru, kesannya kog nganeh-nganehi.

Kembali ke Yesus. Kalau kesan nganeh-nganehi itu dikenakan pada Yesus, tampaknya koq Yesus memang juga nganeh-nganehi.
Di mana letak nganeh-nganehinya?
Pada bagian pertama, Yesus semestinya tahu bahwa pada waktu itu bukanlah musim buah ara. Sehingga tidaklah perlu sampai mengutuk pohon ara itu.
Demikianpun juga di Bait Allah. Yesus juga aneh. Dia tanpa ba-bi-bu, tanpa pakai permisi atau semacam teguran/peringatan dulu, tiba-tiba langsung melabrak para pedagang dan menghancurkan barang dagangan mereka.

Tetapi, mungkin dalam kacamata kita, tindakan Yesus itu nganeh-nganehi.
Di balik tindakan itu, Yesus hendak menyampaikan sesuatu.
Pohon ara dalam kitab suci sering dilambangkan sama seperti kebun anggur, yakni umat pilihan Allah. Yesus berharap umat Israel menghasilkan buah kasih sejati. Baik buah kasih sejati kepada Allah maupun buah kasih kepada sesama. Namun, kenyataan apa yang dihadapi-Nya? Israel maupun Bait Sucinya sama sekali tidak menghasilkan buah yang indah itu. Yang ada ialah kepura-puraan, fanatisme kurban, pemeliharaan hukum tanpa jiwa, dan kebohongan.

Soal musim buah ara yang belum tiba juga mengartikan bahwa misi Yesus belum tiba saatnya. Karya penebusan masih dalam prosesnya. Begitulah Markus hendak bercerita. Markus perlahan-lahan membuka misteri Kristus pada sidang pembaca.

Beberapa hari ini, seperti Anda ketahui, saya sedang dalam situasi susah. Operasi gigi di malam minggu yang lalu membuat gerak saya jadi agak terbatas. Gerak untuk makan, gerak untuk bicara, gerak untuk bepergian. Belum lagi beberapa teman menggoda, entah dengan mengajak untuk mentraktir atau diajak ke concat. Dengan kondisi gigi yang sakit ini, ajakan itu tentu saja akan mentah-mentah saya tolak, karena nganeh-nganehi atau tidak mungkin.
Lalu, pada sore kemarin, mungkin karena giginya masih agak sakit, saya juga jadi kesal; kesal pada komunitas, karena tradisi sport bersama sudah tidak jalan lagi. Meski mungkin tidak semua suka futsal, tetapi yang bisa futsal, yang ada saja sama sekali tidak punya keinginan untuk futsalan lagi.

Ya, suasana kesal hati saya hampir separalel dengan kekesalan hati Yesus. Sore kemarin setelah futsalan dengan anak-anak Loyola, saya punya rencana untuk menulis sesuatu di papan whiteboard di ruang rekreasi frater. Saya hendak menulis, “Quo vadis Sport?” besar-besar. Tapi tindakan itu tidak sampai dibuat.

Pada malam hari, sehabis makan malam, ketika hendak menyiapkan renungan untuk pagi ini, saya mendapatkan insight untuk bahan refleksi saya. Itu ada pada bagian akhir injil ini.

Di situ, Yesus menanggapi murid-murid-Nya dengan cara yang amat berbeda. Saya terkesan dengan tanggapan Yesus ini. Pada mulanya, murid-murid-Nya amat bangga kepada Yesus karena pohon ara yang dikutuk Yesus benar-benar kering.
Tetapi Yesus berpikir lain. Yesus tidak melihat itu sebagai sesuatu yang perlu disombong-sombongkan.
Bagi-Nya yang paling hebat bukan kemampuan mengeringkan pohon dalam waktu beberapa jam atau langsung, bukan juga mengusir para pedagang dari Bait Suci, melainkan iman. Iman memang diberikan oleh Tuhan. Tetapi, kalau manusia tidak mau menerima anugerah ini, Tuhan pun tak berdaya. Dan sebaliknya, kalau manusia mau beriman dan belajar untuk sungguh beriman, Tuhan tak mampu menolak doanya.
Untuk beriman dengan baik, manusia harus membebaskan dirinya dari segala sesuatu yang bernama: benci, dendam. Hanya manusia yang sungguh tulus mengampuni saudaranya, dapat disebut beriman. Sebab iman melandaskan dirinya pada sesuatu yang tak kelihatan, yang tak terjangkau secara fisik. Iman selalu mengandalkan Tuhan saja.
Oleh karena itulah, pada bagian akhir refleksi saya tadi malam, saya berpikir mungkin kalau saya terus merasa sakit hati karena tidak bisa futsal rame-rame dengan saudara se-komunitas, dan memaksa menuliskan pernyataan tadi di whiteboard komunitas; mungkin sakit gigi saya justru tidak akan sembuh-sembuh. Benar juga kata Meggy Z, “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi saja.”
Dan benarlah kata Yesus, “jika kamu tidak mengampuni, maka Bapa-Mu yang di sorga juga tidak akan mengampuni.”
Begitulah maksud Yesus sebenarnya. Semoga permenungan injil hari ini membantu kita untuk semakin beriman dan percaya kepada Allah. Amin.
Read More...

Selasa, Maret 22, 2011

Menjadi Manusia Bebas

“Freewill means that the Universe never judges, never interferes with your own
choices - and sees you as a being of equal creative power.”
--Joy Page

Slogan yang paling sering dikumandangkan oleh orang muda adalah kebebasan. Ya, bagi mereka, kebebasan adalah ruang untuk menunjukkan jatidiri. Kebebasan adalah ruang untuk mandiri. Kebebasan adalah tempat untuk belajar. Tapi, mereka juga berpikir bahwa kebebasan adalah kemungkinan untuk bisa buat ini-itu. Kebebasan adalah bisa lepas dari kekangan dan pantauan orang lain. Kebebasan adalah semau gue. Lalu, apakah kebebasan itu memang seperti gambaran tadi semua?
Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Orang muda secara bertahap menuntut ruang kebebasan itu. Mulai dari menuntut kebebasan dari pantauan orangtua. Kemudian menuntut ingin bebas dari kewajiban-kewajiban di sekolah: ingin bebas dari tugas dan PR, ingin bebas dari kegiatan yang tidak diminati. Lalu berkembang ingin bebas dari segala hal-hal yang tidak disukainya. Dan ingin bebas untuk mengekspresikan dirinya, entah bagaimana caranya, yang penting eksis.

Demikianlah yang dialami Yudi dalam hidupnya. Selepas lulus SMP, dia melanjutkan studi di luar kota, di tempat pamannya. Dia begitu senang karena bisa bebas dari pantauan dan bebas dari kewajiban-kewajiban yang harus dibuatnya sebagai seorang anak. Tapi, dalam kebebasan itu ada ketegangan seperti yang tampak dalam gambaran kebebasan di awal tadi. Di satu sisi dia dihadapkan pada ruang untuk belajar mandiri dan menentukan hidup sendiri, tetapi di sisi lain dia terpasung pada konsep bebas semau gue. Setelah lulus SMA, Yudi tidak mau lagi tinggal di rumah pamannya. Dia tinggal di kos-kosan. Ruang kebebasan itu lebih besar lagi. Yudi sangat merasakan hal itu. Dalam ruang kebebasan penuh, dia bisa melakukan apa saja. Dia mau hidup kacau ya bisa. Dia mau hidup baik juga bisa.
Teman-teman, manusia adalah mahluk ciptaan yang paling sempurna. Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Oleh karena itu, secara kodrati, manusia memang terlahir bebas. Kita adalah manusia bebas. Tidak harus menunggu sampai umur 17 tahun, kita memang terlahir untuk menjadi manusia bebas. Dalam kehidupan, kita pun bebas untuk memilih apapun. Karena menjalani hidup itu pada dasarnya adalah menjalankan pilihan-pilihan bebas kita.
Lalu, apa artinya pantauan dan proteksi yang dibuat oleh orangtua? Apa artinya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh sekolah dan guru? Apakah itu artinya mereka melawan hakekat kodrati kita sebagai manusia yang diciptakan bebas?
Tidak! Mereka sama sekali tidak mengekang kebebasan hidup kita. Dengan melihat dari sudut pandang berbeda, seperti yang dimaksud dengan hadirnya buku ini, saya akan mengajak teman-teman untuk memahami dengan cara lain. Kita mulai dari yang sederhana. Ketika kita lahir ke dunia, sebagai seorang manusia baru, analogikan saja bahwa kita bagaikan ‘kertas kosong’, yang masih putih bersih tanpa coretan sedikit pun. Sebagai sesuatu yang baru dan masih bersih, tentu saja kertas putih itu masuk dalam sebuah ancaman. Ancaman itu bisa berupa coretan yang tidak jelas, sobekan yang tidak perlu, dan sebagainya. Maka, supaya hal-hal yang merusak itu tidak terjadi, ‘kertas putih’ haruslah dijaga, dirawat dan mulai ditulisi dengan hal-hal yang baik. Begitulah sebenarnya peran orangtua dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah bukti tanggungjawab mereka untuk menjaga hidup kita. Kehadiran mereka tidak untuk merusak kebebasan yang terpatri sejak kita lahir.

Sama halnya di bangku sekolah. Sejak awal masuk sekolah sudah jelas khan kalau kita memang diserahkan oleh orangtua untuk dididik. Bukan maksud mereka untuk melepaskan begitu saja hidup kita. Mereka tahu bahwa ‘kertas putih’ tadi harus ditulis dengan ‘tulisan-tulisan’ yang baik, yakni dengan pendidikan yang baik. Maka, tuntutan dari sekolah, entah berbentuk tugas atau ujian, adalah bentuk tanggungjawab mereka untuk menjaga kita. Kebebasan kita yang sudah terpatri sejak lahir tidak sama sekali terpasung. Pendidikan di sekolah justru menjadi ruang untuk mengaktifkan ruang kebebasan kita.
Lalu, bagaimana dengan aturan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat? Nyatanya setelah kita beranjak dewasa, ketika sudah mulai bisa mandiri, kita justru terpasung oleh aturan dan norma yang ada?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan dan norma tersebut. Kita memang terlahir bebas. Tetapi kita tidak bisa hidup bebas semau gue. Kita hidup bersama orang lain. Kalau semua orang berprinsip bahwa kebebasan adalah hidup semau gue, mau jadi apa dunia ini nantinya. Salah-salah yang ada mungkin adalah suasana khaos. Tentu bukan itu yang kita harapkan, bukan?
Aturan dan norma dibuat adalah untuk menata manusia yang ada di dalamnya. Itu dibuat untuk memberi kejelasan atas ruang yang luas bagi kebebasan kita. Jika tidak ada aturan dan norma, semua orang pasti akan terganggu kebebasannya. Lho koq bisa? Coba saja kamu bayangkan. Andaikan dunia ini tidak pernah ada aturan dan norma. Apakah semua orang bisa bertindak bebas? Yang ada malah orang akan saling bertengkar dan berkonflik karena kebebasan mereka terganggu. Akhirnya, bukan kebebasan yang didapat, tetapi malah kehancuran hidup kita sendiri.
Tapi, kalau kita mau hidup ekstrim ya bisa juga sih. Kalau mau ingin hidup bebas semau gue, tetapi juga tidak terlibat dalam konflik itu juga bisa dilakukan. Caranya gampang. Tinggal aja di suatu tempat sendirian, dan berusahalah untuk tidak ketemu siapa-siapa. Wah, kalau itu memang terlalu ekstrim. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukannya. Cerita dongeng tentang Tarzan saja menunjukkan bahwa dia sendiri tidak bisa mungkin hidup sendirian. Meski memang tidak ada manusia lain yang menemani, nyatanya dia juga butuh mahluk hutan lainnya agar dia bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.
So, teman-teman, kita tidak perlu merasa terpasung oleh aturan dan norma yang ada, tidak perlu merasa kecewa karena orangtua selalu memantau kita. Semua itu ada dan dibuat supaya kebebasan yang ada dalam diri kita tetap terpelihara dengan baik. Saya yakin, besok pun kalau kamu gantian menjadi orangtua, pasti juga membuat hal yang sama buat anak-anak kalian. Kamu pasti akan menjaga dan merawat mereka.
Satu hal lagi yang mesti segera kita sadari soal kebebasan adalah bahwa prinsip yang paling pokok bukan menuntut “kebebasan dari” apa tetapi berpikirlah mengenai “kebebasan untuk” berbuat apa. Artinya, kita tidak perlu berlelah-lelah atau pusing mencari cara untuk terhindar atau bebas dari hal-hal yang kita ‘anggap’ membuat diri kita tidak bebas. Tetapi, carilah hal-hal yang membuat kita bisa “bebas untuk” berbuat apa. Kalau begitu khan cara kita memandang kebebasan jadi positif, bukan? Yup, begitulah seharusnya yang terjadi.***


Read More...