Jumat, April 22, 2011

DI BAWAH KAYU SALIBMU



Aku tertegun begitu lama
Tubuhku merinding melihatnya
Hatiku berat tuk menahannya
Jiwaku sperti mau hilang rasanya

Di bawah kayu salib-Mu

Sukmaku tertancap…
Bukan karna tak ingin meninggalkannya
Bukan karna tak ada lagi tempat berpijak
Bukan karna tak sadar akan rasa dosaku

Di bawah kayu salib-Mu

Aku temukan kekuatan-Mu yang besar
Aku bayangkan hati-Mu yang terperi
Aku simpulkan kasih-Mu yang tulus

Di bawah kayu salib-Mu

Kau ajak aku bertumbuh
Tidak untuk sekedar sedih atas salah yang telah kuperbuat
Tapi untuk yakin, O betapa tegarnya Engkau menopang aku.

Di bawah kayu salib-Mu

Kau bangunkan aku untuk ikut memanggul bersama Engkau yang memanggul…
Read More...

Selasa, April 12, 2011

Bergaya Trendsetter

“Each person must live their life as a model for others.”
- Rosa Parks –

Gile tuh si Sinta! Baru minggu lalu bawa hape Nokia Serie E72, sekarang sudah bawa yang baru, Blackberry Onyx. Up to date banget tuh anak! Kalau jalan-jalan ke mall kaos yang dipakainya juga bagus-bagus. Dia sudah jadi kayak trendsetter gitu. So, koq kita mau-maunya juga ya jadi pengikut gaya dia. Kayaknya kalau gak ikut-ikutan gayanya, rasanya sudah ketinggalan zaman.

Fren, Trendsetter itu apaan sih?
Ah, kamu tuh gak gaul banget sih? Trendsetter itu istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi panutan dalam hal tertentu karena keunikan dan kreativitasnya, sehingga selalu membuat terobosan (breakthrough) di tengah kemapanan yang ada. Sebenarnya pengertiannya sangat luas sekali sebab mencakup semua bidang. Tapi, umumnya sih bidang yang dijadikan trendsetter itu bidang fashion, gadget, IT, dan otomotif.

Contohnya juga banyak lho. Liat tuh Agnes Monica, si vokalis trendy, yang hampir setiap penampilannya, dia pakai rambut yang beraneka bentuk dan warna; khan banyak tuh, anak muda yang ikut-ikutan gaya dia. Atau contoh jadul nih, pas zaman Demi Moore masih bergaya botak; banyak juga khan cewek-cewek yang berani memangkas rambutnya sampai habis, padahal aneh banget khan kalau cewek botak, jadinya kayak pak ogah dalam serial Unyil zaman dulu.

Kalau yang cowok-cowok biasanya ngikutin gaya pemain sepakbola favoritnya atau ngikutin gaya boyband yang digandrunginya. Udah banyak tuh cowok-cowok yang ikut-ikutan fashion yang dipopulerkan Clubeighties, gaya jadul yang aneh, tapi nyentrik.

Eh… tapi jangan salah menduga dulu ya. Trendsetter tidak cuma soal fashion dan buat gaya-gayaan. Nyatanya, di bidang sosial-politik dan ekonomi banyak hal bisa dijadikan topik trendsetter juga. Contoh paling kelihatan ya waktu presiden Chile, Sebastian Pinera mampu menyelamatkan 33 pekerja tambang yang terperangkap di bawah bumi. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagi negaranya. Sudah pasti dia menjadi trendsetter buat tokoh-tokoh politik di negara lain.

So, mungkin kamu awalnya agak merasa gak terlalu senang ya dengan istilah trendsetter, soalnya seolah-olah jadi pedoman untuk hal-hal yang aneh. Mungkin, dulu kamu pernah mendengar istilah ini, “hari ini gak punya hape?” Itu khan secara tidak langsung jadi semacam ‘paksaan’ untuk mengajak teman-teman-nya juga punya hape. Kepemilikan hape menjadi semacam trendsetter. Nah, itu dulu! Sekarang mungkin pertanyaannya bisa dibuat begini, “Hari gini gak bisa jadi anak muda berprestasi?”


Mungkin dengan cara begitu, kita bisa menjadi trendsetter yang positif dan transformatif bagi banyak orang, seperti Sebastian Pinera itu. Lalu, gimana caranya? Kayaknya susah amat ya jadi orang yang bisa dijadikan panutan.

Eits… jangan menyerah dulu. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Bagi yang memiliki kemauan ingin jadi trendsetter yang positif tadi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Kamu masih muda khan? Atau minimal masih berjiwa muda. Ya nggak? Tunjukkan kemudaanmu dengan semangat dan hati yang berkobar-kobar dong. Artinya, tunjukkan semangat kreatifmu, semangat pembaruanmu. Istilah sederhananya, harus berani tampil beda. Tampil beda sih bukan hal yang buruk, bukan? Tampil beda membuat kita berani mencoba sesuatu yang beda dari yang lain. Tapi, jangan asal beda doang lho ya! Harus pakai prinsip juga. Minimal prinsip demi kemaslahatan bersama, artinya tidak membuat orang lain dirugikan dan menyusahkan orang lain.

Bisa jadi pas kita berani tampil beda, orang lain mengejek kita. Jangan sampai tersinggung dan cepat-cepat berkecil hati. Mikirnya simple aja deh, sambil bergurau gini, “Ehh…, kamu tuh… orang sirik itu tanda tak mampu!” Udah banyak lho teman-teman kita yang nyobain jadi trendsetter yang amat positif. Misalnya nih, kayak Cella, temanku yang kuliah di universitas terkenal di Yogya. Dia bersama beberapa temannya memilih meluangkan sedikit waktu senggangnya untuk membuka kelompok belajar buat anak-anak desa, yang mungkin tidak pernah bisa mendapatkan pelajaran tambahan seperti yang bisa dirasakan anak-anak kota. Ini benar-benar tampil beda khan? Mungkin sekarang belum bisa disebut trendsetter, tapi mungkin beberapa tahun mendatang, akan ada banyak kegiatan kampus yang sifatnya kayak gini, kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya keluar-kampus yakni dengan jalan membantu masyarakat. Tidak hanya cuma lewat KKN, tapi lewat keseharian sebagai mahasiswa.

Atau kayak temanku di Magelang, Eko namanya. Dia sekarang lagi mengembangkan usaha brownies. Mungkin kamu bertanya-tanya, lho, koq cowok malah dagang makanan? Jangan salah kira lho ya! Temanku yang satu ini sedang mengembangkan usaha enterpreneurship-nya. Ups, istilah apalagi tuh? Susah amat bacanya.

Begini teman, entrepreneurship itu arti sederhananya adalah berwirausaha. Eko, temanku tadi, sedang berwirausaha lewat produk kue brownies. Dia umurnya masih 23 tahun lho. Bayangkan umur segitu sudah sukses berwirausaha.

Kalau kamu mau tahu, sekarang wirausaha sudah menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Apalagi, pemerintah juga dari tahun ke tahun semakin kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan buat kita-kita. Semakin banyak saja pengangguran baru. Ya, cara yang terbaik adalah berani berwirausaha. Abis kuliah jangan merasa yakin bisa langsung bekerja di sebuah perusahaan besar. So, berpikirlah dengan cara yang lain. Ya, solusi yang lain ya dengan wirausaha itu.

Pak Ciputra, sang pengusaha terkenal dari Indonesia pernah mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad enterpreneurship bagi Indonesia. Jadi, gak salah bukan kalau wirausaha adalah trendsetter di kalangan anak muda zaman ini. Lalu, bagaimana caranya? Tidak usah terlalu pusing-pusing. Mulai dari yang kamu suka saja. Kalau kamu suka makan, ya mulailah dari wirausaha di bidang makanan. Kalau kamu suka pernak-pernik, bukalah usaha kerajinan tangan. Mudah khan? Soal modal gimana? Yah, khan kamu punya celengan. Nah, itu dia. Celengannya gak usah beli hape baru. Pakai saja buat modal untuk usaha. Inget pesan ini, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Mulai dari usaha yang kecil, yakin suatu saat usahamu bakal menjadi besar. Tentu dengan kesabaran dan ketekunan.

Tuh khan, kalau dibikin list, banyak juga ya model-model trendsetter yang mengembangkan diri kita. Sederhananya, dalam diri kita tuh ada banyak potensi untuk menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Tidak harus jadi public figure dulu baru kita bisa jadi trendsetter. Dengan jadi diri kita sendiri saja, model trendsetter yang akan muncul pasti amat otentik, gak sekedar ikut-ikutan. Ya nggak?***

Read More...

Rabu, April 06, 2011

Cukupkah dengan Chatting?

"Ngapain sih lo? Ayo, ikutan diskusi, jangan asyik mainan BB sendiri!"
Begitulah Candra memarahi Dina, karena dari tadi Dina tidak fokus dengan rapat koordinasi akhir untuk acara pementasan drama. Dina sibuk chatting lewat aplikasi messenger di Blackberry-nya, sampai-sampai rapat yang dihadirinya tidak lebih penting dari chatting yang dilakukannya.

Tidak jarang kita menemui teman-teman kita yang seringkali sibuk dengan gadget yang dibawanya, sibuk dengan orang lain yang ada di luar sana atau jauh di sana, dan kurang menghargai orang yang real ada di depannya. Aneh! Orang bisa sampai bisa tega berbuat demikian. Tubuh real di suatu tempat, tapi hati dan jiwa ada di lain tempat.

Ya, ada banyak anggapan bahwa teknologi informasi memang membantu sekali dalam kehidupan sehari-hari kita. Gara-gara alat teknologi ini, semua batas dan sekat bisa dihilangkan. Jarak yang sedemikian jauh bisa dipangkas dengan teknologi supercepat. Kehadiran langsung sudah dinihilkan. Orang bisa hanya dengan videochat atau videocall bisa langsung rapat koordinasi. Pada dirinya sendiri, teknologi ini memang dibuat untuk mempermudah komunikasi manusia.

Tapi, nyatanya kalau teknologi ini disalahgunakan, ya nasibnya seperti Dina tadi. Dia membuat dunia sendiri, terasing dari teman-temannya. Dia tidak mau terlibat dalam situasi real yang ada di hadapannya.

Dina masih lumayan lebih baik. Kakaknya, Rina, lebih parah lagi. Setiap bangun pagi yang pertama-tama dia buat, bukannya bersyukur atas hari yang baru, tetapi dia terduduk termenung memandangi BB, mulai sibuk dengan ‘Rosario’-nya, menyapa teman-temannya lewat twitter. Bak burung berkicau di pagi hari, Rina sudah mulai meng-tweet siapa saja yang bisa disapa.

Begitulah yang terjadi dengan situasi komunikasi kita saat ini. Kesadaran real kita kadang terlampaui sedemikian rupa, sehingga kita jadi lupa dengan situasi dan keadaan sekitar kita yang lebih konkret. Ada semacam lompatan komunikasi yang tidak tanggung-tanggung, tetapi mengancam relasi personal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi karena ruang sempit, seperti di dalam keluarga, di dalam rapat seperti kisah Dina, di dalam sekolah, dan masih banyak tempat lain, yang memang mau tidak mau harus kita jumpai setiap hari.

Mbak Eileen Rachman dalam tulisannya tentang “Generasi Chatting” mengatakan kalau di masa yang akan datang terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka, akan semakin menjadi problem utama.

Meski mungkin ada yang mengatakan pula bahwa komunikasi itu yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya, tetapi masih selalu menjadi pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, yakni sarana apa yang tepat untuk membuat komunikasi itu berkualitas. Tapi, walau bagaimanapun juga kuantitas tetaplah perlu. Karena komunikasi membutuhkan ketersalingan dan keterhubungan yang stabil dan ajeg. Artinya, bagaimana mungkin kualitas komunikasi tercipta dengan baik, jika kuantitas komunikasi tidak pernah direncanakan apalagi dibuat secara kontiniu.

Chatting lewat gadget yang ada memang akan menciptakan kualitas komunikasi yang baik, jika kita menempatkan secara tepat. Sudah banyak contohnya lho ya. Kita bisa berkomunikasi dengan mudah dengan pacar kita atau dengan keluarga kita, karena bantuan gadget semacam itu. Coba bayangkan beberapa dekade yang lalu!

Syukurlah kita lahir di zaman sekarang. Dulu, papa-mama kita mengalami situasi di mana untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh tempatnya, susahnya minta ampun. Mereka masih menggunakan surat-menyurat atau kalau mau lebih cepat berkomunikasi, harus menggunakan jaringan telpon sambungan langsung jarak jauh yang relatif mahal biayanya. Dengan begitu, sebenarnya alat-alat chatting itu tidak serta merta negatif lho. Ada banyak positifnya juga.

Kembali ke kita, kalau mau mencoba menciptakan komunikasi dan relasi yang positif, baiklah kalau kita bisa menempatkan diri secara tepat. Dalam kondisi bertegur sapa dengan orang lain di dalam sebuah pertemuan, entah itu formal maupun tidak formal, berusahalah untuk menghormati orang yang berbicara di depan kita. Karena dengan menghormati orang yang berbicara, kita juga pasti akan dihormati ketika berbicara di depan.

Ada sebuah cerita yang menarik tentang ini. Seorang dosen di kampus terkenal pernah hampir marah, karena melihat mahasiswanya bermain hape ketika kuliah sedang berlangsung. Tapi, dia punya akal untuk mengatasi kemarahan tersebut. Tiba-tiba, dia memberhentikan perkuliahan dan membuat semacam simulasi. Simulasinya semacam “agreement”. Dia mengusulkan adanya kesamaan hak soal penggunaan hape di dalam kelas dan selama pelajaran berlangsung. Dia akan berbuat yang sama seperti yang dibuat oleh mahasiswa dalam hal menerima SMS dan panggilan telpon, yakni langsung membalasnya. Sembari mengeluarkan HP-nya, dosen itu mengirim message pada istrinya. Isi pesannya begini, “Ma, tolong setiap lima menit sekali aku dikirimi sms atau sesekali aku ditelpon juga.” Setelah agreement ini disepakati, kuliah dilanjutkan kembali.

Kalian tahu apa yang terjadi? Tidak sampai 5 menit, HP pak dosen ini sudah berbunyi. Ada sms masuk. Dia cepat-cepat menghentikan kuliah karena harus membalas sms tersebut. Mahasiswa yang lain pun sibuk melakukan hal demikian, saling sibuk sms. Setelah pak dosen selesai membalas sms, dia melanjutkan kuliahnya lagi. Tapi, tidak sampai 5 menit, hapenya berdering lagi, ada telpon masuk. Serta merta dia menjawab telpon itu. Begitulah, sampai berulangkali terjadi. Kita tahu bahwa nada panggil dan sms masuk itu memang hanya berasal dari istrinya semata.

Ketika jam kuliah hampir selesai, ada seorang mahasiswa mengacungkan tangannya dan protes, dia merasa terganggu dengan “agreement” ini. Dia ke kampus untuk kuliah, bukan untuk mendengar dan memperhatikan pak dosen yang sibuk dengan hapenya di ruang kuliah. Beberapa temannya juga mengamini pernyataan mahasiswa tadi. Akhirnya, semua kelas sepakat bahwa selama kuliah semua hape harus di-silent dan disimpan di dalam tas.

Kisah lain, mungkin teman-teman masih ingat yakni kisah tentang pelatih timnas sepakbola kita, Alfred Riedl yang marah-marah dengan seorang wartawan yang sedang mewawancarainya, yang tiba-tiba mengangkat hapenya yang sedang berdering. Sementara tangan satunya memegang recorder untuk merekam kata-kata Riedl, si wartawan ini menggunakan tangan satunya untuk memegang hape dan menjawab telpon tersebut. Sehabis wawancara, Riedl mengatakan demikian, “Sangat tidak sopan bila Anda berbicara dengan orang lain saat saya memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Anda. Jika Anda pemain saya, maka Anda akan mendapatkan masalah.” Wah, kejam juga nih pelatih. Tapi, ya semestinyalah kita menghormati orang yang sedang bicara dengan kita.

Nah, teman-teman, sekarang pertanyaannya diarahkan pada diri kita sendiri. Kita mau jadi generasi yang terisolasi dan bodoh dalam bersosialisasi atau generasi yang memang semakin baik dalam berelasi dan berkomunikasi? Ditunggu lho jawabannya.***
Read More...