tag:blogger.com,1999:blog-75708730729993281952024-03-06T11:01:17.911+07:00~ en todo amar y servir ~... dalam segalanya mencintai dan mengabdi ...Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.comBlogger39125tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-63616859967057456312013-07-17T12:00:00.001+07:002013-07-17T12:02:14.382+07:00Kembali nge-BlogSudah dua tahun vakum dari nge-Blog. Tapi, sebenarnya, kerinduan selalu ada di dalam hati. Ada banyak hal yang ingin dibagi lewat blog. Karena sejak pertama memulai nge-Blog, salah satu intensiku adalah membagikan apa yang aku punyai. Semangat nge-Blog!<span class="fullpost">
</span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-57593629588921472592011-06-13T10:49:00.003+07:002011-06-13T10:57:51.367+07:00Tanggapan untuk Posting terakhir<div align="justify">KASUS 1<br />Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 3 masalah moral yang utama.<br /><br /><em>Pertama</em>, masalah keinginan keluarga (terutama ayahnya) untuk mencabut selang makanan yang membuat Tarno tetap bertahan hidup. Dalam moralitas, perbuatan ini sering disebut sebagai tindakan euthanasia. Euthanasia sendiri terdiri dari beberapa macam. Setidaknya ada 5 bentuk euthanasia: Euthanasia pasif (mis: dengan mencabut selang), euthanasia aktif (bisa dilakukan oleh dokter/orang lain, bisa juga dilakukan oleh pasien langsung), euthanasia tidak langsung (dg tindakan medik, tp tidak lgsg menyebabkan kematian), voluntary euthanasia (pasien sadar dan meminta sendiri) dan involuntary euthanasia (pasien sudah tidak sadar dan orang lain yang memutuskan).<br />Untuk kasus tindakan yang akan dibuat oleh keluarga terhadap Tarno termasuk kategori <strong>euthanasia pasif</strong>. Mengapa hanya pasif, apa pendasaran pokoknya? Pendasarannya adalah <strong>prinsip ordinary-extraordinary</strong>. Dalam prinsip ini, tindakan itu menjadi wajib hanya boleh dikenakan pada hal-hal yang biasa dan bisa dicapai oleh orang pada umumnya. Sedangkan hal-hal luar biasa yang pencapaiannya sulit tidaklah boleh dikenakan sebagai kewajiban umum kepada semua orang.<br />Nah, penggunaan selang makanan bagi penderita koma, yang biasanya hanya bisa kita temukan dalam ruang ICU, adalah termasuk kategori extraordinary. Penggunaan ruang ICU tidak bisa kita wajibkan kepada semua orang. Lalu, terkait dengan kasus Tarno, apakah dengan demikian pencabutan selang itu diperbolehkan? Jika, melihat sisi extraordinary-nya, itu tidaklah menjadi masalah. Para moralis dan kaum agamawan umumnya memandang cara ini (euthanasia pasif) tidak masalah. Sebab, dalam kondisi misalnya tidak ada ICU di suatu tempat tertentu, Tarno mungkin sudah tidak bisa bertahan selama 5 bulan. Penggunaan ICU membuat Tarno bertahan hidup lebih panjang. Jadi pelepasan selang mengembalikan kondisi Tarno pada situasi ordinary.<br />Tetapi, jika pelepasan selang itu semata-mata demi alasan ekonomi, tindakan itu tidaklah bijak. Artinya, value dari ekonomi kalah penting dari value dari kehidupan. Bagaimanapun juga kehidupan haruslah diperjuangkan. Toh, keluarga bisa meminta kepada pemerintah untuk membantu meringankan biayanya (ini adalah kewajiban negara untuk menyediakan Jamkesmas bagi warga yang kurang mampu).<br />Dalam Kitab suci, kita bisa <strong>belajar dari tokoh Ayub</strong>. Maka, pemecahan masalahnya bisa menggunakan kisah Ayub ini sebagai cerita inspiratif untuk keluarganya. Keluarga harus diajak tabah, tetap berpasrah pada Tuhan. Jangan hanya semata-mata demi alasan ekonomis saja.<br /><br /><em>Kedua</em>, masalah penggusuran atas nama manfaat (banyak orang).<br />Cara ini seringkali dijadikan kampanye paling efektif dari pemerintah untuk melaksanakan rencana pembangunan dan sekaligus penertiban warga yang tinggal di wilayah pemerintahan mereka. Tetapi, bila kita lihat lebih seksama, <strong>asas manfaat ini tidak bisa dibenarkan</strong>. Meski bermanfaat bagi “banyak” orang, tetap saja ada orang yang dirugikan, meskipun itu hanya “segelintir”. “Segelintir” ini juga manusia lho, bukan mainan. Ingat, pernyataan Kayafas kepada orang Yahudi ketika Yesus akan dihukum, "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa." Pernyataan ini hanya berlandaskan pada asas manfaat. Yesus dikorbankan demi kepentingan banyak orang.<br />Solusinya adalah meminta pemerintah dan warga mencari waktu dan tempat untuk musyawarah. Harus ditemukan <strong>titik temu yang win-win solution</strong>. Tidak boleh ada satu pun yang dirugikan. Di Indonesia sudah ada beberapa contohnya. Pemerintah kota Yogyakarta dan kota Solo termasuk dalam kategori pemerintah yang berjuang tidak sekedar seenaknya menggunakan asas manfaat. Meski ada penertiban, warga yang ditertibkan diberi ganti rugi yang seimbang dan malahan justru menguntungkan warga sendiri.<br /><br /><em>Ketiga</em>, masalah bentrokan antara satpol PP dan warga. Bentrokan ini terjadi sebagai implikasi dari kebijakan penggusuran yang dibuat oleh pemerintah. Satpol PP dalam kasus ini seringkali tidak bisa langsung disalahkan. Mereka hanyalah alat dari pemerintahan. Mereka dibayar oleh pemerintah. Tokoh sentral dalam penggusuran ini adalah pemerintah. Penting di sini digarisbawahi soal prinsip keadilan. Dalam moral sosial, <strong>keadilan dan bonnum commune (kebaikan bersama)</strong> menjadi prinsip yang paling pokok. Ajaran sosial Gereja sudah banyak membicarakan hal ini. Bila menilik pokok permasalahan yang terpenting, pemerintah dan masyarakat harus saling bertemu. Bila di dalamnya ada kepentingan bisnis (pengusaha), maka kelompok ini juga harus ikut dalam pertemuan itu. Mufakat dan hasil yang berimbang dari 3 posisi sentral (pemerintah-rakyat-pengusaha) ini tentu harapannya.<br /><br /></div><span class="fullpost"><br /><br /><p align="justify"><br /><br />KASUS 2<br />Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 4 masalah moral yang utama:<br /><br /><em>Pertama</em>, masalah aborsi. Aborsi adalah termasuk tindakan membunuh. Yang dibunuh adalah janin manusia yang masih di dalam rahim seorang perempuan. Dewasa ini ada kecenderungan antara pilihan pro-life atau pro-choice. Pro life adalah opsi untuk tetap mempertahankan kehidupan, meski dalam keadaan dilematis sekalipun. Sementara pro-choice, si ibu bisa memilih yang terbaik bagi hidupnya (hanya dalam kondisi medis yang harus mengorbankan janinnya).<br />Dalam kasus ini, permintaan Doni tidak ada sangkut pautnya dengan pro-choice (karena bukan persoalan medis). Doni meminta aborsi, karena kehadiran bayi itu tidak diinginkan.<br />Memang, dalam kasus ini tindakan aborsi itu sendiri belum terjadi. Tetapi, <strong>baru ‘niat’ saja sudah membuat tindakannya intrinsik jahat.</strong><br />Aborsi tidak saja masuk dalam kategori membunuh biasa. Dalam Gereja katolik, pelaku aborsi (pelaku langsung maupun tidak langsung) dikenai sanksi eks-komunikasi. Dan rekonsiliasinya harus dipenuhi lewat pengakuan dosa secara khusus. Mengapa berefek demikian? Karena <strong>aborsi pada dasarnya sama saja dengan membunuh manusia yang masih belum bisa membela dirinya</strong>; di mana seharusnya kita menjaga dan merawat janin ini, aborsi justru melawannya. Di sinilah pokok kejahatan dari aborsi.<br /><br /><em>Kedua</em>, masalah kehamilan di luar nikah. Perihal kehamilan di luar nikah, itu terkait dengan moral keluarga. Dalam weekend moral tempo hari kita sudah mendalaminya secara khusus. Problem pokok kehamilan di luar nikah adalah <strong>kesalahan dalam memaknai arti cinta</strong>. Cinta adalah anugerah dari Tuhan yang istimewa. Cinta yang lahir lewat pasangan mestilah dihidupi sebagaimana seperti cinta Tuhan kepada manusia.<br />Selain itu, Gereja juga menegaskan (seperti juga disebutkan dalam kitab suci) bahwa <strong>perkawinan itu adalah sakral</strong>. Perkawinan bukan sekedar hubungan intim suami-istri. Di dalam perkawinan, intrinsik hadir karya Tuhan.<br /><br /><em>Ketiga</em>, masalah kontrasepsi. Meski masalah ini tidak terlalu nyata, tetapi permintaan Doni kepada Santi untuk meminum pil anti-hamil, berarti di dalamnya <strong>ada unsur anjuran penggunaan alat kontrasepsi</strong>. Supaya bahasan untuk masalah ini tidak terlalu rancu, penting diingat bahwa alat kontrasepsi bukanlah diperuntukkan bagi pasangan yang belum menikah. Secara moral alat itu hanya ‘boleh’ digunakan atau dipakai untuk orang yang sudah menikah. Lalu, jika syarat pernikahan sudah terpenuhi, barulah kita bicara bagaimana tanggapan gereja terhadap penggunaan kontrasepsi. Pada intinya, <strong>Gereja tidak memperkenankan pengaturan kelahiran dengan cara penggunaan alat-kontrasepsi</strong>, apalagi jika alat tersebut bersifat kontra-vita (sama saja dengan membunuh/aborsi). Yang gereja minta dari pasangan adalah <strong>pengaturan kelahiran secara alami</strong> (atau istilahnya KB Alami).<br /><br /><em>Keempat</em>, masalah relasi berpacaran lewat facebook. Ada dua cabang masalah dari persoalan ini. Yang pertama soal <strong>bagaimana berelasi yang baik</strong>, dan yang kedua soal <strong>alat komunikasi (facebook)</strong>.<br />Dalam membangun relasi yang baik, apalagi dalam rangka pacaran, haruslah dipergunakan sarana-sarana yang baik dan mendukung pula. Dalam tradisi gereja, masa pacaran adalah kesempatan bagi pasangan untuk sungguh mengenal pasangan, sehingga kelak siap masuk dalam jenjang pernikahan. Sifat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan sungguh mengharapkan setiap pasangan siap sehidup-semati dengan pasangannya. Maka, pacaran menjadi kesempatan untuk sungguh mengenal satu sama lain. Sementara itu, kembali ke kasus kualitas relasi antara Santi dan Doni memang patut dipertanyakan.<br />Lalu, soal facebook. Dalam dirinya sendiri, facebook bersifat netral. Tetapi, di hadapan pengguna, facebook bisa menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi bisa memberi dampak positif, relasi menjadi lebih baik; tetapi bisa memberi dampak negatif, manakala di dalamnya dipenuhi unsur-unsur penipuan. </p><br /><br /><div align="justify"></div><br /><br /><p align="justify"><br /><strong>Solusi</strong> untuk masalah ini adalah merawat janin itu dan membiarkan lahir. Lalu meminta Doni bertanggungjawab dan meminta keduanya meningkatkan relasi sehingga berkualitas. Jika kemudian mesti menikah dini, kualitas relasi itu mesti dikondisikan. Bagaimanapun juga pernikahan dini terhitung cacat. Pernikahannya ada unsur ‘terpaksa’. Yang namanya ‘terpaksa’, di mana-mana seringkali berdampak buruk. Maka buatlah ‘keterpaksaan’ itu menjadi sikap pasrah. Pengalaman ini adalah kesempatan berahmat bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dengan merawat janin itu dan menjalani hidup berkeluarga, rahmat itu pasti direngkuh dengan baik.<br /></p><br /><p align="justify">Catatan: bagian yang dicetak tebal adalah kata-kata kuncinya.</p></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-35819876143231023672011-05-27T10:32:00.002+07:002011-05-27T10:41:05.480+07:00Titipan Untuk Gen. AX dan AY<div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: arial; "><i>Teman-teman yang terkasih dan tersayang, postingan kali ini adalah titipan buat teman-teman yang dikenal sebagai Generasi AX dan AY. Ini 2 kasus yang baik untuk kita pelajari bersama. Dua kasus ini adalah gabungan dari beberapa kejadian/kasus di kehidupan nyata. Semoga kita bisa belajar dari 2 kasus ini!</i></span></div><span class="fullpost" ></span><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" ><br /></span></div><div><p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><u><span style="font-size:12.0pt"><span class="Apple-style-span" >Kasus 1<o:p></o:p></span></span></u></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span style="font-size:12.0pt"><span class="Apple-style-span" >Tragis sekali nasib Tarno. Dalam peristiwa bentrokan antara Satpol PP dan warga Penjaringan, Jakarta Utara, 5 bulan lalu, Tarno menjadi salah seorang korban dari pihak Satpol. Kondisinya sekarang masih dalam keadaan koma di RS Cipto Mangunkusumo. Keluarganya masih mencoba bersabar menanti kesembuhan Tarno, meskipun telah diusahakan pengobatan sedemikian rupa. Dalam peristiwa bentrokan 5 bulan lalu itu, Tarno dan teman-temannya mendapatkan perintah dari atasannya untuk menertibkan dan menggusur pemukiman di wilayah Penjaringan, karena di lahan itu akan segera dibangun Pembangkit Listrik. Bentrokan itu sendiri terjadi karena warga setempat masih menuntut hak mereka atas biaya ganti rugi. Tetapi pemerintah merasa sudah menjalankan kewajibannya, apalagi pemerintah punya alasan kuat, bahwa pembangunan pembangkit listrik ini akan bermanfaat bagi banyak orang. Pemerintah berasumsi para warga Penjaringan sewajarnyalah harus mau bekerjasama, karena ini demi kepentingan orang banyak. Sementara itu, terlepas dari persoalan bentrokan itu, ayah Tarno sudah pasrah dengan kondisi anaknya, bahkan ayahnya telah mengajukan permohonan kepada rumah sakit supaya mencabut selang saluran makanan tersebut dan merelakan anaknya pergi selamanya. Keluarga besar melihat sudah tidak ada harapan dan tanda-tanda kesembuhan dari diri Tarno. Apalagi keluarga sudah tidak sanggup lagi membiayai perawatannya.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom:0cm;margin-bottom:.0001pt;text-align: justify;line-height:normal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: verdana; "><u><span style="font-size:12.0pt">Kasus 2</span></u></span></p> <span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; "><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: verdana; ">Santi mendapati dirinya mengandung. Doni, pacarnya marah habis-habisan karena sebulan yang lalu, pada waktu kejadian itu terjadi, Santi tidak mau minum pil anti-hamil, pil yang biasanya dipakai ibu-ibu bila ingin menjalankan program KB. Doni tidak mau bertanggungjawab atas kejadian ini dan menganjurkan Santi untuk menggugurkan kandungannya. Tapi, Santi takut akan tindakan itu. Sebaliknya, Doni juga menakut-nakuti Santi, sebabnya orangtua Santi kebetulan seorang kepala desa. Doni mengancam, jika Santi tidak mau menggugurkan, pasti keluarganya akan marah-marah, sebab itu menjadi sebuah aib buat keluarga. Belum lagi, masa depan Santi masih panjang, dan sekarang Santi juga baru kelas 1 SMA. Jauh sebelum permasalahan ini muncul, proses pacaran Santi dan Doni terbilang belum lama. Mereka baru berpacaran 3 bulan ini. Mulanya mereka bertemu lewat facebook. Lewat media itu, dan setelah bertukar sekian banyak message, Doni ujung-ujungnya mengajak “kopi darat”. Setelah perjumpaan itu, pertemuan mereka semakin sering. Doni tertarik dan memacari Santi, padahal selisih umur mereka lumayan jauh. Doni sendiri sekarang adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang sudah berumur 27 tahun.</span></div></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; "><span class="Apple-style-span" >Dari 2 kasus ini, cobalah pikirkan pertanyaan-pertanyaan kritis berikut ini:</span></span></div><div><ol><li style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Calibri, sans-serif; line-height: 18px; ">Sebutkan apa saja masalah moral yang ada di dalamnya! </span></li><li style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Calibri, sans-serif; line-height: 18px; ">Tinjaulah masalah tersebut dengan bahasan teologi moral yang sudah kita dalami dan pelajari! </span></li><li style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Calibri, sans-serif; line-height: 18px; ">Dan, berikan tanggapan kritis terhadapnya (ajaran kristiani, ajaran sosial, dsb.)! </span></li><li style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Calibri, sans-serif; line-height: 18px; ">Jika memang perlu, buatlah solusi dan tujukan kepada siapa saja solusi tersebut harus diberikan?</span></li></ol></div>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-33503002716420945862011-05-12T10:24:00.000+07:002011-05-14T03:35:17.889+07:00Perubahan Nama BlogTeman-teman, ada satu hal yang mau saya informasikan lewat blog ini.<div>Saya baru saja mengubah satu nama blog dari trilogi blog yang saya miliki dan kelola.</div><div><br /></div><div style="text-align: center;">Nama blog yang lama adalah ini: </div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><b><span class="Apple-style-span"><a href="http://for-the-better-world.blogspot.com">for-the-better-world.blogspot.com</a></span></b></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;">Sekarang menjadi ini:</div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><b><span class="Apple-style-span"><a href="http://forbetterindonesia.blogspot.com">forbetterindonesia.blogspot.com</a></span></b></div><div><br />Mengenai konten, visi dan misi yang diemban blog tersebut tidak ada perubahan sama sekali.<span class="fullpost"></span></div><div>Ini hanya soal nama blog saja, supaya lebih mendarat dengan isi yang selama ini di posting.</div><div>Judul awal agak terlalu luas jangkauannya, padahal isi tulisannya lebih menyangkut soal Indonesia. Dan, memang Indonesia lah yang hendak disasar. </div><div><br /></div><div>"For better Indonesia" adalah sebuah impian. </div><div>Mungkin ada pertanyaan, apakah Indonesia sekarang tidak baik?</div><div>Menurut saya, Indonesia sekarang sudah baik. Hanya saja ke-baik-an ini perlu dilanjutkan dan dikembangkan lagi; jangan malah menjadi semakin mundur. Oleh karena itu judulnya "For better Indonesia", untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Itulah harapannya! Semoga!</div>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-4756843913136751172011-05-10T12:44:00.003+07:002011-05-10T12:56:01.626+07:00“Cémén Loe!”<div align="justify"><em>“True friends are like diamonds, precious and rare. False friends are like leaves, found everywhere.”<br />--Author Unknown--</em><br /><br />Pernah tidak teman-teman dianggap sebagai penakut? Apapun bentuk dan sumber ketakutan itu, kamu pasti pernah mengalami sebuah ketakutan. Seperti yang dialami Dodi ketika diajak teman-temannya untuk cabut dari sekolah.<br /><br />“Eh, Dod, tahu nggak? Loe tuh masih akan seperti anak kecil, kalau cabut sekali-sekali saja gak berani! <em>Cémén</em> tahu gak sih loe!”<br /><br />Begitulah teman-teman se-<em>genk</em>-nya menggoda Dodi untuk bolos dari sekolah.<br />Ya, ketakutan yang dialami Dodi ini adalah ketakutan karena diajak untuk berbuat sesuatu yang buruk. Ketika muncul ketakutan, hati nurani kita menggugat, apakah mau mengambil tindakan tersebut atau mau menolaknya. Selama kamu masih mengalami sebuah ketakutan, berarti kamu masih sadar bahwa perbuatan itu salah. Sebaliknya, kalau kamu sama sekali tidak merasakan ketakutan itu lagi, dan serta merta mengikuti tawaran temanmu, itu berarti kepekaanmu membedakan yang baik dan buruk sudah mulai berkurang.<br /><br />Tapi, walau begitu, hati nurani kita sebenarnya sama sekali tidak bisa ditipu, atau setidaknya ditutupi atau diabaikan. Hati nurani kita akan menggugat kita pada saat sebelum tindakan dilakukan, pada saat sedang dilakukan dan pada saat setelah tindakan dilakukan. Hanya saja, jika tindakannya terlalu sering diperbuat, ya pastilah, kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang amat biasa. Bukankah, ada pepatah berbunyi “bisa karena biasa, tahu karena mau.” Kita bisa melakukan sesuatu, karena memang kita membiasakan perbuatan tersebut. Kita bisa mengetahui sesuatu karena kita punya kemauan untuk mengetahuinya.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoLfgmuPiGG0yTevIIMPrKAWxNdCuvL7hdMCt_hvGVx0dhNmFEpMNAHgN7QZfQlKXBG3SB25vbdXgHJP6EkCM1Bz-Ba70cHskJPoP1lp5Pun1ip6zmO613M27XzrWDBS9rA3NsjiSnun8/s1600/takut1.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5604961161713577522" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 300px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoLfgmuPiGG0yTevIIMPrKAWxNdCuvL7hdMCt_hvGVx0dhNmFEpMNAHgN7QZfQlKXBG3SB25vbdXgHJP6EkCM1Bz-Ba70cHskJPoP1lp5Pun1ip6zmO613M27XzrWDBS9rA3NsjiSnun8/s400/takut1.jpg" border="0" /></a><br />Pengalaman Dodi tadi bisa menjadi semakin berat jika bumbu ceritanya ditambah begini: ketakutan Dodi terjadi bukan karena soal hati nurani saja, tetapi terjadi karena di bawah ancaman teman-temannya. Dia tidak berani melawan, karena takut kelak pertemanan antar mereka menjadi kacau dan mungkin dia bisa dimusuhi teman-temannya. Nah, kalau soal ini, memang lebih agak rumit. Soalnya yang diangkat adalah bagaimana menciptakan sebuah pertemanan yang baik.<br /><br />Bicara soal pertemanan, memang tidak ada rumusan yang pasti soal ini. Sebab, kita tidak pernah tahu, kelak kita bakal mendapatkan teman seperti apa. Kita hanya bisa mengkondisikan situasinya, memilih sarananya, tetapi orang yang datang kepada kita dan menjadi teman kita itu layaknya seperti sungai mengalir. <em>Let it flows!</em><br /><br />Sederhananya begini, misalkan kamu waktu TK-SD sekolah di tempat tertentu, mungkin di kota kecil lalu kemudian sewaktu SMP dan SMA memilih sekolah di kota besar, pasti ragam teman-teman kita akan amat kelihatan. Demikian pun sewaktu kita memilih untuk ikut kegiatan hobi tertentu, misalnya hobi nge-band, pastilah kita akan bertemu teman-teman dengan karakter yang senada. Kalau kita memilih kelompok hobi dance, pasti berbeda pula dengan karakter teman-teman yang biasa nge-band.<br /><span class="fullpost"><br />Itu tadi baru bentuk kelompok yang kita pilih, selanjutnya pertemanan akan amat bergantung pada pasang-surut kualitas pertemanannya, yang biasanya amat melibatkan emosi kita sendiri. Nah, di sinilah kita bisa menguji bagaimana kita mampu mengembangkan kualitas pertemanan kita. Semakin terlibat secara emosional, kita sebenarnya diuji. Tetapi, sebaliknya kalau kita cuma sekedar ikut-ikutan, tentu saja kualitas pertemanan itu akan biasa-biasa saja.<br /><br />Andai si Dodi berani menolak tawaran teman-temannya untuk bolos, pasti di situ dimensi emosional antara Dodi dan teman-temannya dilibatkan. Andai Dodi bisa memberi penalaran dan alasan yang baik agar tidak membolos, pastilah teman-temannya ikut berpikir dan mengolahnya. Tetapi, andaikan Dodi hanya ikut saja ajakan teman-temannya, dimensi emosinya tentu saja tidak begitu kelihatan, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan, tidak ada banyak pergulatan emosional di sana. Orang yang memilih tindakan berbeda, tentu pergulatannya lebih besar dibandingkan dengan orang yang memilih tindakan yang sama.<br /><br />Mungkin di kemudian hari ada semacam permusuhan atau penolakan atas dasar keputusan yang dibuat Dodi jika dia tidak menerima tawaran dari teman-temannya. Namun justru di situlah kualitas pertemanan kita diuji. Kalau bentuk pertemanan kita ke arah positif, pastilah teman-temannya akan menjadi sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Sebaliknya, jika bentuk pertemanannya ke arah negatif, pastilah teman-temannya akan membiarkan Dodi pergi atau tidak melibatkan lagi Dodi dalam percaturan genk mereka.<br /><br />Pertanyaannya kemudian adalah kembali ke kita. Kamu sebenarnya mau pilih bentuk pertemanan yang seperti apa? From <em>deep our heart</em>, biasanya kita akan memilih pertemanan yang sehat, pertemanan yang mengembangkan. Benarlah kata pepatah kuno, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Setiap keburukan-keburukan yang kita tabung sejak dulu, lama-lama kita akan kelak menuai timbunan keburukan yang lebih besar. Kalau kita menabung kebaikan-kebaikan yakinlah bahwa suatu saat kita akan memanen kebaikan-kebaikan yang lebih besar lagi.<br /><br />Kata Steven Covey, penulis buku <em>Seven Habits</em>, kalau mau jadi manusia efektif, kita harus membuat rekening bank emosional. Kalau sejak kecil kita terbiasa menabung emosi-emosi yang buruk, tabungan kita kelak hanya akan berbuah emosi yang buruk pula. Demikian pun sebaliknya, kalau kita sudah membiasakan menabung emosi-emosi yang baik, tabungan kita akan penuh dengan hal-hal yang baik pula.<br /><br />So, teman-teman, membangun pertemanan itu memang gampang-gampang susah, atau mungkin susah-susah gampang. Terlepas bahwa pertemanan itu seperti sungai mengalir, pasang-surutnya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing pribadi, tetapi peran kita tetaplah besar. Sejauh kita mau terbuka, dimensi emosi dan afektif kita tunjukkan, pastilah pertemanan yang kita buat akan semakin positif.<br /><br />Sekarang kita mau menuai yang mana nih? Tinggal teman-teman yang menentukannya. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Segala yang kita buat, kita harus siap menerima segala resikonya kelak.<br /></div></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-14089877742018518572011-04-22T11:21:00.002+07:002011-04-22T11:24:45.846+07:00DI BAWAH KAYU SALIBMU<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1ryKEw4PsfbFpWujokGTSVymnI5EzWkmZsbVAKOgEvjEnqhNr2sz5YZcceispciMILpbHvrtV_lNvQl4t6aVSjgm7Nv3Vj2PKV21MjS9hsdqRfvHXcVYFI8bI2oR2RFowgzcziJ0wvOk/s1600/yesus-disalib.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5598259018466994322" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 400px; CURSOR: hand; HEIGHT: 277px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1ryKEw4PsfbFpWujokGTSVymnI5EzWkmZsbVAKOgEvjEnqhNr2sz5YZcceispciMILpbHvrtV_lNvQl4t6aVSjgm7Nv3Vj2PKV21MjS9hsdqRfvHXcVYFI8bI2oR2RFowgzcziJ0wvOk/s400/yesus-disalib.jpg" border="0" /></a><br /><br /><div><span style="font-family:trebuchet ms;font-size:130%;">Aku tertegun begitu lama<br />Tubuhku merinding melihatnya<br />Hatiku berat tuk menahannya<br />Jiwaku sperti mau hilang rasanya<br /><br />Di bawah kayu salib-Mu<br /><br />Sukmaku tertancap…<br />Bukan karna tak ingin meninggalkannya<br />Bukan karna tak ada lagi tempat berpijak<br />Bukan karna tak sadar akan rasa dosaku<br /><br />Di bawah kayu salib-Mu<br /><br />Aku temukan kekuatan-Mu yang besar<br />Aku bayangkan hati-Mu yang terperi<br />Aku simpulkan kasih-Mu yang tulus<br /><br />Di bawah kayu salib-Mu<br /><br />Kau ajak aku bertumbuh<br />Tidak untuk sekedar sedih atas salah yang telah kuperbuat<br />Tapi untuk yakin, O betapa tegarnya Engkau menopang aku.<br /><br />Di bawah kayu salib-Mu<br /><br />Kau bangunkan aku untuk ikut memanggul bersama Engkau yang memanggul…</span></div>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-70221958047561547712011-04-12T22:19:00.004+07:002011-06-17T22:52:46.054+07:00Bergaya Trendsetter<div><i>“Each person must live their life as a model for others.”<br />- Rosa Parks –</i></div><div><br /></div>Gile tuh si Sinta! Baru minggu lalu bawa hape Nokia Serie E72, sekarang sudah bawa yang baru, Blackberry Onyx. Up to date banget tuh anak! Kalau jalan-jalan ke mall kaos yang dipakainya juga bagus-bagus. Dia sudah jadi kayak trendsetter gitu. So, koq kita mau-maunya juga ya jadi pengikut gaya dia. Kayaknya kalau gak ikut-ikutan gayanya, rasanya sudah ketinggalan zaman.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEC6IhkDF8e-V647B0g0ffIVJjlciw8fLszvaIUbPwEyNLlDQULdne2FgMlzwXf9oFzTEFEYtVsM1OZxcNyg5geAagfNTez-iwXCHLcKkI4SyrKGKZLZNYgiuFIOoYfAZB_rh5q7-389U/s1600/trendsetters2.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 242px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEC6IhkDF8e-V647B0g0ffIVJjlciw8fLszvaIUbPwEyNLlDQULdne2FgMlzwXf9oFzTEFEYtVsM1OZxcNyg5geAagfNTez-iwXCHLcKkI4SyrKGKZLZNYgiuFIOoYfAZB_rh5q7-389U/s320/trendsetters2.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5594718405242888786" /></a><br />Fren, Trendsetter itu apaan sih?<br />Ah, kamu tuh gak gaul banget sih? Trendsetter itu istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi panutan dalam hal tertentu karena keunikan dan kreativitasnya, sehingga selalu membuat terobosan (breakthrough) di tengah kemapanan yang ada. Sebenarnya pengertiannya sangat luas sekali sebab mencakup semua bidang. Tapi, umumnya sih bidang yang dijadikan trendsetter itu bidang fashion, gadget, IT, dan otomotif.<br /><br />Contohnya juga banyak lho. Liat tuh Agnes Monica, si vokalis trendy, yang hampir setiap penampilannya, dia pakai rambut yang beraneka bentuk dan warna; khan banyak tuh, anak muda yang ikut-ikutan gaya dia. Atau contoh jadul nih, pas zaman Demi Moore masih bergaya botak; banyak juga khan cewek-cewek yang berani memangkas rambutnya sampai habis, padahal aneh banget khan kalau cewek botak, jadinya kayak pak ogah dalam serial Unyil zaman dulu.<br /><br />Kalau yang cowok-cowok biasanya ngikutin gaya pemain sepakbola favoritnya atau ngikutin gaya boyband yang digandrunginya. Udah banyak tuh cowok-cowok yang ikut-ikutan fashion yang dipopulerkan Clubeighties, gaya jadul yang aneh, tapi nyentrik.<br /><br />Eh… tapi jangan salah menduga dulu ya. Trendsetter tidak cuma soal fashion dan buat gaya-gayaan. Nyatanya, di bidang sosial-politik dan ekonomi banyak hal bisa dijadikan topik trendsetter juga. Contoh paling kelihatan ya waktu presiden Chile, Sebastian Pinera mampu menyelamatkan 33 pekerja tambang yang terperangkap di bawah bumi. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagi negaranya. Sudah pasti dia menjadi trendsetter buat tokoh-tokoh politik di negara lain.<br /><br />So, mungkin kamu awalnya agak merasa gak terlalu senang ya dengan istilah trendsetter, soalnya seolah-olah jadi pedoman untuk hal-hal yang aneh. Mungkin, dulu kamu pernah mendengar istilah ini, “hari ini gak punya hape?” Itu khan secara tidak langsung jadi semacam ‘paksaan’ untuk mengajak teman-teman-nya juga punya hape. Kepemilikan hape menjadi semacam trendsetter. Nah, itu dulu! Sekarang mungkin pertanyaannya bisa dibuat begini, “Hari gini gak bisa jadi anak muda berprestasi?”<br /><span class="fullpost"><br /><br />Mungkin dengan cara begitu, kita bisa menjadi trendsetter yang positif dan transformatif bagi banyak orang, seperti Sebastian Pinera itu. Lalu, gimana caranya? Kayaknya susah amat ya jadi orang yang bisa dijadikan panutan.<br /><br />Eits… jangan menyerah dulu. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Bagi yang memiliki kemauan ingin jadi trendsetter yang positif tadi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.<br /><br />Kamu masih muda khan? Atau minimal masih berjiwa muda. Ya nggak? Tunjukkan kemudaanmu dengan semangat dan hati yang berkobar-kobar dong. Artinya, tunjukkan semangat kreatifmu, semangat pembaruanmu. Istilah sederhananya, harus berani tampil beda. Tampil beda sih bukan hal yang buruk, bukan? Tampil beda membuat kita berani mencoba sesuatu yang beda dari yang lain. Tapi, jangan asal beda doang lho ya! Harus pakai prinsip juga. Minimal prinsip demi kemaslahatan bersama, artinya tidak membuat orang lain dirugikan dan menyusahkan orang lain.<br /><br />Bisa jadi pas kita berani tampil beda, orang lain mengejek kita. Jangan sampai tersinggung dan cepat-cepat berkecil hati. Mikirnya simple aja deh, sambil bergurau gini, “Ehh…, kamu tuh… orang sirik itu tanda tak mampu!” Udah banyak lho teman-teman kita yang nyobain jadi trendsetter yang amat positif. Misalnya nih, kayak Cella, temanku yang kuliah di universitas terkenal di Yogya. Dia bersama beberapa temannya memilih meluangkan sedikit waktu senggangnya untuk membuka kelompok belajar buat anak-anak desa, yang mungkin tidak pernah bisa mendapatkan pelajaran tambahan seperti yang bisa dirasakan anak-anak kota. Ini benar-benar tampil beda khan? Mungkin sekarang belum bisa disebut trendsetter, tapi mungkin beberapa tahun mendatang, akan ada banyak kegiatan kampus yang sifatnya kayak gini, kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya keluar-kampus yakni dengan jalan membantu masyarakat. Tidak hanya cuma lewat KKN, tapi lewat keseharian sebagai mahasiswa.<br /><br />Atau kayak temanku di Magelang, Eko namanya. Dia sekarang lagi mengembangkan usaha brownies. Mungkin kamu bertanya-tanya, lho, koq cowok malah dagang makanan? Jangan salah kira lho ya! Temanku yang satu ini sedang mengembangkan usaha enterpreneurship-nya. Ups, istilah apalagi tuh? Susah amat bacanya.<br /><br />Begini teman, entrepreneurship itu arti sederhananya adalah berwirausaha. Eko, temanku tadi, sedang berwirausaha lewat produk kue brownies. Dia umurnya masih 23 tahun lho. Bayangkan umur segitu sudah sukses berwirausaha.<br /><br />Kalau kamu mau tahu, sekarang wirausaha sudah menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Apalagi, pemerintah juga dari tahun ke tahun semakin kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan buat kita-kita. Semakin banyak saja pengangguran baru. Ya, cara yang terbaik adalah berani berwirausaha. Abis kuliah jangan merasa yakin bisa langsung bekerja di sebuah perusahaan besar. So, berpikirlah dengan cara yang lain. Ya, solusi yang lain ya dengan wirausaha itu.<br /><br />Pak Ciputra, sang pengusaha terkenal dari Indonesia pernah mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad enterpreneurship bagi Indonesia. Jadi, gak salah bukan kalau wirausaha adalah trendsetter di kalangan anak muda zaman ini. Lalu, bagaimana caranya? Tidak usah terlalu pusing-pusing. Mulai dari yang kamu suka saja. Kalau kamu suka makan, ya mulailah dari wirausaha di bidang makanan. Kalau kamu suka pernak-pernik, bukalah usaha kerajinan tangan. Mudah khan? Soal modal gimana? Yah, khan kamu punya celengan. Nah, itu dia. Celengannya gak usah beli hape baru. Pakai saja buat modal untuk usaha. Inget pesan ini, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Mulai dari usaha yang kecil, yakin suatu saat usahamu bakal menjadi besar. Tentu dengan kesabaran dan ketekunan.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsBJZuGLeQnCZkossFwOJgHhsDgcDZC2Txu4n2m81nq_BirXDe2XbreUJ3EujLYT2wONB-dt_RdGJhk1e1rYL3ltl4iyRi-w-duu3mchPqKR_n0j7UhHqMChyjR3cNni0ntx8N3ifCa-k/s1600/trendsetters.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsBJZuGLeQnCZkossFwOJgHhsDgcDZC2Txu4n2m81nq_BirXDe2XbreUJ3EujLYT2wONB-dt_RdGJhk1e1rYL3ltl4iyRi-w-duu3mchPqKR_n0j7UhHqMChyjR3cNni0ntx8N3ifCa-k/s400/trendsetters.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5594718603340975682" /></a><br />Tuh khan, kalau dibikin list, banyak juga ya model-model trendsetter yang mengembangkan diri kita. Sederhananya, dalam diri kita tuh ada banyak potensi untuk menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Tidak harus jadi public figure dulu baru kita bisa jadi trendsetter. Dengan jadi diri kita sendiri saja, model trendsetter yang akan muncul pasti amat otentik, gak sekedar ikut-ikutan. Ya nggak?***<br /><br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-12953444524682335352011-04-06T09:35:00.002+07:002011-04-06T09:47:08.982+07:00Cukupkah dengan Chatting?"Ngapain sih lo? Ayo, ikutan diskusi, jangan asyik mainan BB sendiri!" <br />Begitulah Candra memarahi Dina, karena dari tadi Dina tidak fokus dengan rapat koordinasi akhir untuk acara pementasan drama. Dina sibuk chatting lewat aplikasi messenger di Blackberry-nya, sampai-sampai rapat yang dihadirinya tidak lebih penting dari chatting yang dilakukannya.<br /><br />Tidak jarang kita menemui teman-teman kita yang seringkali sibuk dengan gadget yang dibawanya, sibuk dengan orang lain yang ada di luar sana atau jauh di sana, dan kurang menghargai orang yang real ada di depannya. Aneh! Orang bisa sampai bisa tega berbuat demikian. Tubuh real di suatu tempat, tapi hati dan jiwa ada di lain tempat. <br /><br />Ya, ada banyak anggapan bahwa teknologi informasi memang membantu sekali dalam kehidupan sehari-hari kita. Gara-gara alat teknologi ini, semua batas dan sekat bisa dihilangkan. Jarak yang sedemikian jauh bisa dipangkas dengan teknologi supercepat. Kehadiran langsung sudah dinihilkan. Orang bisa hanya dengan videochat atau videocall bisa langsung rapat koordinasi. Pada dirinya sendiri, teknologi ini memang dibuat untuk mempermudah komunikasi manusia.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPZ8YfyPSSPaWPK3ANNLkS2bV6E2jxHQAFcYy4wErExPd81j2ZmdCcg-_-Q7CBRkY8F_WhZET1aP1fxp4SAUy52Qh2TIcRAk9T-hvf1hbJ3Z9bsTqbe79j5L6wLlG6qZzxaG8IJ5Up2Pk/s1600/smsan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 214px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPZ8YfyPSSPaWPK3ANNLkS2bV6E2jxHQAFcYy4wErExPd81j2ZmdCcg-_-Q7CBRkY8F_WhZET1aP1fxp4SAUy52Qh2TIcRAk9T-hvf1hbJ3Z9bsTqbe79j5L6wLlG6qZzxaG8IJ5Up2Pk/s320/smsan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5592296486993515986" /></a><br />Tapi, nyatanya kalau teknologi ini disalahgunakan, ya nasibnya seperti Dina tadi. Dia membuat dunia sendiri, terasing dari teman-temannya. Dia tidak mau terlibat dalam situasi real yang ada di hadapannya. <br /><br />Dina masih lumayan lebih baik. Kakaknya, Rina, lebih parah lagi. Setiap bangun pagi yang pertama-tama dia buat, bukannya bersyukur atas hari yang baru, tetapi dia terduduk termenung memandangi BB, mulai sibuk dengan ‘Rosario’-nya, menyapa teman-temannya lewat twitter. Bak burung berkicau di pagi hari, Rina sudah mulai meng-tweet siapa saja yang bisa disapa. <br /><br />Begitulah yang terjadi dengan situasi komunikasi kita saat ini. Kesadaran real kita kadang terlampaui sedemikian rupa, sehingga kita jadi lupa dengan situasi dan keadaan sekitar kita yang lebih konkret. Ada semacam lompatan komunikasi yang tidak tanggung-tanggung, tetapi mengancam relasi personal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi karena ruang sempit, seperti di dalam keluarga, di dalam rapat seperti kisah Dina, di dalam sekolah, dan masih banyak tempat lain, yang memang mau tidak mau harus kita jumpai setiap hari.<br /><span class="fullpost"><br />Mbak Eileen Rachman dalam tulisannya tentang “Generasi Chatting” mengatakan kalau di masa yang akan datang terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka, akan semakin menjadi problem utama. <br /><br />Meski mungkin ada yang mengatakan pula bahwa komunikasi itu yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya, tetapi masih selalu menjadi pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, yakni sarana apa yang tepat untuk membuat komunikasi itu berkualitas. Tapi, walau bagaimanapun juga kuantitas tetaplah perlu. Karena komunikasi membutuhkan ketersalingan dan keterhubungan yang stabil dan ajeg. Artinya, bagaimana mungkin kualitas komunikasi tercipta dengan baik, jika kuantitas komunikasi tidak pernah direncanakan apalagi dibuat secara kontiniu.<br /><br />Chatting lewat gadget yang ada memang akan menciptakan kualitas komunikasi yang baik, jika kita menempatkan secara tepat. Sudah banyak contohnya lho ya. Kita bisa berkomunikasi dengan mudah dengan pacar kita atau dengan keluarga kita, karena bantuan gadget semacam itu. Coba bayangkan beberapa dekade yang lalu! <br /><br />Syukurlah kita lahir di zaman sekarang. Dulu, papa-mama kita mengalami situasi di mana untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh tempatnya, susahnya minta ampun. Mereka masih menggunakan surat-menyurat atau kalau mau lebih cepat berkomunikasi, harus menggunakan jaringan telpon sambungan langsung jarak jauh yang relatif mahal biayanya. Dengan begitu, sebenarnya alat-alat chatting itu tidak serta merta negatif lho. Ada banyak positifnya juga. <br /><br />Kembali ke kita, kalau mau mencoba menciptakan komunikasi dan relasi yang positif, baiklah kalau kita bisa menempatkan diri secara tepat. Dalam kondisi bertegur sapa dengan orang lain di dalam sebuah pertemuan, entah itu formal maupun tidak formal, berusahalah untuk menghormati orang yang berbicara di depan kita. Karena dengan menghormati orang yang berbicara, kita juga pasti akan dihormati ketika berbicara di depan.<br /><br />Ada sebuah cerita yang menarik tentang ini. Seorang dosen di kampus terkenal pernah hampir marah, karena melihat mahasiswanya bermain hape ketika kuliah sedang berlangsung. Tapi, dia punya akal untuk mengatasi kemarahan tersebut. Tiba-tiba, dia memberhentikan perkuliahan dan membuat semacam simulasi. Simulasinya semacam “agreement”. Dia mengusulkan adanya kesamaan hak soal penggunaan hape di dalam kelas dan selama pelajaran berlangsung. Dia akan berbuat yang sama seperti yang dibuat oleh mahasiswa dalam hal menerima SMS dan panggilan telpon, yakni langsung membalasnya. Sembari mengeluarkan HP-nya, dosen itu mengirim message pada istrinya. Isi pesannya begini, “Ma, tolong setiap lima menit sekali aku dikirimi sms atau sesekali aku ditelpon juga.” Setelah agreement ini disepakati, kuliah dilanjutkan kembali. <br /><br />Kalian tahu apa yang terjadi? Tidak sampai 5 menit, HP pak dosen ini sudah berbunyi. Ada sms masuk. Dia cepat-cepat menghentikan kuliah karena harus membalas sms tersebut. Mahasiswa yang lain pun sibuk melakukan hal demikian, saling sibuk sms. Setelah pak dosen selesai membalas sms, dia melanjutkan kuliahnya lagi. Tapi, tidak sampai 5 menit, hapenya berdering lagi, ada telpon masuk. Serta merta dia menjawab telpon itu. Begitulah, sampai berulangkali terjadi. Kita tahu bahwa nada panggil dan sms masuk itu memang hanya berasal dari istrinya semata. <br /><br />Ketika jam kuliah hampir selesai, ada seorang mahasiswa mengacungkan tangannya dan protes, dia merasa terganggu dengan “agreement” ini. Dia ke kampus untuk kuliah, bukan untuk mendengar dan memperhatikan pak dosen yang sibuk dengan hapenya di ruang kuliah. Beberapa temannya juga mengamini pernyataan mahasiswa tadi. Akhirnya, semua kelas sepakat bahwa selama kuliah semua hape harus di-silent dan disimpan di dalam tas.<br /><br />Kisah lain, mungkin teman-teman masih ingat yakni kisah tentang pelatih timnas sepakbola kita, Alfred Riedl yang marah-marah dengan seorang wartawan yang sedang mewawancarainya, yang tiba-tiba mengangkat hapenya yang sedang berdering. Sementara tangan satunya memegang recorder untuk merekam kata-kata Riedl, si wartawan ini menggunakan tangan satunya untuk memegang hape dan menjawab telpon tersebut. Sehabis wawancara, Riedl mengatakan demikian, “Sangat tidak sopan bila Anda berbicara dengan orang lain saat saya memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Anda. Jika Anda pemain saya, maka Anda akan mendapatkan masalah.” Wah, kejam juga nih pelatih. Tapi, ya semestinyalah kita menghormati orang yang sedang bicara dengan kita.<br /><br />Nah, teman-teman, sekarang pertanyaannya diarahkan pada diri kita sendiri. Kita mau jadi generasi yang terisolasi dan bodoh dalam bersosialisasi atau generasi yang memang semakin baik dalam berelasi dan berkomunikasi? Ditunggu lho jawabannya.***<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-51791772342829642742011-03-27T20:18:00.004+07:002011-05-10T12:41:54.541+07:00TUKANG BECAK (sebuah cerpen)<em>(Cerpen ini selain saya posting di blog ini, juga saya kirim ke Majalah Mingguan Hidup, dan diterbitkan oleh majalah tersebut tanggal 8 Mei 2011. Selamat membaca!)</em><br /><br />Sungguh menyebalkan! Beginilah resiko naik kereta turun di stasiun Tawang dan pas hujan deras. Bukannya disambut dengan suasana yang segar karena bisa liburan pulang ke rumah, tetapi malah dihadang oleh kekalutan kota tua, yang tiba-tiba menjadi seperti kolam kubangan raksasa.<br />Pagi itu, kira-kira pukul 4, aku tiba di kota kelahiranku. Sudah hampir 2 tahun ini aku tak sempat pulang ke rumah. Ada banyak alasan. Entah karena banyak kerjaan di Jakarta, entah banyak masalah, ataupun rasa enggan menghamburkan uang tabungan. Namun, karena sudah untuk sekian kalinya mama memintaku untuk liburan, maka kali ini aku pun mau menurutinya.<br />Seperti biasanya, para tukang becak langsung menyerbu masuk ke peron, menawarkan diri untuk membawakan barang bawaan.<br />“Mas, mau ke mana?” “Di luar banjir, naik becak, Mas!” “Mau diantar ke mana, Mas?” Sebegitu banyaknya orang yang menawarkan jasa untuk mengantarkan penumpang keluar dari stasiun ini. Semua orang ditawari. Mau tidak mau, semua pasti akan menggunakan jasa mereka. Tidak ada pilihan lain. Kecuali mereka yang dijemput keluarga. Tapi, aku tidak!<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX6InP_Wd0JsE4e6XfE0GBL-j8fm6C1m2Om4egd1xK_g3y8n5J8g9mGJSzd0X45O6_w_VxKYmEfH4PdzwWeYjKum21DVUdsiq6hA_Q1Oy7NgmVL_9Et0Df31QBIidM2mwiZRljSHF7ds0/s1600/tukang-becak.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5588750143362935490" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 250px; CURSOR: hand; HEIGHT: 386px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX6InP_Wd0JsE4e6XfE0GBL-j8fm6C1m2Om4egd1xK_g3y8n5J8g9mGJSzd0X45O6_w_VxKYmEfH4PdzwWeYjKum21DVUdsiq6hA_Q1Oy7NgmVL_9Et0Df31QBIidM2mwiZRljSHF7ds0/s400/tukang-becak.jpg" border="0" /></a><br />Aku sebenarnya benci dengan suasana seperti ini. Apalagi, sangkaku, sebagian besar mereka itu bukanlah orang yang baik-baik. Siapa yang tidak tahu kawasan kota tua semarang? Di beberapa tempat, di malam hari, menjadi daerah yang sangat rawan. Aku yakin mereka adalah bagian kehidupan kota tua yang sangar itu.<br />Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah minta papa untuk menjemput. Tapi, dia tidak bisa. Kakinya sakit, asam uratnya lagi kambuh. Maka, aku harus memilih salah satu dari mereka.<br />“Ke Dr. Cipto berapa, Pak?”<br />“Biasa, Mas! 10 ribu saja!”<br />“Ah, koq mahal amat… 5 ribu saja. khan cuma dekat situ… gak ada 1 km.”<br />“Ini khan hujan, Mas… jalannya sulit, air tergenang di mana-mana.”<br />“Pokoknya kalo tidak 5 ribu, saya tidak mau.” Aku berpaling, sambil mencoba mencari-cari becak yang lain.<br />“Mari, Mas!” sebegitu cepatnya bapak tadi menarik tasku, dan kemudian mempersilakan aku naik ke becaknya.<br /><span class="fullpost"><br />Aku begitu senang, karena penawaranku diterimanya. Tak lama kemudian, kayuhan bapak itu mulai menggerakkan roda becak. Sementara aku menikmati ketenangan karena terhindar dari air, aku mengajak ngobrol bapak tadi.<br />“Kalo boleh tahu, Bapak orang mana ya?”<br />“Saya itu orang Salatiga. Keluarga saya ada di sana,” jawabnya.<br />“Lha, bapak apa tidak pernah pulang ke rumah?”<br />“Sesekali saja pulang. Biasanya hari sabtu malam. Tapi, itu tidak tentu. Tergantung penghasilannya berapa setelah kerja seminggu. Sayang kalo uangnya habis untuk ongkos bis.”<br />“Putra bapak berapa?”<br />“Saya punya 4 anak. Yang besar kelas 1 SMA. Yang kedua kelas 2 SMP. Yang satunya kelas 4 SD dan yang kecil masih umur 3 tahun.”<br />“Bapak, di Semarang tinggal di mana?”<br />“Boro-boro punya kontrakan, Mas. Untuk makan harus menyisihkan uang secukupnya. Kalo tidak seperti itu, bagaimana saya bisa bawa uang untuk keluarga.”<br />“Lho, terus tidurnya di mana?”<br />“Tergantung. Tapi biasanya saya tidur di stasiun. Di atas becak sudah nyaman koq.”<br />“Ini becak Bapak, bukan ya?”<br />“Bukan! Ini becak juragan. Per hari saya mesti setor 10 ribu.”<br />Tak terasa, kayuhan becak bapak tadi sudah mengantar aku persis di depan gang masuk rumahku. Aku minta diturunkan di depan portal saja, karena memang tidak mungkin untuk menerobos masuk. Biasanya portal baru dibuka oleh penjaga sekitar jam 6 pagi. Aku ambil uang 10 ribuan, dan kuberikan ke bapak itu.<br />“Ini kembaliannya, Mas!”<br />“Gak usah, Pak! Ambil saja semuanya!”<br />“Maturnuwun!”<br />“Sama-sama, Pak!”<br />***<br />Seharian aku tidak beranjak dari tempat tidur. Papa-mama senang sekali melihat kedatanganku. Seperti pucuk dicinta, ulam tiba. Kerinduan mereka benar-benar terobati. Mereka inginnya siang tadi aku sudah bangun dan ingin bertanya banyak tentang apa saja kegiatanku selama ini di Jakarta. Tapi aku tak begitu peduli. Aku tetap saja di dalam kamar. Namun sore ini, aku dipaksa bangun oleh mama. Kebetulan ini Sabtu sore.<br />“Ayo ke Gereja. Papa-mama dan adikmu akan ke Gereja sore ini, soalnya besok siang ada undangan mantenan di PRPP.”<br />Berat rasanya untuk melepas bantal. Apalagi, di Jakarta aku juga jarang pergi ke gereja. Bagaimana mau pergi ke gereja? Kadang hari sabtu saja aku masih di kantor. Hari minggu sepertinya benar-benar barang langka yang sayang untuk dibuang, kecuali untuk bermalas-malasan di tempat kos.<br />“Ayo, 15 menit lagi, papa sudah mau jalan lho!”<br />Mendengar suara terakhir dari mama, sedetik aku berpikir.<br />“Iya, ya! Mending aku berangkat ke Gereja saja. Supaya mama tidak bertanya-tanya soal apakah aku sering ke Gereja atau tidak selama di Jakarta.” Selama ini aku memang selalu bersilat lidah dengan mama lewat telpon. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak pernah lupa ke gereja. Padahal kalau dihitung-hitung, mungkin selama 2 tahun ini aku ke gereja cuma 10 kali.<br />***<br />Baru saja aku selesai doa sehabis menerima komuni, tiba-tiba mataku tertabrak dengan sesosok pria yang sedang berjalan persis di samping barisan bangkuku. Aku masih ingat. Rasanya belum lama ketemu bapak ini. Iya, benar! Persis baru tadi pagi aku ketemu bapak ini. Dia tukang becak yang mengantarku dari stasiun.<br />Setelah berkat penutup, aku bergegas keluar Gereja dan mencari Bapak itu. Aku mencari ke sana-ke mari. Sampai akhirnya aku menemukan Bapak tadi persis berada di dekat pintu gerbang Gereja. Aku mendekat ke sana.<br />“Pak, masih ingat saya?”<br />“Masih koq, Dik! Khan baru pagi tadi kita ketemu”<br />“Lho, bapak ke Gereja ya?”<br />“Iya, saya orang Katolik. Sudah dua bulan ini saya banyak membantu di Gereja setiap sabtu sore. Saya ikut misa, sekalian membantu satpam untuk jaga parkir. Cari uang tambahan sedikit. Tapi, setelah semua selesai, nanti saya langsung ke Salatiga. Sudah 3 minggu saya tidak pulang.”<br />“Kalo boleh tahu, nama Bapak siapa?”<br />“Nama saya Pak Harno! Lha adik namanya siapa?”<br />“Panggil saja saya Widi, Pak!” Tiba-tiba mama memanggilku untuk segera masuk ke mobil.<br />“Ok, Pak. Sampai ketemu lagi,” sapaku kepada pak Harno.<br />Ketika mobilku sampai di portal persis di depan pak Harno, Aku memberikan 2 lembar uang kertas, 10 ribu untuk parkir dan 50 ribu langsung kuberikan ke Pak Harno.<br />“Ini untuk bapak. Buat oleh-oleh untuk keluarga di Salatiga. Salam ya, Pak!”<br />Dalam perjalanan pulang aku merenung. Seorang Pak Harno yang telah bekerja begitu berat dan keras, nyatanya dia masih tetap setia untuk pergi ke Gereja, mengikuti Ekaristi, dan bertemu Tuhan. Sungguh berbeda dengan aku. Karena alasan capek bekerja, aku lebih sering tidak pergi ke Gereja. Untuk satu hal ini aku masih berhutang pada Pak Harno. Minggu depan, kalo bertemu lagi, aku akan bertanya, rumahnya di Salatiga di sebelah mana. Toh Semarang-Salatiga tidak jauh. Sekali-kali aku akan main ke sana.***<br /><br />Semarang, Januari 2011<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-80985277790305876302011-03-23T09:22:00.001+07:002011-03-23T09:24:07.661+07:00Iman mengalahkan Kesombongan dan Dendam (Mrk 11:11-26)Pada bagian pertama injil ini kita bisa melihat aspek kemanusiawian pada diri Yesus. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus mendapatkan dirinya lapar. Dari jauh Ia melihat pohon ara, tetapi didapatinya pohon ara itu tidak berbuah. Yesus kesal karena tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, lalu Ia mengutuk pohon tersebut.<br /><br />Pada bagian berikutnya, Yesus juga menampakkan dirinya yang kesal dan marah. Di Bait Allah, Yesus mengusir para pedagang dengan segala barang jualan mereka. Tindakan ini lebih ganas daripada sekedar kutukan. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikan-Nya. Yesus marah dan mengatakan: “Bukankah ada tertulis Rumah-Ku disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun.”<br /><br />Maaf, mungkin bagian yang terakhir ini agak sensitif, karena lagi hangat dibahas di milis internos soal misa imlek. Tetapi saya tidak ingin membahasnya juga. Selain memang bukan pada tempatnya, saya juga setuju dengan romo Heru, kesannya kog nganeh-nganehi. <br /><br />Kembali ke Yesus. Kalau kesan nganeh-nganehi itu dikenakan pada Yesus, tampaknya koq Yesus memang juga nganeh-nganehi.<br />Di mana letak nganeh-nganehinya?<br />Pada bagian pertama, Yesus semestinya tahu bahwa pada waktu itu bukanlah musim buah ara. Sehingga tidaklah perlu sampai mengutuk pohon ara itu.<br />Demikianpun juga di Bait Allah. Yesus juga aneh. Dia tanpa ba-bi-bu, tanpa pakai permisi atau semacam teguran/peringatan dulu, tiba-tiba langsung melabrak para pedagang dan menghancurkan barang dagangan mereka. <br /><span class="fullpost"><br />Tetapi, mungkin dalam kacamata kita, tindakan Yesus itu nganeh-nganehi. <br />Di balik tindakan itu, Yesus hendak menyampaikan sesuatu.<br />Pohon ara dalam kitab suci sering dilambangkan sama seperti kebun anggur, yakni umat pilihan Allah. Yesus berharap umat Israel menghasilkan buah kasih sejati. Baik buah kasih sejati kepada Allah maupun buah kasih kepada sesama. Namun, kenyataan apa yang dihadapi-Nya? Israel maupun Bait Sucinya sama sekali tidak menghasilkan buah yang indah itu. Yang ada ialah kepura-puraan, fanatisme kurban, pemeliharaan hukum tanpa jiwa, dan kebohongan. <br /><br />Soal musim buah ara yang belum tiba juga mengartikan bahwa misi Yesus belum tiba saatnya. Karya penebusan masih dalam prosesnya. Begitulah Markus hendak bercerita. Markus perlahan-lahan membuka misteri Kristus pada sidang pembaca. <br /><br />Beberapa hari ini, seperti Anda ketahui, saya sedang dalam situasi susah. Operasi gigi di malam minggu yang lalu membuat gerak saya jadi agak terbatas. Gerak untuk makan, gerak untuk bicara, gerak untuk bepergian. Belum lagi beberapa teman menggoda, entah dengan mengajak untuk mentraktir atau diajak ke concat. Dengan kondisi gigi yang sakit ini, ajakan itu tentu saja akan mentah-mentah saya tolak, karena nganeh-nganehi atau tidak mungkin.<br />Lalu, pada sore kemarin, mungkin karena giginya masih agak sakit, saya juga jadi kesal; kesal pada komunitas, karena tradisi sport bersama sudah tidak jalan lagi. Meski mungkin tidak semua suka futsal, tetapi yang bisa futsal, yang ada saja sama sekali tidak punya keinginan untuk futsalan lagi.<br /><br />Ya, suasana kesal hati saya hampir separalel dengan kekesalan hati Yesus. Sore kemarin setelah futsalan dengan anak-anak Loyola, saya punya rencana untuk menulis sesuatu di papan whiteboard di ruang rekreasi frater. Saya hendak menulis, “Quo vadis Sport?” besar-besar. Tapi tindakan itu tidak sampai dibuat.<br /><br />Pada malam hari, sehabis makan malam, ketika hendak menyiapkan renungan untuk pagi ini, saya mendapatkan insight untuk bahan refleksi saya. Itu ada pada bagian akhir injil ini.<br /><br />Di situ, Yesus menanggapi murid-murid-Nya dengan cara yang amat berbeda. Saya terkesan dengan tanggapan Yesus ini. Pada mulanya, murid-murid-Nya amat bangga kepada Yesus karena pohon ara yang dikutuk Yesus benar-benar kering. <br />Tetapi Yesus berpikir lain. Yesus tidak melihat itu sebagai sesuatu yang perlu disombong-sombongkan.<br />Bagi-Nya yang paling hebat bukan kemampuan mengeringkan pohon dalam waktu beberapa jam atau langsung, bukan juga mengusir para pedagang dari Bait Suci, melainkan iman. Iman memang diberikan oleh Tuhan. Tetapi, kalau manusia tidak mau menerima anugerah ini, Tuhan pun tak berdaya. Dan sebaliknya, kalau manusia mau beriman dan belajar untuk sungguh beriman, Tuhan tak mampu menolak doanya.<br />Untuk beriman dengan baik, manusia harus membebaskan dirinya dari segala sesuatu yang bernama: benci, dendam. Hanya manusia yang sungguh tulus mengampuni saudaranya, dapat disebut beriman. Sebab iman melandaskan dirinya pada sesuatu yang tak kelihatan, yang tak terjangkau secara fisik. Iman selalu mengandalkan Tuhan saja. <br />Oleh karena itulah, pada bagian akhir refleksi saya tadi malam, saya berpikir mungkin kalau saya terus merasa sakit hati karena tidak bisa futsal rame-rame dengan saudara se-komunitas, dan memaksa menuliskan pernyataan tadi di whiteboard komunitas; mungkin sakit gigi saya justru tidak akan sembuh-sembuh. Benar juga kata Meggy Z, “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi saja.”<br />Dan benarlah kata Yesus, “jika kamu tidak mengampuni, maka Bapa-Mu yang di sorga juga tidak akan mengampuni.” <br />Begitulah maksud Yesus sebenarnya. Semoga permenungan injil hari ini membantu kita untuk semakin beriman dan percaya kepada Allah. Amin.<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-63793052388971762292011-03-22T12:09:00.004+07:002011-06-17T22:51:17.187+07:00Menjadi Manusia Bebas<div align="justify"><em>“Freewill means that the Universe never judges, never interferes with your own<br />choices - and sees you as a being of equal creative power.”<br />--Joy Page</em></div><div align="justify"><br /></div><div align="justify">Slogan yang paling sering dikumandangkan oleh orang muda adalah kebebasan. Ya, bagi mereka, kebebasan adalah ruang untuk menunjukkan jatidiri. Kebebasan adalah ruang untuk mandiri. Kebebasan adalah tempat untuk belajar. Tapi, mereka juga berpikir bahwa kebebasan adalah kemungkinan untuk bisa buat ini-itu. Kebebasan adalah bisa lepas dari kekangan dan pantauan orang lain. Kebebasan adalah semau gue. Lalu, apakah kebebasan itu memang seperti gambaran tadi semua?<br />Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Orang muda secara bertahap menuntut ruang kebebasan itu. Mulai dari menuntut kebebasan dari pantauan orangtua. Kemudian menuntut ingin bebas dari kewajiban-kewajiban di sekolah: ingin bebas dari tugas dan PR, ingin bebas dari kegiatan yang tidak diminati. Lalu berkembang ingin bebas dari segala hal-hal yang tidak disukainya. Dan ingin bebas untuk mengekspresikan dirinya, entah bagaimana caranya, yang penting eksis.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxk1187bRzGGaXHyGDMkaIcCunnwuhoWbnshdDztDLsXlMRbc7QiRPW1kmZOyxxdbqtkOixv-ji42PzbVfGNtTRiVMRBOWUHpPStwQ0S0kHoj5l9_Sx67MDTTqBrS-j-dlvmlDi_vjc6o/s1600/bebas.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 282px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxk1187bRzGGaXHyGDMkaIcCunnwuhoWbnshdDztDLsXlMRbc7QiRPW1kmZOyxxdbqtkOixv-ji42PzbVfGNtTRiVMRBOWUHpPStwQ0S0kHoj5l9_Sx67MDTTqBrS-j-dlvmlDi_vjc6o/s320/bebas.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5586768065637177458" /></a><br />Demikianlah yang dialami Yudi dalam hidupnya. Selepas lulus SMP, dia melanjutkan studi di luar kota, di tempat pamannya. Dia begitu senang karena bisa bebas dari pantauan dan bebas dari kewajiban-kewajiban yang harus dibuatnya sebagai seorang anak. Tapi, dalam kebebasan itu ada ketegangan seperti yang tampak dalam gambaran kebebasan di awal tadi. Di satu sisi dia dihadapkan pada ruang untuk belajar mandiri dan menentukan hidup sendiri, tetapi di sisi lain dia terpasung pada konsep bebas semau gue. Setelah lulus SMA, Yudi tidak mau lagi tinggal di rumah pamannya. Dia tinggal di kos-kosan. Ruang kebebasan itu lebih besar lagi. Yudi sangat merasakan hal itu. Dalam ruang kebebasan penuh, dia bisa melakukan apa saja. Dia mau hidup kacau ya bisa. Dia mau hidup baik juga bisa.<br />Teman-teman, manusia adalah mahluk ciptaan yang paling sempurna. Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Oleh karena itu, secara kodrati, manusia memang terlahir bebas. Kita adalah manusia bebas. Tidak harus menunggu sampai umur 17 tahun, kita memang terlahir untuk menjadi manusia bebas. Dalam kehidupan, kita pun bebas untuk memilih apapun. Karena menjalani hidup itu pada dasarnya adalah menjalankan pilihan-pilihan bebas kita.<br />Lalu, apa artinya pantauan dan proteksi yang dibuat oleh orangtua? Apa artinya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh sekolah dan guru? Apakah itu artinya mereka melawan hakekat kodrati kita sebagai manusia yang diciptakan bebas?<br />Tidak! Mereka sama sekali tidak mengekang kebebasan hidup kita. Dengan melihat dari sudut pandang berbeda, seperti yang dimaksud dengan hadirnya buku ini, saya akan mengajak teman-teman untuk memahami dengan cara lain. Kita mulai dari yang sederhana. Ketika kita lahir ke dunia, sebagai seorang manusia baru, analogikan saja bahwa kita bagaikan ‘kertas kosong’, yang masih putih bersih tanpa coretan sedikit pun. Sebagai sesuatu yang baru dan masih bersih, tentu saja kertas putih itu masuk dalam sebuah ancaman. Ancaman itu bisa berupa coretan yang tidak jelas, sobekan yang tidak perlu, dan sebagainya. Maka, supaya hal-hal yang merusak itu tidak terjadi, ‘kertas putih’ haruslah dijaga, dirawat dan mulai ditulisi dengan hal-hal yang baik. Begitulah sebenarnya peran orangtua dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah bukti tanggungjawab mereka untuk menjaga hidup kita. Kehadiran mereka tidak untuk merusak kebebasan yang terpatri sejak kita lahir.<br /><span class="fullpost"><br />Sama halnya di bangku sekolah. Sejak awal masuk sekolah sudah jelas khan kalau kita memang diserahkan oleh orangtua untuk dididik. Bukan maksud mereka untuk melepaskan begitu saja hidup kita. Mereka tahu bahwa ‘kertas putih’ tadi harus ditulis dengan ‘tulisan-tulisan’ yang baik, yakni dengan pendidikan yang baik. Maka, tuntutan dari sekolah, entah berbentuk tugas atau ujian, adalah bentuk tanggungjawab mereka untuk menjaga kita. Kebebasan kita yang sudah terpatri sejak lahir tidak sama sekali terpasung. Pendidikan di sekolah justru menjadi ruang untuk mengaktifkan ruang kebebasan kita.<br />Lalu, bagaimana dengan aturan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat? Nyatanya setelah kita beranjak dewasa, ketika sudah mulai bisa mandiri, kita justru terpasung oleh aturan dan norma yang ada?<br />Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan dan norma tersebut. Kita memang terlahir bebas. Tetapi kita tidak bisa hidup bebas semau gue. Kita hidup bersama orang lain. Kalau semua orang berprinsip bahwa kebebasan adalah hidup semau gue, mau jadi apa dunia ini nantinya. Salah-salah yang ada mungkin adalah suasana khaos. Tentu bukan itu yang kita harapkan, bukan?<br />Aturan dan norma dibuat adalah untuk menata manusia yang ada di dalamnya. Itu dibuat untuk memberi kejelasan atas ruang yang luas bagi kebebasan kita. Jika tidak ada aturan dan norma, semua orang pasti akan terganggu kebebasannya. Lho koq bisa? Coba saja kamu bayangkan. Andaikan dunia ini tidak pernah ada aturan dan norma. Apakah semua orang bisa bertindak bebas? Yang ada malah orang akan saling bertengkar dan berkonflik karena kebebasan mereka terganggu. Akhirnya, bukan kebebasan yang didapat, tetapi malah kehancuran hidup kita sendiri.<br />Tapi, kalau kita mau hidup ekstrim ya bisa juga sih. Kalau mau ingin hidup bebas semau gue, tetapi juga tidak terlibat dalam konflik itu juga bisa dilakukan. Caranya gampang. Tinggal aja di suatu tempat sendirian, dan berusahalah untuk tidak ketemu siapa-siapa. Wah, kalau itu memang terlalu ekstrim. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukannya. Cerita dongeng tentang Tarzan saja menunjukkan bahwa dia sendiri tidak bisa mungkin hidup sendirian. Meski memang tidak ada manusia lain yang menemani, nyatanya dia juga butuh mahluk hutan lainnya agar dia bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.<br />So, teman-teman, kita tidak perlu merasa terpasung oleh aturan dan norma yang ada, tidak perlu merasa kecewa karena orangtua selalu memantau kita. Semua itu ada dan dibuat supaya kebebasan yang ada dalam diri kita tetap terpelihara dengan baik. Saya yakin, besok pun kalau kamu gantian menjadi orangtua, pasti juga membuat hal yang sama buat anak-anak kalian. Kamu pasti akan menjaga dan merawat mereka.<br />Satu hal lagi yang mesti segera kita sadari soal kebebasan adalah bahwa prinsip yang paling pokok bukan menuntut “kebebasan dari” apa tetapi berpikirlah mengenai “kebebasan untuk” berbuat apa. Artinya, kita tidak perlu berlelah-lelah atau pusing mencari cara untuk terhindar atau bebas dari hal-hal yang kita ‘anggap’ membuat diri kita tidak bebas. Tetapi, carilah hal-hal yang membuat kita bisa “bebas untuk” berbuat apa. Kalau begitu khan cara kita memandang kebebasan jadi positif, bukan? Yup, begitulah seharusnya yang terjadi.***<br /><br /><br /></span></div>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-46050859043035130032011-02-23T22:37:00.003+07:002011-02-23T22:43:04.174+07:00Thinking Otofdeboks<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjShJQCSlAJrqzhKWPcAQ_X81HzUFvadobQyIe3fq2jm3LAHJQt43pqp5ebrYGkvvLoxFcnxHHMCE2-jzW1w4nSchE8ja_bGk5XHCtLiqMyIVxf5ccBCXh-LB2mGDIwMmEr6mvf2NlCVKQ/s1600/pemuda.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 261px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjShJQCSlAJrqzhKWPcAQ_X81HzUFvadobQyIe3fq2jm3LAHJQt43pqp5ebrYGkvvLoxFcnxHHMCE2-jzW1w4nSchE8ja_bGk5XHCtLiqMyIVxf5ccBCXh-LB2mGDIwMmEr6mvf2NlCVKQ/s320/pemuda.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5576910717356344050" /></a><br />Rekan-rekan muda yang masih berjiwa muda dan bersemangat muda, mungkin di antara kalian seringkali mendengar istilah “thinking out side the box”. Sebenarnya istilah ini amat identik dengan diri kita yang sering dicap berjiwa pemberontak, ingin lepas dari kemapanan. “Out of the box” arti sederhananya adalah berpikir di luar ‘kotak’, berpikir di luar kebiasaan umumnya atau mempunyai cara yang berbeda dalam memecahkan suatu permasalahan. Atau dengan kata lain, cara berpikirnya menggunakan carapandang dan perspektif yang baru.<br /><br />Apakah ada yang salah dengan cara berpikir ini? Tentu saja tidak, justru sebagai orang muda, cara berpikir seperti inilah yang mesti ditunjukkan. Sayang jika kita menganggap diri kita masih muda, tetapi kita tidak bisa menunjukkan kualitas kemudaan dalam ide dan cara bertindak kita. “Out of the box” menunjukkan realitas yang kreatif dalam diri kita. Out of the box menunjukkan jatidiri kita.<br />Masa muda amat identik dengan pertumbuhan. Masa muda adalah periode untuk berkembang menjadi pribadi yang kita impikan dan cita-citakan. Masa muda adalah masa di mana manusia secara psikologis berada pada fase “becoming” di dalam dirinya. Maka dari itu, kesadaran bahwa dirinya tumbuh haruslah dibina dengan cara hidup yang dinamis pula. Aneh rasanya kalau masih muda kehidupannya menunjukkan pola stagnasi. Nah, rekan-rekan muda, pertanyaannya sekarang, kalau kalian belum mengembangkan cara berpikir “out of the box”, kira-kira bagaimana mengembangkannya?<br /><span class="fullpost"><br />Kita mulai dengan sebuah kisah yang dialami Toni. Suatu hari Toni mendapat jatah memimpin rapat OMK yang agendanya hendak mencari bentuk kegiatan yang perlu dibuat oleh pengurus agar banyak rekan muda mau terlibat dalam kegiatan OMK. Selama ini, OMK di tempatnya seperti mati suri. Secara cacah jumlahnya lumayan banyak, lebih dari seratus orang. Tetapi, dinamika yang dibuat OMK tidak pernah ada berita dan gaungnya. Pengurus OMK sebenarnya ada, tetapi mereka hanya tercantum namanya saja di kepengurusan. Para pengurus bingung mau berbuat apa, sementara kalau mau buat sesuatu saja tidak ada yang berminat ikut. Banyak yang mengatakan kegiatan OMK sekarang sudah terlalu kuno, maka kurang menarik dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan di luar gereja.<br />Dalam rapat itu, Toni mengumpulkan sumbang saran dari teman-temannya yang masih cukup care dengan kegiatan OMK. Beberapa rekan mengusulkan agar diadakan misa kreatif khusus untuk anak muda. Bicara soal misa kreatif, kegiatan ini sebenarnya sudah dua kali diadakan. Memang tidak dibuat rutin, karena memakan biaya yang besar dan hasilnya tidak terlalu berpengaruh pada OMK. Beberapa rekan mengusulkan acara khusus anak muda seperti acara valentine. Tapi, berhubung waktunya masih lama, mungkin itu untuk rencana jangka panjang saja.<br />Usulan yang masuk di dalam rapat ini cukup banyak. Namun sebagian besar dari usulan ini selalu terkendala dengan biaya yang dibutuhkan dan jumlah personelnya tidak mencukupi. Maka, lagi-lagi apa yang sudah dibayangkan dan diimpikan pasti jadi mentah lagi.<br />Apa yang dihadapi Toni dan teman-temannya hampir hanya terkurung di dalam “thinking inside the box”. Mereka hanya berpikir soal yang normal-normal saja. Kira-kira, kalau berpikir tentang “out of the box”, hasilnya akan seperti apa ya?<br />Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melatih diri kita supaya bisa berkembang dalam pola pikir “out of the box”. Yang pertama adalah terbuka pada sesuatu yang berbeda dan melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda. Dalam kisah Toni tadi, para pengurus sebaiknya mencari cara berpikir yang baru. Jika penggunaan misa kreatif tidak efektif buat mengumpulkan OMK, maka mereka harus mencari cara yang benar-benar baru. Tidak salah bukan, jika cara-cara yang benar-benar baru dicari dan kemudian dicoba. Jika gagal lagi, itu bisa menjadi masukan untuk format dan bentuk kegiatan yang baru lagi.<br />Yang kedua, belajarlah untuk mendengarkan dan menimba ilmu dari orang lain. Itulah pentingnya ada orang lain. Diri kita selalu punya keterbatasan. Maka, kehadiran orang lain sebenarnya bisa menjadi kekayaan bagi kita. Dalam pengalaman Toni, pantaslah jika pengurus mencoba belajar dari pengalaman OMK di paroki lain. Bisa jadi, di tempat lain ada bentuk baru yang cocok pula di tempat Toni. Belajar pada orang lain berarti belajar juga pada OMK yang separoki, yang tidak terlibat pada kepengurusan. Semestinya mereka ‘jemput bola’, bertanya kepada rekan-rekan muda, kira-kira apa yang mereka inginkan dan impikan sebagai orang muda. Keinginan pengurus belum tentu keinginan dari para peserta. Dengan demikian masukan-masukan akan semakin diperkaya.<br />Ada pepatah mengatakan “Masuk pintu mereka, ke luar pintu kita.” Demikianlah strategi ini sewajarnya diterapkan dalam menggerakkan orang muda. Pengurus mestinya mencari tahu lewat ‘pintu’ yang dimiliki oleh rekan-rekan muda lainnya, baru nanti setelahnya kita akan mengarahkan mereka pada nilai-nilai (‘pintu kita’) yang kita perjuangkan.<br />Yang ketiga, menciptakan nilai dengan cara-cara yang baru. Lha, bagaimana itu bisa dibuat? Dalam kisah Toni, misa kreatif yang dibuat sebenarnya membawa nilai yang amat positif. Misa kreatif meningkatkan peranserta OMK dalam ekaristi, yang menjadi sumber dan puncak hidup orang kristen. Dengan peningkatan itu, OMK diharapkan semakin terlibat lebih jauh dalam buah-buah ekaristi. Tetapi, karena ternyata tidak membawa dampak yang signifikan, mengapa tidak dipikirkan cara yang baru. Misalnya, guna mendukung aspek-aspek penting dalam misa kreatif, dibentuklah kelompok-kelompok kategorial seperti kelompok teater, kelompok musik, kelompok penari, kelompok dekorasi, dsb. Kelompok kategorial ini haruslah dibuat kegiatan rutin, entah dalam bentuk latihan mingguan atau workshop kecil guna pengembangan diri. Jika hal ini dipikirkan oleh Toni dan teman-teman pengurus, pastilah mereka tidak akan menemukan kendala yang besar. Sebab, misa kreatif benar-benar berasal dari OMK, dibuat untuk OMK, dan setelahnya juga kembali kepada OMK. Misa kreatif menjadi sebuah lingkaran konsentris dan berkesinambungan. Dari cara seperti ini, kita akan melihat sebuah nilai baru muncul. Tidak lagi hanya nilai partisipasi dalam segi kuantitas tetapi juga nilai kebersamaan sekaligus kualitas diri dalam OMK masing-masing.<br />Nah, tidak sulit bukan bagi kita untuk berpikir “out of the box”? Kalau begitu, mulailah melatihnya dan mempraktekkannya. Yakinlah kalau kalian terbiasa dengan cara berpikir seperti ini, segala kesulitan dan permasalahan pasti ada jalan keluarnya.***<br /><br /><br /><blockquote><em>“Thinking out of the box. Only those who see the invisible can do the impossible.”<br />- Dr. B. Lown -</em></blockquote><br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-25498617308564559592011-02-03T08:51:00.004+07:002011-02-03T08:58:14.148+07:00Out Of The BoxTeman-teman, kamu masih berjiwa muda khan? Kalau memang kamu sadar masih muda, ayo mulailah belajar berpikir “out of the box”! Anak muda itu selalu punya semangat besar, semangat pembaru, semangat yang berbeda dari yang lain. Nah itulah semangat “out of the box”, berani berpikir dan bertindak di luar kemapanan dan kenyamanan.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjf0gbD4qVBf472kquBPZKyqV99varJS-NyVKspZUU_wC2N6bmc9zSa1rBSPjspRZx58at0VzhWFhuDZdj26m-CM5S5a7QKIfVFHuT0ralMe4tWq1A2_IT-bhc5aahpmgqhZXNLA0tDqA/s1600/out-of-the-box.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 260px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjf0gbD4qVBf472kquBPZKyqV99varJS-NyVKspZUU_wC2N6bmc9zSa1rBSPjspRZx58at0VzhWFhuDZdj26m-CM5S5a7QKIfVFHuT0ralMe4tWq1A2_IT-bhc5aahpmgqhZXNLA0tDqA/s320/out-of-the-box.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5569276329230795058" /></a><br />Tulisan-tulisan sederhana ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, tapi berniat dalam maksud yang sama dengan konsep “out of the box”. Selamat membaca!<br /><br /><span class="fullpost"></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-87998805564050632062011-01-26T11:48:00.003+07:002011-01-26T12:02:39.667+07:00Hampir setahun tidak posting...Kata ahli IT, era blogging hampir berlalu.<br />Untuk bisa eksis di dunia maya, tidak perlu sulit-sulit lagi buka blogspot ato wordpress. Sekarang, lewat twitter, orang dengan mudah menyampaikan statusnya terkini.<br />Semua begitu mudah, dengan hanya mengetikkan beberapa kalimat, seperti menulis sms, semua orang (follower) bisa membaca dan mengetahuinya, sekaligus bisa mengomentarinya.<br />Hukum pemampatan dalam komunikasi berlaku di sini. Orang lebih memilih untuk cara yang lebih cepat. "Kalau ada yang cepat, mengapa mesti mencari yang lambat?" Lebih cepat, lebih baik. Itulah slogan teori pemampatan komunikasi.<br />Soal ini memang tidak tertutup kemungkinan untuk diperdebatkan. Salah satu perdebatannya adalah soal logika pendek yang terlalu diagung-agungkan oleh orang-orang modern. Logika pendek inilah yang membuat segala sesuatunya menjadi instan. Tidak ada yang salah dengan mentalitas instan, tetapi tidaklah sedikit dampat negatif yang ditimbulkan dari mentalitas instan. Manusia semakin meninggalkan sebuah "proses". Padahal dalam "proses" selalu ada banyak pembalajaran. Di dalam "proses" orang dilatih untuk sabar, tekun, dan tak mudah patah semangat.<br />So, teman-teman, meski mungkin Anda sudah mulai beralih ke Twitter, cuap sana, cuap sini, janganlah lupa bahwa pergumulan hidup itu butuh "proses". <br /><span class="fullpost"></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-88373212154241284542010-04-24T10:50:00.001+07:002010-04-24T10:55:19.774+07:00Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa!Sehabis peristiwa mukjizat roti untuk 5000 orang, Yesus dicari ke mana-mana. Gara-gara itu, setelah Yesus ditemukan kembali, Yesus menjawab secara mengejutkan, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang.”<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqxLW_650fGBG6JI2fFPlQ-6bArq3grsGSi7PPMFxNDF3Qzc-YrSlMvHR3widL9TcY9TYZ0lMy7oWXa903vAmakzEMO-3tiQ1xWKLEviB0oyLz9Br-E_6Qh_f1uwWDUR2y2coX6xIKTDM/s1600/belajar.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 224px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqxLW_650fGBG6JI2fFPlQ-6bArq3grsGSi7PPMFxNDF3Qzc-YrSlMvHR3widL9TcY9TYZ0lMy7oWXa903vAmakzEMO-3tiQ1xWKLEviB0oyLz9Br-E_6Qh_f1uwWDUR2y2coX6xIKTDM/s320/belajar.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5463547493662651538" /></a><br />Kata-kata ini sungguh menusuk buat si pencari tentu saja. Karena apa yang dikatakan Yesus benar sekali. Bagi mereka yang paling penting adalah bisa makan dan bisa melanjutkan hidup. Makan untuk hidup. Tetapi, rumusan ini bisa dibalik. Hidup untuk makan. Beberapa hari yang lalu, di salah satu Koran harian dibahas soal nikmatnya wisata kuliner, sehingga kesannya hidup untuk makan saja. Tapi, ya karena memang maksudnya untuk promosi, maka mau tidak mau, si kulinerawan, seperti Pak Bondan, melakukannya ya karena dengan Hidup untuk makan itulah dia bisa mendapatkan uang. <br />Sewaktu acara Jubileum bruder Prapto, tepatnya pada saat makan siang, saya sempat berkomentar dengan salah seorang teman. Hebat… hebat… Jesuit itu kalau mengadakan sajian pesta, selalu pantas diacungi jempol. Tidak ada konvik lain yang bisa mengalahkan Jesuit soal jamuan makan. Apalagi kalau mau membandingkannya dengan ST. Di mana-mana, entah di Jakarta, di Semarang, di Yogyakarta, selalu memuaskan. Kurang enak sedikit, kurang tepat waktu penyajiannya pasti sudah banyak komentar muncul. Bicara rasa makanan enak-tidak enak, tampaknya Jesuit itu berpegang pada prinsip ini. Prinsip ini pernah saya dengar dari Romo Riyo sewaktu masih rektor Loyola, “de gustibus non est disputandum.” Setiap orang memiliki cita rasanya sendiri-sendiri. Maka, karena itulah setiap orang yang mendapat jatah seksi konsumsi pada acara Jesuit, haruslah benar-benar mengakomodasi prinsip ini. <br /><span class="fullpost"><br />Kembali ke soal Hidup untuk makan. Gara-gara mempersiapkan sharing pagi ini, tadi malam saya teringat dengan tulisan yang dibuat oleh bidel refter di papan pengumuman komunitas untuk mengingatkan kita bahwa kemarin sabtu, bambang ulangtahun. Kalau dipikir-pikir, saya merasa, tinggal di Kolsani itu begitu menyenangkan. Bagi saya sendiri, kalau saya tidak hati-hati, saya bisa jadi seperti apa yang saya katakana tadi. Hidup itu untuk makan. Karena, pagi-siang-sore makanan sudah tersedia, bahkan sesekali waktu, minimal sebulan sekali, bisa makan banyak dan menikmatinya dengan puas.<br /><br />Tapi, Yesus melanjutkan kata-kata-Nya:<br />“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya."<br />Lalu, bekerja yang bagaimana dan untuk makanan apa yang tidak dapat binasa ya? Pikir saya.<br />Seminggu yang lalu dalam sebuah chatting, saya sedikit syok dengan pernyataan salah seorang mantan murid saya di Loyola. <br />“Buat apa kami sekolah dan belajar selama 3 tahun, kalau nasib kami hanya ditentukan oleh 5 hari ujian? Mending kami di-drill 1 bulan saja, khusus untuk mempersiapkan ujian ini, sehingga kami bisa lulus!” <br />Menurut saya, anak ini sedang bergulat dengan pengalaman Ujian nasionalnya. Benar juga ya, buat apa mereka susah-susah belajar 3 tahun? Yang terpenting bagi mereka adalah mereka bisa lulus. Sementara, lulus-tidaknya hanya ditentukan oleh ujian yang dibuat selama 5 hari. Bagi mereka 3 tahun tidak ada gunanya, sia-sia dan membuang waktu hidup saja. Kalau bisa disiapkan dalam 1 bulan, mengapa harus menyiapkannya dalam 3 tahun.<br />Kadang-kadang, stresnya orang bekerja di kolese ya seperti ini. Sudah susah-susah diurus, anak orang lagi, selama 3 tahun, tanggapannya koq Cuma seperti ini. Di mana perjuangan selama 3 tahun, yang sudah mereka perjuangkan dan sudah ditawarkan oleh sekolah?<br />Maka, dulu sewaktu pelajaran agama atau pendalaman materi ignatian di kelas, saya selalu menekankan bahwa kita belajar itu untuk hidup. Non scholae sed vitae discimus. Ini kata-kata Seneca, sang filsuf Romawi, yang memperingatkan muridnya Lucilius. Studi di sekolah tidak semata-mata demi raihan nilai dan hasil yang sempurna dengan lulus ujian. Tetapi yang terpenting dari sekolah adalah untuk mengerti hal-hal yang akan dijalani dalam hidup. Oleh karena itulah, Loyola dan kolese-kolese lainnya menawarkan visi yang tertuang dalam 3C (comopetence, conscience, compassion). Kalau Cuma ujian 5 hari itu saja baru bagian competence. Lalu, saya jawab dalam chatting saya, “Meskipun kamu lulus UN, dan bagi anak Loyola, itu pasti (yakin), kamu bisa gak lulus hanya karena conscience dan compassionmu gagal. Sudah ada buktinya lho. Gara-gara nyontek, tidak lulus. Gara-gara menyepelekan dan menyerang guru atau pamongnya, belum kelulusan sudah dikeluarkan.”<br />Ngomong-ngomong soal belajar untuk hidup. Sambil bermain kata-kata, saya mau membaliknya, menjadi Hidup untuk belajar. <br />Mungkin inilah yang dimaksud Yesus dengan bekerja untuk makanan yang tidak dapat binasa. Bagi kita skolatik, yang teologan, Belajarlah bentuk kerja kita. Dan belajar itu adalah demi makanan yang tidak dapat binasa. Maka jadi Jesuit itu ya Hidup untuk belajar. Lagi-lagi, gara-gara kata ini, saya teringat dengan wawancara pada saat solisitasi saya 10 tahun yang lalu. Karena di hadapan pater magister, saya begitu gugup, tiba-tiba saya mengatakan bahwa Jesuit itu punya prinsip “Hidup untuk belajar”. Entah dari mana kata-kata ini keluar. Tapi, yang jelas saya tidak bisa memberi penjelasan yang meyakinkan kepada magister mengenai alasan pernyataaan saya tersebut. Kalau saya boleh kembali ke 10 tahun yang lalu. Ayat kitab suci ini akan saya kutip untuk menjelaskannya.<br /><br />Dan yang terakhir dari teks hari ini:<br />Lalu kata mereka kepada-Nya: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" Jawab Yesus kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.<br />Untuk penjelasan yang satu ini, kita kembali ke Bacaan pertama, di situ dikisahkan tentang Stefanus. Stefanus adalah orang yang percaya pada Yesus. Dia penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak (Kis 6:8). Nah, jika hidup kita sehat (terkait dengan soal makan tadi) dan hidup kita inspiratif (karena hasil belajar kita) kiranya kita juga dapat mengadakan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda di antara orang banyak di sekitar kita, sama seperti yang telah dilakukan oleh Stefanus. Dan mungkin teman-teman sekomunitas kita, tidak melihat kita sebagai beban, atau sebagai penghambat kerja komunitas, tetapi bisa melihat kita sama seperti melihat Stefanus. Oleh Mahkamah agama, seperti disebutkan dalam bacaan, muka Stefanus seperti muka seorang malaikat. Semoga itu terjadi juga di antara kita! <br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-86889680672181264232009-07-13T15:58:00.004+07:002009-07-13T16:09:37.717+07:00KISAH KRISTUS dan PILPRES 2009: Presiden Terpilih Rakyat Berharap!!!<div align="justify"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:180%;color:#ff0000;"><strong>J</strong></span>alan</span> menuju Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009, berlangsung seru. Ada 3 pasangan capres dan cawapres yang bertarung. Ketiga pasangan tersebut sudah promosi diri, menawarkan program-program bakal pemerintahannya, bak seperti penjual obat menawarkan dagangannya di pasar malam. Sementara itu, tim sukses juga berharap calon pasangan yang diusung bisa gol menuju istana kepresidenan.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLRuq2wS4Jz-0ajle3GRT_Pq-oq-KuYPrWLxYnPgfWejFW8F04wCnuLzAeB6iBL4Zq47_3lMMxhK392UA5zGofPNlM24SRnSFq6FDv-faSp7fddr6trbz3PU3b2a0YSJ0ykkGeXORPqEU/s1600-h/encounter+with+Christ.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5357868112885051794" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 240px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLRuq2wS4Jz-0ajle3GRT_Pq-oq-KuYPrWLxYnPgfWejFW8F04wCnuLzAeB6iBL4Zq47_3lMMxhK392UA5zGofPNlM24SRnSFq6FDv-faSp7fddr6trbz3PU3b2a0YSJ0ykkGeXORPqEU/s320/encounter+with+Christ.jpg" border="0" /></a><br />Di sisi lain, rakyat Indonesia, yang adalah pemilih dalam pemilu tersebut, seperti dibuat bingung. Ketiga pasangan tersebut selalu menawarkan program-program yang baik, yakni program yang selalu mengatasnamakan masyarakat. Kadang-kadang pemilu ini seperti menjadi semacam pertaruhan. Janji-janji calon yang diumbar selama kurang lebih 2 bulan adalah sebuah pertaruhan untuk bangsa Indonesia selama 5 tahun ke depan.<br />Setidaknya ada banyak penilaian dan isu yang muncul, yang bisa menjadi pertimbangan dalam memilih presiden dan wakil presiden kali ini. Pertama, persoalan ideologi. Dari ketiga pasangan ini, masyarakat sudah mulai bisa melihat ke arah mana negara ini akan dibawa dan dipimpin. Yang paling kentara adalah persoalan memilih antara nasionalisme atau pro-Islam. Selain itu, karena Indonesia adalah negara majemuk, dengan beragam suku dan latar belakang, persoalan daerah juga dikedepankan. Isu yang mencuat adalah soal Jawa-non jawa.<br />Kedua, persoalan kebijakan. Harapan besar dari masyarakat adalah pemerintahan yang benar-benar pro wong cilik. Siapapun orangnya, rakyat hanya akan memilih orang yang sungguh mau melihat keadaan rakyat dan mau memajukan bangsa. Meskipun bangsa ini sudah berumur 60 tahun lebih, pada kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tercatat dalam sebuah survey, pengangguran di Indonesia masih terbilang tinggi. Sekitar 30 juta rakyat, yang berada di usia kerja, sama sekali tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak, dengan pekerjaan yang sewajarnya.<br />Terlepas dari isu dan pertimbangan-pertimbangan di atas, lagi-lagi hal yang paling mendasar dalam pemilihan ini adalah pasangan mana yang paling cocok dan paling representatif dan mampu menjawab keinginan besar seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai analisa dari para ahli, guna menanggapi ketiga pasangan ini sudah bermunculan. Setiap hari, kita bisa melihat lewat layar kaca, membaca lewat media massa, dan mendengar lewat radio, serta berdiskusi di warung pojok, membahas calon mana yang sungguh pas di hati rakyat. Ini sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Seperti mencari emas di hamparan pasir yang begitu luas.<br /><span class="fullpost"><br />Kadang-kadang, masyarakat sudah jenuh juga terhadap persoalan ini. Seperti lingkaran setan yang tak pernah usai. Harapan tinggal harapan. Persoalan selalu berulang dari masa ke masa. Presiden yang terpilih tidak selalu ada dalam hati rakyat. Lalu, daripada ribut soal pilpres, yang penting bagi mereka adalah bagaimana bisa mengisi ‘perut’ mereka hari ini.<br />Nah, setelah kita belajar dari tokoh dan peristiwa dalam sejarah kristianitas, kita diajak untuk mengkisahkan bagaimana Allah turun menjadi manusia dalam konteks ini. Apakah Allah masih relevan ketika masyarakat kita sedang bingung memilih sosok mana yang pas. Apakah bahasa iman yang kita pelajari sesuai dengan realita dalam masyarakat? Bagaimana kita menceritakan kisah Kristus dengan tepat dalam kondisi dan situasi pilpres kali ini?<br /><br /><strong>Bahasa Iman berbicara apa?</strong><br />Dalam peristiwa inkarnasi, seperti yang diungkapkan dalam Yoh 3:16, “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang dipercaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal,” di situ kita bisa melihat dengan jelas, bagaimana Allah berpihak dan terlibat dalam hidup manusia. Maka, kisah Kristus dalam pilpres kali ini terkait erat dengan pemimpin mana yang sungguh(!) mau berpihak dan terlibat.<br />Pembelajaran lewat tokoh Maximus Confessor, menawarkan kepada kita sebuah pertimbangan dalam memilih pasangan capres-cawapres mana yang baik. Prinsipnya, jangan membawa iman ke dalam politik. Jangan menggunakan iman demi kepentingan politik. Maka dari itu, pertimbangan tentang sosok yang nasionalis adalah pertimbangan yang masuk akal. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang begitu majemuk, yang berasal dari beragam agama.<br />Sementara itu, Agustinus, dalam “de civitate Dei” berharap agar pemimpin itu adalah pemimpin yang realistis, yang belajar dari pengalaman. Hidup bernegara adalah “hiduplah sebaik mungkin.” Menjadi pemimipin adalah menjadi pribadi yang tahu berbuat apa bagi rakyatnya. Meskipun punya pengalaman masa lalu yang buruk, dia bisa belajar dari situ, dan mampu bertransformasi di masa yang akan datang, yakni membawa kebaikan bagi seluruh rakyat.<br />Anselmus menegaskan sekali lagi bahwa harus ada pemisahan yang tegas antara iman dan negara. Iman dan politik adalah dua hal yang terpisah. Oleh karena itu, pilihan yang tepat adalah pasangan yang menawarkan kehidupan yang benar-benar fokus pada kehidupan itu sendiri, bukan memindahkan ‘agama’ ke dalam kehidupan bernegara.<br />Bagi Thomas Aquinas, kebenaran itu adalah kerinduan setiap orang. Berdasarkan hal ini, program-program yang sungguh menawarkan ditegakkannya kebenaran akan menjadi opsi yang tepat bagi pemilih. Konsep ‘kebenaran’ di sini mesti tegas! Mengapa? Kita lihat sendiri, bahwa di Indonesia betapa mudahnya kebenaran diputarbalikkan. Yang korupsi, yang jelas-jelas merugikan masyarakat banyak malah bebas berkeliaran, sedangkan yang cuma mencuri ayam malah dibakar massa. Dunia seperti dibolak-balik.<br />Kebenaran itu selayaknya didasarkan pula pada dasar negara kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. Sama seperti yang dibuat oleh Martin Luther. Dia mengajak kita ke prinsip ‘back to basic’ (sola scriptura). Sementara itu, Konsili Trente juga menekankan hal yang sama, tetapi juga menambahkan peran yang lain, yakni tradisi dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, tradisi itu konkret dalam bentuk tradisi penafsiran baru (menurut situasi dan konteks zaman) atas undang-undang (misalnya amandemen UUD 1945), tanpa harus mengubah dasar negara, yang telah dicita-citakan dan dibangun oleh para founding fathers bangsa ini.<br />Cita-cita dan semangat pendiri negara ini adalah cita-cita yang mesti pula diteruskan oleh calon-calon pemimpin baru negara ini. Oleh karena itu, pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang omongannya bisa dipercaya oleh rakyat, berbicara tegas(!) dan mampu menjawab keinginan konkret masyarakat. Konsili Vatikan I menegaskan hal itu (seperti dalam perumusan infalibilitas paus). Tetapi, pemimpin itu pun harus mawas diri. Tindakan otoriter dan sikap reaktif adalah tindakan yang paling rawan bisa dibuat oleh seorang pemimpin (kritik terhadap infalibilitas paus).<br />Newman menawarkan sebuah alternatif lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang punya pengalaman dengan rakyat dan mau berkembang bersama rakyat. Dan juga melandaskan alur gerak kepemimpinannya pada peranan suarahati. “Jika melawan suarahati, itu berarti bagaikan membunuh wewenang sendiri.” Maka dari itu, pemimpin haruslah melibatkan rakyat seluruhnya, bukan hanya melibatkan orang yang punya ‘duit’ saja.<br />Bonhoeffer menegaskan soal keterlibatan yang sungguh. Menjadi pemimpin adalah memberikan dirinya. Seperti martir, dia ‘berbuat sesuatu’ untuk kehidupan. Pemimpin harus berani melakukan sesuatu di saat-saat sulit, meskipun itu taruhannya adalah nyawa. Yang paling pokok adalah menghindari yang jahat demi kebaikan banyak orang.<br />Lewat Konsili Vatican II, prinsip aggiornamento menjadi penting. Bertindak sebagai pemimpin adalah bertindak sebagai pribadi yang mau terbuka terhadap siapapun, bisa menjadi fasilitator bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok saja.<br />Dan yang terakhir, Tissa Balasuriya. Kontekstual! Bahasa pemimpin adalah bahasa yang hidup dalam rakyat. Maka dari itu, pemimpin haruslah bisa membaca situasi dan konteks Indonesia secara keseluruhan.<br /><br /><strong>Penutup<br /></strong>Melalui butir-butir di atas, bahasa iman kita tampak menjadi begitu aktual, mampu menjawab kebutuhan orang beriman, di sini dan saat ini. Pun juga inspiratif, karena mau melibatkan semakin banyak orang dalam sejarah keberlangsungan manusia. Dengan pembahasan tentang pilpres 2009 tadi, kita sebagai orang beriman jelas-jelas diajak untuk terlibat, sebagaimana Yesus, 2000 tahun yang lalu, yang sungguh terlibat dalam hidup manusia!***<br /></div></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-22978339381372611252009-06-10T20:56:00.003+07:002009-06-10T21:02:01.541+07:00IMAN TIDAK PERNAH DARI ANGKA NOL!<div align="justify"><br /><span style="font-family:georgia;font-size:180%;"><strong>M</strong></span>anusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, dunia yang bergerak dan menyejarah terus memberikan latar dan pengaruh pada kehidupan manusia, dan sebaliknya, manusia jugalah yang secara otonom membentuk dan mengukir dunia seluas hidupnya.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivWtAMKX6N8Rv_SnFGRq2WSRdEfmmj1K8fRlq4E1JmoHJAyvAx52NLgPwP94VtaV0rHfYv21-VhdipayPY6doeH_3lJVq7PUEsLmJMNpYypAqORsGpYG3F2wEmdv6evolNkj5hCQ81-fU/s1600-h/beriman.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345698327727378450" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 240px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivWtAMKX6N8Rv_SnFGRq2WSRdEfmmj1K8fRlq4E1JmoHJAyvAx52NLgPwP94VtaV0rHfYv21-VhdipayPY6doeH_3lJVq7PUEsLmJMNpYypAqORsGpYG3F2wEmdv6evolNkj5hCQ81-fU/s320/beriman.jpg" border="0" /></a><br />Dalam peziarahannya di dunia, manusia tidak jarang berhenti pada suatu titik, di mana dia bertanya-tanya di dalam batin, mencoba mencari jawaban, siapa sebenarnya ‘sang aktor’ di balik peristiwa kehidupannya? Meski manusia yakin bahwa tindakan yang dilakukannya dari detik ke detik adalah opsi fundamental-nya, tetapi seringkali dalam situasi tertentu, manusia menjadi seperti tertahan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tepat pada saat itu, manusia merasakan ada ‘sesuatu’ di luar dirinya yang ikut terlibat dalam peristiwa itu. Itulah proses pengenalan manusia akan ‘Yang Transenden’.<br />Siapakah ‘Yang Transenden’ itu? Manusia terus mencoba mencari jawab. Penggalan-penggalan sejarah telah banyak bercerita bahwa manusia tidak pernah berhenti menginterpretasikan siapa ‘Yang Transenden’ itu. Proses pengenalan itu tak akan pernah berhenti dan mengalir terus sepanjang hidup manusia.<br />Secara sederhana, itulah yang disebut dengan iman. Iman selalu berdinamika di antara pribadi manusia dan ‘Yang Transenden’, serta ketersediaannya selalu berangkat dari konteks dunia yang menghidupinya.<br /><span class="fullpost"><br /><strong>Pokok-pokok pembinaan iman zaman ini<br /></strong>Bila mendiskusikan pokok-pokok apa saja yang menjadi perhatian dalam membina iman, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah aspek pribadi manusia yang mengalami iman itu sendiri. Iman itu relasi personal, yakni pengalaman pribadi manusia itu sendiri. Masing-masing orang punya pengalaman iman yang berbeda dan unik. Pengalaman itu terjadi lewat cara-cara yang identik dengan orang yang mengalaminya, sehingga orang lain tidak bisa dengan mudah memahaminya.<br />Dalam kesadaran iman yang unik itu, setiap pribadi bergulat dalam dirinya: bagaimana ‘Yang Transenden’ itu sungguh-sungguh disadari. Maka, refleksi atas pengalaman atau pemaknaan atas hidup menjadi sangat penting, sebab di situ manusia menjadi sadar bahwa hidup itu bukan miliknya sendiri. Ada campur tangan dari Sang Pribadi ‘Yang Transenden’. Pribadi itulah yang dikenal oleh manusia sebagai Allah. Dan dengan kesadaran itu pula, lewat seluruh hidupnya tampak ditunjukkan keterlibatan Allah. Sementara itu, refleksi keberimanan tadi diperoleh dengan melibatkan seluruh afeksi/rasa dan kognisi serta aksi dari manusia itu sendiri.<br />Hal kedua yang menjadi pokok perhatian adalah konteks dan lingkungan-budaya yang melingkupi pribadi manusia itu. Seorang beriman tidak pernah lepas dari konteks, apalagi bila konteks itu adalah hidup bersama orang lain, yang notabene adalah orang yang sangat beragam, apalagi masing-masing orang tersebut mempunyai pengalaman keberimanan yang khas dan unik juga. Konteks ini juga mencakup dunia/zaman macam apa yang ditinggali oleh manusia tersebut.<br />Hal ketiga adalah kesadaran bahwa keberimanan itu bukanlah tindakan sekali jadi. Keberimanan adalah sebuah proses hidup, yang dimulai sejak pribadi itu terlahir ke dunia, dan selesai pada waktu kehidupan itu dicabut dari dirinya. Dengan kata lain, pencarian akan Allah atau keberimanan terhadap Allah ‘Yang Transenden’ itu terus diperjuangkan sampai sukma terenggut dari tubuh. Namun, dalam proses keberimanan tersebut, bukan berarti manusia tidak pernah punya pilihan pasti. Dalam setiap titik-titik hidup yang dilaluinya, manusia menentukan opsi fundamental-nya. Dalam opsi itulah, dia bergulat dalam hidupnya, dan itu tiada kata akhir, sampai semuanya benar-benar paripurna di akhir hidupnya.<br />Hal keempat adalah Pribadi ‘Yang Transenden’, yakni Allah sendiri. Dalam proses keberimanan manusia, Allah ikut terlibat dan ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan-Nya pun unik sebab bergantung kepada masing-masing manusia dalam berprosesnya.<br /><br /><strong>Pengertian dasar yang memberi arah pembinaan iman<br /></strong>Setelah memahami pokok-pokok iman di atas, selanjutnya perlu adanya pengertian dasar guna memberi arah bagi pembinaan iman tersebut. Pada dasarnya, kehidupan manusia itu tak pernah berdiri sendiri. Pengalaman akan ‘Yang Transenden’ selalu muncul dalam benak kehidupan manusia. Proses keberimanan itu bisa dianalogikan seperti orang berjalan menyusuri sungai. Sementara, ‘Yang Transenden’ itu, yang kita kenal sebagai Allah, persis berada di seberang sungai, yang juga sama-sama menyusur. Sesekali, kedua sisi sungai itu bertemu. Titik pertemuan itu adalah sebuah jembatan. Lewat jembatan itulah, manusia dan Allah menjadi saling terhubung. Tetapi, setiap kali Allah dan manusia juga akan selalu bertemu, sebab indera (mata) tak menghalangi penglihatan dan oleh karenanya, manusia menjadi yakin bahwa di seberang Allah juga terlibat dalam dan aktif dalam ‘permainan’ hidupnya.<br />Selain daripada itu, tidak jarang pula terdapat banyak hal yang bisa menghalangi keterhubungan itu, entah itu terjadi karena jarak sisi sungai yang semakin melebar, entah karena ada benda asing yang seketika itu lewat di tengah sungai, sehingga pandangan langsung menjadi terhalang. Atau bisa juga selama perjalanan menyusur sungai, tak satupun jembatan yang bisa ditemui.<br />Tapi itu bukanlah hal yang pokok. Sebab keberimanan itu seperti sebuah permainan. Di dalamnya, manusia diajak untuk terlibat. Allah pun melakukan hal yang sama. Di sini tidak tertutup kemungkinan ada proses tarik-ulur, antara Allah dan manusia. Dengan demikian, yang pokok dalam permainan itu adalah manusia tidak pernah berhenti dalam pencariannya, tidak pernah berhenti menyusuri sungai.<br />Di samping itu, di dalam ‘permainan’, manusia juga benar-benar diuji. Allah sebagai pihak yang lain, juga memainkan peran-Nya, meskipun Allah kerapkali membuat banyak gerakan-gerakan (=rahmat) yang tak terduga. Ketakterdugaan ini juga menunjuk pada situasi di mana, seringkali manusia menemui ‘jalan buntu’ di dalam hidupnya, yakni situasi di mana manusia ‘merasa’ ditinggalkan oleh Allah (misalnya dalam menjawab masalah penderitaan). Itulah misteri permainan itu. Manusia tidak tahu apa yang dibuat Allah, tapi manusia yakin bahwa Allah tetap terus bermain. Oleh karena itu, yang terpenting dari sisi manusia adalah sungguh-sungguh bermain, dan terus bermain sampai akhir hidup.<br />Lewat permainan itulah, manusia bertanggungjawab atas hidupnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa iman bukan berarti ‘aku manut’, tetapi mau berubah dari hari ke hari.<br /><br /><strong>Kristus dalam pembinaan itu</strong><br />Proses keberimanan manusia menandakan adanya sejarah iman. Bagi orang kristen, sejarah iman itu belum penuh. Sebab kepenuhannya ada dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, keberimanan orang kristen berfokus dalam pribadi Kristus.<br />Kristus adalah komunikasi Allah. Kristus menjadi cara sekaligus menjadi model dalam keberimanan orang kristen. Dengan keterlibatan Kristus dalam hidup, kita akhirnya diundang masuk ke dalam pusaran arus Allah.<br />Kristus menjadi cara keberimanan kita, dan oleh karenanya, hidup Yesus menjadi semacam model dalam keberimanan kita. Yesus adalah juga manusia yang ikut ambil bagian dalam permainan bersama Allah. Dalam permainan itu, Yesus bergulat dan secara kontiniu berproses mencari dan menangkap Allah. Bahkan sampai wafat-Nya di kayu salib, pencarian itu tak pernah ada kata akhir. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46)<br />Selain itu, meski Yesus adalah komunikasi Allah sendiri —atau dengan kata lain Yesus adalah Wahyu—, selama hidup-Nya Yesus sama seperti manusia, menjadi pendengar Sabda Allah sendiri. Sikap-Nya inilah yang membuat-Nya hidup dalam masterplan Allah. Itu berarti pula bahwa Yesus selalu membuka diri-Nya pada rahmat (=permainan) yang dibuat Allah.<br /><br /><strong>Lalu, apakah hidup dan doa kita mulai dengan nol?</strong> </span></div><div align="justify"><span class="fullpost">Setelah melihat bagaimana proses keberimanan manusia, pada bagian ini, kami hendak menanggapi pengalaman iman yang unik, yang dialami oleh Andre Sulistyo (yang dimuat di majalah Utusan, edisi Agustus 2008)<br />Pada dasarnya, posisi/titik hidup yang dialami Andre tidak bisa dikatakan harus mulai lagi dari angka nol. Iman itu adalah proses. Pada titik yang dianggap nol oleh Andre itu justru adalah titik lanjutan, bukanlah titik awal. Sedangkan, menurut kami, angka nol haruslah selalu menunjuk pada mulainya hidup seorang manusia. Posisi angka nol menjadi tepat/benar, jika itu menunjuk pada mulainya kehidupan manusia di dunia, yakni ketika dia dilahirkan. Sementara, hidup yang sedang berjalan, apakah dia dalam krisis beriman atau tidak, tak pernahlah dimulai lagi dari angka nol.<br />Sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia bergulat dalam imannya. Keadaan sebagai seorang fatalis, tidak berarti dia tidak beriman. Justru di situlah, imannya sedang diuji. Titik nol yang disebut Andre justru bisa dikatakan sebagai ‘puncak hidup’-nya, karena dia sungguh menyerahkan seluruh hidupnya (bdk. Pengalaman St. Yohanes dari salib). Dalam ‘titik nol’ itulah, Allah mewahyukan dirinya, Allah menunjukkan gerakan-gerakan dalam permainan-Nya.<br />Mesti diakui bahwa anggapan Andre Sulistyo itu merupakan gejala umum yang kerap dialami manusia zaman sekarang, yang melihat hidup itu sebatas keberhasilan. Sehingga, sah-sah saja jika Andre menganggap dirinya mesti memulai lagi dari angka nol. Padahal di samping keberhasilan, hidup itu juga termasuk penderitaan. Itu tampak dari ungkapan ‘keberimanan’-nya. Ada perbedaan tipis antara penyerahan diri dan keputusasaan. “Kalau hari ini Tuhan mau ambil nyawaku, ya silakan!” Maka dari itu, hidup itu tidak bergantung pada iman kita saja. Dalam permainan itu, kita juga bergantung pada Allah yang cuma-cuma memberikan rahmat-Nya.***<br /></div></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-62603170920316564582009-06-03T23:55:00.003+07:002009-06-04T00:01:34.742+07:00"Let's bear The FRUIT!"<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjufILwmfMx_1KNQ-G-nzQI5fMiCIbb-GjidWn534CqPLuXpFdR15uy-nGaUlb-cu9E93bID5KAI4fG44f13F_-V557GcglIrugIAO5IDeTq9y___k5fKnWNsnCArhP9gIBRos1qlADnWg/s1600-h/anggur.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjufILwmfMx_1KNQ-G-nzQI5fMiCIbb-GjidWn534CqPLuXpFdR15uy-nGaUlb-cu9E93bID5KAI4fG44f13F_-V557GcglIrugIAO5IDeTq9y___k5fKnWNsnCArhP9gIBRos1qlADnWg/s320/anggur.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5343147389739152242" /></a><br />God has a purpose for our lives and what is that purpose very simply, it is to bear FRUIT. <br />If we bear fruit, we are of value to him. God the Father is the vinedresser, and his sole desire is that the branches of the vine might bear fruit, that is how he evaluates them. <br />Notice what He does. <br />"I am the true vine and my Father is the vinedresser. He cuts off every branch that does not bear fruit." <br />In grape vines, 90 - 95% of them is pruning off worthless branches. The reason is, on grape vines, grapes only happen on new growth. Those old branches might look wonderful and leafy but the simple truth is that they will not bear any fruit. So God cuts them off and tosses out all that old stuff so that the new vine branches might be fruit bearing ones. The simple truth is that old branches on a vine take up its nutrients so that new vine branches will only produce poor fruit. That is why old branches are cut off. <br />This first part that the vinedresser does is the painful to us because he is talking about us as individuals. This passages forces us to ask ourselves: Are we fulfilling God's function for our lives? Are we bearing fruit that will last? Or are we pieces that need to be cut off because we are fruitless? <br />Before we ask that question further, let me point out something else that the vinedresser does. If he sees a branch bearing fruit, maybe not a lot, but a little, you know what he does to it - this time he does not cut it off, rather he cuts it way down to size. <br />"Every branch in me that bears no fruit he cuts away, and every branch that does bear fruit he prunes to make it bear even more." <br />The whole reason behind pruning is FRUIT - not just a little, but a lot of fruit. <br />"It is the Glory of my Father, that you should bear much fruit, and then you will be my disciples." <br />Pruning is also done for the purpose of strength. Some long branches couldn't bear any fruit because simply they are not strong enough. Therefore the vinedresser cuts branches short so that when the fruit comes, it will be strong <br />So the question asks us: Are we BEARING FRUIT? And then: What does it mean to bear fruit? <br /><span class="fullpost"><br />Let me describe. <br />1. Fruit never exists for itself. Fruit is designed for others. However you might choose to define fruit - the first and most basic question is this - are you living to serve yourself or are you living to serve God and others? <br />2. Good fruit is food! This is true of spiritual fruit also, it is for other people to enjoy and grow by, it blesses others, it nurtures them. <br />3. Good fruit is reproducable - it has the potential when falling onto good soil to reproduce again the same fruit as the original vine. The faith of the ours ought to become the faith of those around us. If not, we will be burned. <br />This has many applications for our lives. It is very practical. We always live in a time when we are making choices. And so often we make those choices based on abilities, interest, and so on. But how about the question of having a choice in which we intentionally bear fruit for God? How does fruit bearing fit into our plans? How are we going to be living our life for others? How is our life in Christ going to be reproduced in others? <br />The last question, if we want to bear fruit is - "What is the key to bearing fruit?" <br />The answer is the wonderful part of this passage. The key to bearing fruit is not in our doing so much, not in our work or activities, the key to the function of bearing fruit is in our RELATIONSHIP with Christ. <br />"Make your home in me, as I make mine in you. As a branch cannot bear fruit all by itself, but must remain part of the vine, neither can you unless you remain in me. I am the vine, you are the branches. Whoever remains in me, with me in him, bears fruit in plenty; for cut off from me you can do nothing." <br />Amen.<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-74504747262898418262009-04-23T10:26:00.001+07:002009-04-23T10:30:15.064+07:00Kebobrokan Manusia (Mazmur 53)<span style="font-family:arial;font-size:130%;">Orang berhati busuk berkata dalam batinnya:<br />“Kapan lagi bisa korupsi, kalau bukan sekarang!”<br /><br />Benar busuk, curang.<br />Menjijikkan!<br /><br />Apakah mereka punya akal,<br />dan mencari sekadar kebaikan?<br /><br />Tampak tidak.<br />Mereka memakan rakyat,<br />seperti memakan roti sampai habis.<br /><br />Saatnya akan tiba,<br />di mana tulang-tulang mereka akan dibuang<br />di mana jiwa-jiwa mereka dicemoohkan.<br /><br />Ya, datanglah<br />saatnya bangsa ini bersukacita<br />ketika mereka telah tiada. </span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-11724341227142189372009-04-09T23:52:00.001+07:002009-04-09T23:57:32.718+07:00Percaya Itu IndahSudah menjadi kebiasaan jika para bangau selalu berpindah-pindah rumah. Mereka tidak selalu mudah untuk bisa menetap terlalu lama. Mereka selalu tergantung dengan banyak hal. Syukur jika sungai tertentu masih menyediakan ikan-ikan. Tetapi jika tidak, mereka mesti siap-siap membanting tulang mengepakkan sayap pergi ke daerah lain. <br />Sebaliknya, di sisi dunia berbeda, hiduplah semut-semut. Mereka juga bekerja keras. Pantang menyerah demi sanak keluarga mereka. Siapa yang ragu dengan ketekunan semut dalam jerih lelahnya. Tak banyak mahluk lain yang bisa meniru hidup mereka.<br />Namun, suatu kali bencana menimpa negeri para semut. Bahan makanan semakin habis. Sementara itu, lingkungan mereka tidak mungkin lagi menyediakan yang baru. Musim kering sudah terlalu lama mencengkeram kehidupan mereka. Mereka hanya tinggal bergantung pada jasad-jasad renik mahluk lain yang tidak bisa bertahan. Tikus matipun sudah cukup bagi mereka.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRLFFoLP0vXdtw1deeRGLpw5AoRLYLEWhTgEI1Lvl_O5NoUQkuaabTdjVl7bSsNB0GGevZjozjMMImvQBbG1S8bUq6EIiQcoEs5MGbO4jMTi9XgJVxw8B2fysfJ1asffcyrhKCAsmSDY0/s1600-h/meditasi.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 348px; height: 308px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRLFFoLP0vXdtw1deeRGLpw5AoRLYLEWhTgEI1Lvl_O5NoUQkuaabTdjVl7bSsNB0GGevZjozjMMImvQBbG1S8bUq6EIiQcoEs5MGbO4jMTi9XgJVxw8B2fysfJ1asffcyrhKCAsmSDY0/s400/meditasi.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5322736545290387746" /></a><br />Suatu ketika sampailah para bangau ke negeri mereka. Mungkin sekedar untuk melepas lelah, setelah terbang beratus-ratus kilometer menyeberangi lautan. Mungkin mereka juga sedikit kesal, mengapa tanah yang mereka jumpai setelah jauh terbang, hanyalah tanah kering, yang tidak bisa memberikan apa-apa. Meskipun demikian, mereka tetap bahagia, karena bisa bertemu dengan para semut.<br />Bangau banyak bercerita kepada semut tentang tempat-tempat di mana mereka pernah tinggal. Ada tempat yang subur, ada tempat yang banyak makanannya, dan sebagainya. Para semut tertegun dengan cerita bangau. Tapi, mereka ragu, mereka tidak percaya, apakah ada daerah subur lain yang melebihi rumah mereka sekarang. <br /><span class="fullpost"><br />Bangau terus mencoba meyakinkan para semut, kalau daerah subur yang lain itu ada. Kalau mau, semut bisa ikut dalam perjalanan para bangau selanjutnya. Tapi, semut tetap yakin pada pendiriannya. Mereka tidak percaya jika masih ada daerah lain yang bisa subur. Maka, ajakan para bangau sia-sia belaka. Mereka melanjutkan perjalanan, sementara para semut tetap hidup dalam kesusahan mereka.<br />Seringkali, kita bersikap seperti semut itu. Kita terkungkung dengan keyakinan kita. Kita tidak mudah percaya dengan pendapat orang. Kita begitu saja bersikap keras kepala. Padahal, ada banyak kebenaran lain di luar diri kita. Ada banyak kesempatan lain yang mungkin menawarkan kehidupan lebih baik bagi kita. Baik jika kita mulai membuka diri. Memberi ruang bagi banyak hal di luar diri kita. Itu tidak berarti kita membuka celah kegagalan kita, tetapi lebih-lebih untuk memperkaya pemahaman kita.<br /><br />“Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahami!”<br />(si non crederitis, non intelligetis!—Yes 7,9)<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-29470547616710755652009-03-14T22:36:00.004+07:002009-03-14T22:43:14.786+07:00Spiritualitas SupirSetelah seorang Pastor meninggal dan masuk ke surga, ia melihat bahwa seorang supir bis mendapat tempat yang lebih mulia darinya.<br />"Aku tidak mengerti," keluh sang Pastor pada Petrus. "Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk umatku. Mengapa supir itu lebih tinggi dari diriku?"<br />Jawab Petrus, “Kebijakan kami di sini adalah tergantung dari hasilnya! Apakah umatmu memperhatikanmu saat kamu memberikan khotbah?"<br />"Ya ...," Pastor itu mengakui, "beberapa umat selalu tertidur saat aku berkhotbah."<br />"Itu dia masalahnya," kata Petrus, "kamu tahu, saat orang naik bis yang dikemudikan supir itu, mereka tidak hanya terus terjaga, mereka bahkan terus berdoa."<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqflkD5HRIpTitG9PQyHVo8hlWSclODd1DKfwtK1Iv73IJwrTN-U3RQXsNTPGnod-6xA2W0qoiM8Pc-MF9eSSxz8kf48BHSlDA7qEvyTQLdG5sqORKXDtsvBx9qP9D0f7RMN-WPfOiLX4/s1600-h/supir.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 352px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqflkD5HRIpTitG9PQyHVo8hlWSclODd1DKfwtK1Iv73IJwrTN-U3RQXsNTPGnod-6xA2W0qoiM8Pc-MF9eSSxz8kf48BHSlDA7qEvyTQLdG5sqORKXDtsvBx9qP9D0f7RMN-WPfOiLX4/s400/supir.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5313068980131988578" /></a><br /><br />Cerita itu terdengar lucu dan sekaligus menghentak, karena ada benarnya juga.<br />Sudah sekian waktu, kira-kira sejak 3 tahun yang lalu, aku mulai dipercaya sebagai supir untuk keperluan komunitas. <br />Menjadi supir merupakan salah satu pekerjaan yang tidak diinginkan. Menjadi supir hampir sama seperti menjadi satpam maupun menjadi cleaning service. Pekerjaan-pekerjaan ini lebih banyak menggunakan fisik, daripada menggunakan otak. Bahkan dalam struktur jabatan, mereka ini termasuk pekerja kelas bawahan.<br /><br />Suatu kali aku pernah menawarkan diri dalam sebuah acara besar, untuk menjadi supir, melayani tamu-tamu, dan menghantarkan mereka ke beberapa tempat tujuan. Beberapa dari orang yang mendengarkan tawaranku ini tersenyum sinis. Mereka memandang pekerjaan ini dengan sebelah mata. Kesannya hanya sepele.<br />Tetapi, aku merasa, dalam banyak hal, peran supir sangatlah menentukan. Meskipun kesannya sepele, berkat supir, banyak kegiatan bisa berjalan dengan baik. Coba bayangkan jika dalam suatu keperluan yang begitu mendesak! Kebetulan ada mobil, tetapi tidak ada yang bisa nyupir. Padahal jika ada supir, masalah yang mendesak itu bisa diselesaikan dengan baik.<br />Terlepas dari pentingnya peran supir, aku merasa supirpun menghantar banyak orang pada gerak spiritualitasnya. Mengapa? Seperti yang sudah disebutkan dalam ilustrasi cerita di atas. Selama supir menjalankan tugasnya, para penumpang selalu mendukung dengan doa-doa. Semoga perjalanan yang dilalui dapat berjalan lancar dan tanpa ada aral yang melintang. Suasana berkendaraan menjadi sangat kondusif, karena antara penumpang terjadi komunikasi rohani yang begitu indah. Kadang-kadang hal ini tidak kita sadari, tetapi justru di sinilah kekuatan rohani itu berjalan dengan apa adanya.<br /><span class="fullpost"><br />Aku sendiri, bila diminta sebagai supir, selalu saja dalam perjalanan, ketika menjalankan tugas, dalam hati mengucapkan doa. Aku merasa, kemampuan menyupir bukanlah kemampuan yang mutlak, karena segala perjalanan juga tergantung pada penyertaan Tuhan sendiri.<br />Bahkan, salah satu terapiku agar aku tidak ngantuk dalam menyupir, adalah dengan berdoa. Biasanya dengan berkomat-kamit sendiri. Meskipun agak aneh, justru dengan cara begini, aku terus bisa terjaga. Salah satu obat agar tidak ngantuk adalah ngomong. Syukur-syukur ada teman ngobrol. Lha, kalo penumpangnya tidur semua, lalu ngobrol sama siapa? Ya, ngobrol sama Tuhan saja. Betul khan!<br /><br />Kesediaan menjadi supir berarti juga siap sedia untuk melayani. Tidak jarang aku menjumpai, orang-orang besar malahan mau menyupir. Dulu, sewaktu masih tinggal di Semarang, Romo Rektorku malah seringkali menyupiri mobil kami. Sebuah kerendahanhati yang besar. Di sini jelas tampak sekali sikap melayaninya.<br /><br />Maka dari itu, mengapa mesti malu menjadi supir? Justru, meskipun hanya menjadi supir, ternyata dari situ bisa digali banyak pengalaman rohani.<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-319237665430806742009-02-03T23:06:00.005+07:002009-02-03T23:18:01.821+07:00Learn from the Life of the MartyrsOn May 29th, 1977, Oscar Romero wrote this:<br />Persecution is necessary in the church. Do you know why? Because the truth is always persecuted. Jesus said, “If they persecute me, they will also persecute you” (John 15:20). And because of this, when one day people asked Pope Leo XIII, that incredibly intelligent man of the beginning of our century, what is it that sets apart the true Catholic Church, the pope said the four qualities that are already known: one, holy, catholic and apostolic. The pope said to them, “Let’s add another: persecuted.” The church that lives up to its duty cannot exist without being persecuted.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqFfmg5_IxE9Hqy_JJ8dbSFa_kxJqleUmQW68no5v3MaPwxuF5qVxu1gQdPO7a7t98WeTeYSz5-MBeT8oAgM5VqNZ8hDBR802QqCHuEARi_sEXBPI76kgXv2EWaJC7EqZ2afoHzjHYDFs/s1600-h/martyr1.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 333px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqFfmg5_IxE9Hqy_JJ8dbSFa_kxJqleUmQW68no5v3MaPwxuF5qVxu1gQdPO7a7t98WeTeYSz5-MBeT8oAgM5VqNZ8hDBR802QqCHuEARi_sEXBPI76kgXv2EWaJC7EqZ2afoHzjHYDFs/s400/martyr1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5298605435371138354" /></a><br />Today we celebrate some Jesuit martyrs. John de Britto is one of them. As a martyr, de Britto was also persecuted in his life.<br />Father de Brito worked in India. The place is called as Madura, in the regions of Kolei and Tattuvanchery. When he studied the India caste system, he discovered that most Christians belonged to the lowest and most despised caste. He thought that members of the higher caste would also have to be converted for Christianity to have a future. He became an Indian ascetic, a pandaraswami since they were permitted to approach individuals of all castes. He changed his life style, eating just a bit of rice each day and sleeping on a mat, dressing in a red cloak and turban. He established a small retreat in the wilderness and was in time accepted as a pandaraswami. As he became well-known, the number of conversions greatly increased. <br />He was made superior in Madura after 11 years on the mission, but he also became the object of hostility from Brahmans, members of the highest caste, who resented his work and wanted to kill him. He and some catechists were captured by soldiers in 1686 and bound in heavy chains. When the soldiers threatened to kill the Jesuit, he simply offered his neck, but they did not act. After spending a month in prison, the Jesuit captive was released. When he got back to Madura, he was appointed to return to Portugal to report on the status of the mission in India. When he reached Lisbon ten months later, he was received like a hero. He toured the universities and colleges describing the adventurous life of an Indian missionary. His boyhood friend and now-king, Peter II noticed how thin, worn and tired his friend looked; he asked him to remain at home to tutor his two sons, but de Brito placed the needs in India above the comfort of the Portuguese court.<br /><span class="fullpost"><br />De Brito sailed again to Goa and returned to the mission in Madura when he arrived in November 1690. He came back despite a death threat that the raja of Marava had made four years earlier. The Jesuit missionary travelled at night from station to station so he could celebrate Mass and baptize converts. <br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgaB-5-ZoLd9_yCYyFk-M_-zwCZzLtSTZjLGK8qbWvDk6mi-VCXM_w69pE_8FYLk4ScH8yJ-UPiN8Rh2veF6Y-RgacoeR5WBfgMnDZnZ5An6VR1525YNXQXob4VpfIOfN_VbNcYtHZTpA/s1600-h/martyr2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 315px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgaB-5-ZoLd9_yCYyFk-M_-zwCZzLtSTZjLGK8qbWvDk6mi-VCXM_w69pE_8FYLk4ScH8yJ-UPiN8Rh2veF6Y-RgacoeR5WBfgMnDZnZ5An6VR1525YNXQXob4VpfIOfN_VbNcYtHZTpA/s400/martyr2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5298605669730940002" /></a><br />His success in converting Prince Tadaya Theva indirectly led to his death. The prince was interested in Christianity even before the prayers of a catechist helped him recover from a serious interest. De Brito insisted that the prince could keep only one of his several wives after his baptism; he agreed to this condition, but one of the rejected wives complained to her uncle, the raja of Marava who sent soldiers to arrest the missionary on January 28, 1690. Twenty days later the raja exiled de Brito to Oriyur, a neighboring province his brother governed. The raja instructed his brother to execute the troublesome Jesuit who was taken from prison on February 4 and led to a knoll overlooking a river where an executioner decapitated him with a schimitar."<br />And now, what is the values of the life of the martyrs?<br />For us, the life of the martyrs explain how they bear their cross in their lives.<br /><br />We know, Everybody has their cross? Is it heavy or not, but all are cross?<br />I often heard from many people about their life, their struggle, or their cross.<br />One day, A woman shared to me about her experience’s life. <br />She was a single parent. Her husband died when her oldest children stay in elementary school and her youngest children was two years old. She had 6 children. Since Her husband died, she began work.<br />Everyday she had to raise money for her family. She had to give the school fee for her children.<br />We can imagine how heavy her life. Even now, she still in difficult situation, although all her children have got marriage and have family.<br />All her life full of heavy cross. But, in that situation, that woman still happy.<br /><br />But, another story, I have friend who don’t has a heavy burden. <br />He always has happy life. He had not to raise money. His parents is rich.<br />Does he has a cross?<br />I don’t know, may be he had small cross.<br /><br />How about you?<br />Are You like that woman or my friend?<br />We have our own cross? Is it heavy or not, each one have their cross!<br />But, sometimes we try run away from our cross. Even, if allowed, we ask to God for small cross.<br /><br />In my reflection, we can’t run away from our cross. We can’t ask for small cross.<br />Cross is God’s graces.<br />Cross is in our daily life. And Cross is not hidden outside ourself.<br />But remember, Cross is not happened because our mistakes. <br />As Christian we all have cross. <br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYPZotlPuPFeRSWaSQO0kVWofG7shH_10j3OqnUw3l0odZQjvTARxVRybdp-SVGIFe2D-QllejMfUG_U9dW51yEsy_0LmdNOFQsT8aunOkBI2djLTfLTOEb1nhaFQks-7TxhWKzefx6_I/s1600-h/martyr3.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 292px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYPZotlPuPFeRSWaSQO0kVWofG7shH_10j3OqnUw3l0odZQjvTARxVRybdp-SVGIFe2D-QllejMfUG_U9dW51yEsy_0LmdNOFQsT8aunOkBI2djLTfLTOEb1nhaFQks-7TxhWKzefx6_I/s320/martyr3.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5298605904895547346" /></a><br />I have ilustration<br />Suppose someone gave you a dish of sand mixed with tiny iron filings.<br />You comb your fingers through the sand, but you don’t see any filings.<br />Then you take a small magnet and comb it through the sand.<br />Suddenly it is covered with filings.<br /><br />Our cross is like a dish of sand. And God’s graces are like tiny iron filings.<br />So, when we combed with magnet and find the God’s graces, we can happy like woman in the beginning my sharing this morning. <br /><br />On the other hand, Ungrateful people are like your fingers combing the sand.<br />They combed the “sands of life” with their fingers and found nothing for which to take up the cross.<br />Amen.<br /><br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-1481857194845430912008-12-12T09:22:00.002+07:002008-12-12T09:31:10.881+07:00"Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta"<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh73-MdxhCUhOFpU3KEeCO90Nv5ENtx265PcJXqJQJDgg_UWk49hiC0sBj6jGumlqiNTgMpp6nAOoFOzH7gqAOL4ThIp7Gw4dZvK_SlZpRbfoEzAXU2xLNSrn-oyzJHez_5XijpLeXJGjA/s1600-h/cover+buku2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 287px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh73-MdxhCUhOFpU3KEeCO90Nv5ENtx265PcJXqJQJDgg_UWk49hiC0sBj6jGumlqiNTgMpp6nAOoFOzH7gqAOL4ThIp7Gw4dZvK_SlZpRbfoEzAXU2xLNSrn-oyzJHez_5XijpLeXJGjA/s400/cover+buku2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5278725499243497666" /></a><br />Berisi Sharing Inspiratif dr mahasiswa SaDhar, Jogja, yang berusaha meretas perbedaan menjalin kerja sama lintas iman. Sebuah buku yang mampu menggerakkan orang muda untuk bersatu menata kehidupan masyarakat agar lebih damai, sejahtera dan bahagia. (only 23rb)<br />Berminat dg Buku ini!!! Hub: didikedu@gmail.com<span class="fullpost"><br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-30668909529738307542008-12-10T10:25:00.003+07:002008-12-10T10:32:35.438+07:00Keterpanggilan Dalam Jejaring TeknologiBeberapa tahun yang lalu, dunia sempat tersentak ketika Deep Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak, tetapi dengan kekalahan itu, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.<br />Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jejaring teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer. <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7M-eTENaWGMIeUKhUH-5GtFZtUeW2CkwX8LqRuhZX-nbdKP3PiT26pYnR6ILVPlEl9JXBQBJsJ0indOd2fsA5cGoNq9He-28MAYWkgZ0V4EKY1eDEWGBjhuWymuiGrCR2wH9HwJa3udQ/s1600-h/teknologi.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:right;cursor:pointer; cursor:hand;width: 281px; height: 293px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7M-eTENaWGMIeUKhUH-5GtFZtUeW2CkwX8LqRuhZX-nbdKP3PiT26pYnR6ILVPlEl9JXBQBJsJ0indOd2fsA5cGoNq9He-28MAYWkgZ0V4EKY1eDEWGBjhuWymuiGrCR2wH9HwJa3udQ/s400/teknologi.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5277998449960394050" /></a><br />Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih. <br />Selain itu, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya di-klik saja, maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, komunitas maya tersebut secara eksplisit sudah mewujud dalam komunitas pertemanan semacam friendster dan facebook, di mana tidak jarang beberapa orang menggunakannya sebagai sarana untuk mencari jodoh pula. <br />Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia?<br /><span class="fullpost"><br />Artificial Intelligence<br /> Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead, perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.<br /> Gates menambahkan bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja, sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi dan Robot (GNR). Tiga serangkai ini adalah kekuatan yang akan mendominasi teknologi di masa yang akan datang. Genetika sendiri menunjuk pada perkembangbiakan genetika seperti maraknya kloning. Nanoteknologi adalah berbagai macam peralatan teknologi terapan yang menggunakan perangkat sangat lunak dan tidak membutuhkan banyak ruang. Sedangkan Robot adalah perangkat yang bekerja menggantikan manusia dalam berbagai macam kegiatan, seperti mencuci, menulis, dsb.<br /><br />Siapakah Kita di Jejaring ini? <br />Pesatnya perkembangan teknologi terutama lewat komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar menjadikannya berhala baru. <br />Tetapi anehnya, kemajuan teknologi adalah parameter yang selalu digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Suka atau tidak suka, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia.<br />Neil Postman dalam bukunya Technopoly mengatakan bahwa setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Dengan demikian manusia justru didikte oleh teknologi. <br />Akhirnya, siapakah kita di jejaring ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan demikian komputer sama seperti manusia? Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin? Lalu, bagaimana sikap kita? <br /><br />Keterpanggilan Hidup Manusia<br />Kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja, sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Komputer sebenarnya hanya bisa memutuskan dan menentukan sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria yang diberikan. Dengan demikian, permasalahan ini semata-mata terletak pada manusianya!<br />Pertama, manusia modern (termasuk kita tentunya) sepertinya sedang sakit mental! Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, penyakit malas ini begitu cepat berkembang ketika dihadapkan dengan kecanggihan teknologi. Anak-anak kita bingung kalau diberi soal hitungan tanpa menggunakan kalkulator. Kita pun kadang pusing dengan motor atau mobil kita yang tiba-tiba mogok, sepertinya dunia sudah kiamat. <br />Dalam menyikapi penyakit mental ini tidaklah arif jika kita begitu saja membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern. Siapa dari kita yang mau kembali pada ke zaman pra-teknologi atau zaman batu? Basis teknologi tetap perlu bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif. Oleh karena itu, cara mendidik kita salah, jika seorang anak diajari berhitung langsung dengan menggunakan kalkulator. Ujilah dahulu mereka dengan penghitungan secara konvensional. Sebaliknya, kalau punya kendaraan bermotor semestinya sedikit banyak tahu tentang kerusakan-kerusakan ringan, sehingga bisa menanganinya secara darurat. Inilah yang dimaksud dengan menggunakan teknologi secara kualitatif. <br />Kedua, perlu disadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan manusia itu memiliki sifat yang khas sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan teknologi. Manusia bisa menunjukkan emosi dan perasaannya secara natural, sedangkan robot sama sekali tidak bisa. <br />Ketiga, manusia dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, dan atas keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Teknologi kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa yang mengganggunya, teknologi akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali, seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalanannya untuk mencapai tujuan dengan pasti. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka. <br />Keempat, yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan terampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain yakni manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan.***<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7570873072999328195.post-84781866793425806772008-11-24T05:11:00.000+07:002008-11-24T05:12:52.917+07:00Perjumpaan, What’s wrong with You?Banyak hal dalam hidup kita yang seringkali terlewati begitu saja tanpa ada artinya. Seolah-olah pernak-pernik kehidupan itu adalah sesuatu yang tak perlu diperdebatkan, sesuatu yang biarlah terjadi begitu saja. Tak terkecuali pengalaman perjumpaan. Tiap hari kita berjumpa pak polisi di perempatan lampu merah. Tiap hari kita berjumpa dengan pedagang kaki lima. Tiap hari kita bertemu tema-teman kita, dan payahnya hanya yang itu-itu saja. Tiap hari kita ketemu saudara kita. Membosankan.<br />Tetapi cobalah sekali waktu perhatikan salah satu perjumpaan kita dengan orang lain. Tanpa disadari, setiap perjumpaan, meskipun tidak sengaja atau kebetulan, ternyata perjumpaan itu punya arti tersendiri.<br />Suatu kali aku mengalami perjumpaan dengan serombongan tukang pembuat lapangan tenis. Aku tidak bisa membayangkan betapa tidak enaknya bekerja di hamparan lapangan terbuka, apalagi kalau cuaca begitu ekstrim, entah hujan atau panas yang begitu terik.<br /><span class="fullpost"><br />Kebetulan dalam perjumpaan itu aku juga sedang bekerja di lapangan, tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Ketika matahari semakin memuncak dan begitu angkuhnya berdiri di atas kepala, tanpa sedikitpun terhalang oleh seberkas awan, serta merta aku langsung mengeluh. Mengeluh karena apa? Mengeluh karena panasnya itu lho… Dengan mudahnya aku berhenti sejenak dari pekerjaanku. Aku mencoba mencari tempat yang enak, yang lebih teduh, yang menghindarkan diriku dari kepanasan alias biar tidak hitam. Wong sudah hitam, mosok harus lebih hitam lagi.<br />Sewaktu aku berteduh, kebetulan lagi bahwa tempatku berteduh itu tidak jauh dari tempat di mana tukang-tukang pembuat lapangan tenis tadi bekerja. Sejurus kemudian, terjadilah percakapan sederhana antara kami. Aku sempat berkomentar, “Wuih... panasnya siang ini!” Mendengar komentarku itu, tak kusangka muncul jawaban dari salah seorang tukang itu. “Mas, panasnya dunia tuh banyak yang menanggung. Tapi, panasnya neraka tanggung dhewe!” <br />Aku agak terkejut juga dengan tanggapan itu. Padahal aku Cuma komentar ringan, tapi dia menimpali dengan cukup serius. Walau bagaimana, tanggapannya itu ada benarnya juga. Panasnya dunia yang nanggung seluruh dunia, setidaknya ya sebagian tempat tertentu. Dan benar juga, kalau masuk neraka, panasnya ya tanggung sendiri. Meskipun mungkin banyak jiwa juga di neraka, tapi siapa yang mau menolong. Sedangkan di dunia, masih ada orang lain yang punya hati untuk menolong kita bebas dari panasnya dunia. Karena itulah, kalau aku sedang bekerja di luar ruangan, seringkali aku teringat dengan kata-kata itu.<br />Nah, itu pengalaman kecil. Ada banyak pengalaman yang lain. Kadang-kadang perjumpaan itu sungguh membawa arti tersendiri. Meskipun tidak jarang pula, kita mudah begitu saja menghiraukannya, ternyata perjumpaan itu membawa makna terdalam.***<br /></span>Dominico Savio Octariano Widiantoro, SJhttp://www.blogger.com/profile/03041898914393284896noreply@blogger.com0