Rabu, Juli 17, 2013
Kembali nge-Blog
Senin, Juni 13, 2011
Tanggapan untuk Posting terakhir
Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 3 masalah moral yang utama.
Pertama, masalah keinginan keluarga (terutama ayahnya) untuk mencabut selang makanan yang membuat Tarno tetap bertahan hidup. Dalam moralitas, perbuatan ini sering disebut sebagai tindakan euthanasia. Euthanasia sendiri terdiri dari beberapa macam. Setidaknya ada 5 bentuk euthanasia: Euthanasia pasif (mis: dengan mencabut selang), euthanasia aktif (bisa dilakukan oleh dokter/orang lain, bisa juga dilakukan oleh pasien langsung), euthanasia tidak langsung (dg tindakan medik, tp tidak lgsg menyebabkan kematian), voluntary euthanasia (pasien sadar dan meminta sendiri) dan involuntary euthanasia (pasien sudah tidak sadar dan orang lain yang memutuskan).
Untuk kasus tindakan yang akan dibuat oleh keluarga terhadap Tarno termasuk kategori euthanasia pasif. Mengapa hanya pasif, apa pendasaran pokoknya? Pendasarannya adalah prinsip ordinary-extraordinary. Dalam prinsip ini, tindakan itu menjadi wajib hanya boleh dikenakan pada hal-hal yang biasa dan bisa dicapai oleh orang pada umumnya. Sedangkan hal-hal luar biasa yang pencapaiannya sulit tidaklah boleh dikenakan sebagai kewajiban umum kepada semua orang.
Nah, penggunaan selang makanan bagi penderita koma, yang biasanya hanya bisa kita temukan dalam ruang ICU, adalah termasuk kategori extraordinary. Penggunaan ruang ICU tidak bisa kita wajibkan kepada semua orang. Lalu, terkait dengan kasus Tarno, apakah dengan demikian pencabutan selang itu diperbolehkan? Jika, melihat sisi extraordinary-nya, itu tidaklah menjadi masalah. Para moralis dan kaum agamawan umumnya memandang cara ini (euthanasia pasif) tidak masalah. Sebab, dalam kondisi misalnya tidak ada ICU di suatu tempat tertentu, Tarno mungkin sudah tidak bisa bertahan selama 5 bulan. Penggunaan ICU membuat Tarno bertahan hidup lebih panjang. Jadi pelepasan selang mengembalikan kondisi Tarno pada situasi ordinary.
Tetapi, jika pelepasan selang itu semata-mata demi alasan ekonomi, tindakan itu tidaklah bijak. Artinya, value dari ekonomi kalah penting dari value dari kehidupan. Bagaimanapun juga kehidupan haruslah diperjuangkan. Toh, keluarga bisa meminta kepada pemerintah untuk membantu meringankan biayanya (ini adalah kewajiban negara untuk menyediakan Jamkesmas bagi warga yang kurang mampu).
Dalam Kitab suci, kita bisa belajar dari tokoh Ayub. Maka, pemecahan masalahnya bisa menggunakan kisah Ayub ini sebagai cerita inspiratif untuk keluarganya. Keluarga harus diajak tabah, tetap berpasrah pada Tuhan. Jangan hanya semata-mata demi alasan ekonomis saja.
Kedua, masalah penggusuran atas nama manfaat (banyak orang).
Cara ini seringkali dijadikan kampanye paling efektif dari pemerintah untuk melaksanakan rencana pembangunan dan sekaligus penertiban warga yang tinggal di wilayah pemerintahan mereka. Tetapi, bila kita lihat lebih seksama, asas manfaat ini tidak bisa dibenarkan. Meski bermanfaat bagi “banyak” orang, tetap saja ada orang yang dirugikan, meskipun itu hanya “segelintir”. “Segelintir” ini juga manusia lho, bukan mainan. Ingat, pernyataan Kayafas kepada orang Yahudi ketika Yesus akan dihukum, "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa." Pernyataan ini hanya berlandaskan pada asas manfaat. Yesus dikorbankan demi kepentingan banyak orang.
Solusinya adalah meminta pemerintah dan warga mencari waktu dan tempat untuk musyawarah. Harus ditemukan titik temu yang win-win solution. Tidak boleh ada satu pun yang dirugikan. Di Indonesia sudah ada beberapa contohnya. Pemerintah kota Yogyakarta dan kota Solo termasuk dalam kategori pemerintah yang berjuang tidak sekedar seenaknya menggunakan asas manfaat. Meski ada penertiban, warga yang ditertibkan diberi ganti rugi yang seimbang dan malahan justru menguntungkan warga sendiri.
Ketiga, masalah bentrokan antara satpol PP dan warga. Bentrokan ini terjadi sebagai implikasi dari kebijakan penggusuran yang dibuat oleh pemerintah. Satpol PP dalam kasus ini seringkali tidak bisa langsung disalahkan. Mereka hanyalah alat dari pemerintahan. Mereka dibayar oleh pemerintah. Tokoh sentral dalam penggusuran ini adalah pemerintah. Penting di sini digarisbawahi soal prinsip keadilan. Dalam moral sosial, keadilan dan bonnum commune (kebaikan bersama) menjadi prinsip yang paling pokok. Ajaran sosial Gereja sudah banyak membicarakan hal ini. Bila menilik pokok permasalahan yang terpenting, pemerintah dan masyarakat harus saling bertemu. Bila di dalamnya ada kepentingan bisnis (pengusaha), maka kelompok ini juga harus ikut dalam pertemuan itu. Mufakat dan hasil yang berimbang dari 3 posisi sentral (pemerintah-rakyat-pengusaha) ini tentu harapannya.
KASUS 2
Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 4 masalah moral yang utama:
Pertama, masalah aborsi. Aborsi adalah termasuk tindakan membunuh. Yang dibunuh adalah janin manusia yang masih di dalam rahim seorang perempuan. Dewasa ini ada kecenderungan antara pilihan pro-life atau pro-choice. Pro life adalah opsi untuk tetap mempertahankan kehidupan, meski dalam keadaan dilematis sekalipun. Sementara pro-choice, si ibu bisa memilih yang terbaik bagi hidupnya (hanya dalam kondisi medis yang harus mengorbankan janinnya).
Dalam kasus ini, permintaan Doni tidak ada sangkut pautnya dengan pro-choice (karena bukan persoalan medis). Doni meminta aborsi, karena kehadiran bayi itu tidak diinginkan.
Memang, dalam kasus ini tindakan aborsi itu sendiri belum terjadi. Tetapi, baru ‘niat’ saja sudah membuat tindakannya intrinsik jahat.
Aborsi tidak saja masuk dalam kategori membunuh biasa. Dalam Gereja katolik, pelaku aborsi (pelaku langsung maupun tidak langsung) dikenai sanksi eks-komunikasi. Dan rekonsiliasinya harus dipenuhi lewat pengakuan dosa secara khusus. Mengapa berefek demikian? Karena aborsi pada dasarnya sama saja dengan membunuh manusia yang masih belum bisa membela dirinya; di mana seharusnya kita menjaga dan merawat janin ini, aborsi justru melawannya. Di sinilah pokok kejahatan dari aborsi.
Kedua, masalah kehamilan di luar nikah. Perihal kehamilan di luar nikah, itu terkait dengan moral keluarga. Dalam weekend moral tempo hari kita sudah mendalaminya secara khusus. Problem pokok kehamilan di luar nikah adalah kesalahan dalam memaknai arti cinta. Cinta adalah anugerah dari Tuhan yang istimewa. Cinta yang lahir lewat pasangan mestilah dihidupi sebagaimana seperti cinta Tuhan kepada manusia.
Selain itu, Gereja juga menegaskan (seperti juga disebutkan dalam kitab suci) bahwa perkawinan itu adalah sakral. Perkawinan bukan sekedar hubungan intim suami-istri. Di dalam perkawinan, intrinsik hadir karya Tuhan.
Ketiga, masalah kontrasepsi. Meski masalah ini tidak terlalu nyata, tetapi permintaan Doni kepada Santi untuk meminum pil anti-hamil, berarti di dalamnya ada unsur anjuran penggunaan alat kontrasepsi. Supaya bahasan untuk masalah ini tidak terlalu rancu, penting diingat bahwa alat kontrasepsi bukanlah diperuntukkan bagi pasangan yang belum menikah. Secara moral alat itu hanya ‘boleh’ digunakan atau dipakai untuk orang yang sudah menikah. Lalu, jika syarat pernikahan sudah terpenuhi, barulah kita bicara bagaimana tanggapan gereja terhadap penggunaan kontrasepsi. Pada intinya, Gereja tidak memperkenankan pengaturan kelahiran dengan cara penggunaan alat-kontrasepsi, apalagi jika alat tersebut bersifat kontra-vita (sama saja dengan membunuh/aborsi). Yang gereja minta dari pasangan adalah pengaturan kelahiran secara alami (atau istilahnya KB Alami).
Keempat, masalah relasi berpacaran lewat facebook. Ada dua cabang masalah dari persoalan ini. Yang pertama soal bagaimana berelasi yang baik, dan yang kedua soal alat komunikasi (facebook).
Dalam membangun relasi yang baik, apalagi dalam rangka pacaran, haruslah dipergunakan sarana-sarana yang baik dan mendukung pula. Dalam tradisi gereja, masa pacaran adalah kesempatan bagi pasangan untuk sungguh mengenal pasangan, sehingga kelak siap masuk dalam jenjang pernikahan. Sifat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan sungguh mengharapkan setiap pasangan siap sehidup-semati dengan pasangannya. Maka, pacaran menjadi kesempatan untuk sungguh mengenal satu sama lain. Sementara itu, kembali ke kasus kualitas relasi antara Santi dan Doni memang patut dipertanyakan.
Lalu, soal facebook. Dalam dirinya sendiri, facebook bersifat netral. Tetapi, di hadapan pengguna, facebook bisa menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi bisa memberi dampak positif, relasi menjadi lebih baik; tetapi bisa memberi dampak negatif, manakala di dalamnya dipenuhi unsur-unsur penipuan.
Solusi untuk masalah ini adalah merawat janin itu dan membiarkan lahir. Lalu meminta Doni bertanggungjawab dan meminta keduanya meningkatkan relasi sehingga berkualitas. Jika kemudian mesti menikah dini, kualitas relasi itu mesti dikondisikan. Bagaimanapun juga pernikahan dini terhitung cacat. Pernikahannya ada unsur ‘terpaksa’. Yang namanya ‘terpaksa’, di mana-mana seringkali berdampak buruk. Maka buatlah ‘keterpaksaan’ itu menjadi sikap pasrah. Pengalaman ini adalah kesempatan berahmat bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dengan merawat janin itu dan menjalani hidup berkeluarga, rahmat itu pasti direngkuh dengan baik.
Catatan: bagian yang dicetak tebal adalah kata-kata kuncinya.
Read More...Jumat, Mei 27, 2011
Titipan Untuk Gen. AX dan AY
Kasus 1
Tragis sekali nasib Tarno. Dalam peristiwa bentrokan antara Satpol PP dan warga Penjaringan, Jakarta Utara, 5 bulan lalu, Tarno menjadi salah seorang korban dari pihak Satpol. Kondisinya sekarang masih dalam keadaan koma di RS Cipto Mangunkusumo. Keluarganya masih mencoba bersabar menanti kesembuhan Tarno, meskipun telah diusahakan pengobatan sedemikian rupa. Dalam peristiwa bentrokan 5 bulan lalu itu, Tarno dan teman-temannya mendapatkan perintah dari atasannya untuk menertibkan dan menggusur pemukiman di wilayah Penjaringan, karena di lahan itu akan segera dibangun Pembangkit Listrik. Bentrokan itu sendiri terjadi karena warga setempat masih menuntut hak mereka atas biaya ganti rugi. Tetapi pemerintah merasa sudah menjalankan kewajibannya, apalagi pemerintah punya alasan kuat, bahwa pembangunan pembangkit listrik ini akan bermanfaat bagi banyak orang. Pemerintah berasumsi para warga Penjaringan sewajarnyalah harus mau bekerjasama, karena ini demi kepentingan orang banyak. Sementara itu, terlepas dari persoalan bentrokan itu, ayah Tarno sudah pasrah dengan kondisi anaknya, bahkan ayahnya telah mengajukan permohonan kepada rumah sakit supaya mencabut selang saluran makanan tersebut dan merelakan anaknya pergi selamanya. Keluarga besar melihat sudah tidak ada harapan dan tanda-tanda kesembuhan dari diri Tarno. Apalagi keluarga sudah tidak sanggup lagi membiayai perawatannya.
Kasus 2
- Sebutkan apa saja masalah moral yang ada di dalamnya!
- Tinjaulah masalah tersebut dengan bahasan teologi moral yang sudah kita dalami dan pelajari!
- Dan, berikan tanggapan kritis terhadapnya (ajaran kristiani, ajaran sosial, dsb.)!
- Jika memang perlu, buatlah solusi dan tujukan kepada siapa saja solusi tersebut harus diberikan?
Kamis, Mei 12, 2011
Perubahan Nama Blog
Mengenai konten, visi dan misi yang diemban blog tersebut tidak ada perubahan sama sekali.
Selasa, Mei 10, 2011
“Cémén Loe!”
--Author Unknown--
Pernah tidak teman-teman dianggap sebagai penakut? Apapun bentuk dan sumber ketakutan itu, kamu pasti pernah mengalami sebuah ketakutan. Seperti yang dialami Dodi ketika diajak teman-temannya untuk cabut dari sekolah.
“Eh, Dod, tahu nggak? Loe tuh masih akan seperti anak kecil, kalau cabut sekali-sekali saja gak berani! Cémén tahu gak sih loe!”
Begitulah teman-teman se-genk-nya menggoda Dodi untuk bolos dari sekolah.
Ya, ketakutan yang dialami Dodi ini adalah ketakutan karena diajak untuk berbuat sesuatu yang buruk. Ketika muncul ketakutan, hati nurani kita menggugat, apakah mau mengambil tindakan tersebut atau mau menolaknya. Selama kamu masih mengalami sebuah ketakutan, berarti kamu masih sadar bahwa perbuatan itu salah. Sebaliknya, kalau kamu sama sekali tidak merasakan ketakutan itu lagi, dan serta merta mengikuti tawaran temanmu, itu berarti kepekaanmu membedakan yang baik dan buruk sudah mulai berkurang.
Tapi, walau begitu, hati nurani kita sebenarnya sama sekali tidak bisa ditipu, atau setidaknya ditutupi atau diabaikan. Hati nurani kita akan menggugat kita pada saat sebelum tindakan dilakukan, pada saat sedang dilakukan dan pada saat setelah tindakan dilakukan. Hanya saja, jika tindakannya terlalu sering diperbuat, ya pastilah, kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang amat biasa. Bukankah, ada pepatah berbunyi “bisa karena biasa, tahu karena mau.” Kita bisa melakukan sesuatu, karena memang kita membiasakan perbuatan tersebut. Kita bisa mengetahui sesuatu karena kita punya kemauan untuk mengetahuinya.
Pengalaman Dodi tadi bisa menjadi semakin berat jika bumbu ceritanya ditambah begini: ketakutan Dodi terjadi bukan karena soal hati nurani saja, tetapi terjadi karena di bawah ancaman teman-temannya. Dia tidak berani melawan, karena takut kelak pertemanan antar mereka menjadi kacau dan mungkin dia bisa dimusuhi teman-temannya. Nah, kalau soal ini, memang lebih agak rumit. Soalnya yang diangkat adalah bagaimana menciptakan sebuah pertemanan yang baik.
Bicara soal pertemanan, memang tidak ada rumusan yang pasti soal ini. Sebab, kita tidak pernah tahu, kelak kita bakal mendapatkan teman seperti apa. Kita hanya bisa mengkondisikan situasinya, memilih sarananya, tetapi orang yang datang kepada kita dan menjadi teman kita itu layaknya seperti sungai mengalir. Let it flows!
Sederhananya begini, misalkan kamu waktu TK-SD sekolah di tempat tertentu, mungkin di kota kecil lalu kemudian sewaktu SMP dan SMA memilih sekolah di kota besar, pasti ragam teman-teman kita akan amat kelihatan. Demikian pun sewaktu kita memilih untuk ikut kegiatan hobi tertentu, misalnya hobi nge-band, pastilah kita akan bertemu teman-teman dengan karakter yang senada. Kalau kita memilih kelompok hobi dance, pasti berbeda pula dengan karakter teman-teman yang biasa nge-band.
Itu tadi baru bentuk kelompok yang kita pilih, selanjutnya pertemanan akan amat bergantung pada pasang-surut kualitas pertemanannya, yang biasanya amat melibatkan emosi kita sendiri. Nah, di sinilah kita bisa menguji bagaimana kita mampu mengembangkan kualitas pertemanan kita. Semakin terlibat secara emosional, kita sebenarnya diuji. Tetapi, sebaliknya kalau kita cuma sekedar ikut-ikutan, tentu saja kualitas pertemanan itu akan biasa-biasa saja.
Andai si Dodi berani menolak tawaran teman-temannya untuk bolos, pasti di situ dimensi emosional antara Dodi dan teman-temannya dilibatkan. Andai Dodi bisa memberi penalaran dan alasan yang baik agar tidak membolos, pastilah teman-temannya ikut berpikir dan mengolahnya. Tetapi, andaikan Dodi hanya ikut saja ajakan teman-temannya, dimensi emosinya tentu saja tidak begitu kelihatan, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan, tidak ada banyak pergulatan emosional di sana. Orang yang memilih tindakan berbeda, tentu pergulatannya lebih besar dibandingkan dengan orang yang memilih tindakan yang sama.
Mungkin di kemudian hari ada semacam permusuhan atau penolakan atas dasar keputusan yang dibuat Dodi jika dia tidak menerima tawaran dari teman-temannya. Namun justru di situlah kualitas pertemanan kita diuji. Kalau bentuk pertemanan kita ke arah positif, pastilah teman-temannya akan menjadi sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Sebaliknya, jika bentuk pertemanannya ke arah negatif, pastilah teman-temannya akan membiarkan Dodi pergi atau tidak melibatkan lagi Dodi dalam percaturan genk mereka.
Pertanyaannya kemudian adalah kembali ke kita. Kamu sebenarnya mau pilih bentuk pertemanan yang seperti apa? From deep our heart, biasanya kita akan memilih pertemanan yang sehat, pertemanan yang mengembangkan. Benarlah kata pepatah kuno, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Setiap keburukan-keburukan yang kita tabung sejak dulu, lama-lama kita akan kelak menuai timbunan keburukan yang lebih besar. Kalau kita menabung kebaikan-kebaikan yakinlah bahwa suatu saat kita akan memanen kebaikan-kebaikan yang lebih besar lagi.
Kata Steven Covey, penulis buku Seven Habits, kalau mau jadi manusia efektif, kita harus membuat rekening bank emosional. Kalau sejak kecil kita terbiasa menabung emosi-emosi yang buruk, tabungan kita kelak hanya akan berbuah emosi yang buruk pula. Demikian pun sebaliknya, kalau kita sudah membiasakan menabung emosi-emosi yang baik, tabungan kita akan penuh dengan hal-hal yang baik pula.
So, teman-teman, membangun pertemanan itu memang gampang-gampang susah, atau mungkin susah-susah gampang. Terlepas bahwa pertemanan itu seperti sungai mengalir, pasang-surutnya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing pribadi, tetapi peran kita tetaplah besar. Sejauh kita mau terbuka, dimensi emosi dan afektif kita tunjukkan, pastilah pertemanan yang kita buat akan semakin positif.
Sekarang kita mau menuai yang mana nih? Tinggal teman-teman yang menentukannya. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Segala yang kita buat, kita harus siap menerima segala resikonya kelak.
Jumat, April 22, 2011
DI BAWAH KAYU SALIBMU
Tubuhku merinding melihatnya
Hatiku berat tuk menahannya
Jiwaku sperti mau hilang rasanya
Di bawah kayu salib-Mu
Sukmaku tertancap…
Bukan karna tak ingin meninggalkannya
Bukan karna tak ada lagi tempat berpijak
Bukan karna tak sadar akan rasa dosaku
Di bawah kayu salib-Mu
Aku temukan kekuatan-Mu yang besar
Aku bayangkan hati-Mu yang terperi
Aku simpulkan kasih-Mu yang tulus
Di bawah kayu salib-Mu
Kau ajak aku bertumbuh
Tidak untuk sekedar sedih atas salah yang telah kuperbuat
Tapi untuk yakin, O betapa tegarnya Engkau menopang aku.
Di bawah kayu salib-Mu
Kau bangunkan aku untuk ikut memanggul bersama Engkau yang memanggul…
Selasa, April 12, 2011
Bergaya Trendsetter
- Rosa Parks –
Fren, Trendsetter itu apaan sih?
Ah, kamu tuh gak gaul banget sih? Trendsetter itu istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi panutan dalam hal tertentu karena keunikan dan kreativitasnya, sehingga selalu membuat terobosan (breakthrough) di tengah kemapanan yang ada. Sebenarnya pengertiannya sangat luas sekali sebab mencakup semua bidang. Tapi, umumnya sih bidang yang dijadikan trendsetter itu bidang fashion, gadget, IT, dan otomotif.
Contohnya juga banyak lho. Liat tuh Agnes Monica, si vokalis trendy, yang hampir setiap penampilannya, dia pakai rambut yang beraneka bentuk dan warna; khan banyak tuh, anak muda yang ikut-ikutan gaya dia. Atau contoh jadul nih, pas zaman Demi Moore masih bergaya botak; banyak juga khan cewek-cewek yang berani memangkas rambutnya sampai habis, padahal aneh banget khan kalau cewek botak, jadinya kayak pak ogah dalam serial Unyil zaman dulu.
Kalau yang cowok-cowok biasanya ngikutin gaya pemain sepakbola favoritnya atau ngikutin gaya boyband yang digandrunginya. Udah banyak tuh cowok-cowok yang ikut-ikutan fashion yang dipopulerkan Clubeighties, gaya jadul yang aneh, tapi nyentrik.
Eh… tapi jangan salah menduga dulu ya. Trendsetter tidak cuma soal fashion dan buat gaya-gayaan. Nyatanya, di bidang sosial-politik dan ekonomi banyak hal bisa dijadikan topik trendsetter juga. Contoh paling kelihatan ya waktu presiden Chile, Sebastian Pinera mampu menyelamatkan 33 pekerja tambang yang terperangkap di bawah bumi. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagi negaranya. Sudah pasti dia menjadi trendsetter buat tokoh-tokoh politik di negara lain.
So, mungkin kamu awalnya agak merasa gak terlalu senang ya dengan istilah trendsetter, soalnya seolah-olah jadi pedoman untuk hal-hal yang aneh. Mungkin, dulu kamu pernah mendengar istilah ini, “hari ini gak punya hape?” Itu khan secara tidak langsung jadi semacam ‘paksaan’ untuk mengajak teman-teman-nya juga punya hape. Kepemilikan hape menjadi semacam trendsetter. Nah, itu dulu! Sekarang mungkin pertanyaannya bisa dibuat begini, “Hari gini gak bisa jadi anak muda berprestasi?”
Mungkin dengan cara begitu, kita bisa menjadi trendsetter yang positif dan transformatif bagi banyak orang, seperti Sebastian Pinera itu. Lalu, gimana caranya? Kayaknya susah amat ya jadi orang yang bisa dijadikan panutan.
Eits… jangan menyerah dulu. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Bagi yang memiliki kemauan ingin jadi trendsetter yang positif tadi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Kamu masih muda khan? Atau minimal masih berjiwa muda. Ya nggak? Tunjukkan kemudaanmu dengan semangat dan hati yang berkobar-kobar dong. Artinya, tunjukkan semangat kreatifmu, semangat pembaruanmu. Istilah sederhananya, harus berani tampil beda. Tampil beda sih bukan hal yang buruk, bukan? Tampil beda membuat kita berani mencoba sesuatu yang beda dari yang lain. Tapi, jangan asal beda doang lho ya! Harus pakai prinsip juga. Minimal prinsip demi kemaslahatan bersama, artinya tidak membuat orang lain dirugikan dan menyusahkan orang lain.
Bisa jadi pas kita berani tampil beda, orang lain mengejek kita. Jangan sampai tersinggung dan cepat-cepat berkecil hati. Mikirnya simple aja deh, sambil bergurau gini, “Ehh…, kamu tuh… orang sirik itu tanda tak mampu!” Udah banyak lho teman-teman kita yang nyobain jadi trendsetter yang amat positif. Misalnya nih, kayak Cella, temanku yang kuliah di universitas terkenal di Yogya. Dia bersama beberapa temannya memilih meluangkan sedikit waktu senggangnya untuk membuka kelompok belajar buat anak-anak desa, yang mungkin tidak pernah bisa mendapatkan pelajaran tambahan seperti yang bisa dirasakan anak-anak kota. Ini benar-benar tampil beda khan? Mungkin sekarang belum bisa disebut trendsetter, tapi mungkin beberapa tahun mendatang, akan ada banyak kegiatan kampus yang sifatnya kayak gini, kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya keluar-kampus yakni dengan jalan membantu masyarakat. Tidak hanya cuma lewat KKN, tapi lewat keseharian sebagai mahasiswa.
Atau kayak temanku di Magelang, Eko namanya. Dia sekarang lagi mengembangkan usaha brownies. Mungkin kamu bertanya-tanya, lho, koq cowok malah dagang makanan? Jangan salah kira lho ya! Temanku yang satu ini sedang mengembangkan usaha enterpreneurship-nya. Ups, istilah apalagi tuh? Susah amat bacanya.
Begini teman, entrepreneurship itu arti sederhananya adalah berwirausaha. Eko, temanku tadi, sedang berwirausaha lewat produk kue brownies. Dia umurnya masih 23 tahun lho. Bayangkan umur segitu sudah sukses berwirausaha.
Kalau kamu mau tahu, sekarang wirausaha sudah menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Apalagi, pemerintah juga dari tahun ke tahun semakin kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan buat kita-kita. Semakin banyak saja pengangguran baru. Ya, cara yang terbaik adalah berani berwirausaha. Abis kuliah jangan merasa yakin bisa langsung bekerja di sebuah perusahaan besar. So, berpikirlah dengan cara yang lain. Ya, solusi yang lain ya dengan wirausaha itu.
Pak Ciputra, sang pengusaha terkenal dari Indonesia pernah mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad enterpreneurship bagi Indonesia. Jadi, gak salah bukan kalau wirausaha adalah trendsetter di kalangan anak muda zaman ini. Lalu, bagaimana caranya? Tidak usah terlalu pusing-pusing. Mulai dari yang kamu suka saja. Kalau kamu suka makan, ya mulailah dari wirausaha di bidang makanan. Kalau kamu suka pernak-pernik, bukalah usaha kerajinan tangan. Mudah khan? Soal modal gimana? Yah, khan kamu punya celengan. Nah, itu dia. Celengannya gak usah beli hape baru. Pakai saja buat modal untuk usaha. Inget pesan ini, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Mulai dari usaha yang kecil, yakin suatu saat usahamu bakal menjadi besar. Tentu dengan kesabaran dan ketekunan.
Tuh khan, kalau dibikin list, banyak juga ya model-model trendsetter yang mengembangkan diri kita. Sederhananya, dalam diri kita tuh ada banyak potensi untuk menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Tidak harus jadi public figure dulu baru kita bisa jadi trendsetter. Dengan jadi diri kita sendiri saja, model trendsetter yang akan muncul pasti amat otentik, gak sekedar ikut-ikutan. Ya nggak?***
Read More...