Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, dunia yang bergerak dan menyejarah terus memberikan latar dan pengaruh pada kehidupan manusia, dan sebaliknya, manusia jugalah yang secara otonom membentuk dan mengukir dunia seluas hidupnya.
Dalam peziarahannya di dunia, manusia tidak jarang berhenti pada suatu titik, di mana dia bertanya-tanya di dalam batin, mencoba mencari jawaban, siapa sebenarnya ‘sang aktor’ di balik peristiwa kehidupannya? Meski manusia yakin bahwa tindakan yang dilakukannya dari detik ke detik adalah opsi fundamental-nya, tetapi seringkali dalam situasi tertentu, manusia menjadi seperti tertahan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tepat pada saat itu, manusia merasakan ada ‘sesuatu’ di luar dirinya yang ikut terlibat dalam peristiwa itu. Itulah proses pengenalan manusia akan ‘Yang Transenden’.
Siapakah ‘Yang Transenden’ itu? Manusia terus mencoba mencari jawab. Penggalan-penggalan sejarah telah banyak bercerita bahwa manusia tidak pernah berhenti menginterpretasikan siapa ‘Yang Transenden’ itu. Proses pengenalan itu tak akan pernah berhenti dan mengalir terus sepanjang hidup manusia.
Secara sederhana, itulah yang disebut dengan iman. Iman selalu berdinamika di antara pribadi manusia dan ‘Yang Transenden’, serta ketersediaannya selalu berangkat dari konteks dunia yang menghidupinya.
Pokok-pokok pembinaan iman zaman ini
Bila mendiskusikan pokok-pokok apa saja yang menjadi perhatian dalam membina iman, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah aspek pribadi manusia yang mengalami iman itu sendiri. Iman itu relasi personal, yakni pengalaman pribadi manusia itu sendiri. Masing-masing orang punya pengalaman iman yang berbeda dan unik. Pengalaman itu terjadi lewat cara-cara yang identik dengan orang yang mengalaminya, sehingga orang lain tidak bisa dengan mudah memahaminya.
Dalam kesadaran iman yang unik itu, setiap pribadi bergulat dalam dirinya: bagaimana ‘Yang Transenden’ itu sungguh-sungguh disadari. Maka, refleksi atas pengalaman atau pemaknaan atas hidup menjadi sangat penting, sebab di situ manusia menjadi sadar bahwa hidup itu bukan miliknya sendiri. Ada campur tangan dari Sang Pribadi ‘Yang Transenden’. Pribadi itulah yang dikenal oleh manusia sebagai Allah. Dan dengan kesadaran itu pula, lewat seluruh hidupnya tampak ditunjukkan keterlibatan Allah. Sementara itu, refleksi keberimanan tadi diperoleh dengan melibatkan seluruh afeksi/rasa dan kognisi serta aksi dari manusia itu sendiri.
Hal kedua yang menjadi pokok perhatian adalah konteks dan lingkungan-budaya yang melingkupi pribadi manusia itu. Seorang beriman tidak pernah lepas dari konteks, apalagi bila konteks itu adalah hidup bersama orang lain, yang notabene adalah orang yang sangat beragam, apalagi masing-masing orang tersebut mempunyai pengalaman keberimanan yang khas dan unik juga. Konteks ini juga mencakup dunia/zaman macam apa yang ditinggali oleh manusia tersebut.
Hal ketiga adalah kesadaran bahwa keberimanan itu bukanlah tindakan sekali jadi. Keberimanan adalah sebuah proses hidup, yang dimulai sejak pribadi itu terlahir ke dunia, dan selesai pada waktu kehidupan itu dicabut dari dirinya. Dengan kata lain, pencarian akan Allah atau keberimanan terhadap Allah ‘Yang Transenden’ itu terus diperjuangkan sampai sukma terenggut dari tubuh. Namun, dalam proses keberimanan tersebut, bukan berarti manusia tidak pernah punya pilihan pasti. Dalam setiap titik-titik hidup yang dilaluinya, manusia menentukan opsi fundamental-nya. Dalam opsi itulah, dia bergulat dalam hidupnya, dan itu tiada kata akhir, sampai semuanya benar-benar paripurna di akhir hidupnya.
Hal keempat adalah Pribadi ‘Yang Transenden’, yakni Allah sendiri. Dalam proses keberimanan manusia, Allah ikut terlibat dan ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan-Nya pun unik sebab bergantung kepada masing-masing manusia dalam berprosesnya.
Pengertian dasar yang memberi arah pembinaan iman
Setelah memahami pokok-pokok iman di atas, selanjutnya perlu adanya pengertian dasar guna memberi arah bagi pembinaan iman tersebut. Pada dasarnya, kehidupan manusia itu tak pernah berdiri sendiri. Pengalaman akan ‘Yang Transenden’ selalu muncul dalam benak kehidupan manusia. Proses keberimanan itu bisa dianalogikan seperti orang berjalan menyusuri sungai. Sementara, ‘Yang Transenden’ itu, yang kita kenal sebagai Allah, persis berada di seberang sungai, yang juga sama-sama menyusur. Sesekali, kedua sisi sungai itu bertemu. Titik pertemuan itu adalah sebuah jembatan. Lewat jembatan itulah, manusia dan Allah menjadi saling terhubung. Tetapi, setiap kali Allah dan manusia juga akan selalu bertemu, sebab indera (mata) tak menghalangi penglihatan dan oleh karenanya, manusia menjadi yakin bahwa di seberang Allah juga terlibat dalam dan aktif dalam ‘permainan’ hidupnya.
Selain daripada itu, tidak jarang pula terdapat banyak hal yang bisa menghalangi keterhubungan itu, entah itu terjadi karena jarak sisi sungai yang semakin melebar, entah karena ada benda asing yang seketika itu lewat di tengah sungai, sehingga pandangan langsung menjadi terhalang. Atau bisa juga selama perjalanan menyusur sungai, tak satupun jembatan yang bisa ditemui.
Tapi itu bukanlah hal yang pokok. Sebab keberimanan itu seperti sebuah permainan. Di dalamnya, manusia diajak untuk terlibat. Allah pun melakukan hal yang sama. Di sini tidak tertutup kemungkinan ada proses tarik-ulur, antara Allah dan manusia. Dengan demikian, yang pokok dalam permainan itu adalah manusia tidak pernah berhenti dalam pencariannya, tidak pernah berhenti menyusuri sungai.
Di samping itu, di dalam ‘permainan’, manusia juga benar-benar diuji. Allah sebagai pihak yang lain, juga memainkan peran-Nya, meskipun Allah kerapkali membuat banyak gerakan-gerakan (=rahmat) yang tak terduga. Ketakterdugaan ini juga menunjuk pada situasi di mana, seringkali manusia menemui ‘jalan buntu’ di dalam hidupnya, yakni situasi di mana manusia ‘merasa’ ditinggalkan oleh Allah (misalnya dalam menjawab masalah penderitaan). Itulah misteri permainan itu. Manusia tidak tahu apa yang dibuat Allah, tapi manusia yakin bahwa Allah tetap terus bermain. Oleh karena itu, yang terpenting dari sisi manusia adalah sungguh-sungguh bermain, dan terus bermain sampai akhir hidup.
Lewat permainan itulah, manusia bertanggungjawab atas hidupnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa iman bukan berarti ‘aku manut’, tetapi mau berubah dari hari ke hari.
Kristus dalam pembinaan itu
Proses keberimanan manusia menandakan adanya sejarah iman. Bagi orang kristen, sejarah iman itu belum penuh. Sebab kepenuhannya ada dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, keberimanan orang kristen berfokus dalam pribadi Kristus.
Kristus adalah komunikasi Allah. Kristus menjadi cara sekaligus menjadi model dalam keberimanan orang kristen. Dengan keterlibatan Kristus dalam hidup, kita akhirnya diundang masuk ke dalam pusaran arus Allah.
Kristus menjadi cara keberimanan kita, dan oleh karenanya, hidup Yesus menjadi semacam model dalam keberimanan kita. Yesus adalah juga manusia yang ikut ambil bagian dalam permainan bersama Allah. Dalam permainan itu, Yesus bergulat dan secara kontiniu berproses mencari dan menangkap Allah. Bahkan sampai wafat-Nya di kayu salib, pencarian itu tak pernah ada kata akhir. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46)
Selain itu, meski Yesus adalah komunikasi Allah sendiri —atau dengan kata lain Yesus adalah Wahyu—, selama hidup-Nya Yesus sama seperti manusia, menjadi pendengar Sabda Allah sendiri. Sikap-Nya inilah yang membuat-Nya hidup dalam masterplan Allah. Itu berarti pula bahwa Yesus selalu membuka diri-Nya pada rahmat (=permainan) yang dibuat Allah.
Lalu, apakah hidup dan doa kita mulai dengan nol?
Setelah melihat bagaimana proses keberimanan manusia, pada bagian ini, kami hendak menanggapi pengalaman iman yang unik, yang dialami oleh Andre Sulistyo (yang dimuat di majalah Utusan, edisi Agustus 2008)
Pada dasarnya, posisi/titik hidup yang dialami Andre tidak bisa dikatakan harus mulai lagi dari angka nol. Iman itu adalah proses. Pada titik yang dianggap nol oleh Andre itu justru adalah titik lanjutan, bukanlah titik awal. Sedangkan, menurut kami, angka nol haruslah selalu menunjuk pada mulainya hidup seorang manusia. Posisi angka nol menjadi tepat/benar, jika itu menunjuk pada mulainya kehidupan manusia di dunia, yakni ketika dia dilahirkan. Sementara, hidup yang sedang berjalan, apakah dia dalam krisis beriman atau tidak, tak pernahlah dimulai lagi dari angka nol.
Sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia bergulat dalam imannya. Keadaan sebagai seorang fatalis, tidak berarti dia tidak beriman. Justru di situlah, imannya sedang diuji. Titik nol yang disebut Andre justru bisa dikatakan sebagai ‘puncak hidup’-nya, karena dia sungguh menyerahkan seluruh hidupnya (bdk. Pengalaman St. Yohanes dari salib). Dalam ‘titik nol’ itulah, Allah mewahyukan dirinya, Allah menunjukkan gerakan-gerakan dalam permainan-Nya.
Mesti diakui bahwa anggapan Andre Sulistyo itu merupakan gejala umum yang kerap dialami manusia zaman sekarang, yang melihat hidup itu sebatas keberhasilan. Sehingga, sah-sah saja jika Andre menganggap dirinya mesti memulai lagi dari angka nol. Padahal di samping keberhasilan, hidup itu juga termasuk penderitaan. Itu tampak dari ungkapan ‘keberimanan’-nya. Ada perbedaan tipis antara penyerahan diri dan keputusasaan. “Kalau hari ini Tuhan mau ambil nyawaku, ya silakan!” Maka dari itu, hidup itu tidak bergantung pada iman kita saja. Dalam permainan itu, kita juga bergantung pada Allah yang cuma-cuma memberikan rahmat-Nya.***
Read More...
Pada dasarnya, posisi/titik hidup yang dialami Andre tidak bisa dikatakan harus mulai lagi dari angka nol. Iman itu adalah proses. Pada titik yang dianggap nol oleh Andre itu justru adalah titik lanjutan, bukanlah titik awal. Sedangkan, menurut kami, angka nol haruslah selalu menunjuk pada mulainya hidup seorang manusia. Posisi angka nol menjadi tepat/benar, jika itu menunjuk pada mulainya kehidupan manusia di dunia, yakni ketika dia dilahirkan. Sementara, hidup yang sedang berjalan, apakah dia dalam krisis beriman atau tidak, tak pernahlah dimulai lagi dari angka nol.
Sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia bergulat dalam imannya. Keadaan sebagai seorang fatalis, tidak berarti dia tidak beriman. Justru di situlah, imannya sedang diuji. Titik nol yang disebut Andre justru bisa dikatakan sebagai ‘puncak hidup’-nya, karena dia sungguh menyerahkan seluruh hidupnya (bdk. Pengalaman St. Yohanes dari salib). Dalam ‘titik nol’ itulah, Allah mewahyukan dirinya, Allah menunjukkan gerakan-gerakan dalam permainan-Nya.
Mesti diakui bahwa anggapan Andre Sulistyo itu merupakan gejala umum yang kerap dialami manusia zaman sekarang, yang melihat hidup itu sebatas keberhasilan. Sehingga, sah-sah saja jika Andre menganggap dirinya mesti memulai lagi dari angka nol. Padahal di samping keberhasilan, hidup itu juga termasuk penderitaan. Itu tampak dari ungkapan ‘keberimanan’-nya. Ada perbedaan tipis antara penyerahan diri dan keputusasaan. “Kalau hari ini Tuhan mau ambil nyawaku, ya silakan!” Maka dari itu, hidup itu tidak bergantung pada iman kita saja. Dalam permainan itu, kita juga bergantung pada Allah yang cuma-cuma memberikan rahmat-Nya.***