Berangkat dari Asas dan Dasar
Asas dan dasar boleh disebut sebagai state of nature manusia dalam Latihan rohani. Asas dan dasar mengantar retretan mengalami peralihan dari kesadaran pasif menuju kesadaran aktif, beralih dari kesadaran ‘umum’ (bersama) menjadi personal ‘milikku’.
Setelah mencapai keadaan/kesadaran demikian, retretan akan mulai terkejut atas dirinya. Retretan sadar bahwa dirinya dan hidupnya tidak sejalan dengan asas dan dasar. Maka, retretan diantar masuk ke dalam minggu I, minggu di mana dirinya menjadi sadar akan keberdosaannya. Dan dari situ kiranya akan timbul kesadaran konkret bahwa perlu pertobatan.
Meditasi Tiga Daya Jiwa tentang “Sejarah Dosa”
Minggu I Latihan Rohani dimulai dengan meditasi tentang “sejarah dosa” (LR 45-54). Bagi Ignatius, ‘sejarah dosa’ itu tidak boleh hanya direnungkan saja: dibaca, dicerna, dan dipahami (secara budi). Tetapi, retretan harus ikut (aktif-afektif, budi dan hati) mengalami dan ikut merasakan rentetan sejarah dosa tersebut. Mengapa? Karena, pada dasarnya seluruh manusia di dunia ikut terlibat dan ambil bagian dalam sejarah dosa tersebut.
Bagaimana hal itu dialami/dijalankan? Diperlukanlah 3 daya jiwa: ingatan, pikiran, dan kehendak. Lewat 3 daya jiwa inilah, retretan akan secara penuh menyadari bahwa seluruh dirinya sungguh-sungguh terlibat dalam kejatuhan manusia.
Sejarah dosa itu dimulai dari dosa pertama, yakni dosa malaikat (LR 50). “…karena jatuh menjadi sombong mereka berubah dari keadaan berahmat jatuh ke dalam kebencian kepada Allah, kemudian diusir masuk neraka.” Akibat dosa satu saja, malaikat ditempatkan di neraka.
Kemudian berlanjut ke dosa kedua, yakni dosa Adam-Hawa (LR 51). “Mereka berdosa karena melanggar perintah Tuhan.” Akibatnya, mereka diusir dari Firdaus, dan hidup dalam susah payah dan laku-tapa berat. Sampai dosa ketiga, yakni orang yang masuk neraka karena satu dosa berat saja (LR 52). Bahkan, ada juga orang yang masuk neraka karena dosa-dosa yang lebih sedikit daripada yang aku lakukan.
Tidak hanya berhenti sampai dosa yang ketiga saja, masih ada dosa yang lain, yakni dosa kita sendiri. Sejarah dosa itu masih berlanjut! Dengan demikian, ketiga dosa itu menjadi semacam pengantar untuk menyadarkan retretan akan dosa-dosanya.
Ketika kesadaran keberdosaan itu semakin memuncak/memusat (pada diri retretan), retretan kemudian diarahkan pada percakapan dengan Yesus yang tersalib. “Apa yang telah kuperbuat, apa yang sedang kuperbuat, dan apa yang harus kuperbuat bagi Kristus?”
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam percakapan ini. Pertama, percakapan ini menjadi semacam puncak dari kesadaran penuh retretan akan dosa-dosa yang telah dia perbuat dan kesadaran akan keterlibatannya dalam sejarah dosa, hingga muncul sikap ngeri terhadap dosa dan kedosaan tersebut. Kedua, percakapan ini menunjukkan peranan Yesus yang begitu besar, yakni sebagai perantara/jembatan antara aku dan Allah, sekaligus sebagai korban pendamaian (penghapus dosa-dosa yang telah aku buat). Ketiga, dan yang paling pokok, percakapan ini bermuara pada sikap Allah yang maharahim. Aku berbeda dengan nasib malaikat/orang dalam dosa pertama, kedua, dan ketiga. Allah justru menerima diriku!
Meditasi Sejarah Dosaku: Kerahiman Ilahi-Penerimaan oleh Allah
Setelah retretan sadar akan posisi keberdosaannya dalam sejarah dosa manusia, pada tahap selanjutnya, dia diarahkan untuk melihat lebih detil dan jelas lagi dosa-dosa yang pernah dibuat selama hidup (LR 55-61). Ada 3 patokan: meninjau tempat dan rumah di mana pernah tinggal, hubungan/relasi yang pernah dibuat dengan orang lain, dan pekerjaan yang pernah dilakukan.
Tidak jarang meditasi tentang sejarah dosa pribadi ini membawa retretan pada situasi penuh penyesalan yang begitu mendalam bahkan menimbulkan kegelisahan dan keputusasaan. Ignatius menyadari bahwa pada tahap ini, diri retretan seperti ditabrak-tabrakkan. Maka dari itu, Ignatius memberikan Pedoman pembedaan roh minggu I. Kegelisahan dan keputusasaan yang muncul akibat dosa bukan berasal dari Allah, itu hanya godaan semata.
Puncak dari meditasi ini adalah kesadaran akan dosa yang berbanding terbalik dengan kasih dan kerahiman Tuhan. Kerahiman Tuhan adalah pintu untuk memperbaiki hidup yang telah rusak. Oleh karena itu, semakin jelaslah bahwa dalam minggu I, Allah sungguh berperan aktif dan mengambil inisiatif lebih dulu. Kesadaran retretan bahwa dirinya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup, menunjukkan bahwa dia tidak dihakimi oleh Allah. Retretan tidak saja diampuni, tetapi diangkat kembali martabatnya. Tuhan tidak membiarkan manusia terbenam dalam kegelapan (negativitas), tetapi sebaliknya, diterima dalam pangkuan-Nya.
Lalu, sekali lagi lewat ulangan meditasi dan dengan 3 percakapan (dengan Bunda, dengan Putera, dan dengan Bapa), retretan semakin disadarkan bahwa dirinya diselamatkan dari kejatuhan ke dalam dosa yang dalam. Tidak hanya pengampunan tetapi penerimaan kembali.
Begitupun pula dalam meditasi tentang Neraka (LR 65-71). Ignatius ingin menunjukkan bahwa struktur dosa begitu kuat, akar-akarnya begitu dalam, sehingga tidak mudah untuk dicabut. Maka dari itu, retretan juga mesti menyadari keadaan dosa yang berakibat neraka. Dalam meditasi ini, 3 daya jiwa diperluas dengan menggunakan pancaindera guna mengindera tempat dosa yang terkutuk, yakni neraka. Sekali lagi, kesadaran keberdosaan itu bukan semata-mata demi penyesalan tetapi demi kesadaran akan besarnya kerahiman Tuhan sendiri.
Efek Dosa Sosial: Pintu ke Minggu II
Perihal keberdosaan semata-mata bukan hanya terputusnya hubunganku dengan Tuhan, tetapi juga terputusnya hubunganku dengan sesama. Dosa selalu berdampak bagi orang lain. Kita bisa menggunakan sebuah gambaran dari Perjanjian Lama. Bagi orang Israel, orang yang berdosa harus disingkirkan dari komunitas/masyarakat. Orang kusta, orang lumpuh, orang buta adalah orang-orang yang tidak layak hidup bersama di dalam masyarakat umum. Dengan demikian, dosa membawa dampak ke dalam kehidupan sosial.
Coba simak dosa-dosa modern dewasa ini: korupsi, terorisme, ketidakadilan, dsb. Dosa-dosa ini menunjukkan aspek-aspek sosial yang sangat mendasar. Tanggungjawab kita semestinya tidak hanya personal tetapi juga tanggungjawab yang mampu mengubah masyarakat kita. Guttierez mengatakan, “kita dibebaskan untuk membebaskan.” Setelah kita memperoleh rahmat kerahiman dari Allah, semestinya kita merealisasikan cinta Tuhan itu dalam kehidupan sosial bersama. Dosa sosial merupakan masalah kerohanian yang lebih serius.
Kesadaran betapa besarnya kerahiman Tuhan atas diri kita, membuat kita mau ikut ambil bagian dalam perjuangan penyelamatan Allah di dunia yang belum usai. Mulai dari sinilah, retretan siap masuk ke dalam minggu II.***
Kembali nge-Blog
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar