Senin, Juli 13, 2009

KISAH KRISTUS dan PILPRES 2009: Presiden Terpilih Rakyat Berharap!!!

Jalan menuju Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009, berlangsung seru. Ada 3 pasangan capres dan cawapres yang bertarung. Ketiga pasangan tersebut sudah promosi diri, menawarkan program-program bakal pemerintahannya, bak seperti penjual obat menawarkan dagangannya di pasar malam. Sementara itu, tim sukses juga berharap calon pasangan yang diusung bisa gol menuju istana kepresidenan.

Di sisi lain, rakyat Indonesia, yang adalah pemilih dalam pemilu tersebut, seperti dibuat bingung. Ketiga pasangan tersebut selalu menawarkan program-program yang baik, yakni program yang selalu mengatasnamakan masyarakat. Kadang-kadang pemilu ini seperti menjadi semacam pertaruhan. Janji-janji calon yang diumbar selama kurang lebih 2 bulan adalah sebuah pertaruhan untuk bangsa Indonesia selama 5 tahun ke depan.
Setidaknya ada banyak penilaian dan isu yang muncul, yang bisa menjadi pertimbangan dalam memilih presiden dan wakil presiden kali ini. Pertama, persoalan ideologi. Dari ketiga pasangan ini, masyarakat sudah mulai bisa melihat ke arah mana negara ini akan dibawa dan dipimpin. Yang paling kentara adalah persoalan memilih antara nasionalisme atau pro-Islam. Selain itu, karena Indonesia adalah negara majemuk, dengan beragam suku dan latar belakang, persoalan daerah juga dikedepankan. Isu yang mencuat adalah soal Jawa-non jawa.
Kedua, persoalan kebijakan. Harapan besar dari masyarakat adalah pemerintahan yang benar-benar pro wong cilik. Siapapun orangnya, rakyat hanya akan memilih orang yang sungguh mau melihat keadaan rakyat dan mau memajukan bangsa. Meskipun bangsa ini sudah berumur 60 tahun lebih, pada kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tercatat dalam sebuah survey, pengangguran di Indonesia masih terbilang tinggi. Sekitar 30 juta rakyat, yang berada di usia kerja, sama sekali tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak, dengan pekerjaan yang sewajarnya.
Terlepas dari isu dan pertimbangan-pertimbangan di atas, lagi-lagi hal yang paling mendasar dalam pemilihan ini adalah pasangan mana yang paling cocok dan paling representatif dan mampu menjawab keinginan besar seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai analisa dari para ahli, guna menanggapi ketiga pasangan ini sudah bermunculan. Setiap hari, kita bisa melihat lewat layar kaca, membaca lewat media massa, dan mendengar lewat radio, serta berdiskusi di warung pojok, membahas calon mana yang sungguh pas di hati rakyat. Ini sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Seperti mencari emas di hamparan pasir yang begitu luas.

Kadang-kadang, masyarakat sudah jenuh juga terhadap persoalan ini. Seperti lingkaran setan yang tak pernah usai. Harapan tinggal harapan. Persoalan selalu berulang dari masa ke masa. Presiden yang terpilih tidak selalu ada dalam hati rakyat. Lalu, daripada ribut soal pilpres, yang penting bagi mereka adalah bagaimana bisa mengisi ‘perut’ mereka hari ini.
Nah, setelah kita belajar dari tokoh dan peristiwa dalam sejarah kristianitas, kita diajak untuk mengkisahkan bagaimana Allah turun menjadi manusia dalam konteks ini. Apakah Allah masih relevan ketika masyarakat kita sedang bingung memilih sosok mana yang pas. Apakah bahasa iman yang kita pelajari sesuai dengan realita dalam masyarakat? Bagaimana kita menceritakan kisah Kristus dengan tepat dalam kondisi dan situasi pilpres kali ini?

Bahasa Iman berbicara apa?
Dalam peristiwa inkarnasi, seperti yang diungkapkan dalam Yoh 3:16, “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang dipercaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal,” di situ kita bisa melihat dengan jelas, bagaimana Allah berpihak dan terlibat dalam hidup manusia. Maka, kisah Kristus dalam pilpres kali ini terkait erat dengan pemimpin mana yang sungguh(!) mau berpihak dan terlibat.
Pembelajaran lewat tokoh Maximus Confessor, menawarkan kepada kita sebuah pertimbangan dalam memilih pasangan capres-cawapres mana yang baik. Prinsipnya, jangan membawa iman ke dalam politik. Jangan menggunakan iman demi kepentingan politik. Maka dari itu, pertimbangan tentang sosok yang nasionalis adalah pertimbangan yang masuk akal. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang begitu majemuk, yang berasal dari beragam agama.
Sementara itu, Agustinus, dalam “de civitate Dei” berharap agar pemimpin itu adalah pemimpin yang realistis, yang belajar dari pengalaman. Hidup bernegara adalah “hiduplah sebaik mungkin.” Menjadi pemimipin adalah menjadi pribadi yang tahu berbuat apa bagi rakyatnya. Meskipun punya pengalaman masa lalu yang buruk, dia bisa belajar dari situ, dan mampu bertransformasi di masa yang akan datang, yakni membawa kebaikan bagi seluruh rakyat.
Anselmus menegaskan sekali lagi bahwa harus ada pemisahan yang tegas antara iman dan negara. Iman dan politik adalah dua hal yang terpisah. Oleh karena itu, pilihan yang tepat adalah pasangan yang menawarkan kehidupan yang benar-benar fokus pada kehidupan itu sendiri, bukan memindahkan ‘agama’ ke dalam kehidupan bernegara.
Bagi Thomas Aquinas, kebenaran itu adalah kerinduan setiap orang. Berdasarkan hal ini, program-program yang sungguh menawarkan ditegakkannya kebenaran akan menjadi opsi yang tepat bagi pemilih. Konsep ‘kebenaran’ di sini mesti tegas! Mengapa? Kita lihat sendiri, bahwa di Indonesia betapa mudahnya kebenaran diputarbalikkan. Yang korupsi, yang jelas-jelas merugikan masyarakat banyak malah bebas berkeliaran, sedangkan yang cuma mencuri ayam malah dibakar massa. Dunia seperti dibolak-balik.
Kebenaran itu selayaknya didasarkan pula pada dasar negara kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. Sama seperti yang dibuat oleh Martin Luther. Dia mengajak kita ke prinsip ‘back to basic’ (sola scriptura). Sementara itu, Konsili Trente juga menekankan hal yang sama, tetapi juga menambahkan peran yang lain, yakni tradisi dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, tradisi itu konkret dalam bentuk tradisi penafsiran baru (menurut situasi dan konteks zaman) atas undang-undang (misalnya amandemen UUD 1945), tanpa harus mengubah dasar negara, yang telah dicita-citakan dan dibangun oleh para founding fathers bangsa ini.
Cita-cita dan semangat pendiri negara ini adalah cita-cita yang mesti pula diteruskan oleh calon-calon pemimpin baru negara ini. Oleh karena itu, pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang omongannya bisa dipercaya oleh rakyat, berbicara tegas(!) dan mampu menjawab keinginan konkret masyarakat. Konsili Vatikan I menegaskan hal itu (seperti dalam perumusan infalibilitas paus). Tetapi, pemimpin itu pun harus mawas diri. Tindakan otoriter dan sikap reaktif adalah tindakan yang paling rawan bisa dibuat oleh seorang pemimpin (kritik terhadap infalibilitas paus).
Newman menawarkan sebuah alternatif lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang punya pengalaman dengan rakyat dan mau berkembang bersama rakyat. Dan juga melandaskan alur gerak kepemimpinannya pada peranan suarahati. “Jika melawan suarahati, itu berarti bagaikan membunuh wewenang sendiri.” Maka dari itu, pemimpin haruslah melibatkan rakyat seluruhnya, bukan hanya melibatkan orang yang punya ‘duit’ saja.
Bonhoeffer menegaskan soal keterlibatan yang sungguh. Menjadi pemimpin adalah memberikan dirinya. Seperti martir, dia ‘berbuat sesuatu’ untuk kehidupan. Pemimpin harus berani melakukan sesuatu di saat-saat sulit, meskipun itu taruhannya adalah nyawa. Yang paling pokok adalah menghindari yang jahat demi kebaikan banyak orang.
Lewat Konsili Vatican II, prinsip aggiornamento menjadi penting. Bertindak sebagai pemimpin adalah bertindak sebagai pribadi yang mau terbuka terhadap siapapun, bisa menjadi fasilitator bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok saja.
Dan yang terakhir, Tissa Balasuriya. Kontekstual! Bahasa pemimpin adalah bahasa yang hidup dalam rakyat. Maka dari itu, pemimpin haruslah bisa membaca situasi dan konteks Indonesia secara keseluruhan.

Penutup
Melalui butir-butir di atas, bahasa iman kita tampak menjadi begitu aktual, mampu menjawab kebutuhan orang beriman, di sini dan saat ini. Pun juga inspiratif, karena mau melibatkan semakin banyak orang dalam sejarah keberlangsungan manusia. Dengan pembahasan tentang pilpres 2009 tadi, kita sebagai orang beriman jelas-jelas diajak untuk terlibat, sebagaimana Yesus, 2000 tahun yang lalu, yang sungguh terlibat dalam hidup manusia!***
Read More...

Rabu, Juni 10, 2009

IMAN TIDAK PERNAH DARI ANGKA NOL!


Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, dunia yang bergerak dan menyejarah terus memberikan latar dan pengaruh pada kehidupan manusia, dan sebaliknya, manusia jugalah yang secara otonom membentuk dan mengukir dunia seluas hidupnya.

Dalam peziarahannya di dunia, manusia tidak jarang berhenti pada suatu titik, di mana dia bertanya-tanya di dalam batin, mencoba mencari jawaban, siapa sebenarnya ‘sang aktor’ di balik peristiwa kehidupannya? Meski manusia yakin bahwa tindakan yang dilakukannya dari detik ke detik adalah opsi fundamental-nya, tetapi seringkali dalam situasi tertentu, manusia menjadi seperti tertahan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tepat pada saat itu, manusia merasakan ada ‘sesuatu’ di luar dirinya yang ikut terlibat dalam peristiwa itu. Itulah proses pengenalan manusia akan ‘Yang Transenden’.
Siapakah ‘Yang Transenden’ itu? Manusia terus mencoba mencari jawab. Penggalan-penggalan sejarah telah banyak bercerita bahwa manusia tidak pernah berhenti menginterpretasikan siapa ‘Yang Transenden’ itu. Proses pengenalan itu tak akan pernah berhenti dan mengalir terus sepanjang hidup manusia.
Secara sederhana, itulah yang disebut dengan iman. Iman selalu berdinamika di antara pribadi manusia dan ‘Yang Transenden’, serta ketersediaannya selalu berangkat dari konteks dunia yang menghidupinya.

Pokok-pokok pembinaan iman zaman ini
Bila mendiskusikan pokok-pokok apa saja yang menjadi perhatian dalam membina iman, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah aspek pribadi manusia yang mengalami iman itu sendiri. Iman itu relasi personal, yakni pengalaman pribadi manusia itu sendiri. Masing-masing orang punya pengalaman iman yang berbeda dan unik. Pengalaman itu terjadi lewat cara-cara yang identik dengan orang yang mengalaminya, sehingga orang lain tidak bisa dengan mudah memahaminya.
Dalam kesadaran iman yang unik itu, setiap pribadi bergulat dalam dirinya: bagaimana ‘Yang Transenden’ itu sungguh-sungguh disadari. Maka, refleksi atas pengalaman atau pemaknaan atas hidup menjadi sangat penting, sebab di situ manusia menjadi sadar bahwa hidup itu bukan miliknya sendiri. Ada campur tangan dari Sang Pribadi ‘Yang Transenden’. Pribadi itulah yang dikenal oleh manusia sebagai Allah. Dan dengan kesadaran itu pula, lewat seluruh hidupnya tampak ditunjukkan keterlibatan Allah. Sementara itu, refleksi keberimanan tadi diperoleh dengan melibatkan seluruh afeksi/rasa dan kognisi serta aksi dari manusia itu sendiri.
Hal kedua yang menjadi pokok perhatian adalah konteks dan lingkungan-budaya yang melingkupi pribadi manusia itu. Seorang beriman tidak pernah lepas dari konteks, apalagi bila konteks itu adalah hidup bersama orang lain, yang notabene adalah orang yang sangat beragam, apalagi masing-masing orang tersebut mempunyai pengalaman keberimanan yang khas dan unik juga. Konteks ini juga mencakup dunia/zaman macam apa yang ditinggali oleh manusia tersebut.
Hal ketiga adalah kesadaran bahwa keberimanan itu bukanlah tindakan sekali jadi. Keberimanan adalah sebuah proses hidup, yang dimulai sejak pribadi itu terlahir ke dunia, dan selesai pada waktu kehidupan itu dicabut dari dirinya. Dengan kata lain, pencarian akan Allah atau keberimanan terhadap Allah ‘Yang Transenden’ itu terus diperjuangkan sampai sukma terenggut dari tubuh. Namun, dalam proses keberimanan tersebut, bukan berarti manusia tidak pernah punya pilihan pasti. Dalam setiap titik-titik hidup yang dilaluinya, manusia menentukan opsi fundamental-nya. Dalam opsi itulah, dia bergulat dalam hidupnya, dan itu tiada kata akhir, sampai semuanya benar-benar paripurna di akhir hidupnya.
Hal keempat adalah Pribadi ‘Yang Transenden’, yakni Allah sendiri. Dalam proses keberimanan manusia, Allah ikut terlibat dan ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan-Nya pun unik sebab bergantung kepada masing-masing manusia dalam berprosesnya.

Pengertian dasar yang memberi arah pembinaan iman
Setelah memahami pokok-pokok iman di atas, selanjutnya perlu adanya pengertian dasar guna memberi arah bagi pembinaan iman tersebut. Pada dasarnya, kehidupan manusia itu tak pernah berdiri sendiri. Pengalaman akan ‘Yang Transenden’ selalu muncul dalam benak kehidupan manusia. Proses keberimanan itu bisa dianalogikan seperti orang berjalan menyusuri sungai. Sementara, ‘Yang Transenden’ itu, yang kita kenal sebagai Allah, persis berada di seberang sungai, yang juga sama-sama menyusur. Sesekali, kedua sisi sungai itu bertemu. Titik pertemuan itu adalah sebuah jembatan. Lewat jembatan itulah, manusia dan Allah menjadi saling terhubung. Tetapi, setiap kali Allah dan manusia juga akan selalu bertemu, sebab indera (mata) tak menghalangi penglihatan dan oleh karenanya, manusia menjadi yakin bahwa di seberang Allah juga terlibat dalam dan aktif dalam ‘permainan’ hidupnya.
Selain daripada itu, tidak jarang pula terdapat banyak hal yang bisa menghalangi keterhubungan itu, entah itu terjadi karena jarak sisi sungai yang semakin melebar, entah karena ada benda asing yang seketika itu lewat di tengah sungai, sehingga pandangan langsung menjadi terhalang. Atau bisa juga selama perjalanan menyusur sungai, tak satupun jembatan yang bisa ditemui.
Tapi itu bukanlah hal yang pokok. Sebab keberimanan itu seperti sebuah permainan. Di dalamnya, manusia diajak untuk terlibat. Allah pun melakukan hal yang sama. Di sini tidak tertutup kemungkinan ada proses tarik-ulur, antara Allah dan manusia. Dengan demikian, yang pokok dalam permainan itu adalah manusia tidak pernah berhenti dalam pencariannya, tidak pernah berhenti menyusuri sungai.
Di samping itu, di dalam ‘permainan’, manusia juga benar-benar diuji. Allah sebagai pihak yang lain, juga memainkan peran-Nya, meskipun Allah kerapkali membuat banyak gerakan-gerakan (=rahmat) yang tak terduga. Ketakterdugaan ini juga menunjuk pada situasi di mana, seringkali manusia menemui ‘jalan buntu’ di dalam hidupnya, yakni situasi di mana manusia ‘merasa’ ditinggalkan oleh Allah (misalnya dalam menjawab masalah penderitaan). Itulah misteri permainan itu. Manusia tidak tahu apa yang dibuat Allah, tapi manusia yakin bahwa Allah tetap terus bermain. Oleh karena itu, yang terpenting dari sisi manusia adalah sungguh-sungguh bermain, dan terus bermain sampai akhir hidup.
Lewat permainan itulah, manusia bertanggungjawab atas hidupnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa iman bukan berarti ‘aku manut’, tetapi mau berubah dari hari ke hari.

Kristus dalam pembinaan itu
Proses keberimanan manusia menandakan adanya sejarah iman. Bagi orang kristen, sejarah iman itu belum penuh. Sebab kepenuhannya ada dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, keberimanan orang kristen berfokus dalam pribadi Kristus.
Kristus adalah komunikasi Allah. Kristus menjadi cara sekaligus menjadi model dalam keberimanan orang kristen. Dengan keterlibatan Kristus dalam hidup, kita akhirnya diundang masuk ke dalam pusaran arus Allah.
Kristus menjadi cara keberimanan kita, dan oleh karenanya, hidup Yesus menjadi semacam model dalam keberimanan kita. Yesus adalah juga manusia yang ikut ambil bagian dalam permainan bersama Allah. Dalam permainan itu, Yesus bergulat dan secara kontiniu berproses mencari dan menangkap Allah. Bahkan sampai wafat-Nya di kayu salib, pencarian itu tak pernah ada kata akhir. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46)
Selain itu, meski Yesus adalah komunikasi Allah sendiri —atau dengan kata lain Yesus adalah Wahyu—, selama hidup-Nya Yesus sama seperti manusia, menjadi pendengar Sabda Allah sendiri. Sikap-Nya inilah yang membuat-Nya hidup dalam masterplan Allah. Itu berarti pula bahwa Yesus selalu membuka diri-Nya pada rahmat (=permainan) yang dibuat Allah.

Lalu, apakah hidup dan doa kita mulai dengan nol?
Setelah melihat bagaimana proses keberimanan manusia, pada bagian ini, kami hendak menanggapi pengalaman iman yang unik, yang dialami oleh Andre Sulistyo (yang dimuat di majalah Utusan, edisi Agustus 2008)
Pada dasarnya, posisi/titik hidup yang dialami Andre tidak bisa dikatakan harus mulai lagi dari angka nol. Iman itu adalah proses. Pada titik yang dianggap nol oleh Andre itu justru adalah titik lanjutan, bukanlah titik awal. Sedangkan, menurut kami, angka nol haruslah selalu menunjuk pada mulainya hidup seorang manusia. Posisi angka nol menjadi tepat/benar, jika itu menunjuk pada mulainya kehidupan manusia di dunia, yakni ketika dia dilahirkan. Sementara, hidup yang sedang berjalan, apakah dia dalam krisis beriman atau tidak, tak pernahlah dimulai lagi dari angka nol.
Sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia bergulat dalam imannya. Keadaan sebagai seorang fatalis, tidak berarti dia tidak beriman. Justru di situlah, imannya sedang diuji. Titik nol yang disebut Andre justru bisa dikatakan sebagai ‘puncak hidup’-nya, karena dia sungguh menyerahkan seluruh hidupnya (bdk. Pengalaman St. Yohanes dari salib). Dalam ‘titik nol’ itulah, Allah mewahyukan dirinya, Allah menunjukkan gerakan-gerakan dalam permainan-Nya.
Mesti diakui bahwa anggapan Andre Sulistyo itu merupakan gejala umum yang kerap dialami manusia zaman sekarang, yang melihat hidup itu sebatas keberhasilan. Sehingga, sah-sah saja jika Andre menganggap dirinya mesti memulai lagi dari angka nol. Padahal di samping keberhasilan, hidup itu juga termasuk penderitaan. Itu tampak dari ungkapan ‘keberimanan’-nya. Ada perbedaan tipis antara penyerahan diri dan keputusasaan. “Kalau hari ini Tuhan mau ambil nyawaku, ya silakan!” Maka dari itu, hidup itu tidak bergantung pada iman kita saja. Dalam permainan itu, kita juga bergantung pada Allah yang cuma-cuma memberikan rahmat-Nya.***
Read More...

Rabu, Juni 03, 2009

"Let's bear The FRUIT!"


God has a purpose for our lives and what is that purpose very simply, it is to bear FRUIT.
If we bear fruit, we are of value to him. God the Father is the vinedresser, and his sole desire is that the branches of the vine might bear fruit, that is how he evaluates them.
Notice what He does.
"I am the true vine and my Father is the vinedresser. He cuts off every branch that does not bear fruit."
In grape vines, 90 - 95% of them is pruning off worthless branches. The reason is, on grape vines, grapes only happen on new growth. Those old branches might look wonderful and leafy but the simple truth is that they will not bear any fruit. So God cuts them off and tosses out all that old stuff so that the new vine branches might be fruit bearing ones. The simple truth is that old branches on a vine take up its nutrients so that new vine branches will only produce poor fruit. That is why old branches are cut off.
This first part that the vinedresser does is the painful to us because he is talking about us as individuals. This passages forces us to ask ourselves: Are we fulfilling God's function for our lives? Are we bearing fruit that will last? Or are we pieces that need to be cut off because we are fruitless?
Before we ask that question further, let me point out something else that the vinedresser does. If he sees a branch bearing fruit, maybe not a lot, but a little, you know what he does to it - this time he does not cut it off, rather he cuts it way down to size.
"Every branch in me that bears no fruit he cuts away, and every branch that does bear fruit he prunes to make it bear even more."
The whole reason behind pruning is FRUIT - not just a little, but a lot of fruit.
"It is the Glory of my Father, that you should bear much fruit, and then you will be my disciples."
Pruning is also done for the purpose of strength. Some long branches couldn't bear any fruit because simply they are not strong enough. Therefore the vinedresser cuts branches short so that when the fruit comes, it will be strong
So the question asks us: Are we BEARING FRUIT? And then: What does it mean to bear fruit?

Let me describe.
1. Fruit never exists for itself. Fruit is designed for others. However you might choose to define fruit - the first and most basic question is this - are you living to serve yourself or are you living to serve God and others?
2. Good fruit is food! This is true of spiritual fruit also, it is for other people to enjoy and grow by, it blesses others, it nurtures them.
3. Good fruit is reproducable - it has the potential when falling onto good soil to reproduce again the same fruit as the original vine. The faith of the ours ought to become the faith of those around us. If not, we will be burned.
This has many applications for our lives. It is very practical. We always live in a time when we are making choices. And so often we make those choices based on abilities, interest, and so on. But how about the question of having a choice in which we intentionally bear fruit for God? How does fruit bearing fit into our plans? How are we going to be living our life for others? How is our life in Christ going to be reproduced in others?
The last question, if we want to bear fruit is - "What is the key to bearing fruit?"
The answer is the wonderful part of this passage. The key to bearing fruit is not in our doing so much, not in our work or activities, the key to the function of bearing fruit is in our RELATIONSHIP with Christ.
"Make your home in me, as I make mine in you. As a branch cannot bear fruit all by itself, but must remain part of the vine, neither can you unless you remain in me. I am the vine, you are the branches. Whoever remains in me, with me in him, bears fruit in plenty; for cut off from me you can do nothing."
Amen.
Read More...

Kamis, April 23, 2009

Kebobrokan Manusia (Mazmur 53)

Orang berhati busuk berkata dalam batinnya:
“Kapan lagi bisa korupsi, kalau bukan sekarang!”

Benar busuk, curang.
Menjijikkan!

Apakah mereka punya akal,
dan mencari sekadar kebaikan?

Tampak tidak.
Mereka memakan rakyat,
seperti memakan roti sampai habis.

Saatnya akan tiba,
di mana tulang-tulang mereka akan dibuang
di mana jiwa-jiwa mereka dicemoohkan.

Ya, datanglah
saatnya bangsa ini bersukacita
ketika mereka telah tiada.
Read More...

Kamis, April 09, 2009

Percaya Itu Indah

Sudah menjadi kebiasaan jika para bangau selalu berpindah-pindah rumah. Mereka tidak selalu mudah untuk bisa menetap terlalu lama. Mereka selalu tergantung dengan banyak hal. Syukur jika sungai tertentu masih menyediakan ikan-ikan. Tetapi jika tidak, mereka mesti siap-siap membanting tulang mengepakkan sayap pergi ke daerah lain.
Sebaliknya, di sisi dunia berbeda, hiduplah semut-semut. Mereka juga bekerja keras. Pantang menyerah demi sanak keluarga mereka. Siapa yang ragu dengan ketekunan semut dalam jerih lelahnya. Tak banyak mahluk lain yang bisa meniru hidup mereka.
Namun, suatu kali bencana menimpa negeri para semut. Bahan makanan semakin habis. Sementara itu, lingkungan mereka tidak mungkin lagi menyediakan yang baru. Musim kering sudah terlalu lama mencengkeram kehidupan mereka. Mereka hanya tinggal bergantung pada jasad-jasad renik mahluk lain yang tidak bisa bertahan. Tikus matipun sudah cukup bagi mereka.

Suatu ketika sampailah para bangau ke negeri mereka. Mungkin sekedar untuk melepas lelah, setelah terbang beratus-ratus kilometer menyeberangi lautan. Mungkin mereka juga sedikit kesal, mengapa tanah yang mereka jumpai setelah jauh terbang, hanyalah tanah kering, yang tidak bisa memberikan apa-apa. Meskipun demikian, mereka tetap bahagia, karena bisa bertemu dengan para semut.
Bangau banyak bercerita kepada semut tentang tempat-tempat di mana mereka pernah tinggal. Ada tempat yang subur, ada tempat yang banyak makanannya, dan sebagainya. Para semut tertegun dengan cerita bangau. Tapi, mereka ragu, mereka tidak percaya, apakah ada daerah subur lain yang melebihi rumah mereka sekarang.

Bangau terus mencoba meyakinkan para semut, kalau daerah subur yang lain itu ada. Kalau mau, semut bisa ikut dalam perjalanan para bangau selanjutnya. Tapi, semut tetap yakin pada pendiriannya. Mereka tidak percaya jika masih ada daerah lain yang bisa subur. Maka, ajakan para bangau sia-sia belaka. Mereka melanjutkan perjalanan, sementara para semut tetap hidup dalam kesusahan mereka.
Seringkali, kita bersikap seperti semut itu. Kita terkungkung dengan keyakinan kita. Kita tidak mudah percaya dengan pendapat orang. Kita begitu saja bersikap keras kepala. Padahal, ada banyak kebenaran lain di luar diri kita. Ada banyak kesempatan lain yang mungkin menawarkan kehidupan lebih baik bagi kita. Baik jika kita mulai membuka diri. Memberi ruang bagi banyak hal di luar diri kita. Itu tidak berarti kita membuka celah kegagalan kita, tetapi lebih-lebih untuk memperkaya pemahaman kita.

“Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahami!”
(si non crederitis, non intelligetis!—Yes 7,9)
Read More...

Sabtu, Maret 14, 2009

Spiritualitas Supir

Setelah seorang Pastor meninggal dan masuk ke surga, ia melihat bahwa seorang supir bis mendapat tempat yang lebih mulia darinya.
"Aku tidak mengerti," keluh sang Pastor pada Petrus. "Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk umatku. Mengapa supir itu lebih tinggi dari diriku?"
Jawab Petrus, “Kebijakan kami di sini adalah tergantung dari hasilnya! Apakah umatmu memperhatikanmu saat kamu memberikan khotbah?"
"Ya ...," Pastor itu mengakui, "beberapa umat selalu tertidur saat aku berkhotbah."
"Itu dia masalahnya," kata Petrus, "kamu tahu, saat orang naik bis yang dikemudikan supir itu, mereka tidak hanya terus terjaga, mereka bahkan terus berdoa."


Cerita itu terdengar lucu dan sekaligus menghentak, karena ada benarnya juga.
Sudah sekian waktu, kira-kira sejak 3 tahun yang lalu, aku mulai dipercaya sebagai supir untuk keperluan komunitas.
Menjadi supir merupakan salah satu pekerjaan yang tidak diinginkan. Menjadi supir hampir sama seperti menjadi satpam maupun menjadi cleaning service. Pekerjaan-pekerjaan ini lebih banyak menggunakan fisik, daripada menggunakan otak. Bahkan dalam struktur jabatan, mereka ini termasuk pekerja kelas bawahan.

Suatu kali aku pernah menawarkan diri dalam sebuah acara besar, untuk menjadi supir, melayani tamu-tamu, dan menghantarkan mereka ke beberapa tempat tujuan. Beberapa dari orang yang mendengarkan tawaranku ini tersenyum sinis. Mereka memandang pekerjaan ini dengan sebelah mata. Kesannya hanya sepele.
Tetapi, aku merasa, dalam banyak hal, peran supir sangatlah menentukan. Meskipun kesannya sepele, berkat supir, banyak kegiatan bisa berjalan dengan baik. Coba bayangkan jika dalam suatu keperluan yang begitu mendesak! Kebetulan ada mobil, tetapi tidak ada yang bisa nyupir. Padahal jika ada supir, masalah yang mendesak itu bisa diselesaikan dengan baik.
Terlepas dari pentingnya peran supir, aku merasa supirpun menghantar banyak orang pada gerak spiritualitasnya. Mengapa? Seperti yang sudah disebutkan dalam ilustrasi cerita di atas. Selama supir menjalankan tugasnya, para penumpang selalu mendukung dengan doa-doa. Semoga perjalanan yang dilalui dapat berjalan lancar dan tanpa ada aral yang melintang. Suasana berkendaraan menjadi sangat kondusif, karena antara penumpang terjadi komunikasi rohani yang begitu indah. Kadang-kadang hal ini tidak kita sadari, tetapi justru di sinilah kekuatan rohani itu berjalan dengan apa adanya.

Aku sendiri, bila diminta sebagai supir, selalu saja dalam perjalanan, ketika menjalankan tugas, dalam hati mengucapkan doa. Aku merasa, kemampuan menyupir bukanlah kemampuan yang mutlak, karena segala perjalanan juga tergantung pada penyertaan Tuhan sendiri.
Bahkan, salah satu terapiku agar aku tidak ngantuk dalam menyupir, adalah dengan berdoa. Biasanya dengan berkomat-kamit sendiri. Meskipun agak aneh, justru dengan cara begini, aku terus bisa terjaga. Salah satu obat agar tidak ngantuk adalah ngomong. Syukur-syukur ada teman ngobrol. Lha, kalo penumpangnya tidur semua, lalu ngobrol sama siapa? Ya, ngobrol sama Tuhan saja. Betul khan!

Kesediaan menjadi supir berarti juga siap sedia untuk melayani. Tidak jarang aku menjumpai, orang-orang besar malahan mau menyupir. Dulu, sewaktu masih tinggal di Semarang, Romo Rektorku malah seringkali menyupiri mobil kami. Sebuah kerendahanhati yang besar. Di sini jelas tampak sekali sikap melayaninya.

Maka dari itu, mengapa mesti malu menjadi supir? Justru, meskipun hanya menjadi supir, ternyata dari situ bisa digali banyak pengalaman rohani.
Read More...

Selasa, Februari 03, 2009

Learn from the Life of the Martyrs

On May 29th, 1977, Oscar Romero wrote this:
Persecution is necessary in the church. Do you know why? Because the truth is always persecuted. Jesus said, “If they persecute me, they will also persecute you” (John 15:20). And because of this, when one day people asked Pope Leo XIII, that incredibly intelligent man of the beginning of our century, what is it that sets apart the true Catholic Church, the pope said the four qualities that are already known: one, holy, catholic and apostolic. The pope said to them, “Let’s add another: persecuted.” The church that lives up to its duty cannot exist without being persecuted.

Today we celebrate some Jesuit martyrs. John de Britto is one of them. As a martyr, de Britto was also persecuted in his life.
Father de Brito worked in India. The place is called as Madura, in the regions of Kolei and Tattuvanchery. When he studied the India caste system, he discovered that most Christians belonged to the lowest and most despised caste. He thought that members of the higher caste would also have to be converted for Christianity to have a future. He became an Indian ascetic, a pandaraswami since they were permitted to approach individuals of all castes. He changed his life style, eating just a bit of rice each day and sleeping on a mat, dressing in a red cloak and turban. He established a small retreat in the wilderness and was in time accepted as a pandaraswami. As he became well-known, the number of conversions greatly increased.
He was made superior in Madura after 11 years on the mission, but he also became the object of hostility from Brahmans, members of the highest caste, who resented his work and wanted to kill him. He and some catechists were captured by soldiers in 1686 and bound in heavy chains. When the soldiers threatened to kill the Jesuit, he simply offered his neck, but they did not act. After spending a month in prison, the Jesuit captive was released. When he got back to Madura, he was appointed to return to Portugal to report on the status of the mission in India. When he reached Lisbon ten months later, he was received like a hero. He toured the universities and colleges describing the adventurous life of an Indian missionary. His boyhood friend and now-king, Peter II noticed how thin, worn and tired his friend looked; he asked him to remain at home to tutor his two sons, but de Brito placed the needs in India above the comfort of the Portuguese court.

De Brito sailed again to Goa and returned to the mission in Madura when he arrived in November 1690. He came back despite a death threat that the raja of Marava had made four years earlier. The Jesuit missionary travelled at night from station to station so he could celebrate Mass and baptize converts.

His success in converting Prince Tadaya Theva indirectly led to his death. The prince was interested in Christianity even before the prayers of a catechist helped him recover from a serious interest. De Brito insisted that the prince could keep only one of his several wives after his baptism; he agreed to this condition, but one of the rejected wives complained to her uncle, the raja of Marava who sent soldiers to arrest the missionary on January 28, 1690. Twenty days later the raja exiled de Brito to Oriyur, a neighboring province his brother governed. The raja instructed his brother to execute the troublesome Jesuit who was taken from prison on February 4 and led to a knoll overlooking a river where an executioner decapitated him with a schimitar."
And now, what is the values of the life of the martyrs?
For us, the life of the martyrs explain how they bear their cross in their lives.

We know, Everybody has their cross? Is it heavy or not, but all are cross?
I often heard from many people about their life, their struggle, or their cross.
One day, A woman shared to me about her experience’s life.
She was a single parent. Her husband died when her oldest children stay in elementary school and her youngest children was two years old. She had 6 children. Since Her husband died, she began work.
Everyday she had to raise money for her family. She had to give the school fee for her children.
We can imagine how heavy her life. Even now, she still in difficult situation, although all her children have got marriage and have family.
All her life full of heavy cross. But, in that situation, that woman still happy.

But, another story, I have friend who don’t has a heavy burden.
He always has happy life. He had not to raise money. His parents is rich.
Does he has a cross?
I don’t know, may be he had small cross.

How about you?
Are You like that woman or my friend?
We have our own cross? Is it heavy or not, each one have their cross!
But, sometimes we try run away from our cross. Even, if allowed, we ask to God for small cross.

In my reflection, we can’t run away from our cross. We can’t ask for small cross.
Cross is God’s graces.
Cross is in our daily life. And Cross is not hidden outside ourself.
But remember, Cross is not happened because our mistakes.
As Christian we all have cross.

I have ilustration
Suppose someone gave you a dish of sand mixed with tiny iron filings.
You comb your fingers through the sand, but you don’t see any filings.
Then you take a small magnet and comb it through the sand.
Suddenly it is covered with filings.

Our cross is like a dish of sand. And God’s graces are like tiny iron filings.
So, when we combed with magnet and find the God’s graces, we can happy like woman in the beginning my sharing this morning.

On the other hand, Ungrateful people are like your fingers combing the sand.
They combed the “sands of life” with their fingers and found nothing for which to take up the cross.
Amen.

Read More...