Tampilkan postingan dengan label Cermin Kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cermin Kehidupan. Tampilkan semua postingan

Selasa, Mei 10, 2011

“Cémén Loe!”

“True friends are like diamonds, precious and rare. False friends are like leaves, found everywhere.”
--Author Unknown--


Pernah tidak teman-teman dianggap sebagai penakut? Apapun bentuk dan sumber ketakutan itu, kamu pasti pernah mengalami sebuah ketakutan. Seperti yang dialami Dodi ketika diajak teman-temannya untuk cabut dari sekolah.

“Eh, Dod, tahu nggak? Loe tuh masih akan seperti anak kecil, kalau cabut sekali-sekali saja gak berani! Cémén tahu gak sih loe!”

Begitulah teman-teman se-genk-nya menggoda Dodi untuk bolos dari sekolah.
Ya, ketakutan yang dialami Dodi ini adalah ketakutan karena diajak untuk berbuat sesuatu yang buruk. Ketika muncul ketakutan, hati nurani kita menggugat, apakah mau mengambil tindakan tersebut atau mau menolaknya. Selama kamu masih mengalami sebuah ketakutan, berarti kamu masih sadar bahwa perbuatan itu salah. Sebaliknya, kalau kamu sama sekali tidak merasakan ketakutan itu lagi, dan serta merta mengikuti tawaran temanmu, itu berarti kepekaanmu membedakan yang baik dan buruk sudah mulai berkurang.

Tapi, walau begitu, hati nurani kita sebenarnya sama sekali tidak bisa ditipu, atau setidaknya ditutupi atau diabaikan. Hati nurani kita akan menggugat kita pada saat sebelum tindakan dilakukan, pada saat sedang dilakukan dan pada saat setelah tindakan dilakukan. Hanya saja, jika tindakannya terlalu sering diperbuat, ya pastilah, kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang amat biasa. Bukankah, ada pepatah berbunyi “bisa karena biasa, tahu karena mau.” Kita bisa melakukan sesuatu, karena memang kita membiasakan perbuatan tersebut. Kita bisa mengetahui sesuatu karena kita punya kemauan untuk mengetahuinya.

Pengalaman Dodi tadi bisa menjadi semakin berat jika bumbu ceritanya ditambah begini: ketakutan Dodi terjadi bukan karena soal hati nurani saja, tetapi terjadi karena di bawah ancaman teman-temannya. Dia tidak berani melawan, karena takut kelak pertemanan antar mereka menjadi kacau dan mungkin dia bisa dimusuhi teman-temannya. Nah, kalau soal ini, memang lebih agak rumit. Soalnya yang diangkat adalah bagaimana menciptakan sebuah pertemanan yang baik.

Bicara soal pertemanan, memang tidak ada rumusan yang pasti soal ini. Sebab, kita tidak pernah tahu, kelak kita bakal mendapatkan teman seperti apa. Kita hanya bisa mengkondisikan situasinya, memilih sarananya, tetapi orang yang datang kepada kita dan menjadi teman kita itu layaknya seperti sungai mengalir. Let it flows!

Sederhananya begini, misalkan kamu waktu TK-SD sekolah di tempat tertentu, mungkin di kota kecil lalu kemudian sewaktu SMP dan SMA memilih sekolah di kota besar, pasti ragam teman-teman kita akan amat kelihatan. Demikian pun sewaktu kita memilih untuk ikut kegiatan hobi tertentu, misalnya hobi nge-band, pastilah kita akan bertemu teman-teman dengan karakter yang senada. Kalau kita memilih kelompok hobi dance, pasti berbeda pula dengan karakter teman-teman yang biasa nge-band.

Itu tadi baru bentuk kelompok yang kita pilih, selanjutnya pertemanan akan amat bergantung pada pasang-surut kualitas pertemanannya, yang biasanya amat melibatkan emosi kita sendiri. Nah, di sinilah kita bisa menguji bagaimana kita mampu mengembangkan kualitas pertemanan kita. Semakin terlibat secara emosional, kita sebenarnya diuji. Tetapi, sebaliknya kalau kita cuma sekedar ikut-ikutan, tentu saja kualitas pertemanan itu akan biasa-biasa saja.

Andai si Dodi berani menolak tawaran teman-temannya untuk bolos, pasti di situ dimensi emosional antara Dodi dan teman-temannya dilibatkan. Andai Dodi bisa memberi penalaran dan alasan yang baik agar tidak membolos, pastilah teman-temannya ikut berpikir dan mengolahnya. Tetapi, andaikan Dodi hanya ikut saja ajakan teman-temannya, dimensi emosinya tentu saja tidak begitu kelihatan, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan, tidak ada banyak pergulatan emosional di sana. Orang yang memilih tindakan berbeda, tentu pergulatannya lebih besar dibandingkan dengan orang yang memilih tindakan yang sama.

Mungkin di kemudian hari ada semacam permusuhan atau penolakan atas dasar keputusan yang dibuat Dodi jika dia tidak menerima tawaran dari teman-temannya. Namun justru di situlah kualitas pertemanan kita diuji. Kalau bentuk pertemanan kita ke arah positif, pastilah teman-temannya akan menjadi sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Sebaliknya, jika bentuk pertemanannya ke arah negatif, pastilah teman-temannya akan membiarkan Dodi pergi atau tidak melibatkan lagi Dodi dalam percaturan genk mereka.

Pertanyaannya kemudian adalah kembali ke kita. Kamu sebenarnya mau pilih bentuk pertemanan yang seperti apa? From deep our heart, biasanya kita akan memilih pertemanan yang sehat, pertemanan yang mengembangkan. Benarlah kata pepatah kuno, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Setiap keburukan-keburukan yang kita tabung sejak dulu, lama-lama kita akan kelak menuai timbunan keburukan yang lebih besar. Kalau kita menabung kebaikan-kebaikan yakinlah bahwa suatu saat kita akan memanen kebaikan-kebaikan yang lebih besar lagi.

Kata Steven Covey, penulis buku Seven Habits, kalau mau jadi manusia efektif, kita harus membuat rekening bank emosional. Kalau sejak kecil kita terbiasa menabung emosi-emosi yang buruk, tabungan kita kelak hanya akan berbuah emosi yang buruk pula. Demikian pun sebaliknya, kalau kita sudah membiasakan menabung emosi-emosi yang baik, tabungan kita akan penuh dengan hal-hal yang baik pula.

So, teman-teman, membangun pertemanan itu memang gampang-gampang susah, atau mungkin susah-susah gampang. Terlepas bahwa pertemanan itu seperti sungai mengalir, pasang-surutnya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing pribadi, tetapi peran kita tetaplah besar. Sejauh kita mau terbuka, dimensi emosi dan afektif kita tunjukkan, pastilah pertemanan yang kita buat akan semakin positif.

Sekarang kita mau menuai yang mana nih? Tinggal teman-teman yang menentukannya. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Segala yang kita buat, kita harus siap menerima segala resikonya kelak.
Read More...

Selasa, April 12, 2011

Bergaya Trendsetter

“Each person must live their life as a model for others.”
- Rosa Parks –

Gile tuh si Sinta! Baru minggu lalu bawa hape Nokia Serie E72, sekarang sudah bawa yang baru, Blackberry Onyx. Up to date banget tuh anak! Kalau jalan-jalan ke mall kaos yang dipakainya juga bagus-bagus. Dia sudah jadi kayak trendsetter gitu. So, koq kita mau-maunya juga ya jadi pengikut gaya dia. Kayaknya kalau gak ikut-ikutan gayanya, rasanya sudah ketinggalan zaman.

Fren, Trendsetter itu apaan sih?
Ah, kamu tuh gak gaul banget sih? Trendsetter itu istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi panutan dalam hal tertentu karena keunikan dan kreativitasnya, sehingga selalu membuat terobosan (breakthrough) di tengah kemapanan yang ada. Sebenarnya pengertiannya sangat luas sekali sebab mencakup semua bidang. Tapi, umumnya sih bidang yang dijadikan trendsetter itu bidang fashion, gadget, IT, dan otomotif.

Contohnya juga banyak lho. Liat tuh Agnes Monica, si vokalis trendy, yang hampir setiap penampilannya, dia pakai rambut yang beraneka bentuk dan warna; khan banyak tuh, anak muda yang ikut-ikutan gaya dia. Atau contoh jadul nih, pas zaman Demi Moore masih bergaya botak; banyak juga khan cewek-cewek yang berani memangkas rambutnya sampai habis, padahal aneh banget khan kalau cewek botak, jadinya kayak pak ogah dalam serial Unyil zaman dulu.

Kalau yang cowok-cowok biasanya ngikutin gaya pemain sepakbola favoritnya atau ngikutin gaya boyband yang digandrunginya. Udah banyak tuh cowok-cowok yang ikut-ikutan fashion yang dipopulerkan Clubeighties, gaya jadul yang aneh, tapi nyentrik.

Eh… tapi jangan salah menduga dulu ya. Trendsetter tidak cuma soal fashion dan buat gaya-gayaan. Nyatanya, di bidang sosial-politik dan ekonomi banyak hal bisa dijadikan topik trendsetter juga. Contoh paling kelihatan ya waktu presiden Chile, Sebastian Pinera mampu menyelamatkan 33 pekerja tambang yang terperangkap di bawah bumi. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagi negaranya. Sudah pasti dia menjadi trendsetter buat tokoh-tokoh politik di negara lain.

So, mungkin kamu awalnya agak merasa gak terlalu senang ya dengan istilah trendsetter, soalnya seolah-olah jadi pedoman untuk hal-hal yang aneh. Mungkin, dulu kamu pernah mendengar istilah ini, “hari ini gak punya hape?” Itu khan secara tidak langsung jadi semacam ‘paksaan’ untuk mengajak teman-teman-nya juga punya hape. Kepemilikan hape menjadi semacam trendsetter. Nah, itu dulu! Sekarang mungkin pertanyaannya bisa dibuat begini, “Hari gini gak bisa jadi anak muda berprestasi?”


Mungkin dengan cara begitu, kita bisa menjadi trendsetter yang positif dan transformatif bagi banyak orang, seperti Sebastian Pinera itu. Lalu, gimana caranya? Kayaknya susah amat ya jadi orang yang bisa dijadikan panutan.

Eits… jangan menyerah dulu. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Bagi yang memiliki kemauan ingin jadi trendsetter yang positif tadi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Kamu masih muda khan? Atau minimal masih berjiwa muda. Ya nggak? Tunjukkan kemudaanmu dengan semangat dan hati yang berkobar-kobar dong. Artinya, tunjukkan semangat kreatifmu, semangat pembaruanmu. Istilah sederhananya, harus berani tampil beda. Tampil beda sih bukan hal yang buruk, bukan? Tampil beda membuat kita berani mencoba sesuatu yang beda dari yang lain. Tapi, jangan asal beda doang lho ya! Harus pakai prinsip juga. Minimal prinsip demi kemaslahatan bersama, artinya tidak membuat orang lain dirugikan dan menyusahkan orang lain.

Bisa jadi pas kita berani tampil beda, orang lain mengejek kita. Jangan sampai tersinggung dan cepat-cepat berkecil hati. Mikirnya simple aja deh, sambil bergurau gini, “Ehh…, kamu tuh… orang sirik itu tanda tak mampu!” Udah banyak lho teman-teman kita yang nyobain jadi trendsetter yang amat positif. Misalnya nih, kayak Cella, temanku yang kuliah di universitas terkenal di Yogya. Dia bersama beberapa temannya memilih meluangkan sedikit waktu senggangnya untuk membuka kelompok belajar buat anak-anak desa, yang mungkin tidak pernah bisa mendapatkan pelajaran tambahan seperti yang bisa dirasakan anak-anak kota. Ini benar-benar tampil beda khan? Mungkin sekarang belum bisa disebut trendsetter, tapi mungkin beberapa tahun mendatang, akan ada banyak kegiatan kampus yang sifatnya kayak gini, kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya keluar-kampus yakni dengan jalan membantu masyarakat. Tidak hanya cuma lewat KKN, tapi lewat keseharian sebagai mahasiswa.

Atau kayak temanku di Magelang, Eko namanya. Dia sekarang lagi mengembangkan usaha brownies. Mungkin kamu bertanya-tanya, lho, koq cowok malah dagang makanan? Jangan salah kira lho ya! Temanku yang satu ini sedang mengembangkan usaha enterpreneurship-nya. Ups, istilah apalagi tuh? Susah amat bacanya.

Begini teman, entrepreneurship itu arti sederhananya adalah berwirausaha. Eko, temanku tadi, sedang berwirausaha lewat produk kue brownies. Dia umurnya masih 23 tahun lho. Bayangkan umur segitu sudah sukses berwirausaha.

Kalau kamu mau tahu, sekarang wirausaha sudah menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Apalagi, pemerintah juga dari tahun ke tahun semakin kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan buat kita-kita. Semakin banyak saja pengangguran baru. Ya, cara yang terbaik adalah berani berwirausaha. Abis kuliah jangan merasa yakin bisa langsung bekerja di sebuah perusahaan besar. So, berpikirlah dengan cara yang lain. Ya, solusi yang lain ya dengan wirausaha itu.

Pak Ciputra, sang pengusaha terkenal dari Indonesia pernah mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad enterpreneurship bagi Indonesia. Jadi, gak salah bukan kalau wirausaha adalah trendsetter di kalangan anak muda zaman ini. Lalu, bagaimana caranya? Tidak usah terlalu pusing-pusing. Mulai dari yang kamu suka saja. Kalau kamu suka makan, ya mulailah dari wirausaha di bidang makanan. Kalau kamu suka pernak-pernik, bukalah usaha kerajinan tangan. Mudah khan? Soal modal gimana? Yah, khan kamu punya celengan. Nah, itu dia. Celengannya gak usah beli hape baru. Pakai saja buat modal untuk usaha. Inget pesan ini, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Mulai dari usaha yang kecil, yakin suatu saat usahamu bakal menjadi besar. Tentu dengan kesabaran dan ketekunan.

Tuh khan, kalau dibikin list, banyak juga ya model-model trendsetter yang mengembangkan diri kita. Sederhananya, dalam diri kita tuh ada banyak potensi untuk menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Tidak harus jadi public figure dulu baru kita bisa jadi trendsetter. Dengan jadi diri kita sendiri saja, model trendsetter yang akan muncul pasti amat otentik, gak sekedar ikut-ikutan. Ya nggak?***

Read More...

Rabu, April 06, 2011

Cukupkah dengan Chatting?

"Ngapain sih lo? Ayo, ikutan diskusi, jangan asyik mainan BB sendiri!"
Begitulah Candra memarahi Dina, karena dari tadi Dina tidak fokus dengan rapat koordinasi akhir untuk acara pementasan drama. Dina sibuk chatting lewat aplikasi messenger di Blackberry-nya, sampai-sampai rapat yang dihadirinya tidak lebih penting dari chatting yang dilakukannya.

Tidak jarang kita menemui teman-teman kita yang seringkali sibuk dengan gadget yang dibawanya, sibuk dengan orang lain yang ada di luar sana atau jauh di sana, dan kurang menghargai orang yang real ada di depannya. Aneh! Orang bisa sampai bisa tega berbuat demikian. Tubuh real di suatu tempat, tapi hati dan jiwa ada di lain tempat.

Ya, ada banyak anggapan bahwa teknologi informasi memang membantu sekali dalam kehidupan sehari-hari kita. Gara-gara alat teknologi ini, semua batas dan sekat bisa dihilangkan. Jarak yang sedemikian jauh bisa dipangkas dengan teknologi supercepat. Kehadiran langsung sudah dinihilkan. Orang bisa hanya dengan videochat atau videocall bisa langsung rapat koordinasi. Pada dirinya sendiri, teknologi ini memang dibuat untuk mempermudah komunikasi manusia.

Tapi, nyatanya kalau teknologi ini disalahgunakan, ya nasibnya seperti Dina tadi. Dia membuat dunia sendiri, terasing dari teman-temannya. Dia tidak mau terlibat dalam situasi real yang ada di hadapannya.

Dina masih lumayan lebih baik. Kakaknya, Rina, lebih parah lagi. Setiap bangun pagi yang pertama-tama dia buat, bukannya bersyukur atas hari yang baru, tetapi dia terduduk termenung memandangi BB, mulai sibuk dengan ‘Rosario’-nya, menyapa teman-temannya lewat twitter. Bak burung berkicau di pagi hari, Rina sudah mulai meng-tweet siapa saja yang bisa disapa.

Begitulah yang terjadi dengan situasi komunikasi kita saat ini. Kesadaran real kita kadang terlampaui sedemikian rupa, sehingga kita jadi lupa dengan situasi dan keadaan sekitar kita yang lebih konkret. Ada semacam lompatan komunikasi yang tidak tanggung-tanggung, tetapi mengancam relasi personal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi karena ruang sempit, seperti di dalam keluarga, di dalam rapat seperti kisah Dina, di dalam sekolah, dan masih banyak tempat lain, yang memang mau tidak mau harus kita jumpai setiap hari.

Mbak Eileen Rachman dalam tulisannya tentang “Generasi Chatting” mengatakan kalau di masa yang akan datang terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka, akan semakin menjadi problem utama.

Meski mungkin ada yang mengatakan pula bahwa komunikasi itu yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya, tetapi masih selalu menjadi pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, yakni sarana apa yang tepat untuk membuat komunikasi itu berkualitas. Tapi, walau bagaimanapun juga kuantitas tetaplah perlu. Karena komunikasi membutuhkan ketersalingan dan keterhubungan yang stabil dan ajeg. Artinya, bagaimana mungkin kualitas komunikasi tercipta dengan baik, jika kuantitas komunikasi tidak pernah direncanakan apalagi dibuat secara kontiniu.

Chatting lewat gadget yang ada memang akan menciptakan kualitas komunikasi yang baik, jika kita menempatkan secara tepat. Sudah banyak contohnya lho ya. Kita bisa berkomunikasi dengan mudah dengan pacar kita atau dengan keluarga kita, karena bantuan gadget semacam itu. Coba bayangkan beberapa dekade yang lalu!

Syukurlah kita lahir di zaman sekarang. Dulu, papa-mama kita mengalami situasi di mana untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh tempatnya, susahnya minta ampun. Mereka masih menggunakan surat-menyurat atau kalau mau lebih cepat berkomunikasi, harus menggunakan jaringan telpon sambungan langsung jarak jauh yang relatif mahal biayanya. Dengan begitu, sebenarnya alat-alat chatting itu tidak serta merta negatif lho. Ada banyak positifnya juga.

Kembali ke kita, kalau mau mencoba menciptakan komunikasi dan relasi yang positif, baiklah kalau kita bisa menempatkan diri secara tepat. Dalam kondisi bertegur sapa dengan orang lain di dalam sebuah pertemuan, entah itu formal maupun tidak formal, berusahalah untuk menghormati orang yang berbicara di depan kita. Karena dengan menghormati orang yang berbicara, kita juga pasti akan dihormati ketika berbicara di depan.

Ada sebuah cerita yang menarik tentang ini. Seorang dosen di kampus terkenal pernah hampir marah, karena melihat mahasiswanya bermain hape ketika kuliah sedang berlangsung. Tapi, dia punya akal untuk mengatasi kemarahan tersebut. Tiba-tiba, dia memberhentikan perkuliahan dan membuat semacam simulasi. Simulasinya semacam “agreement”. Dia mengusulkan adanya kesamaan hak soal penggunaan hape di dalam kelas dan selama pelajaran berlangsung. Dia akan berbuat yang sama seperti yang dibuat oleh mahasiswa dalam hal menerima SMS dan panggilan telpon, yakni langsung membalasnya. Sembari mengeluarkan HP-nya, dosen itu mengirim message pada istrinya. Isi pesannya begini, “Ma, tolong setiap lima menit sekali aku dikirimi sms atau sesekali aku ditelpon juga.” Setelah agreement ini disepakati, kuliah dilanjutkan kembali.

Kalian tahu apa yang terjadi? Tidak sampai 5 menit, HP pak dosen ini sudah berbunyi. Ada sms masuk. Dia cepat-cepat menghentikan kuliah karena harus membalas sms tersebut. Mahasiswa yang lain pun sibuk melakukan hal demikian, saling sibuk sms. Setelah pak dosen selesai membalas sms, dia melanjutkan kuliahnya lagi. Tapi, tidak sampai 5 menit, hapenya berdering lagi, ada telpon masuk. Serta merta dia menjawab telpon itu. Begitulah, sampai berulangkali terjadi. Kita tahu bahwa nada panggil dan sms masuk itu memang hanya berasal dari istrinya semata.

Ketika jam kuliah hampir selesai, ada seorang mahasiswa mengacungkan tangannya dan protes, dia merasa terganggu dengan “agreement” ini. Dia ke kampus untuk kuliah, bukan untuk mendengar dan memperhatikan pak dosen yang sibuk dengan hapenya di ruang kuliah. Beberapa temannya juga mengamini pernyataan mahasiswa tadi. Akhirnya, semua kelas sepakat bahwa selama kuliah semua hape harus di-silent dan disimpan di dalam tas.

Kisah lain, mungkin teman-teman masih ingat yakni kisah tentang pelatih timnas sepakbola kita, Alfred Riedl yang marah-marah dengan seorang wartawan yang sedang mewawancarainya, yang tiba-tiba mengangkat hapenya yang sedang berdering. Sementara tangan satunya memegang recorder untuk merekam kata-kata Riedl, si wartawan ini menggunakan tangan satunya untuk memegang hape dan menjawab telpon tersebut. Sehabis wawancara, Riedl mengatakan demikian, “Sangat tidak sopan bila Anda berbicara dengan orang lain saat saya memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Anda. Jika Anda pemain saya, maka Anda akan mendapatkan masalah.” Wah, kejam juga nih pelatih. Tapi, ya semestinyalah kita menghormati orang yang sedang bicara dengan kita.

Nah, teman-teman, sekarang pertanyaannya diarahkan pada diri kita sendiri. Kita mau jadi generasi yang terisolasi dan bodoh dalam bersosialisasi atau generasi yang memang semakin baik dalam berelasi dan berkomunikasi? Ditunggu lho jawabannya.***
Read More...

Selasa, Maret 22, 2011

Menjadi Manusia Bebas

“Freewill means that the Universe never judges, never interferes with your own
choices - and sees you as a being of equal creative power.”
--Joy Page

Slogan yang paling sering dikumandangkan oleh orang muda adalah kebebasan. Ya, bagi mereka, kebebasan adalah ruang untuk menunjukkan jatidiri. Kebebasan adalah ruang untuk mandiri. Kebebasan adalah tempat untuk belajar. Tapi, mereka juga berpikir bahwa kebebasan adalah kemungkinan untuk bisa buat ini-itu. Kebebasan adalah bisa lepas dari kekangan dan pantauan orang lain. Kebebasan adalah semau gue. Lalu, apakah kebebasan itu memang seperti gambaran tadi semua?
Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Orang muda secara bertahap menuntut ruang kebebasan itu. Mulai dari menuntut kebebasan dari pantauan orangtua. Kemudian menuntut ingin bebas dari kewajiban-kewajiban di sekolah: ingin bebas dari tugas dan PR, ingin bebas dari kegiatan yang tidak diminati. Lalu berkembang ingin bebas dari segala hal-hal yang tidak disukainya. Dan ingin bebas untuk mengekspresikan dirinya, entah bagaimana caranya, yang penting eksis.

Demikianlah yang dialami Yudi dalam hidupnya. Selepas lulus SMP, dia melanjutkan studi di luar kota, di tempat pamannya. Dia begitu senang karena bisa bebas dari pantauan dan bebas dari kewajiban-kewajiban yang harus dibuatnya sebagai seorang anak. Tapi, dalam kebebasan itu ada ketegangan seperti yang tampak dalam gambaran kebebasan di awal tadi. Di satu sisi dia dihadapkan pada ruang untuk belajar mandiri dan menentukan hidup sendiri, tetapi di sisi lain dia terpasung pada konsep bebas semau gue. Setelah lulus SMA, Yudi tidak mau lagi tinggal di rumah pamannya. Dia tinggal di kos-kosan. Ruang kebebasan itu lebih besar lagi. Yudi sangat merasakan hal itu. Dalam ruang kebebasan penuh, dia bisa melakukan apa saja. Dia mau hidup kacau ya bisa. Dia mau hidup baik juga bisa.
Teman-teman, manusia adalah mahluk ciptaan yang paling sempurna. Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Oleh karena itu, secara kodrati, manusia memang terlahir bebas. Kita adalah manusia bebas. Tidak harus menunggu sampai umur 17 tahun, kita memang terlahir untuk menjadi manusia bebas. Dalam kehidupan, kita pun bebas untuk memilih apapun. Karena menjalani hidup itu pada dasarnya adalah menjalankan pilihan-pilihan bebas kita.
Lalu, apa artinya pantauan dan proteksi yang dibuat oleh orangtua? Apa artinya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh sekolah dan guru? Apakah itu artinya mereka melawan hakekat kodrati kita sebagai manusia yang diciptakan bebas?
Tidak! Mereka sama sekali tidak mengekang kebebasan hidup kita. Dengan melihat dari sudut pandang berbeda, seperti yang dimaksud dengan hadirnya buku ini, saya akan mengajak teman-teman untuk memahami dengan cara lain. Kita mulai dari yang sederhana. Ketika kita lahir ke dunia, sebagai seorang manusia baru, analogikan saja bahwa kita bagaikan ‘kertas kosong’, yang masih putih bersih tanpa coretan sedikit pun. Sebagai sesuatu yang baru dan masih bersih, tentu saja kertas putih itu masuk dalam sebuah ancaman. Ancaman itu bisa berupa coretan yang tidak jelas, sobekan yang tidak perlu, dan sebagainya. Maka, supaya hal-hal yang merusak itu tidak terjadi, ‘kertas putih’ haruslah dijaga, dirawat dan mulai ditulisi dengan hal-hal yang baik. Begitulah sebenarnya peran orangtua dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah bukti tanggungjawab mereka untuk menjaga hidup kita. Kehadiran mereka tidak untuk merusak kebebasan yang terpatri sejak kita lahir.

Sama halnya di bangku sekolah. Sejak awal masuk sekolah sudah jelas khan kalau kita memang diserahkan oleh orangtua untuk dididik. Bukan maksud mereka untuk melepaskan begitu saja hidup kita. Mereka tahu bahwa ‘kertas putih’ tadi harus ditulis dengan ‘tulisan-tulisan’ yang baik, yakni dengan pendidikan yang baik. Maka, tuntutan dari sekolah, entah berbentuk tugas atau ujian, adalah bentuk tanggungjawab mereka untuk menjaga kita. Kebebasan kita yang sudah terpatri sejak lahir tidak sama sekali terpasung. Pendidikan di sekolah justru menjadi ruang untuk mengaktifkan ruang kebebasan kita.
Lalu, bagaimana dengan aturan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat? Nyatanya setelah kita beranjak dewasa, ketika sudah mulai bisa mandiri, kita justru terpasung oleh aturan dan norma yang ada?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan dan norma tersebut. Kita memang terlahir bebas. Tetapi kita tidak bisa hidup bebas semau gue. Kita hidup bersama orang lain. Kalau semua orang berprinsip bahwa kebebasan adalah hidup semau gue, mau jadi apa dunia ini nantinya. Salah-salah yang ada mungkin adalah suasana khaos. Tentu bukan itu yang kita harapkan, bukan?
Aturan dan norma dibuat adalah untuk menata manusia yang ada di dalamnya. Itu dibuat untuk memberi kejelasan atas ruang yang luas bagi kebebasan kita. Jika tidak ada aturan dan norma, semua orang pasti akan terganggu kebebasannya. Lho koq bisa? Coba saja kamu bayangkan. Andaikan dunia ini tidak pernah ada aturan dan norma. Apakah semua orang bisa bertindak bebas? Yang ada malah orang akan saling bertengkar dan berkonflik karena kebebasan mereka terganggu. Akhirnya, bukan kebebasan yang didapat, tetapi malah kehancuran hidup kita sendiri.
Tapi, kalau kita mau hidup ekstrim ya bisa juga sih. Kalau mau ingin hidup bebas semau gue, tetapi juga tidak terlibat dalam konflik itu juga bisa dilakukan. Caranya gampang. Tinggal aja di suatu tempat sendirian, dan berusahalah untuk tidak ketemu siapa-siapa. Wah, kalau itu memang terlalu ekstrim. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukannya. Cerita dongeng tentang Tarzan saja menunjukkan bahwa dia sendiri tidak bisa mungkin hidup sendirian. Meski memang tidak ada manusia lain yang menemani, nyatanya dia juga butuh mahluk hutan lainnya agar dia bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.
So, teman-teman, kita tidak perlu merasa terpasung oleh aturan dan norma yang ada, tidak perlu merasa kecewa karena orangtua selalu memantau kita. Semua itu ada dan dibuat supaya kebebasan yang ada dalam diri kita tetap terpelihara dengan baik. Saya yakin, besok pun kalau kamu gantian menjadi orangtua, pasti juga membuat hal yang sama buat anak-anak kalian. Kamu pasti akan menjaga dan merawat mereka.
Satu hal lagi yang mesti segera kita sadari soal kebebasan adalah bahwa prinsip yang paling pokok bukan menuntut “kebebasan dari” apa tetapi berpikirlah mengenai “kebebasan untuk” berbuat apa. Artinya, kita tidak perlu berlelah-lelah atau pusing mencari cara untuk terhindar atau bebas dari hal-hal yang kita ‘anggap’ membuat diri kita tidak bebas. Tetapi, carilah hal-hal yang membuat kita bisa “bebas untuk” berbuat apa. Kalau begitu khan cara kita memandang kebebasan jadi positif, bukan? Yup, begitulah seharusnya yang terjadi.***


Read More...

Rabu, Februari 23, 2011

Thinking Otofdeboks


Rekan-rekan muda yang masih berjiwa muda dan bersemangat muda, mungkin di antara kalian seringkali mendengar istilah “thinking out side the box”. Sebenarnya istilah ini amat identik dengan diri kita yang sering dicap berjiwa pemberontak, ingin lepas dari kemapanan. “Out of the box” arti sederhananya adalah berpikir di luar ‘kotak’, berpikir di luar kebiasaan umumnya atau mempunyai cara yang berbeda dalam memecahkan suatu permasalahan. Atau dengan kata lain, cara berpikirnya menggunakan carapandang dan perspektif yang baru.

Apakah ada yang salah dengan cara berpikir ini? Tentu saja tidak, justru sebagai orang muda, cara berpikir seperti inilah yang mesti ditunjukkan. Sayang jika kita menganggap diri kita masih muda, tetapi kita tidak bisa menunjukkan kualitas kemudaan dalam ide dan cara bertindak kita. “Out of the box” menunjukkan realitas yang kreatif dalam diri kita. Out of the box menunjukkan jatidiri kita.
Masa muda amat identik dengan pertumbuhan. Masa muda adalah periode untuk berkembang menjadi pribadi yang kita impikan dan cita-citakan. Masa muda adalah masa di mana manusia secara psikologis berada pada fase “becoming” di dalam dirinya. Maka dari itu, kesadaran bahwa dirinya tumbuh haruslah dibina dengan cara hidup yang dinamis pula. Aneh rasanya kalau masih muda kehidupannya menunjukkan pola stagnasi. Nah, rekan-rekan muda, pertanyaannya sekarang, kalau kalian belum mengembangkan cara berpikir “out of the box”, kira-kira bagaimana mengembangkannya?

Kita mulai dengan sebuah kisah yang dialami Toni. Suatu hari Toni mendapat jatah memimpin rapat OMK yang agendanya hendak mencari bentuk kegiatan yang perlu dibuat oleh pengurus agar banyak rekan muda mau terlibat dalam kegiatan OMK. Selama ini, OMK di tempatnya seperti mati suri. Secara cacah jumlahnya lumayan banyak, lebih dari seratus orang. Tetapi, dinamika yang dibuat OMK tidak pernah ada berita dan gaungnya. Pengurus OMK sebenarnya ada, tetapi mereka hanya tercantum namanya saja di kepengurusan. Para pengurus bingung mau berbuat apa, sementara kalau mau buat sesuatu saja tidak ada yang berminat ikut. Banyak yang mengatakan kegiatan OMK sekarang sudah terlalu kuno, maka kurang menarik dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan di luar gereja.
Dalam rapat itu, Toni mengumpulkan sumbang saran dari teman-temannya yang masih cukup care dengan kegiatan OMK. Beberapa rekan mengusulkan agar diadakan misa kreatif khusus untuk anak muda. Bicara soal misa kreatif, kegiatan ini sebenarnya sudah dua kali diadakan. Memang tidak dibuat rutin, karena memakan biaya yang besar dan hasilnya tidak terlalu berpengaruh pada OMK. Beberapa rekan mengusulkan acara khusus anak muda seperti acara valentine. Tapi, berhubung waktunya masih lama, mungkin itu untuk rencana jangka panjang saja.
Usulan yang masuk di dalam rapat ini cukup banyak. Namun sebagian besar dari usulan ini selalu terkendala dengan biaya yang dibutuhkan dan jumlah personelnya tidak mencukupi. Maka, lagi-lagi apa yang sudah dibayangkan dan diimpikan pasti jadi mentah lagi.
Apa yang dihadapi Toni dan teman-temannya hampir hanya terkurung di dalam “thinking inside the box”. Mereka hanya berpikir soal yang normal-normal saja. Kira-kira, kalau berpikir tentang “out of the box”, hasilnya akan seperti apa ya?
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melatih diri kita supaya bisa berkembang dalam pola pikir “out of the box”. Yang pertama adalah terbuka pada sesuatu yang berbeda dan melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda. Dalam kisah Toni tadi, para pengurus sebaiknya mencari cara berpikir yang baru. Jika penggunaan misa kreatif tidak efektif buat mengumpulkan OMK, maka mereka harus mencari cara yang benar-benar baru. Tidak salah bukan, jika cara-cara yang benar-benar baru dicari dan kemudian dicoba. Jika gagal lagi, itu bisa menjadi masukan untuk format dan bentuk kegiatan yang baru lagi.
Yang kedua, belajarlah untuk mendengarkan dan menimba ilmu dari orang lain. Itulah pentingnya ada orang lain. Diri kita selalu punya keterbatasan. Maka, kehadiran orang lain sebenarnya bisa menjadi kekayaan bagi kita. Dalam pengalaman Toni, pantaslah jika pengurus mencoba belajar dari pengalaman OMK di paroki lain. Bisa jadi, di tempat lain ada bentuk baru yang cocok pula di tempat Toni. Belajar pada orang lain berarti belajar juga pada OMK yang separoki, yang tidak terlibat pada kepengurusan. Semestinya mereka ‘jemput bola’, bertanya kepada rekan-rekan muda, kira-kira apa yang mereka inginkan dan impikan sebagai orang muda. Keinginan pengurus belum tentu keinginan dari para peserta. Dengan demikian masukan-masukan akan semakin diperkaya.
Ada pepatah mengatakan “Masuk pintu mereka, ke luar pintu kita.” Demikianlah strategi ini sewajarnya diterapkan dalam menggerakkan orang muda. Pengurus mestinya mencari tahu lewat ‘pintu’ yang dimiliki oleh rekan-rekan muda lainnya, baru nanti setelahnya kita akan mengarahkan mereka pada nilai-nilai (‘pintu kita’) yang kita perjuangkan.
Yang ketiga, menciptakan nilai dengan cara-cara yang baru. Lha, bagaimana itu bisa dibuat? Dalam kisah Toni, misa kreatif yang dibuat sebenarnya membawa nilai yang amat positif. Misa kreatif meningkatkan peranserta OMK dalam ekaristi, yang menjadi sumber dan puncak hidup orang kristen. Dengan peningkatan itu, OMK diharapkan semakin terlibat lebih jauh dalam buah-buah ekaristi. Tetapi, karena ternyata tidak membawa dampak yang signifikan, mengapa tidak dipikirkan cara yang baru. Misalnya, guna mendukung aspek-aspek penting dalam misa kreatif, dibentuklah kelompok-kelompok kategorial seperti kelompok teater, kelompok musik, kelompok penari, kelompok dekorasi, dsb. Kelompok kategorial ini haruslah dibuat kegiatan rutin, entah dalam bentuk latihan mingguan atau workshop kecil guna pengembangan diri. Jika hal ini dipikirkan oleh Toni dan teman-teman pengurus, pastilah mereka tidak akan menemukan kendala yang besar. Sebab, misa kreatif benar-benar berasal dari OMK, dibuat untuk OMK, dan setelahnya juga kembali kepada OMK. Misa kreatif menjadi sebuah lingkaran konsentris dan berkesinambungan. Dari cara seperti ini, kita akan melihat sebuah nilai baru muncul. Tidak lagi hanya nilai partisipasi dalam segi kuantitas tetapi juga nilai kebersamaan sekaligus kualitas diri dalam OMK masing-masing.
Nah, tidak sulit bukan bagi kita untuk berpikir “out of the box”? Kalau begitu, mulailah melatihnya dan mempraktekkannya. Yakinlah kalau kalian terbiasa dengan cara berpikir seperti ini, segala kesulitan dan permasalahan pasti ada jalan keluarnya.***


“Thinking out of the box. Only those who see the invisible can do the impossible.”
- Dr. B. Lown -

Read More...

Kamis, Februari 03, 2011

Out Of The Box

Teman-teman, kamu masih berjiwa muda khan? Kalau memang kamu sadar masih muda, ayo mulailah belajar berpikir “out of the box”! Anak muda itu selalu punya semangat besar, semangat pembaru, semangat yang berbeda dari yang lain. Nah itulah semangat “out of the box”, berani berpikir dan bertindak di luar kemapanan dan kenyamanan.

Tulisan-tulisan sederhana ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, tapi berniat dalam maksud yang sama dengan konsep “out of the box”. Selamat membaca!

Read More...

Kamis, April 23, 2009

Kebobrokan Manusia (Mazmur 53)

Orang berhati busuk berkata dalam batinnya:
“Kapan lagi bisa korupsi, kalau bukan sekarang!”

Benar busuk, curang.
Menjijikkan!

Apakah mereka punya akal,
dan mencari sekadar kebaikan?

Tampak tidak.
Mereka memakan rakyat,
seperti memakan roti sampai habis.

Saatnya akan tiba,
di mana tulang-tulang mereka akan dibuang
di mana jiwa-jiwa mereka dicemoohkan.

Ya, datanglah
saatnya bangsa ini bersukacita
ketika mereka telah tiada.
Read More...

Kamis, April 09, 2009

Percaya Itu Indah

Sudah menjadi kebiasaan jika para bangau selalu berpindah-pindah rumah. Mereka tidak selalu mudah untuk bisa menetap terlalu lama. Mereka selalu tergantung dengan banyak hal. Syukur jika sungai tertentu masih menyediakan ikan-ikan. Tetapi jika tidak, mereka mesti siap-siap membanting tulang mengepakkan sayap pergi ke daerah lain.
Sebaliknya, di sisi dunia berbeda, hiduplah semut-semut. Mereka juga bekerja keras. Pantang menyerah demi sanak keluarga mereka. Siapa yang ragu dengan ketekunan semut dalam jerih lelahnya. Tak banyak mahluk lain yang bisa meniru hidup mereka.
Namun, suatu kali bencana menimpa negeri para semut. Bahan makanan semakin habis. Sementara itu, lingkungan mereka tidak mungkin lagi menyediakan yang baru. Musim kering sudah terlalu lama mencengkeram kehidupan mereka. Mereka hanya tinggal bergantung pada jasad-jasad renik mahluk lain yang tidak bisa bertahan. Tikus matipun sudah cukup bagi mereka.

Suatu ketika sampailah para bangau ke negeri mereka. Mungkin sekedar untuk melepas lelah, setelah terbang beratus-ratus kilometer menyeberangi lautan. Mungkin mereka juga sedikit kesal, mengapa tanah yang mereka jumpai setelah jauh terbang, hanyalah tanah kering, yang tidak bisa memberikan apa-apa. Meskipun demikian, mereka tetap bahagia, karena bisa bertemu dengan para semut.
Bangau banyak bercerita kepada semut tentang tempat-tempat di mana mereka pernah tinggal. Ada tempat yang subur, ada tempat yang banyak makanannya, dan sebagainya. Para semut tertegun dengan cerita bangau. Tapi, mereka ragu, mereka tidak percaya, apakah ada daerah subur lain yang melebihi rumah mereka sekarang.

Bangau terus mencoba meyakinkan para semut, kalau daerah subur yang lain itu ada. Kalau mau, semut bisa ikut dalam perjalanan para bangau selanjutnya. Tapi, semut tetap yakin pada pendiriannya. Mereka tidak percaya jika masih ada daerah lain yang bisa subur. Maka, ajakan para bangau sia-sia belaka. Mereka melanjutkan perjalanan, sementara para semut tetap hidup dalam kesusahan mereka.
Seringkali, kita bersikap seperti semut itu. Kita terkungkung dengan keyakinan kita. Kita tidak mudah percaya dengan pendapat orang. Kita begitu saja bersikap keras kepala. Padahal, ada banyak kebenaran lain di luar diri kita. Ada banyak kesempatan lain yang mungkin menawarkan kehidupan lebih baik bagi kita. Baik jika kita mulai membuka diri. Memberi ruang bagi banyak hal di luar diri kita. Itu tidak berarti kita membuka celah kegagalan kita, tetapi lebih-lebih untuk memperkaya pemahaman kita.

“Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahami!”
(si non crederitis, non intelligetis!—Yes 7,9)
Read More...

Sabtu, Maret 14, 2009

Spiritualitas Supir

Setelah seorang Pastor meninggal dan masuk ke surga, ia melihat bahwa seorang supir bis mendapat tempat yang lebih mulia darinya.
"Aku tidak mengerti," keluh sang Pastor pada Petrus. "Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk umatku. Mengapa supir itu lebih tinggi dari diriku?"
Jawab Petrus, “Kebijakan kami di sini adalah tergantung dari hasilnya! Apakah umatmu memperhatikanmu saat kamu memberikan khotbah?"
"Ya ...," Pastor itu mengakui, "beberapa umat selalu tertidur saat aku berkhotbah."
"Itu dia masalahnya," kata Petrus, "kamu tahu, saat orang naik bis yang dikemudikan supir itu, mereka tidak hanya terus terjaga, mereka bahkan terus berdoa."


Cerita itu terdengar lucu dan sekaligus menghentak, karena ada benarnya juga.
Sudah sekian waktu, kira-kira sejak 3 tahun yang lalu, aku mulai dipercaya sebagai supir untuk keperluan komunitas.
Menjadi supir merupakan salah satu pekerjaan yang tidak diinginkan. Menjadi supir hampir sama seperti menjadi satpam maupun menjadi cleaning service. Pekerjaan-pekerjaan ini lebih banyak menggunakan fisik, daripada menggunakan otak. Bahkan dalam struktur jabatan, mereka ini termasuk pekerja kelas bawahan.

Suatu kali aku pernah menawarkan diri dalam sebuah acara besar, untuk menjadi supir, melayani tamu-tamu, dan menghantarkan mereka ke beberapa tempat tujuan. Beberapa dari orang yang mendengarkan tawaranku ini tersenyum sinis. Mereka memandang pekerjaan ini dengan sebelah mata. Kesannya hanya sepele.
Tetapi, aku merasa, dalam banyak hal, peran supir sangatlah menentukan. Meskipun kesannya sepele, berkat supir, banyak kegiatan bisa berjalan dengan baik. Coba bayangkan jika dalam suatu keperluan yang begitu mendesak! Kebetulan ada mobil, tetapi tidak ada yang bisa nyupir. Padahal jika ada supir, masalah yang mendesak itu bisa diselesaikan dengan baik.
Terlepas dari pentingnya peran supir, aku merasa supirpun menghantar banyak orang pada gerak spiritualitasnya. Mengapa? Seperti yang sudah disebutkan dalam ilustrasi cerita di atas. Selama supir menjalankan tugasnya, para penumpang selalu mendukung dengan doa-doa. Semoga perjalanan yang dilalui dapat berjalan lancar dan tanpa ada aral yang melintang. Suasana berkendaraan menjadi sangat kondusif, karena antara penumpang terjadi komunikasi rohani yang begitu indah. Kadang-kadang hal ini tidak kita sadari, tetapi justru di sinilah kekuatan rohani itu berjalan dengan apa adanya.

Aku sendiri, bila diminta sebagai supir, selalu saja dalam perjalanan, ketika menjalankan tugas, dalam hati mengucapkan doa. Aku merasa, kemampuan menyupir bukanlah kemampuan yang mutlak, karena segala perjalanan juga tergantung pada penyertaan Tuhan sendiri.
Bahkan, salah satu terapiku agar aku tidak ngantuk dalam menyupir, adalah dengan berdoa. Biasanya dengan berkomat-kamit sendiri. Meskipun agak aneh, justru dengan cara begini, aku terus bisa terjaga. Salah satu obat agar tidak ngantuk adalah ngomong. Syukur-syukur ada teman ngobrol. Lha, kalo penumpangnya tidur semua, lalu ngobrol sama siapa? Ya, ngobrol sama Tuhan saja. Betul khan!

Kesediaan menjadi supir berarti juga siap sedia untuk melayani. Tidak jarang aku menjumpai, orang-orang besar malahan mau menyupir. Dulu, sewaktu masih tinggal di Semarang, Romo Rektorku malah seringkali menyupiri mobil kami. Sebuah kerendahanhati yang besar. Di sini jelas tampak sekali sikap melayaninya.

Maka dari itu, mengapa mesti malu menjadi supir? Justru, meskipun hanya menjadi supir, ternyata dari situ bisa digali banyak pengalaman rohani.
Read More...

Rabu, Desember 10, 2008

Keterpanggilan Dalam Jejaring Teknologi

Beberapa tahun yang lalu, dunia sempat tersentak ketika Deep Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak, tetapi dengan kekalahan itu, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.
Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jejaring teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer.
Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selain itu, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya di-klik saja, maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, komunitas maya tersebut secara eksplisit sudah mewujud dalam komunitas pertemanan semacam friendster dan facebook, di mana tidak jarang beberapa orang menggunakannya sebagai sarana untuk mencari jodoh pula.
Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead, perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Gates menambahkan bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja, sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi dan Robot (GNR). Tiga serangkai ini adalah kekuatan yang akan mendominasi teknologi di masa yang akan datang. Genetika sendiri menunjuk pada perkembangbiakan genetika seperti maraknya kloning. Nanoteknologi adalah berbagai macam peralatan teknologi terapan yang menggunakan perangkat sangat lunak dan tidak membutuhkan banyak ruang. Sedangkan Robot adalah perangkat yang bekerja menggantikan manusia dalam berbagai macam kegiatan, seperti mencuci, menulis, dsb.

Siapakah Kita di Jejaring ini?
Pesatnya perkembangan teknologi terutama lewat komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar menjadikannya berhala baru.
Tetapi anehnya, kemajuan teknologi adalah parameter yang selalu digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Suka atau tidak suka, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia.
Neil Postman dalam bukunya Technopoly mengatakan bahwa setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Dengan demikian manusia justru didikte oleh teknologi.
Akhirnya, siapakah kita di jejaring ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan demikian komputer sama seperti manusia? Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin? Lalu, bagaimana sikap kita?

Keterpanggilan Hidup Manusia
Kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja, sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Komputer sebenarnya hanya bisa memutuskan dan menentukan sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria yang diberikan. Dengan demikian, permasalahan ini semata-mata terletak pada manusianya!
Pertama, manusia modern (termasuk kita tentunya) sepertinya sedang sakit mental! Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, penyakit malas ini begitu cepat berkembang ketika dihadapkan dengan kecanggihan teknologi. Anak-anak kita bingung kalau diberi soal hitungan tanpa menggunakan kalkulator. Kita pun kadang pusing dengan motor atau mobil kita yang tiba-tiba mogok, sepertinya dunia sudah kiamat.
Dalam menyikapi penyakit mental ini tidaklah arif jika kita begitu saja membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern. Siapa dari kita yang mau kembali pada ke zaman pra-teknologi atau zaman batu? Basis teknologi tetap perlu bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif. Oleh karena itu, cara mendidik kita salah, jika seorang anak diajari berhitung langsung dengan menggunakan kalkulator. Ujilah dahulu mereka dengan penghitungan secara konvensional. Sebaliknya, kalau punya kendaraan bermotor semestinya sedikit banyak tahu tentang kerusakan-kerusakan ringan, sehingga bisa menanganinya secara darurat. Inilah yang dimaksud dengan menggunakan teknologi secara kualitatif.
Kedua, perlu disadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan manusia itu memiliki sifat yang khas sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan teknologi. Manusia bisa menunjukkan emosi dan perasaannya secara natural, sedangkan robot sama sekali tidak bisa.
Ketiga, manusia dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, dan atas keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Teknologi kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa yang mengganggunya, teknologi akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali, seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalanannya untuk mencapai tujuan dengan pasti. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka.
Keempat, yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan terampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain yakni manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan.***
Read More...

Senin, November 24, 2008

Perjumpaan, What’s wrong with You?

Banyak hal dalam hidup kita yang seringkali terlewati begitu saja tanpa ada artinya. Seolah-olah pernak-pernik kehidupan itu adalah sesuatu yang tak perlu diperdebatkan, sesuatu yang biarlah terjadi begitu saja. Tak terkecuali pengalaman perjumpaan. Tiap hari kita berjumpa pak polisi di perempatan lampu merah. Tiap hari kita berjumpa dengan pedagang kaki lima. Tiap hari kita bertemu tema-teman kita, dan payahnya hanya yang itu-itu saja. Tiap hari kita ketemu saudara kita. Membosankan.
Tetapi cobalah sekali waktu perhatikan salah satu perjumpaan kita dengan orang lain. Tanpa disadari, setiap perjumpaan, meskipun tidak sengaja atau kebetulan, ternyata perjumpaan itu punya arti tersendiri.
Suatu kali aku mengalami perjumpaan dengan serombongan tukang pembuat lapangan tenis. Aku tidak bisa membayangkan betapa tidak enaknya bekerja di hamparan lapangan terbuka, apalagi kalau cuaca begitu ekstrim, entah hujan atau panas yang begitu terik.

Kebetulan dalam perjumpaan itu aku juga sedang bekerja di lapangan, tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Ketika matahari semakin memuncak dan begitu angkuhnya berdiri di atas kepala, tanpa sedikitpun terhalang oleh seberkas awan, serta merta aku langsung mengeluh. Mengeluh karena apa? Mengeluh karena panasnya itu lho… Dengan mudahnya aku berhenti sejenak dari pekerjaanku. Aku mencoba mencari tempat yang enak, yang lebih teduh, yang menghindarkan diriku dari kepanasan alias biar tidak hitam. Wong sudah hitam, mosok harus lebih hitam lagi.
Sewaktu aku berteduh, kebetulan lagi bahwa tempatku berteduh itu tidak jauh dari tempat di mana tukang-tukang pembuat lapangan tenis tadi bekerja. Sejurus kemudian, terjadilah percakapan sederhana antara kami. Aku sempat berkomentar, “Wuih... panasnya siang ini!” Mendengar komentarku itu, tak kusangka muncul jawaban dari salah seorang tukang itu. “Mas, panasnya dunia tuh banyak yang menanggung. Tapi, panasnya neraka tanggung dhewe!”
Aku agak terkejut juga dengan tanggapan itu. Padahal aku Cuma komentar ringan, tapi dia menimpali dengan cukup serius. Walau bagaimana, tanggapannya itu ada benarnya juga. Panasnya dunia yang nanggung seluruh dunia, setidaknya ya sebagian tempat tertentu. Dan benar juga, kalau masuk neraka, panasnya ya tanggung sendiri. Meskipun mungkin banyak jiwa juga di neraka, tapi siapa yang mau menolong. Sedangkan di dunia, masih ada orang lain yang punya hati untuk menolong kita bebas dari panasnya dunia. Karena itulah, kalau aku sedang bekerja di luar ruangan, seringkali aku teringat dengan kata-kata itu.
Nah, itu pengalaman kecil. Ada banyak pengalaman yang lain. Kadang-kadang perjumpaan itu sungguh membawa arti tersendiri. Meskipun tidak jarang pula, kita mudah begitu saja menghiraukannya, ternyata perjumpaan itu membawa makna terdalam.***
Read More...

Kamis, November 13, 2008

Kereta Menuju Surga

Anda pernah naik kereta api?
Sebagian besar di antara kita tentu pernah naik kereta api, transportasi yang relatif aman dan harga tiketnya juga cukup terjangkau. Seumur hidup, saya sudah berulang kali naik kereta. Mungkin hampir mendekati angka 50 kali. Alasan utama saya memilih moda sarana ini adalah soal kenyamanannya. Kereta khan jalannya rata, tidak akan melewati jalan yang berlubang. Jadi, kalo mau tidur selama di perjalanan jelas tidak akan terganggu.

Waktu kecil, saya pernah punya cita-cita ingin jadi masinis kereta api. Bagi saya, masinis itu begitu heroik. Mereka bisa menjalankan kendaraan berat, dan bekerja mengikuti disiplin perkeretaapian dengan ketat, sebab kalau tidak demikian, mungkin akan ada banyak kecelakaan terjadi.

Di rumah pun, ada mainan kereta-keretaan yang dibelikan orangtua. Waktu senggang biasanya saya pakai untuk bermain. Menarik! Tantangannya: bagaimana harus melangsir kereta, bagaimana menarik gerbong-gerbong dengan perkasanya, dsb?
Sekarang, kalau ditanya teman-teman soal keretaapi, jelas saya merasa cukup menguasainya, dari kereta penumpang ekonomi sampai eksekutif serta kereta barang dan sejenisnya. Pernah, 6 tahun lalu persisnya, saya mencoba naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Malang, Jawa Timur. Bagi orang tertentu, itu pilihan yang jelek. Siapa yang mau duduk di kereta kelas ‘kambing’ selama 30 jam? Tapi bagi saya, justru di situlah kenikmatannya naik kereta. Meski 30 jam di kereta, jelas beda dibandingkan naik bis yang ruang geraknya kecil sekali. Di kereta, meski dapat jatah duduk 1 kursi, tidak menutup kemungkinan untuk mengisi waktu senggang dengan jalan-jalan. Mungkin, Anda jarang melakukannya. Cobalah sekali waktu naik kereta, berjalanlah menyusuri lorong-lorong kereta. Ada sesuatu yang menarik. Anda berjalan di atas kereta yang jalan.
Bagi saya naik kereta itu juga memberikan cerminan yang lain. Pernahkah Anda berusaha melihat rel kereta yang Anda lalui? Hal ini mungkin sulit. Kemungkinannya Anda mesti berdiri di depan lokomotif atau sebaliknya di gerbong paling belakang. Tapi, umumnya orang tinggal duduk dan hanya bisa merasakan kalau kereta berjalan di atas rel.
Nah, itulah perjalanan menuju surga. Dalam hidup kita, banyak pengalaman yang seringkali terjadi di luar bayangan kita. Kita punya rencana sendiri, tapi tanpa disadari ada tangan-tangan lain yang ikut membantu kita. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
Suatu hari, saya melakukan perjalanan jauh, ziarah semacam itu, tanpa perbekalan yang cukup. Setelah melihat bekal minum sudah habis, saya berkehendak untuk mampir di rumah orang, minta minum. Tapi, apa yang saya dapat? Ternyata tuan rumah, yang saya minta itu malah menawarkan makanan juga. Apakah karena mereka kasihan? Mungkin juga demikian. Tapi, dari sisi lain, saya menangkap ini adalah sebuah pertolongan yang tak diduga.
Begitulah perjalanan ke surga. Kita kerapkali merasakan jalan yang seolah-olah ‘smooth’, lancar, karena di balik itu Tuhan bekerja lewat tangan-tangan orang lain dalam membantu hidup kita.

Read More...

Rabu, Oktober 01, 2008

Amor Benevolentiae


amor benevolentiae… cinta kemurahan hati…

ini merupakan perpaduan antara mata hati dan mata akal budi
antara eudaimonia (kebahagiaan) dan kewajiban untuk bertindak moral
Ricardo san Victor pernah mengatakan: bahwa cinta membukakan mata
berbeda dengan pepatah kacangan: cinta membuat buta
Ya, cinta kemurahan hati adalah cinta yang membukakan mata


contohnya:
misalkan ada 2 orang sahabat, salah satunya diperlakukan tidak adil oleh orang lain.
gak mungkin dong seorang sahabat akan membiarkan diri sahabatnya diperlakukan tidak adil.
begitulah cinta kemurahan hati.
mata terbuka melihat keadaan yang tidak beres, dan serta merta memberikan yang terbaik buat sahabatnya.

contoh konkret: Yesus Sendiri
Dia mau memberikan diri-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya.

Nah, itulah namanya cinta…
Semakin seseorang terbuka mata hatinya dan mata akal budinya, dia akan semakin menunjukkan kemurahan hatinya…

mau coba??
belajarlah untuk mencintai… belajarlah membuka mata… belajarlah membuka hati
Read More...

Senin, September 29, 2008

Trilogy of my Blogs


Mengapa mesti Trilogi?
mungkin teman-teman bertanya alasan di balik pembuatan trilogi blog ini.
Kata hati ingin mengatakan bahwa sebenarnya banyak hal sekali yang bisa di-eksplore dari diri kita. so, aku ingin membuat per bidang/kategori.
kalau hanya 1 saja mungkin tidak cukup...
tapi kalo 4 ato 5 terlalu banyak. oleh karena itu, aku milih 3 saja, 'trilogi', sehingga mudah diingat.
blog pertama, nicosj.blogspot.com. Blog ini murni tentang diriku dan pergulatanku.
blog kedua, for-the-better-world.blogspot.com. Blog ini mungkin salah satu cara yang bisa aku sumbangkan buat orang lain secara lebih luas, tanpa mengenal batas. semua orang punya impian tentang dunia yg lebih baik. aku juga melihat hal itu, dan ingin mewujudkannya. mungkin hanya sebatas tulisan saja.
blog ketiga, greenclimber.blogspot.com. Nah, blog ini salah satu sisi diriku, yang tanpa sadar seringkali membuatku kelihatan aslinya. Sedikit banyak aku suka petualangan. Oleh karena itu, secara khusus aku menceritakan petualangan-petualanganku di tempat ini. Sekaligus aku mencoba fokus terhadap lingkungan hidup.

akhirnya selamat membaca!! Read More...

Rabu, September 24, 2008

Slamet


Liburan tahun lalu, aku dan beberapa teman pergi naik gunung. Kali ini kami menuju ke Purwokerto, hendak mendaki gunung Slamet. Memang sejak di novisiat naik gunung menjadi semacam kesukaan. Bukan pertama-tama karena keinginan untuk dapat melihat sunrise atau petualangan serunya, tetapi terlebih karena prosesnya menuju puncak dan turun kembali ke bawah.

Naik gunung itu seperti menapaki peziarahan rohani. Sebelum naik gunung, setiap pendaki butuh persiapan yang sangat matang, bahkan sampai detik-detik pendakian. Mereka mesti siap mental, fisik, dan tentu saja perlengkapan serta perbekalan. Perencanaan mesti dibayangkan dan dikontemplasikan. Bila berencana mendaki 2 hari, berarti perbekalan mesti disiapkan untuk 3 hari atau lebih. Bila berencana mendaki 3 hari, perbekalan mesti disiapkan untuk 4 hari atau lebih.
Jauh hari sebelum pendakian, fisik juga mesti siap. Pemanasan setiap hari, minimal jogging. Selain itu, bila pendakian dilakukan bersama-sama, tentu kekompakan tim juga ditentukan: siapakah yang akan menjadi leader, sweeper, dan siapakah anggota yang tampaknya paling lemah?
Kini tibalah hari keberangkatan. Dalam perjalanan pendakian, ditentukanlah prosesnya. Banyak hal diperhatikan, ritme langkah kaki, stamina tubuh, jeda untuk istirahat, berhenti untuk berkemah, bahkan perhatian dan pertolongan bagi teman yang sudah kepayahan.
Tidak hanya secara tim menentukan, tetapi terlebih juga secara individu. Lewat proses pendakian ini, aku semakin mengenal diriku, seberapa mampu aku berjalan, seberapa kuat lagi aku bertahan. Memang kadangkala, proses ini tidaklah sesederhana itu, sebab rasa putus asa dan keinginan untuk tidak melanjutkan lagi pendakian seringkali begitu saja muncul. Ada juga faktor-faktor lain di luar diri kita yang turut menentukan proses ini, tetapi keputusan kitalah yang menentukan. Bila sampai di puncak, hanya ada satu kegembiraan dan syukur yakni karena penyertaan Tuhan sampai sejauh ini.
Demikianpun kehidupan rohani kita. Rahmat Tuhan bukan datang begitu saja. Kita mesti menyiapkan diri kita. Persiapan itu adalah kesediaan diri kita untuk dibentuk oleh Tuhan sendiri. Setiap hari ditempa dengan olah rohani. Proses pendakian sama halnya dengan kita belajar semakin mengenal diri kita, belajar berdiskresi, menentukan manakah jalan yang benar untuk sampai ke rahmat itu. Kadangkala ada rasa putus asa, rasa desolasi dan kering tak kunjung usai. Tapi dengan jiwa besar kita terima itu hingga akhirnya sampai pada rahmat di puncak.
Puncak adalah rahmat itu sendiri. Sesampai di puncak, kita bersyukur atas itu dan memohon agar kita tetap tekun dan selalu dikuatkan. Sebab, perjalanan turun dari gunung justru lebih menyakitkan, sebab mesti menahan beban 2 kali, yakni tubuh kita dan gravitasi bumi. Untuk itulah rahmat di puncak menjadi bekal yang cukup pada saat kita mengalami desolasi lagi.
Mendaki gunung bagiku bukanlah suatu pengalaman yang sia-sia atau bahkan membuang waktu. Tetapi, mendaki gunung adalah pengalaman yang menghidupkan kerohanianku. Gunung Slamet baru saja kudaki, semoga kerohanianku juga slamet.
Read More...

Rabu, September 17, 2008

Bangunlah dan Berjalanlah

Derita dan kesusahan manusia tiada pernah habis-habisnya. Setiap hari, entah lewat media massa maupun media elektronik, kita dengar dan lihat cuplikan peristiwa kecelakaan, bencana alam, peperangan, kerusuhan, penggusuran, dsb. Sontak —seringkali— berita itu membuat kita miris kasihan, tergerak hati untuk membantu. Tapi, biasanya rasa kasihan itu hanya bertahan beberapa menit saja. Obyek perhatian beralih pada berita yang lain. Dan berita kesusahan tadi hilang, seperti dibawa angin.
Mengapa ini bisa terjadi?

Ada banyak alasan yang membuatnya demikian. Alasan pertama karena orang itu belum pernah merasakannya sendiri dan tidak bersentuhan langsung dengan kejadian itu (jauh dari tempat kejadian). Alasan kedua, tuduhan bahwa bencana itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri, misalnya tidak memelihara lingkungan dengan baik. Atau alasan ketiga, dukungan bagi musuh korban, misalnya memuji penggusuran karena itu berarti menertibkan lingkungan kota dari sesuatu hal yang mengurangi keindahan.
Cuplikan tentang kehidupan sehari-hari di atas dan reaksi di sekitar peristiwa itu memberikan gambaran singkat tentang sebuah paradigma moralitas yang lemah. Menurut Irish Murdoch “the enemy is the fat relentless ego.” Musuh kita adalah ego kita. Kekuatan ego membuat seseorang tertahan pada dirinya sendiri dan karena itu, tindakan yang semestinya dilakukan sama sekali tidak tersentuh.
Ego itu menunjuk pada kehendak otonom manusia. Tetapi kehendak otonom ini berhenti pada tuduhan saja dan tidak menyentuh pada realitas yang sebenarnya. Padahal kehendak otonom manusia itu selalu terarah pada ‘yang baik’. Setiap peristiwa, tidak hanya terbatas pada peristiwa kesusahan dan penderitaan, memiliki suatu daya tarik ‘yang baik’. Namun, daya tarik ini hanya bisa kita rasakan bila kita bangun (keluar dari diri kita) dan berjalan (melihat dengan mata kita) melihat realitas di sekitar kita, menolong atau memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan kita. Oleh karena itu, “Bangunlah dan Berjalanlah!” (Luk 5:23), lakukanlah hal-hal ‘yang baik’ untuk kita lakukan.

-published by Majalah Utusan, April 2006
Read More...

Senin, September 15, 2008

Dunia yang Keras: Inilah Duniaku


Kali ini mataku dibuka lebih lebar lagi. Serikat mengutusku untuk semakin mengenal duniaku (mengalami dan melatih diri). Probasi ini telah berkata lain dibandingkan 2 probasi luar yang terdahulu. Dunia memang terus berjalan bahkan berlari dan berpacu, tetapi aku tidak melihatnya dari sisi keindahan, ketenangan, kenyamannya, seperti yang kualami sebelumnya. Sekalipun Perigrinasi telah menunjukkan dari sisi lain, namun baru saat ini aku merasakan pengenalan yang lengkap akan duniaku. Aku tidak berani menyatakan bahwa aku sudah ahli tentang dunia ini, lebih daripada aku berani menyatakan bahwa inilah duniaku (di mana aku hidup di dalamnya), inilah realita di hadapanku.

Aku diutus ke tengah-tengah serigala, di antara kehidupan keras para buruh bangunan. Aku tidak ingin terilusi oleh istilah “Ibu Tiri tidak sekejam Ibukota”, tapi aku ingin sungguh mengalami bagian dunia lain yang dipandang dari sisi ketidakamanannya.
Selepas dari Kanisius, dengan bekal kehendak kuat, bersama teman perutusanku, kupanggul tas besar di pundakku. Aku tahu bahwa di terminal Senen banyak copetnya, tapi mau bagaimana? Ini duniaku dan aku mesti melewatinya agar aku sampai tujuanku.
Kutatap wajah anak kecil, yang mencoba bernyanyi dengan suara parau dan hanya mengandalkan bebunyian dari kumpulan tutup botol. Kasihan sekali! Aku hanya diam, tak memberikan uang sepeserpun, kecuali berpikir bahwa mereka sebenarnya hanya diperalat oleh sekelompok orang. Dan, aku merinding melihat eks-napi mabuk naik ke bis yang hanya untuk menodong (dengan cara halus). Aku tak bisa berlagak seperti Superboy, yang menyelamatkan orang-orang dan meninju mereka keluar bis, kecuali aku semakin yakin bahwa inilah duniaku.
Turun dari bis, di kanan-kiri jalan, masih ada banyak genangan air, sisa dari banjir kemarin. Bermaksud ingin menyeberangi sungai, ternyata jembatannya terendam. Setelah berputar cukup jauh, mencari jembatan yang lebih tinggi, masih juga harus menggulung celana ke atas, agar bisa melewatinya dan melintasi jalan-jalan di perumahan Kelapa Gading yang juga masih terendam air. Di mana-mana air, lalu semua ini salah siapa? Tuhan tidak bisa disalahkan, pun bukan karena kemurkaan Tuhan. Ini salahku dan salah semua sesamaku manusia, tapi ini tetap duniaku.
Alamat yang diberikan tidak begitu jelas. Nomer telepon yang bisa dihubungipun tidak nyambung-nyambung. Mulai putus asa, hari sudah sore, perut lapar, tas terasa semakin berat, tapi tujuan juga belum ketemu. Inginnya kembali ke menara gading (Kolese Kanisius). Kalau begitu, masakan, Yesus harus kembali ke surga (kontemplasi penjelmaan). Tidak, pokoknya jalan terus, percuma sudah perigrinasi.
Sekitar jam 5 sore, temanku kembali dari pencarian (secara bergantian -- untuk menghemat tenaga), akhirnya tempat tujuan ketemu. Proyek bangunan yang dimaksud, untuk sementara waktu ditinggal oleh tukang-tukangnya, karena banjir. Kami disambut oleh seorang bapak, yang ditugaskan sebagai penjaga kantor dan gudang proyek. Dia mempercayai kami, ketika kami menunjukkan nomer telepon Pimpro dengan benar. Dia adalah orang pertama yang menerima dan mempersilahkan kami istirahat di bedeng. Bahkan, malam itu juga, dia banyak cerita tentang dirinya, terlebih kelemahannya kalau menghadapi cewek (padahal itu privasinya). Bagaikan sang gembala yang memberikan tumpangan dan memberikan kehangatan bersama ternaknya di kandang Betlehem.
Beberapa anak masuk pula ke bedeng. Pakaiannya tidak karuan. Ada yang rambutnya gondrong dan berwarna merah (pirang). Nah, pasti ini anak-anak proyek! Sepintas perawakan mereka menakutkan, namun setelah berkenalan, ketahuanlah bahwa lingkungan kerja yang membuat mereka menjadi demikian.
Kedatangan kami sebenarnya kelihatan aneh. Kami dianggap orang KKN, ada juga yang menganggap teknisi lapangan kiriman pak Budi (Semarang). Melihat tas-tas besar yang kami bawa dan tampang bersih, mereka tak mudah percaya bahwa kami sungguh-sungguh mencari pekerjaan. Tanpa wasiat dari pak Budi, melamar pekerjaan di proyek ini pasti susah, karena beberapa bulan sebelumnya terjadi kasus pencurian yang melibatkan tukang-tukang yang baru saja kerja beberapa hari di tempat ini.
Aku ditempatkan menjadi kuli, membantu tukang batu. Aku mencoba mengingat-ingat pengalaman membangun kapel La Storta. Kalau tidak bisa, aku melihat cara kerja anak-anak proyek. Teman-teman kerjaku sangat beragam: tukang batu—keramik--kayu (mayoritas) berasal dari Purwodadi, tukang cat dari Cilacap, tukang listrik (dan pipa) dari Tegal, dan tukang lapangan Tenis dari Tulungagung. Masih ada beberapa yang lain (yang ditinjau dari tempat asalnya), yang dalam kategori minoritas: dari Lampung, Banten, dan Sunda.
Pada umumnya, latar belakang mereka adalah masyarakat desa. Selepas lulus SD, mereka memberanikan diri untuk merantau. Tampaknya bagi mereka, merantau adalah sesuatu yang menarik, menantang dan memberikan masa depan, ketimbang menjadi petani.
Umumnya, bekerja di proyek, terlebih dahulu harus menjadi kuli. Sehingga tidak mengherankan bahwa teman-teman kuliku adalah anak-anak yang baru lulus SD. Di antara kuli-kuli aku termasuk di-tua-kan: badanku besar, lulusan SMU, dan umurnya sudah tua. Aku cukup akrab dengan mereka. Ketika kami pindah, dari bedeng ke sebuah kamar kosong di proyek Mess itu, hampir setiap akan dan sesudah kerja, ada saja yang masuk dan mengajak ngobrol -- selalu ramai.
Berbeda dengan para tukang, interaksi mudah terjadi saat bekerja. Ada tukang yang enak diajak bicara, tapi ada juga yang ingin terus menunjukkan kesuperioritasannya. Bahkan aku pernah melihat seorang tukang hampir berkelahi dengan kulinya.
Sebenarnya, hubungan orang per orang, entah antara kuli dengan tukang, atau buruh dengan staf proyek (mandor) lebih melulu bisnis, kasarnya, demi kepentingan Gue. “Aku punya uang, kamu punya tenaga.” Di proyek, jarang ada yang namanya kekeluargaan (budaya yang ditawarkan pada kehidupan pertama mereka -- di desa). Wajar saja, kalau semuanyapun serba seadanya. Jaminan kesehatan hanya sebotol betadine. Kalau tidak dilihat staf proyek, kerjanya asal-asalan (Asal Bapak Senang), tanggungjawab kurang. Kalaupun ada yang berlaku sebaliknya, mungkin hanya segelintir orang. Yang jelas cara bertindak seperti itu populer di mana-mana, entah di proyek ini atau di proyek lain. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Selalu saja mereka mengeluhkan soal bayaran. Tapi, sebenarnya bukan itu.
Inilah kenyataannya. Dunia memang keras. Dunia telah menciptakan lingkungan keras bagi mereka. Bahkan itu mengkondisikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang single fighter. Solidaritas yang ada hanya semu, sebatas teman judi (main kartu dan toto gelap) atau mabuk, bahkan teman ke pelacuran.
Tidak jauh berbeda dengan masyarakat di sekitar proyek. Di sana ada 2 komunitas besar. Perumahan Kelapa Gading terkenal dengan perumahan elite (menengah ke atas). Ini memang diperuntukkan bagi warga TNI-AL. Begitu besarnya perhatian pemerintah kepada pengaman negara. Sekecil-kecilnya pangkat mereka, kehidupannya tetap terjamin. Hanya saja, cara kerja mereka tergantung dari peluit, yang kadang-kadang melampaui suara hati. Di batas perumahan ini, terhampar rumah-rumah kecil yang memanfaatkan lahan di pinggiran Kali Sunter. Kontras sekali, sebab yang satu ini kehidupannya menengah ke bawah.Dari ketiga komunitas yang kujumpai ini, sebenarnya, inti persoalannya sama: Bagaimana bisa hidup merdeka sebagai manusia dan survive di dalamnya? Hanya saja bentuk dan cara yang dilakukan beraneka ragam. Ada yang menindas, ada yang manutan (ABS). Ada yang kerja keras, ada yang duduk santai. Ada yang besar, ada yang kecil. Dan seterusnya.
Read More...