Rabu, Maret 23, 2011

Iman mengalahkan Kesombongan dan Dendam (Mrk 11:11-26)

Pada bagian pertama injil ini kita bisa melihat aspek kemanusiawian pada diri Yesus. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus mendapatkan dirinya lapar. Dari jauh Ia melihat pohon ara, tetapi didapatinya pohon ara itu tidak berbuah. Yesus kesal karena tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, lalu Ia mengutuk pohon tersebut.

Pada bagian berikutnya, Yesus juga menampakkan dirinya yang kesal dan marah. Di Bait Allah, Yesus mengusir para pedagang dengan segala barang jualan mereka. Tindakan ini lebih ganas daripada sekedar kutukan. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikan-Nya. Yesus marah dan mengatakan: “Bukankah ada tertulis Rumah-Ku disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun.”

Maaf, mungkin bagian yang terakhir ini agak sensitif, karena lagi hangat dibahas di milis internos soal misa imlek. Tetapi saya tidak ingin membahasnya juga. Selain memang bukan pada tempatnya, saya juga setuju dengan romo Heru, kesannya kog nganeh-nganehi.

Kembali ke Yesus. Kalau kesan nganeh-nganehi itu dikenakan pada Yesus, tampaknya koq Yesus memang juga nganeh-nganehi.
Di mana letak nganeh-nganehinya?
Pada bagian pertama, Yesus semestinya tahu bahwa pada waktu itu bukanlah musim buah ara. Sehingga tidaklah perlu sampai mengutuk pohon ara itu.
Demikianpun juga di Bait Allah. Yesus juga aneh. Dia tanpa ba-bi-bu, tanpa pakai permisi atau semacam teguran/peringatan dulu, tiba-tiba langsung melabrak para pedagang dan menghancurkan barang dagangan mereka.

Tetapi, mungkin dalam kacamata kita, tindakan Yesus itu nganeh-nganehi.
Di balik tindakan itu, Yesus hendak menyampaikan sesuatu.
Pohon ara dalam kitab suci sering dilambangkan sama seperti kebun anggur, yakni umat pilihan Allah. Yesus berharap umat Israel menghasilkan buah kasih sejati. Baik buah kasih sejati kepada Allah maupun buah kasih kepada sesama. Namun, kenyataan apa yang dihadapi-Nya? Israel maupun Bait Sucinya sama sekali tidak menghasilkan buah yang indah itu. Yang ada ialah kepura-puraan, fanatisme kurban, pemeliharaan hukum tanpa jiwa, dan kebohongan.

Soal musim buah ara yang belum tiba juga mengartikan bahwa misi Yesus belum tiba saatnya. Karya penebusan masih dalam prosesnya. Begitulah Markus hendak bercerita. Markus perlahan-lahan membuka misteri Kristus pada sidang pembaca.

Beberapa hari ini, seperti Anda ketahui, saya sedang dalam situasi susah. Operasi gigi di malam minggu yang lalu membuat gerak saya jadi agak terbatas. Gerak untuk makan, gerak untuk bicara, gerak untuk bepergian. Belum lagi beberapa teman menggoda, entah dengan mengajak untuk mentraktir atau diajak ke concat. Dengan kondisi gigi yang sakit ini, ajakan itu tentu saja akan mentah-mentah saya tolak, karena nganeh-nganehi atau tidak mungkin.
Lalu, pada sore kemarin, mungkin karena giginya masih agak sakit, saya juga jadi kesal; kesal pada komunitas, karena tradisi sport bersama sudah tidak jalan lagi. Meski mungkin tidak semua suka futsal, tetapi yang bisa futsal, yang ada saja sama sekali tidak punya keinginan untuk futsalan lagi.

Ya, suasana kesal hati saya hampir separalel dengan kekesalan hati Yesus. Sore kemarin setelah futsalan dengan anak-anak Loyola, saya punya rencana untuk menulis sesuatu di papan whiteboard di ruang rekreasi frater. Saya hendak menulis, “Quo vadis Sport?” besar-besar. Tapi tindakan itu tidak sampai dibuat.

Pada malam hari, sehabis makan malam, ketika hendak menyiapkan renungan untuk pagi ini, saya mendapatkan insight untuk bahan refleksi saya. Itu ada pada bagian akhir injil ini.

Di situ, Yesus menanggapi murid-murid-Nya dengan cara yang amat berbeda. Saya terkesan dengan tanggapan Yesus ini. Pada mulanya, murid-murid-Nya amat bangga kepada Yesus karena pohon ara yang dikutuk Yesus benar-benar kering.
Tetapi Yesus berpikir lain. Yesus tidak melihat itu sebagai sesuatu yang perlu disombong-sombongkan.
Bagi-Nya yang paling hebat bukan kemampuan mengeringkan pohon dalam waktu beberapa jam atau langsung, bukan juga mengusir para pedagang dari Bait Suci, melainkan iman. Iman memang diberikan oleh Tuhan. Tetapi, kalau manusia tidak mau menerima anugerah ini, Tuhan pun tak berdaya. Dan sebaliknya, kalau manusia mau beriman dan belajar untuk sungguh beriman, Tuhan tak mampu menolak doanya.
Untuk beriman dengan baik, manusia harus membebaskan dirinya dari segala sesuatu yang bernama: benci, dendam. Hanya manusia yang sungguh tulus mengampuni saudaranya, dapat disebut beriman. Sebab iman melandaskan dirinya pada sesuatu yang tak kelihatan, yang tak terjangkau secara fisik. Iman selalu mengandalkan Tuhan saja.
Oleh karena itulah, pada bagian akhir refleksi saya tadi malam, saya berpikir mungkin kalau saya terus merasa sakit hati karena tidak bisa futsal rame-rame dengan saudara se-komunitas, dan memaksa menuliskan pernyataan tadi di whiteboard komunitas; mungkin sakit gigi saya justru tidak akan sembuh-sembuh. Benar juga kata Meggy Z, “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi saja.”
Dan benarlah kata Yesus, “jika kamu tidak mengampuni, maka Bapa-Mu yang di sorga juga tidak akan mengampuni.”
Begitulah maksud Yesus sebenarnya. Semoga permenungan injil hari ini membantu kita untuk semakin beriman dan percaya kepada Allah. Amin.

Tidak ada komentar: