Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Selasa, Mei 10, 2011

“Cémén Loe!”

“True friends are like diamonds, precious and rare. False friends are like leaves, found everywhere.”
--Author Unknown--


Pernah tidak teman-teman dianggap sebagai penakut? Apapun bentuk dan sumber ketakutan itu, kamu pasti pernah mengalami sebuah ketakutan. Seperti yang dialami Dodi ketika diajak teman-temannya untuk cabut dari sekolah.

“Eh, Dod, tahu nggak? Loe tuh masih akan seperti anak kecil, kalau cabut sekali-sekali saja gak berani! Cémén tahu gak sih loe!”

Begitulah teman-teman se-genk-nya menggoda Dodi untuk bolos dari sekolah.
Ya, ketakutan yang dialami Dodi ini adalah ketakutan karena diajak untuk berbuat sesuatu yang buruk. Ketika muncul ketakutan, hati nurani kita menggugat, apakah mau mengambil tindakan tersebut atau mau menolaknya. Selama kamu masih mengalami sebuah ketakutan, berarti kamu masih sadar bahwa perbuatan itu salah. Sebaliknya, kalau kamu sama sekali tidak merasakan ketakutan itu lagi, dan serta merta mengikuti tawaran temanmu, itu berarti kepekaanmu membedakan yang baik dan buruk sudah mulai berkurang.

Tapi, walau begitu, hati nurani kita sebenarnya sama sekali tidak bisa ditipu, atau setidaknya ditutupi atau diabaikan. Hati nurani kita akan menggugat kita pada saat sebelum tindakan dilakukan, pada saat sedang dilakukan dan pada saat setelah tindakan dilakukan. Hanya saja, jika tindakannya terlalu sering diperbuat, ya pastilah, kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang amat biasa. Bukankah, ada pepatah berbunyi “bisa karena biasa, tahu karena mau.” Kita bisa melakukan sesuatu, karena memang kita membiasakan perbuatan tersebut. Kita bisa mengetahui sesuatu karena kita punya kemauan untuk mengetahuinya.

Pengalaman Dodi tadi bisa menjadi semakin berat jika bumbu ceritanya ditambah begini: ketakutan Dodi terjadi bukan karena soal hati nurani saja, tetapi terjadi karena di bawah ancaman teman-temannya. Dia tidak berani melawan, karena takut kelak pertemanan antar mereka menjadi kacau dan mungkin dia bisa dimusuhi teman-temannya. Nah, kalau soal ini, memang lebih agak rumit. Soalnya yang diangkat adalah bagaimana menciptakan sebuah pertemanan yang baik.

Bicara soal pertemanan, memang tidak ada rumusan yang pasti soal ini. Sebab, kita tidak pernah tahu, kelak kita bakal mendapatkan teman seperti apa. Kita hanya bisa mengkondisikan situasinya, memilih sarananya, tetapi orang yang datang kepada kita dan menjadi teman kita itu layaknya seperti sungai mengalir. Let it flows!

Sederhananya begini, misalkan kamu waktu TK-SD sekolah di tempat tertentu, mungkin di kota kecil lalu kemudian sewaktu SMP dan SMA memilih sekolah di kota besar, pasti ragam teman-teman kita akan amat kelihatan. Demikian pun sewaktu kita memilih untuk ikut kegiatan hobi tertentu, misalnya hobi nge-band, pastilah kita akan bertemu teman-teman dengan karakter yang senada. Kalau kita memilih kelompok hobi dance, pasti berbeda pula dengan karakter teman-teman yang biasa nge-band.

Itu tadi baru bentuk kelompok yang kita pilih, selanjutnya pertemanan akan amat bergantung pada pasang-surut kualitas pertemanannya, yang biasanya amat melibatkan emosi kita sendiri. Nah, di sinilah kita bisa menguji bagaimana kita mampu mengembangkan kualitas pertemanan kita. Semakin terlibat secara emosional, kita sebenarnya diuji. Tetapi, sebaliknya kalau kita cuma sekedar ikut-ikutan, tentu saja kualitas pertemanan itu akan biasa-biasa saja.

Andai si Dodi berani menolak tawaran teman-temannya untuk bolos, pasti di situ dimensi emosional antara Dodi dan teman-temannya dilibatkan. Andai Dodi bisa memberi penalaran dan alasan yang baik agar tidak membolos, pastilah teman-temannya ikut berpikir dan mengolahnya. Tetapi, andaikan Dodi hanya ikut saja ajakan teman-temannya, dimensi emosinya tentu saja tidak begitu kelihatan, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan, tidak ada banyak pergulatan emosional di sana. Orang yang memilih tindakan berbeda, tentu pergulatannya lebih besar dibandingkan dengan orang yang memilih tindakan yang sama.

Mungkin di kemudian hari ada semacam permusuhan atau penolakan atas dasar keputusan yang dibuat Dodi jika dia tidak menerima tawaran dari teman-temannya. Namun justru di situlah kualitas pertemanan kita diuji. Kalau bentuk pertemanan kita ke arah positif, pastilah teman-temannya akan menjadi sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Sebaliknya, jika bentuk pertemanannya ke arah negatif, pastilah teman-temannya akan membiarkan Dodi pergi atau tidak melibatkan lagi Dodi dalam percaturan genk mereka.

Pertanyaannya kemudian adalah kembali ke kita. Kamu sebenarnya mau pilih bentuk pertemanan yang seperti apa? From deep our heart, biasanya kita akan memilih pertemanan yang sehat, pertemanan yang mengembangkan. Benarlah kata pepatah kuno, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Setiap keburukan-keburukan yang kita tabung sejak dulu, lama-lama kita akan kelak menuai timbunan keburukan yang lebih besar. Kalau kita menabung kebaikan-kebaikan yakinlah bahwa suatu saat kita akan memanen kebaikan-kebaikan yang lebih besar lagi.

Kata Steven Covey, penulis buku Seven Habits, kalau mau jadi manusia efektif, kita harus membuat rekening bank emosional. Kalau sejak kecil kita terbiasa menabung emosi-emosi yang buruk, tabungan kita kelak hanya akan berbuah emosi yang buruk pula. Demikian pun sebaliknya, kalau kita sudah membiasakan menabung emosi-emosi yang baik, tabungan kita akan penuh dengan hal-hal yang baik pula.

So, teman-teman, membangun pertemanan itu memang gampang-gampang susah, atau mungkin susah-susah gampang. Terlepas bahwa pertemanan itu seperti sungai mengalir, pasang-surutnya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing pribadi, tetapi peran kita tetaplah besar. Sejauh kita mau terbuka, dimensi emosi dan afektif kita tunjukkan, pastilah pertemanan yang kita buat akan semakin positif.

Sekarang kita mau menuai yang mana nih? Tinggal teman-teman yang menentukannya. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Segala yang kita buat, kita harus siap menerima segala resikonya kelak.
Read More...

Jumat, April 22, 2011

DI BAWAH KAYU SALIBMU



Aku tertegun begitu lama
Tubuhku merinding melihatnya
Hatiku berat tuk menahannya
Jiwaku sperti mau hilang rasanya

Di bawah kayu salib-Mu

Sukmaku tertancap…
Bukan karna tak ingin meninggalkannya
Bukan karna tak ada lagi tempat berpijak
Bukan karna tak sadar akan rasa dosaku

Di bawah kayu salib-Mu

Aku temukan kekuatan-Mu yang besar
Aku bayangkan hati-Mu yang terperi
Aku simpulkan kasih-Mu yang tulus

Di bawah kayu salib-Mu

Kau ajak aku bertumbuh
Tidak untuk sekedar sedih atas salah yang telah kuperbuat
Tapi untuk yakin, O betapa tegarnya Engkau menopang aku.

Di bawah kayu salib-Mu

Kau bangunkan aku untuk ikut memanggul bersama Engkau yang memanggul…
Read More...

Selasa, April 12, 2011

Bergaya Trendsetter

“Each person must live their life as a model for others.”
- Rosa Parks –

Gile tuh si Sinta! Baru minggu lalu bawa hape Nokia Serie E72, sekarang sudah bawa yang baru, Blackberry Onyx. Up to date banget tuh anak! Kalau jalan-jalan ke mall kaos yang dipakainya juga bagus-bagus. Dia sudah jadi kayak trendsetter gitu. So, koq kita mau-maunya juga ya jadi pengikut gaya dia. Kayaknya kalau gak ikut-ikutan gayanya, rasanya sudah ketinggalan zaman.

Fren, Trendsetter itu apaan sih?
Ah, kamu tuh gak gaul banget sih? Trendsetter itu istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi panutan dalam hal tertentu karena keunikan dan kreativitasnya, sehingga selalu membuat terobosan (breakthrough) di tengah kemapanan yang ada. Sebenarnya pengertiannya sangat luas sekali sebab mencakup semua bidang. Tapi, umumnya sih bidang yang dijadikan trendsetter itu bidang fashion, gadget, IT, dan otomotif.

Contohnya juga banyak lho. Liat tuh Agnes Monica, si vokalis trendy, yang hampir setiap penampilannya, dia pakai rambut yang beraneka bentuk dan warna; khan banyak tuh, anak muda yang ikut-ikutan gaya dia. Atau contoh jadul nih, pas zaman Demi Moore masih bergaya botak; banyak juga khan cewek-cewek yang berani memangkas rambutnya sampai habis, padahal aneh banget khan kalau cewek botak, jadinya kayak pak ogah dalam serial Unyil zaman dulu.

Kalau yang cowok-cowok biasanya ngikutin gaya pemain sepakbola favoritnya atau ngikutin gaya boyband yang digandrunginya. Udah banyak tuh cowok-cowok yang ikut-ikutan fashion yang dipopulerkan Clubeighties, gaya jadul yang aneh, tapi nyentrik.

Eh… tapi jangan salah menduga dulu ya. Trendsetter tidak cuma soal fashion dan buat gaya-gayaan. Nyatanya, di bidang sosial-politik dan ekonomi banyak hal bisa dijadikan topik trendsetter juga. Contoh paling kelihatan ya waktu presiden Chile, Sebastian Pinera mampu menyelamatkan 33 pekerja tambang yang terperangkap di bawah bumi. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagi negaranya. Sudah pasti dia menjadi trendsetter buat tokoh-tokoh politik di negara lain.

So, mungkin kamu awalnya agak merasa gak terlalu senang ya dengan istilah trendsetter, soalnya seolah-olah jadi pedoman untuk hal-hal yang aneh. Mungkin, dulu kamu pernah mendengar istilah ini, “hari ini gak punya hape?” Itu khan secara tidak langsung jadi semacam ‘paksaan’ untuk mengajak teman-teman-nya juga punya hape. Kepemilikan hape menjadi semacam trendsetter. Nah, itu dulu! Sekarang mungkin pertanyaannya bisa dibuat begini, “Hari gini gak bisa jadi anak muda berprestasi?”


Mungkin dengan cara begitu, kita bisa menjadi trendsetter yang positif dan transformatif bagi banyak orang, seperti Sebastian Pinera itu. Lalu, gimana caranya? Kayaknya susah amat ya jadi orang yang bisa dijadikan panutan.

Eits… jangan menyerah dulu. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Bagi yang memiliki kemauan ingin jadi trendsetter yang positif tadi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Kamu masih muda khan? Atau minimal masih berjiwa muda. Ya nggak? Tunjukkan kemudaanmu dengan semangat dan hati yang berkobar-kobar dong. Artinya, tunjukkan semangat kreatifmu, semangat pembaruanmu. Istilah sederhananya, harus berani tampil beda. Tampil beda sih bukan hal yang buruk, bukan? Tampil beda membuat kita berani mencoba sesuatu yang beda dari yang lain. Tapi, jangan asal beda doang lho ya! Harus pakai prinsip juga. Minimal prinsip demi kemaslahatan bersama, artinya tidak membuat orang lain dirugikan dan menyusahkan orang lain.

Bisa jadi pas kita berani tampil beda, orang lain mengejek kita. Jangan sampai tersinggung dan cepat-cepat berkecil hati. Mikirnya simple aja deh, sambil bergurau gini, “Ehh…, kamu tuh… orang sirik itu tanda tak mampu!” Udah banyak lho teman-teman kita yang nyobain jadi trendsetter yang amat positif. Misalnya nih, kayak Cella, temanku yang kuliah di universitas terkenal di Yogya. Dia bersama beberapa temannya memilih meluangkan sedikit waktu senggangnya untuk membuka kelompok belajar buat anak-anak desa, yang mungkin tidak pernah bisa mendapatkan pelajaran tambahan seperti yang bisa dirasakan anak-anak kota. Ini benar-benar tampil beda khan? Mungkin sekarang belum bisa disebut trendsetter, tapi mungkin beberapa tahun mendatang, akan ada banyak kegiatan kampus yang sifatnya kayak gini, kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya keluar-kampus yakni dengan jalan membantu masyarakat. Tidak hanya cuma lewat KKN, tapi lewat keseharian sebagai mahasiswa.

Atau kayak temanku di Magelang, Eko namanya. Dia sekarang lagi mengembangkan usaha brownies. Mungkin kamu bertanya-tanya, lho, koq cowok malah dagang makanan? Jangan salah kira lho ya! Temanku yang satu ini sedang mengembangkan usaha enterpreneurship-nya. Ups, istilah apalagi tuh? Susah amat bacanya.

Begini teman, entrepreneurship itu arti sederhananya adalah berwirausaha. Eko, temanku tadi, sedang berwirausaha lewat produk kue brownies. Dia umurnya masih 23 tahun lho. Bayangkan umur segitu sudah sukses berwirausaha.

Kalau kamu mau tahu, sekarang wirausaha sudah menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Apalagi, pemerintah juga dari tahun ke tahun semakin kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan buat kita-kita. Semakin banyak saja pengangguran baru. Ya, cara yang terbaik adalah berani berwirausaha. Abis kuliah jangan merasa yakin bisa langsung bekerja di sebuah perusahaan besar. So, berpikirlah dengan cara yang lain. Ya, solusi yang lain ya dengan wirausaha itu.

Pak Ciputra, sang pengusaha terkenal dari Indonesia pernah mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad enterpreneurship bagi Indonesia. Jadi, gak salah bukan kalau wirausaha adalah trendsetter di kalangan anak muda zaman ini. Lalu, bagaimana caranya? Tidak usah terlalu pusing-pusing. Mulai dari yang kamu suka saja. Kalau kamu suka makan, ya mulailah dari wirausaha di bidang makanan. Kalau kamu suka pernak-pernik, bukalah usaha kerajinan tangan. Mudah khan? Soal modal gimana? Yah, khan kamu punya celengan. Nah, itu dia. Celengannya gak usah beli hape baru. Pakai saja buat modal untuk usaha. Inget pesan ini, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Mulai dari usaha yang kecil, yakin suatu saat usahamu bakal menjadi besar. Tentu dengan kesabaran dan ketekunan.

Tuh khan, kalau dibikin list, banyak juga ya model-model trendsetter yang mengembangkan diri kita. Sederhananya, dalam diri kita tuh ada banyak potensi untuk menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Tidak harus jadi public figure dulu baru kita bisa jadi trendsetter. Dengan jadi diri kita sendiri saja, model trendsetter yang akan muncul pasti amat otentik, gak sekedar ikut-ikutan. Ya nggak?***

Read More...

Rabu, April 06, 2011

Cukupkah dengan Chatting?

"Ngapain sih lo? Ayo, ikutan diskusi, jangan asyik mainan BB sendiri!"
Begitulah Candra memarahi Dina, karena dari tadi Dina tidak fokus dengan rapat koordinasi akhir untuk acara pementasan drama. Dina sibuk chatting lewat aplikasi messenger di Blackberry-nya, sampai-sampai rapat yang dihadirinya tidak lebih penting dari chatting yang dilakukannya.

Tidak jarang kita menemui teman-teman kita yang seringkali sibuk dengan gadget yang dibawanya, sibuk dengan orang lain yang ada di luar sana atau jauh di sana, dan kurang menghargai orang yang real ada di depannya. Aneh! Orang bisa sampai bisa tega berbuat demikian. Tubuh real di suatu tempat, tapi hati dan jiwa ada di lain tempat.

Ya, ada banyak anggapan bahwa teknologi informasi memang membantu sekali dalam kehidupan sehari-hari kita. Gara-gara alat teknologi ini, semua batas dan sekat bisa dihilangkan. Jarak yang sedemikian jauh bisa dipangkas dengan teknologi supercepat. Kehadiran langsung sudah dinihilkan. Orang bisa hanya dengan videochat atau videocall bisa langsung rapat koordinasi. Pada dirinya sendiri, teknologi ini memang dibuat untuk mempermudah komunikasi manusia.

Tapi, nyatanya kalau teknologi ini disalahgunakan, ya nasibnya seperti Dina tadi. Dia membuat dunia sendiri, terasing dari teman-temannya. Dia tidak mau terlibat dalam situasi real yang ada di hadapannya.

Dina masih lumayan lebih baik. Kakaknya, Rina, lebih parah lagi. Setiap bangun pagi yang pertama-tama dia buat, bukannya bersyukur atas hari yang baru, tetapi dia terduduk termenung memandangi BB, mulai sibuk dengan ‘Rosario’-nya, menyapa teman-temannya lewat twitter. Bak burung berkicau di pagi hari, Rina sudah mulai meng-tweet siapa saja yang bisa disapa.

Begitulah yang terjadi dengan situasi komunikasi kita saat ini. Kesadaran real kita kadang terlampaui sedemikian rupa, sehingga kita jadi lupa dengan situasi dan keadaan sekitar kita yang lebih konkret. Ada semacam lompatan komunikasi yang tidak tanggung-tanggung, tetapi mengancam relasi personal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi karena ruang sempit, seperti di dalam keluarga, di dalam rapat seperti kisah Dina, di dalam sekolah, dan masih banyak tempat lain, yang memang mau tidak mau harus kita jumpai setiap hari.

Mbak Eileen Rachman dalam tulisannya tentang “Generasi Chatting” mengatakan kalau di masa yang akan datang terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka, akan semakin menjadi problem utama.

Meski mungkin ada yang mengatakan pula bahwa komunikasi itu yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya, tetapi masih selalu menjadi pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, yakni sarana apa yang tepat untuk membuat komunikasi itu berkualitas. Tapi, walau bagaimanapun juga kuantitas tetaplah perlu. Karena komunikasi membutuhkan ketersalingan dan keterhubungan yang stabil dan ajeg. Artinya, bagaimana mungkin kualitas komunikasi tercipta dengan baik, jika kuantitas komunikasi tidak pernah direncanakan apalagi dibuat secara kontiniu.

Chatting lewat gadget yang ada memang akan menciptakan kualitas komunikasi yang baik, jika kita menempatkan secara tepat. Sudah banyak contohnya lho ya. Kita bisa berkomunikasi dengan mudah dengan pacar kita atau dengan keluarga kita, karena bantuan gadget semacam itu. Coba bayangkan beberapa dekade yang lalu!

Syukurlah kita lahir di zaman sekarang. Dulu, papa-mama kita mengalami situasi di mana untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh tempatnya, susahnya minta ampun. Mereka masih menggunakan surat-menyurat atau kalau mau lebih cepat berkomunikasi, harus menggunakan jaringan telpon sambungan langsung jarak jauh yang relatif mahal biayanya. Dengan begitu, sebenarnya alat-alat chatting itu tidak serta merta negatif lho. Ada banyak positifnya juga.

Kembali ke kita, kalau mau mencoba menciptakan komunikasi dan relasi yang positif, baiklah kalau kita bisa menempatkan diri secara tepat. Dalam kondisi bertegur sapa dengan orang lain di dalam sebuah pertemuan, entah itu formal maupun tidak formal, berusahalah untuk menghormati orang yang berbicara di depan kita. Karena dengan menghormati orang yang berbicara, kita juga pasti akan dihormati ketika berbicara di depan.

Ada sebuah cerita yang menarik tentang ini. Seorang dosen di kampus terkenal pernah hampir marah, karena melihat mahasiswanya bermain hape ketika kuliah sedang berlangsung. Tapi, dia punya akal untuk mengatasi kemarahan tersebut. Tiba-tiba, dia memberhentikan perkuliahan dan membuat semacam simulasi. Simulasinya semacam “agreement”. Dia mengusulkan adanya kesamaan hak soal penggunaan hape di dalam kelas dan selama pelajaran berlangsung. Dia akan berbuat yang sama seperti yang dibuat oleh mahasiswa dalam hal menerima SMS dan panggilan telpon, yakni langsung membalasnya. Sembari mengeluarkan HP-nya, dosen itu mengirim message pada istrinya. Isi pesannya begini, “Ma, tolong setiap lima menit sekali aku dikirimi sms atau sesekali aku ditelpon juga.” Setelah agreement ini disepakati, kuliah dilanjutkan kembali.

Kalian tahu apa yang terjadi? Tidak sampai 5 menit, HP pak dosen ini sudah berbunyi. Ada sms masuk. Dia cepat-cepat menghentikan kuliah karena harus membalas sms tersebut. Mahasiswa yang lain pun sibuk melakukan hal demikian, saling sibuk sms. Setelah pak dosen selesai membalas sms, dia melanjutkan kuliahnya lagi. Tapi, tidak sampai 5 menit, hapenya berdering lagi, ada telpon masuk. Serta merta dia menjawab telpon itu. Begitulah, sampai berulangkali terjadi. Kita tahu bahwa nada panggil dan sms masuk itu memang hanya berasal dari istrinya semata.

Ketika jam kuliah hampir selesai, ada seorang mahasiswa mengacungkan tangannya dan protes, dia merasa terganggu dengan “agreement” ini. Dia ke kampus untuk kuliah, bukan untuk mendengar dan memperhatikan pak dosen yang sibuk dengan hapenya di ruang kuliah. Beberapa temannya juga mengamini pernyataan mahasiswa tadi. Akhirnya, semua kelas sepakat bahwa selama kuliah semua hape harus di-silent dan disimpan di dalam tas.

Kisah lain, mungkin teman-teman masih ingat yakni kisah tentang pelatih timnas sepakbola kita, Alfred Riedl yang marah-marah dengan seorang wartawan yang sedang mewawancarainya, yang tiba-tiba mengangkat hapenya yang sedang berdering. Sementara tangan satunya memegang recorder untuk merekam kata-kata Riedl, si wartawan ini menggunakan tangan satunya untuk memegang hape dan menjawab telpon tersebut. Sehabis wawancara, Riedl mengatakan demikian, “Sangat tidak sopan bila Anda berbicara dengan orang lain saat saya memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Anda. Jika Anda pemain saya, maka Anda akan mendapatkan masalah.” Wah, kejam juga nih pelatih. Tapi, ya semestinyalah kita menghormati orang yang sedang bicara dengan kita.

Nah, teman-teman, sekarang pertanyaannya diarahkan pada diri kita sendiri. Kita mau jadi generasi yang terisolasi dan bodoh dalam bersosialisasi atau generasi yang memang semakin baik dalam berelasi dan berkomunikasi? Ditunggu lho jawabannya.***
Read More...

Rabu, Maret 23, 2011

Iman mengalahkan Kesombongan dan Dendam (Mrk 11:11-26)

Pada bagian pertama injil ini kita bisa melihat aspek kemanusiawian pada diri Yesus. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus mendapatkan dirinya lapar. Dari jauh Ia melihat pohon ara, tetapi didapatinya pohon ara itu tidak berbuah. Yesus kesal karena tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, lalu Ia mengutuk pohon tersebut.

Pada bagian berikutnya, Yesus juga menampakkan dirinya yang kesal dan marah. Di Bait Allah, Yesus mengusir para pedagang dengan segala barang jualan mereka. Tindakan ini lebih ganas daripada sekedar kutukan. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikan-Nya. Yesus marah dan mengatakan: “Bukankah ada tertulis Rumah-Ku disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun.”

Maaf, mungkin bagian yang terakhir ini agak sensitif, karena lagi hangat dibahas di milis internos soal misa imlek. Tetapi saya tidak ingin membahasnya juga. Selain memang bukan pada tempatnya, saya juga setuju dengan romo Heru, kesannya kog nganeh-nganehi.

Kembali ke Yesus. Kalau kesan nganeh-nganehi itu dikenakan pada Yesus, tampaknya koq Yesus memang juga nganeh-nganehi.
Di mana letak nganeh-nganehinya?
Pada bagian pertama, Yesus semestinya tahu bahwa pada waktu itu bukanlah musim buah ara. Sehingga tidaklah perlu sampai mengutuk pohon ara itu.
Demikianpun juga di Bait Allah. Yesus juga aneh. Dia tanpa ba-bi-bu, tanpa pakai permisi atau semacam teguran/peringatan dulu, tiba-tiba langsung melabrak para pedagang dan menghancurkan barang dagangan mereka.

Tetapi, mungkin dalam kacamata kita, tindakan Yesus itu nganeh-nganehi.
Di balik tindakan itu, Yesus hendak menyampaikan sesuatu.
Pohon ara dalam kitab suci sering dilambangkan sama seperti kebun anggur, yakni umat pilihan Allah. Yesus berharap umat Israel menghasilkan buah kasih sejati. Baik buah kasih sejati kepada Allah maupun buah kasih kepada sesama. Namun, kenyataan apa yang dihadapi-Nya? Israel maupun Bait Sucinya sama sekali tidak menghasilkan buah yang indah itu. Yang ada ialah kepura-puraan, fanatisme kurban, pemeliharaan hukum tanpa jiwa, dan kebohongan.

Soal musim buah ara yang belum tiba juga mengartikan bahwa misi Yesus belum tiba saatnya. Karya penebusan masih dalam prosesnya. Begitulah Markus hendak bercerita. Markus perlahan-lahan membuka misteri Kristus pada sidang pembaca.

Beberapa hari ini, seperti Anda ketahui, saya sedang dalam situasi susah. Operasi gigi di malam minggu yang lalu membuat gerak saya jadi agak terbatas. Gerak untuk makan, gerak untuk bicara, gerak untuk bepergian. Belum lagi beberapa teman menggoda, entah dengan mengajak untuk mentraktir atau diajak ke concat. Dengan kondisi gigi yang sakit ini, ajakan itu tentu saja akan mentah-mentah saya tolak, karena nganeh-nganehi atau tidak mungkin.
Lalu, pada sore kemarin, mungkin karena giginya masih agak sakit, saya juga jadi kesal; kesal pada komunitas, karena tradisi sport bersama sudah tidak jalan lagi. Meski mungkin tidak semua suka futsal, tetapi yang bisa futsal, yang ada saja sama sekali tidak punya keinginan untuk futsalan lagi.

Ya, suasana kesal hati saya hampir separalel dengan kekesalan hati Yesus. Sore kemarin setelah futsalan dengan anak-anak Loyola, saya punya rencana untuk menulis sesuatu di papan whiteboard di ruang rekreasi frater. Saya hendak menulis, “Quo vadis Sport?” besar-besar. Tapi tindakan itu tidak sampai dibuat.

Pada malam hari, sehabis makan malam, ketika hendak menyiapkan renungan untuk pagi ini, saya mendapatkan insight untuk bahan refleksi saya. Itu ada pada bagian akhir injil ini.

Di situ, Yesus menanggapi murid-murid-Nya dengan cara yang amat berbeda. Saya terkesan dengan tanggapan Yesus ini. Pada mulanya, murid-murid-Nya amat bangga kepada Yesus karena pohon ara yang dikutuk Yesus benar-benar kering.
Tetapi Yesus berpikir lain. Yesus tidak melihat itu sebagai sesuatu yang perlu disombong-sombongkan.
Bagi-Nya yang paling hebat bukan kemampuan mengeringkan pohon dalam waktu beberapa jam atau langsung, bukan juga mengusir para pedagang dari Bait Suci, melainkan iman. Iman memang diberikan oleh Tuhan. Tetapi, kalau manusia tidak mau menerima anugerah ini, Tuhan pun tak berdaya. Dan sebaliknya, kalau manusia mau beriman dan belajar untuk sungguh beriman, Tuhan tak mampu menolak doanya.
Untuk beriman dengan baik, manusia harus membebaskan dirinya dari segala sesuatu yang bernama: benci, dendam. Hanya manusia yang sungguh tulus mengampuni saudaranya, dapat disebut beriman. Sebab iman melandaskan dirinya pada sesuatu yang tak kelihatan, yang tak terjangkau secara fisik. Iman selalu mengandalkan Tuhan saja.
Oleh karena itulah, pada bagian akhir refleksi saya tadi malam, saya berpikir mungkin kalau saya terus merasa sakit hati karena tidak bisa futsal rame-rame dengan saudara se-komunitas, dan memaksa menuliskan pernyataan tadi di whiteboard komunitas; mungkin sakit gigi saya justru tidak akan sembuh-sembuh. Benar juga kata Meggy Z, “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi saja.”
Dan benarlah kata Yesus, “jika kamu tidak mengampuni, maka Bapa-Mu yang di sorga juga tidak akan mengampuni.”
Begitulah maksud Yesus sebenarnya. Semoga permenungan injil hari ini membantu kita untuk semakin beriman dan percaya kepada Allah. Amin.
Read More...

Selasa, Maret 22, 2011

Menjadi Manusia Bebas

“Freewill means that the Universe never judges, never interferes with your own
choices - and sees you as a being of equal creative power.”
--Joy Page

Slogan yang paling sering dikumandangkan oleh orang muda adalah kebebasan. Ya, bagi mereka, kebebasan adalah ruang untuk menunjukkan jatidiri. Kebebasan adalah ruang untuk mandiri. Kebebasan adalah tempat untuk belajar. Tapi, mereka juga berpikir bahwa kebebasan adalah kemungkinan untuk bisa buat ini-itu. Kebebasan adalah bisa lepas dari kekangan dan pantauan orang lain. Kebebasan adalah semau gue. Lalu, apakah kebebasan itu memang seperti gambaran tadi semua?
Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Orang muda secara bertahap menuntut ruang kebebasan itu. Mulai dari menuntut kebebasan dari pantauan orangtua. Kemudian menuntut ingin bebas dari kewajiban-kewajiban di sekolah: ingin bebas dari tugas dan PR, ingin bebas dari kegiatan yang tidak diminati. Lalu berkembang ingin bebas dari segala hal-hal yang tidak disukainya. Dan ingin bebas untuk mengekspresikan dirinya, entah bagaimana caranya, yang penting eksis.

Demikianlah yang dialami Yudi dalam hidupnya. Selepas lulus SMP, dia melanjutkan studi di luar kota, di tempat pamannya. Dia begitu senang karena bisa bebas dari pantauan dan bebas dari kewajiban-kewajiban yang harus dibuatnya sebagai seorang anak. Tapi, dalam kebebasan itu ada ketegangan seperti yang tampak dalam gambaran kebebasan di awal tadi. Di satu sisi dia dihadapkan pada ruang untuk belajar mandiri dan menentukan hidup sendiri, tetapi di sisi lain dia terpasung pada konsep bebas semau gue. Setelah lulus SMA, Yudi tidak mau lagi tinggal di rumah pamannya. Dia tinggal di kos-kosan. Ruang kebebasan itu lebih besar lagi. Yudi sangat merasakan hal itu. Dalam ruang kebebasan penuh, dia bisa melakukan apa saja. Dia mau hidup kacau ya bisa. Dia mau hidup baik juga bisa.
Teman-teman, manusia adalah mahluk ciptaan yang paling sempurna. Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Oleh karena itu, secara kodrati, manusia memang terlahir bebas. Kita adalah manusia bebas. Tidak harus menunggu sampai umur 17 tahun, kita memang terlahir untuk menjadi manusia bebas. Dalam kehidupan, kita pun bebas untuk memilih apapun. Karena menjalani hidup itu pada dasarnya adalah menjalankan pilihan-pilihan bebas kita.
Lalu, apa artinya pantauan dan proteksi yang dibuat oleh orangtua? Apa artinya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh sekolah dan guru? Apakah itu artinya mereka melawan hakekat kodrati kita sebagai manusia yang diciptakan bebas?
Tidak! Mereka sama sekali tidak mengekang kebebasan hidup kita. Dengan melihat dari sudut pandang berbeda, seperti yang dimaksud dengan hadirnya buku ini, saya akan mengajak teman-teman untuk memahami dengan cara lain. Kita mulai dari yang sederhana. Ketika kita lahir ke dunia, sebagai seorang manusia baru, analogikan saja bahwa kita bagaikan ‘kertas kosong’, yang masih putih bersih tanpa coretan sedikit pun. Sebagai sesuatu yang baru dan masih bersih, tentu saja kertas putih itu masuk dalam sebuah ancaman. Ancaman itu bisa berupa coretan yang tidak jelas, sobekan yang tidak perlu, dan sebagainya. Maka, supaya hal-hal yang merusak itu tidak terjadi, ‘kertas putih’ haruslah dijaga, dirawat dan mulai ditulisi dengan hal-hal yang baik. Begitulah sebenarnya peran orangtua dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah bukti tanggungjawab mereka untuk menjaga hidup kita. Kehadiran mereka tidak untuk merusak kebebasan yang terpatri sejak kita lahir.

Sama halnya di bangku sekolah. Sejak awal masuk sekolah sudah jelas khan kalau kita memang diserahkan oleh orangtua untuk dididik. Bukan maksud mereka untuk melepaskan begitu saja hidup kita. Mereka tahu bahwa ‘kertas putih’ tadi harus ditulis dengan ‘tulisan-tulisan’ yang baik, yakni dengan pendidikan yang baik. Maka, tuntutan dari sekolah, entah berbentuk tugas atau ujian, adalah bentuk tanggungjawab mereka untuk menjaga kita. Kebebasan kita yang sudah terpatri sejak lahir tidak sama sekali terpasung. Pendidikan di sekolah justru menjadi ruang untuk mengaktifkan ruang kebebasan kita.
Lalu, bagaimana dengan aturan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat? Nyatanya setelah kita beranjak dewasa, ketika sudah mulai bisa mandiri, kita justru terpasung oleh aturan dan norma yang ada?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan dan norma tersebut. Kita memang terlahir bebas. Tetapi kita tidak bisa hidup bebas semau gue. Kita hidup bersama orang lain. Kalau semua orang berprinsip bahwa kebebasan adalah hidup semau gue, mau jadi apa dunia ini nantinya. Salah-salah yang ada mungkin adalah suasana khaos. Tentu bukan itu yang kita harapkan, bukan?
Aturan dan norma dibuat adalah untuk menata manusia yang ada di dalamnya. Itu dibuat untuk memberi kejelasan atas ruang yang luas bagi kebebasan kita. Jika tidak ada aturan dan norma, semua orang pasti akan terganggu kebebasannya. Lho koq bisa? Coba saja kamu bayangkan. Andaikan dunia ini tidak pernah ada aturan dan norma. Apakah semua orang bisa bertindak bebas? Yang ada malah orang akan saling bertengkar dan berkonflik karena kebebasan mereka terganggu. Akhirnya, bukan kebebasan yang didapat, tetapi malah kehancuran hidup kita sendiri.
Tapi, kalau kita mau hidup ekstrim ya bisa juga sih. Kalau mau ingin hidup bebas semau gue, tetapi juga tidak terlibat dalam konflik itu juga bisa dilakukan. Caranya gampang. Tinggal aja di suatu tempat sendirian, dan berusahalah untuk tidak ketemu siapa-siapa. Wah, kalau itu memang terlalu ekstrim. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukannya. Cerita dongeng tentang Tarzan saja menunjukkan bahwa dia sendiri tidak bisa mungkin hidup sendirian. Meski memang tidak ada manusia lain yang menemani, nyatanya dia juga butuh mahluk hutan lainnya agar dia bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.
So, teman-teman, kita tidak perlu merasa terpasung oleh aturan dan norma yang ada, tidak perlu merasa kecewa karena orangtua selalu memantau kita. Semua itu ada dan dibuat supaya kebebasan yang ada dalam diri kita tetap terpelihara dengan baik. Saya yakin, besok pun kalau kamu gantian menjadi orangtua, pasti juga membuat hal yang sama buat anak-anak kalian. Kamu pasti akan menjaga dan merawat mereka.
Satu hal lagi yang mesti segera kita sadari soal kebebasan adalah bahwa prinsip yang paling pokok bukan menuntut “kebebasan dari” apa tetapi berpikirlah mengenai “kebebasan untuk” berbuat apa. Artinya, kita tidak perlu berlelah-lelah atau pusing mencari cara untuk terhindar atau bebas dari hal-hal yang kita ‘anggap’ membuat diri kita tidak bebas. Tetapi, carilah hal-hal yang membuat kita bisa “bebas untuk” berbuat apa. Kalau begitu khan cara kita memandang kebebasan jadi positif, bukan? Yup, begitulah seharusnya yang terjadi.***


Read More...

Rabu, Februari 23, 2011

Thinking Otofdeboks


Rekan-rekan muda yang masih berjiwa muda dan bersemangat muda, mungkin di antara kalian seringkali mendengar istilah “thinking out side the box”. Sebenarnya istilah ini amat identik dengan diri kita yang sering dicap berjiwa pemberontak, ingin lepas dari kemapanan. “Out of the box” arti sederhananya adalah berpikir di luar ‘kotak’, berpikir di luar kebiasaan umumnya atau mempunyai cara yang berbeda dalam memecahkan suatu permasalahan. Atau dengan kata lain, cara berpikirnya menggunakan carapandang dan perspektif yang baru.

Apakah ada yang salah dengan cara berpikir ini? Tentu saja tidak, justru sebagai orang muda, cara berpikir seperti inilah yang mesti ditunjukkan. Sayang jika kita menganggap diri kita masih muda, tetapi kita tidak bisa menunjukkan kualitas kemudaan dalam ide dan cara bertindak kita. “Out of the box” menunjukkan realitas yang kreatif dalam diri kita. Out of the box menunjukkan jatidiri kita.
Masa muda amat identik dengan pertumbuhan. Masa muda adalah periode untuk berkembang menjadi pribadi yang kita impikan dan cita-citakan. Masa muda adalah masa di mana manusia secara psikologis berada pada fase “becoming” di dalam dirinya. Maka dari itu, kesadaran bahwa dirinya tumbuh haruslah dibina dengan cara hidup yang dinamis pula. Aneh rasanya kalau masih muda kehidupannya menunjukkan pola stagnasi. Nah, rekan-rekan muda, pertanyaannya sekarang, kalau kalian belum mengembangkan cara berpikir “out of the box”, kira-kira bagaimana mengembangkannya?

Kita mulai dengan sebuah kisah yang dialami Toni. Suatu hari Toni mendapat jatah memimpin rapat OMK yang agendanya hendak mencari bentuk kegiatan yang perlu dibuat oleh pengurus agar banyak rekan muda mau terlibat dalam kegiatan OMK. Selama ini, OMK di tempatnya seperti mati suri. Secara cacah jumlahnya lumayan banyak, lebih dari seratus orang. Tetapi, dinamika yang dibuat OMK tidak pernah ada berita dan gaungnya. Pengurus OMK sebenarnya ada, tetapi mereka hanya tercantum namanya saja di kepengurusan. Para pengurus bingung mau berbuat apa, sementara kalau mau buat sesuatu saja tidak ada yang berminat ikut. Banyak yang mengatakan kegiatan OMK sekarang sudah terlalu kuno, maka kurang menarik dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan di luar gereja.
Dalam rapat itu, Toni mengumpulkan sumbang saran dari teman-temannya yang masih cukup care dengan kegiatan OMK. Beberapa rekan mengusulkan agar diadakan misa kreatif khusus untuk anak muda. Bicara soal misa kreatif, kegiatan ini sebenarnya sudah dua kali diadakan. Memang tidak dibuat rutin, karena memakan biaya yang besar dan hasilnya tidak terlalu berpengaruh pada OMK. Beberapa rekan mengusulkan acara khusus anak muda seperti acara valentine. Tapi, berhubung waktunya masih lama, mungkin itu untuk rencana jangka panjang saja.
Usulan yang masuk di dalam rapat ini cukup banyak. Namun sebagian besar dari usulan ini selalu terkendala dengan biaya yang dibutuhkan dan jumlah personelnya tidak mencukupi. Maka, lagi-lagi apa yang sudah dibayangkan dan diimpikan pasti jadi mentah lagi.
Apa yang dihadapi Toni dan teman-temannya hampir hanya terkurung di dalam “thinking inside the box”. Mereka hanya berpikir soal yang normal-normal saja. Kira-kira, kalau berpikir tentang “out of the box”, hasilnya akan seperti apa ya?
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melatih diri kita supaya bisa berkembang dalam pola pikir “out of the box”. Yang pertama adalah terbuka pada sesuatu yang berbeda dan melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda. Dalam kisah Toni tadi, para pengurus sebaiknya mencari cara berpikir yang baru. Jika penggunaan misa kreatif tidak efektif buat mengumpulkan OMK, maka mereka harus mencari cara yang benar-benar baru. Tidak salah bukan, jika cara-cara yang benar-benar baru dicari dan kemudian dicoba. Jika gagal lagi, itu bisa menjadi masukan untuk format dan bentuk kegiatan yang baru lagi.
Yang kedua, belajarlah untuk mendengarkan dan menimba ilmu dari orang lain. Itulah pentingnya ada orang lain. Diri kita selalu punya keterbatasan. Maka, kehadiran orang lain sebenarnya bisa menjadi kekayaan bagi kita. Dalam pengalaman Toni, pantaslah jika pengurus mencoba belajar dari pengalaman OMK di paroki lain. Bisa jadi, di tempat lain ada bentuk baru yang cocok pula di tempat Toni. Belajar pada orang lain berarti belajar juga pada OMK yang separoki, yang tidak terlibat pada kepengurusan. Semestinya mereka ‘jemput bola’, bertanya kepada rekan-rekan muda, kira-kira apa yang mereka inginkan dan impikan sebagai orang muda. Keinginan pengurus belum tentu keinginan dari para peserta. Dengan demikian masukan-masukan akan semakin diperkaya.
Ada pepatah mengatakan “Masuk pintu mereka, ke luar pintu kita.” Demikianlah strategi ini sewajarnya diterapkan dalam menggerakkan orang muda. Pengurus mestinya mencari tahu lewat ‘pintu’ yang dimiliki oleh rekan-rekan muda lainnya, baru nanti setelahnya kita akan mengarahkan mereka pada nilai-nilai (‘pintu kita’) yang kita perjuangkan.
Yang ketiga, menciptakan nilai dengan cara-cara yang baru. Lha, bagaimana itu bisa dibuat? Dalam kisah Toni, misa kreatif yang dibuat sebenarnya membawa nilai yang amat positif. Misa kreatif meningkatkan peranserta OMK dalam ekaristi, yang menjadi sumber dan puncak hidup orang kristen. Dengan peningkatan itu, OMK diharapkan semakin terlibat lebih jauh dalam buah-buah ekaristi. Tetapi, karena ternyata tidak membawa dampak yang signifikan, mengapa tidak dipikirkan cara yang baru. Misalnya, guna mendukung aspek-aspek penting dalam misa kreatif, dibentuklah kelompok-kelompok kategorial seperti kelompok teater, kelompok musik, kelompok penari, kelompok dekorasi, dsb. Kelompok kategorial ini haruslah dibuat kegiatan rutin, entah dalam bentuk latihan mingguan atau workshop kecil guna pengembangan diri. Jika hal ini dipikirkan oleh Toni dan teman-teman pengurus, pastilah mereka tidak akan menemukan kendala yang besar. Sebab, misa kreatif benar-benar berasal dari OMK, dibuat untuk OMK, dan setelahnya juga kembali kepada OMK. Misa kreatif menjadi sebuah lingkaran konsentris dan berkesinambungan. Dari cara seperti ini, kita akan melihat sebuah nilai baru muncul. Tidak lagi hanya nilai partisipasi dalam segi kuantitas tetapi juga nilai kebersamaan sekaligus kualitas diri dalam OMK masing-masing.
Nah, tidak sulit bukan bagi kita untuk berpikir “out of the box”? Kalau begitu, mulailah melatihnya dan mempraktekkannya. Yakinlah kalau kalian terbiasa dengan cara berpikir seperti ini, segala kesulitan dan permasalahan pasti ada jalan keluarnya.***


“Thinking out of the box. Only those who see the invisible can do the impossible.”
- Dr. B. Lown -

Read More...

Kamis, Februari 03, 2011

Out Of The Box

Teman-teman, kamu masih berjiwa muda khan? Kalau memang kamu sadar masih muda, ayo mulailah belajar berpikir “out of the box”! Anak muda itu selalu punya semangat besar, semangat pembaru, semangat yang berbeda dari yang lain. Nah itulah semangat “out of the box”, berani berpikir dan bertindak di luar kemapanan dan kenyamanan.

Tulisan-tulisan sederhana ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, tapi berniat dalam maksud yang sama dengan konsep “out of the box”. Selamat membaca!

Read More...

Sabtu, April 24, 2010

Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa!

Sehabis peristiwa mukjizat roti untuk 5000 orang, Yesus dicari ke mana-mana. Gara-gara itu, setelah Yesus ditemukan kembali, Yesus menjawab secara mengejutkan, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang.”

Kata-kata ini sungguh menusuk buat si pencari tentu saja. Karena apa yang dikatakan Yesus benar sekali. Bagi mereka yang paling penting adalah bisa makan dan bisa melanjutkan hidup. Makan untuk hidup. Tetapi, rumusan ini bisa dibalik. Hidup untuk makan. Beberapa hari yang lalu, di salah satu Koran harian dibahas soal nikmatnya wisata kuliner, sehingga kesannya hidup untuk makan saja. Tapi, ya karena memang maksudnya untuk promosi, maka mau tidak mau, si kulinerawan, seperti Pak Bondan, melakukannya ya karena dengan Hidup untuk makan itulah dia bisa mendapatkan uang.
Sewaktu acara Jubileum bruder Prapto, tepatnya pada saat makan siang, saya sempat berkomentar dengan salah seorang teman. Hebat… hebat… Jesuit itu kalau mengadakan sajian pesta, selalu pantas diacungi jempol. Tidak ada konvik lain yang bisa mengalahkan Jesuit soal jamuan makan. Apalagi kalau mau membandingkannya dengan ST. Di mana-mana, entah di Jakarta, di Semarang, di Yogyakarta, selalu memuaskan. Kurang enak sedikit, kurang tepat waktu penyajiannya pasti sudah banyak komentar muncul. Bicara rasa makanan enak-tidak enak, tampaknya Jesuit itu berpegang pada prinsip ini. Prinsip ini pernah saya dengar dari Romo Riyo sewaktu masih rektor Loyola, “de gustibus non est disputandum.” Setiap orang memiliki cita rasanya sendiri-sendiri. Maka, karena itulah setiap orang yang mendapat jatah seksi konsumsi pada acara Jesuit, haruslah benar-benar mengakomodasi prinsip ini.

Kembali ke soal Hidup untuk makan. Gara-gara mempersiapkan sharing pagi ini, tadi malam saya teringat dengan tulisan yang dibuat oleh bidel refter di papan pengumuman komunitas untuk mengingatkan kita bahwa kemarin sabtu, bambang ulangtahun. Kalau dipikir-pikir, saya merasa, tinggal di Kolsani itu begitu menyenangkan. Bagi saya sendiri, kalau saya tidak hati-hati, saya bisa jadi seperti apa yang saya katakana tadi. Hidup itu untuk makan. Karena, pagi-siang-sore makanan sudah tersedia, bahkan sesekali waktu, minimal sebulan sekali, bisa makan banyak dan menikmatinya dengan puas.

Tapi, Yesus melanjutkan kata-kata-Nya:
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya."
Lalu, bekerja yang bagaimana dan untuk makanan apa yang tidak dapat binasa ya? Pikir saya.
Seminggu yang lalu dalam sebuah chatting, saya sedikit syok dengan pernyataan salah seorang mantan murid saya di Loyola.
“Buat apa kami sekolah dan belajar selama 3 tahun, kalau nasib kami hanya ditentukan oleh 5 hari ujian? Mending kami di-drill 1 bulan saja, khusus untuk mempersiapkan ujian ini, sehingga kami bisa lulus!”
Menurut saya, anak ini sedang bergulat dengan pengalaman Ujian nasionalnya. Benar juga ya, buat apa mereka susah-susah belajar 3 tahun? Yang terpenting bagi mereka adalah mereka bisa lulus. Sementara, lulus-tidaknya hanya ditentukan oleh ujian yang dibuat selama 5 hari. Bagi mereka 3 tahun tidak ada gunanya, sia-sia dan membuang waktu hidup saja. Kalau bisa disiapkan dalam 1 bulan, mengapa harus menyiapkannya dalam 3 tahun.
Kadang-kadang, stresnya orang bekerja di kolese ya seperti ini. Sudah susah-susah diurus, anak orang lagi, selama 3 tahun, tanggapannya koq Cuma seperti ini. Di mana perjuangan selama 3 tahun, yang sudah mereka perjuangkan dan sudah ditawarkan oleh sekolah?
Maka, dulu sewaktu pelajaran agama atau pendalaman materi ignatian di kelas, saya selalu menekankan bahwa kita belajar itu untuk hidup. Non scholae sed vitae discimus. Ini kata-kata Seneca, sang filsuf Romawi, yang memperingatkan muridnya Lucilius. Studi di sekolah tidak semata-mata demi raihan nilai dan hasil yang sempurna dengan lulus ujian. Tetapi yang terpenting dari sekolah adalah untuk mengerti hal-hal yang akan dijalani dalam hidup. Oleh karena itulah, Loyola dan kolese-kolese lainnya menawarkan visi yang tertuang dalam 3C (comopetence, conscience, compassion). Kalau Cuma ujian 5 hari itu saja baru bagian competence. Lalu, saya jawab dalam chatting saya, “Meskipun kamu lulus UN, dan bagi anak Loyola, itu pasti (yakin), kamu bisa gak lulus hanya karena conscience dan compassionmu gagal. Sudah ada buktinya lho. Gara-gara nyontek, tidak lulus. Gara-gara menyepelekan dan menyerang guru atau pamongnya, belum kelulusan sudah dikeluarkan.”
Ngomong-ngomong soal belajar untuk hidup. Sambil bermain kata-kata, saya mau membaliknya, menjadi Hidup untuk belajar.
Mungkin inilah yang dimaksud Yesus dengan bekerja untuk makanan yang tidak dapat binasa. Bagi kita skolatik, yang teologan, Belajarlah bentuk kerja kita. Dan belajar itu adalah demi makanan yang tidak dapat binasa. Maka jadi Jesuit itu ya Hidup untuk belajar. Lagi-lagi, gara-gara kata ini, saya teringat dengan wawancara pada saat solisitasi saya 10 tahun yang lalu. Karena di hadapan pater magister, saya begitu gugup, tiba-tiba saya mengatakan bahwa Jesuit itu punya prinsip “Hidup untuk belajar”. Entah dari mana kata-kata ini keluar. Tapi, yang jelas saya tidak bisa memberi penjelasan yang meyakinkan kepada magister mengenai alasan pernyataaan saya tersebut. Kalau saya boleh kembali ke 10 tahun yang lalu. Ayat kitab suci ini akan saya kutip untuk menjelaskannya.

Dan yang terakhir dari teks hari ini:
Lalu kata mereka kepada-Nya: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" Jawab Yesus kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.
Untuk penjelasan yang satu ini, kita kembali ke Bacaan pertama, di situ dikisahkan tentang Stefanus. Stefanus adalah orang yang percaya pada Yesus. Dia penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak (Kis 6:8). Nah, jika hidup kita sehat (terkait dengan soal makan tadi) dan hidup kita inspiratif (karena hasil belajar kita) kiranya kita juga dapat mengadakan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda di antara orang banyak di sekitar kita, sama seperti yang telah dilakukan oleh Stefanus. Dan mungkin teman-teman sekomunitas kita, tidak melihat kita sebagai beban, atau sebagai penghambat kerja komunitas, tetapi bisa melihat kita sama seperti melihat Stefanus. Oleh Mahkamah agama, seperti disebutkan dalam bacaan, muka Stefanus seperti muka seorang malaikat. Semoga itu terjadi juga di antara kita!
Read More...

Rabu, Juni 10, 2009

IMAN TIDAK PERNAH DARI ANGKA NOL!


Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, dunia yang bergerak dan menyejarah terus memberikan latar dan pengaruh pada kehidupan manusia, dan sebaliknya, manusia jugalah yang secara otonom membentuk dan mengukir dunia seluas hidupnya.

Dalam peziarahannya di dunia, manusia tidak jarang berhenti pada suatu titik, di mana dia bertanya-tanya di dalam batin, mencoba mencari jawaban, siapa sebenarnya ‘sang aktor’ di balik peristiwa kehidupannya? Meski manusia yakin bahwa tindakan yang dilakukannya dari detik ke detik adalah opsi fundamental-nya, tetapi seringkali dalam situasi tertentu, manusia menjadi seperti tertahan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tepat pada saat itu, manusia merasakan ada ‘sesuatu’ di luar dirinya yang ikut terlibat dalam peristiwa itu. Itulah proses pengenalan manusia akan ‘Yang Transenden’.
Siapakah ‘Yang Transenden’ itu? Manusia terus mencoba mencari jawab. Penggalan-penggalan sejarah telah banyak bercerita bahwa manusia tidak pernah berhenti menginterpretasikan siapa ‘Yang Transenden’ itu. Proses pengenalan itu tak akan pernah berhenti dan mengalir terus sepanjang hidup manusia.
Secara sederhana, itulah yang disebut dengan iman. Iman selalu berdinamika di antara pribadi manusia dan ‘Yang Transenden’, serta ketersediaannya selalu berangkat dari konteks dunia yang menghidupinya.

Pokok-pokok pembinaan iman zaman ini
Bila mendiskusikan pokok-pokok apa saja yang menjadi perhatian dalam membina iman, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah aspek pribadi manusia yang mengalami iman itu sendiri. Iman itu relasi personal, yakni pengalaman pribadi manusia itu sendiri. Masing-masing orang punya pengalaman iman yang berbeda dan unik. Pengalaman itu terjadi lewat cara-cara yang identik dengan orang yang mengalaminya, sehingga orang lain tidak bisa dengan mudah memahaminya.
Dalam kesadaran iman yang unik itu, setiap pribadi bergulat dalam dirinya: bagaimana ‘Yang Transenden’ itu sungguh-sungguh disadari. Maka, refleksi atas pengalaman atau pemaknaan atas hidup menjadi sangat penting, sebab di situ manusia menjadi sadar bahwa hidup itu bukan miliknya sendiri. Ada campur tangan dari Sang Pribadi ‘Yang Transenden’. Pribadi itulah yang dikenal oleh manusia sebagai Allah. Dan dengan kesadaran itu pula, lewat seluruh hidupnya tampak ditunjukkan keterlibatan Allah. Sementara itu, refleksi keberimanan tadi diperoleh dengan melibatkan seluruh afeksi/rasa dan kognisi serta aksi dari manusia itu sendiri.
Hal kedua yang menjadi pokok perhatian adalah konteks dan lingkungan-budaya yang melingkupi pribadi manusia itu. Seorang beriman tidak pernah lepas dari konteks, apalagi bila konteks itu adalah hidup bersama orang lain, yang notabene adalah orang yang sangat beragam, apalagi masing-masing orang tersebut mempunyai pengalaman keberimanan yang khas dan unik juga. Konteks ini juga mencakup dunia/zaman macam apa yang ditinggali oleh manusia tersebut.
Hal ketiga adalah kesadaran bahwa keberimanan itu bukanlah tindakan sekali jadi. Keberimanan adalah sebuah proses hidup, yang dimulai sejak pribadi itu terlahir ke dunia, dan selesai pada waktu kehidupan itu dicabut dari dirinya. Dengan kata lain, pencarian akan Allah atau keberimanan terhadap Allah ‘Yang Transenden’ itu terus diperjuangkan sampai sukma terenggut dari tubuh. Namun, dalam proses keberimanan tersebut, bukan berarti manusia tidak pernah punya pilihan pasti. Dalam setiap titik-titik hidup yang dilaluinya, manusia menentukan opsi fundamental-nya. Dalam opsi itulah, dia bergulat dalam hidupnya, dan itu tiada kata akhir, sampai semuanya benar-benar paripurna di akhir hidupnya.
Hal keempat adalah Pribadi ‘Yang Transenden’, yakni Allah sendiri. Dalam proses keberimanan manusia, Allah ikut terlibat dan ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan-Nya pun unik sebab bergantung kepada masing-masing manusia dalam berprosesnya.

Pengertian dasar yang memberi arah pembinaan iman
Setelah memahami pokok-pokok iman di atas, selanjutnya perlu adanya pengertian dasar guna memberi arah bagi pembinaan iman tersebut. Pada dasarnya, kehidupan manusia itu tak pernah berdiri sendiri. Pengalaman akan ‘Yang Transenden’ selalu muncul dalam benak kehidupan manusia. Proses keberimanan itu bisa dianalogikan seperti orang berjalan menyusuri sungai. Sementara, ‘Yang Transenden’ itu, yang kita kenal sebagai Allah, persis berada di seberang sungai, yang juga sama-sama menyusur. Sesekali, kedua sisi sungai itu bertemu. Titik pertemuan itu adalah sebuah jembatan. Lewat jembatan itulah, manusia dan Allah menjadi saling terhubung. Tetapi, setiap kali Allah dan manusia juga akan selalu bertemu, sebab indera (mata) tak menghalangi penglihatan dan oleh karenanya, manusia menjadi yakin bahwa di seberang Allah juga terlibat dalam dan aktif dalam ‘permainan’ hidupnya.
Selain daripada itu, tidak jarang pula terdapat banyak hal yang bisa menghalangi keterhubungan itu, entah itu terjadi karena jarak sisi sungai yang semakin melebar, entah karena ada benda asing yang seketika itu lewat di tengah sungai, sehingga pandangan langsung menjadi terhalang. Atau bisa juga selama perjalanan menyusur sungai, tak satupun jembatan yang bisa ditemui.
Tapi itu bukanlah hal yang pokok. Sebab keberimanan itu seperti sebuah permainan. Di dalamnya, manusia diajak untuk terlibat. Allah pun melakukan hal yang sama. Di sini tidak tertutup kemungkinan ada proses tarik-ulur, antara Allah dan manusia. Dengan demikian, yang pokok dalam permainan itu adalah manusia tidak pernah berhenti dalam pencariannya, tidak pernah berhenti menyusuri sungai.
Di samping itu, di dalam ‘permainan’, manusia juga benar-benar diuji. Allah sebagai pihak yang lain, juga memainkan peran-Nya, meskipun Allah kerapkali membuat banyak gerakan-gerakan (=rahmat) yang tak terduga. Ketakterdugaan ini juga menunjuk pada situasi di mana, seringkali manusia menemui ‘jalan buntu’ di dalam hidupnya, yakni situasi di mana manusia ‘merasa’ ditinggalkan oleh Allah (misalnya dalam menjawab masalah penderitaan). Itulah misteri permainan itu. Manusia tidak tahu apa yang dibuat Allah, tapi manusia yakin bahwa Allah tetap terus bermain. Oleh karena itu, yang terpenting dari sisi manusia adalah sungguh-sungguh bermain, dan terus bermain sampai akhir hidup.
Lewat permainan itulah, manusia bertanggungjawab atas hidupnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa iman bukan berarti ‘aku manut’, tetapi mau berubah dari hari ke hari.

Kristus dalam pembinaan itu
Proses keberimanan manusia menandakan adanya sejarah iman. Bagi orang kristen, sejarah iman itu belum penuh. Sebab kepenuhannya ada dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, keberimanan orang kristen berfokus dalam pribadi Kristus.
Kristus adalah komunikasi Allah. Kristus menjadi cara sekaligus menjadi model dalam keberimanan orang kristen. Dengan keterlibatan Kristus dalam hidup, kita akhirnya diundang masuk ke dalam pusaran arus Allah.
Kristus menjadi cara keberimanan kita, dan oleh karenanya, hidup Yesus menjadi semacam model dalam keberimanan kita. Yesus adalah juga manusia yang ikut ambil bagian dalam permainan bersama Allah. Dalam permainan itu, Yesus bergulat dan secara kontiniu berproses mencari dan menangkap Allah. Bahkan sampai wafat-Nya di kayu salib, pencarian itu tak pernah ada kata akhir. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46)
Selain itu, meski Yesus adalah komunikasi Allah sendiri —atau dengan kata lain Yesus adalah Wahyu—, selama hidup-Nya Yesus sama seperti manusia, menjadi pendengar Sabda Allah sendiri. Sikap-Nya inilah yang membuat-Nya hidup dalam masterplan Allah. Itu berarti pula bahwa Yesus selalu membuka diri-Nya pada rahmat (=permainan) yang dibuat Allah.

Lalu, apakah hidup dan doa kita mulai dengan nol?
Setelah melihat bagaimana proses keberimanan manusia, pada bagian ini, kami hendak menanggapi pengalaman iman yang unik, yang dialami oleh Andre Sulistyo (yang dimuat di majalah Utusan, edisi Agustus 2008)
Pada dasarnya, posisi/titik hidup yang dialami Andre tidak bisa dikatakan harus mulai lagi dari angka nol. Iman itu adalah proses. Pada titik yang dianggap nol oleh Andre itu justru adalah titik lanjutan, bukanlah titik awal. Sedangkan, menurut kami, angka nol haruslah selalu menunjuk pada mulainya hidup seorang manusia. Posisi angka nol menjadi tepat/benar, jika itu menunjuk pada mulainya kehidupan manusia di dunia, yakni ketika dia dilahirkan. Sementara, hidup yang sedang berjalan, apakah dia dalam krisis beriman atau tidak, tak pernahlah dimulai lagi dari angka nol.
Sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia bergulat dalam imannya. Keadaan sebagai seorang fatalis, tidak berarti dia tidak beriman. Justru di situlah, imannya sedang diuji. Titik nol yang disebut Andre justru bisa dikatakan sebagai ‘puncak hidup’-nya, karena dia sungguh menyerahkan seluruh hidupnya (bdk. Pengalaman St. Yohanes dari salib). Dalam ‘titik nol’ itulah, Allah mewahyukan dirinya, Allah menunjukkan gerakan-gerakan dalam permainan-Nya.
Mesti diakui bahwa anggapan Andre Sulistyo itu merupakan gejala umum yang kerap dialami manusia zaman sekarang, yang melihat hidup itu sebatas keberhasilan. Sehingga, sah-sah saja jika Andre menganggap dirinya mesti memulai lagi dari angka nol. Padahal di samping keberhasilan, hidup itu juga termasuk penderitaan. Itu tampak dari ungkapan ‘keberimanan’-nya. Ada perbedaan tipis antara penyerahan diri dan keputusasaan. “Kalau hari ini Tuhan mau ambil nyawaku, ya silakan!” Maka dari itu, hidup itu tidak bergantung pada iman kita saja. Dalam permainan itu, kita juga bergantung pada Allah yang cuma-cuma memberikan rahmat-Nya.***
Read More...

Rabu, Juni 03, 2009

"Let's bear The FRUIT!"


God has a purpose for our lives and what is that purpose very simply, it is to bear FRUIT.
If we bear fruit, we are of value to him. God the Father is the vinedresser, and his sole desire is that the branches of the vine might bear fruit, that is how he evaluates them.
Notice what He does.
"I am the true vine and my Father is the vinedresser. He cuts off every branch that does not bear fruit."
In grape vines, 90 - 95% of them is pruning off worthless branches. The reason is, on grape vines, grapes only happen on new growth. Those old branches might look wonderful and leafy but the simple truth is that they will not bear any fruit. So God cuts them off and tosses out all that old stuff so that the new vine branches might be fruit bearing ones. The simple truth is that old branches on a vine take up its nutrients so that new vine branches will only produce poor fruit. That is why old branches are cut off.
This first part that the vinedresser does is the painful to us because he is talking about us as individuals. This passages forces us to ask ourselves: Are we fulfilling God's function for our lives? Are we bearing fruit that will last? Or are we pieces that need to be cut off because we are fruitless?
Before we ask that question further, let me point out something else that the vinedresser does. If he sees a branch bearing fruit, maybe not a lot, but a little, you know what he does to it - this time he does not cut it off, rather he cuts it way down to size.
"Every branch in me that bears no fruit he cuts away, and every branch that does bear fruit he prunes to make it bear even more."
The whole reason behind pruning is FRUIT - not just a little, but a lot of fruit.
"It is the Glory of my Father, that you should bear much fruit, and then you will be my disciples."
Pruning is also done for the purpose of strength. Some long branches couldn't bear any fruit because simply they are not strong enough. Therefore the vinedresser cuts branches short so that when the fruit comes, it will be strong
So the question asks us: Are we BEARING FRUIT? And then: What does it mean to bear fruit?

Let me describe.
1. Fruit never exists for itself. Fruit is designed for others. However you might choose to define fruit - the first and most basic question is this - are you living to serve yourself or are you living to serve God and others?
2. Good fruit is food! This is true of spiritual fruit also, it is for other people to enjoy and grow by, it blesses others, it nurtures them.
3. Good fruit is reproducable - it has the potential when falling onto good soil to reproduce again the same fruit as the original vine. The faith of the ours ought to become the faith of those around us. If not, we will be burned.
This has many applications for our lives. It is very practical. We always live in a time when we are making choices. And so often we make those choices based on abilities, interest, and so on. But how about the question of having a choice in which we intentionally bear fruit for God? How does fruit bearing fit into our plans? How are we going to be living our life for others? How is our life in Christ going to be reproduced in others?
The last question, if we want to bear fruit is - "What is the key to bearing fruit?"
The answer is the wonderful part of this passage. The key to bearing fruit is not in our doing so much, not in our work or activities, the key to the function of bearing fruit is in our RELATIONSHIP with Christ.
"Make your home in me, as I make mine in you. As a branch cannot bear fruit all by itself, but must remain part of the vine, neither can you unless you remain in me. I am the vine, you are the branches. Whoever remains in me, with me in him, bears fruit in plenty; for cut off from me you can do nothing."
Amen.
Read More...

Kamis, April 09, 2009

Percaya Itu Indah

Sudah menjadi kebiasaan jika para bangau selalu berpindah-pindah rumah. Mereka tidak selalu mudah untuk bisa menetap terlalu lama. Mereka selalu tergantung dengan banyak hal. Syukur jika sungai tertentu masih menyediakan ikan-ikan. Tetapi jika tidak, mereka mesti siap-siap membanting tulang mengepakkan sayap pergi ke daerah lain.
Sebaliknya, di sisi dunia berbeda, hiduplah semut-semut. Mereka juga bekerja keras. Pantang menyerah demi sanak keluarga mereka. Siapa yang ragu dengan ketekunan semut dalam jerih lelahnya. Tak banyak mahluk lain yang bisa meniru hidup mereka.
Namun, suatu kali bencana menimpa negeri para semut. Bahan makanan semakin habis. Sementara itu, lingkungan mereka tidak mungkin lagi menyediakan yang baru. Musim kering sudah terlalu lama mencengkeram kehidupan mereka. Mereka hanya tinggal bergantung pada jasad-jasad renik mahluk lain yang tidak bisa bertahan. Tikus matipun sudah cukup bagi mereka.

Suatu ketika sampailah para bangau ke negeri mereka. Mungkin sekedar untuk melepas lelah, setelah terbang beratus-ratus kilometer menyeberangi lautan. Mungkin mereka juga sedikit kesal, mengapa tanah yang mereka jumpai setelah jauh terbang, hanyalah tanah kering, yang tidak bisa memberikan apa-apa. Meskipun demikian, mereka tetap bahagia, karena bisa bertemu dengan para semut.
Bangau banyak bercerita kepada semut tentang tempat-tempat di mana mereka pernah tinggal. Ada tempat yang subur, ada tempat yang banyak makanannya, dan sebagainya. Para semut tertegun dengan cerita bangau. Tapi, mereka ragu, mereka tidak percaya, apakah ada daerah subur lain yang melebihi rumah mereka sekarang.

Bangau terus mencoba meyakinkan para semut, kalau daerah subur yang lain itu ada. Kalau mau, semut bisa ikut dalam perjalanan para bangau selanjutnya. Tapi, semut tetap yakin pada pendiriannya. Mereka tidak percaya jika masih ada daerah lain yang bisa subur. Maka, ajakan para bangau sia-sia belaka. Mereka melanjutkan perjalanan, sementara para semut tetap hidup dalam kesusahan mereka.
Seringkali, kita bersikap seperti semut itu. Kita terkungkung dengan keyakinan kita. Kita tidak mudah percaya dengan pendapat orang. Kita begitu saja bersikap keras kepala. Padahal, ada banyak kebenaran lain di luar diri kita. Ada banyak kesempatan lain yang mungkin menawarkan kehidupan lebih baik bagi kita. Baik jika kita mulai membuka diri. Memberi ruang bagi banyak hal di luar diri kita. Itu tidak berarti kita membuka celah kegagalan kita, tetapi lebih-lebih untuk memperkaya pemahaman kita.

“Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahami!”
(si non crederitis, non intelligetis!—Yes 7,9)
Read More...

Selasa, Februari 03, 2009

Learn from the Life of the Martyrs

On May 29th, 1977, Oscar Romero wrote this:
Persecution is necessary in the church. Do you know why? Because the truth is always persecuted. Jesus said, “If they persecute me, they will also persecute you” (John 15:20). And because of this, when one day people asked Pope Leo XIII, that incredibly intelligent man of the beginning of our century, what is it that sets apart the true Catholic Church, the pope said the four qualities that are already known: one, holy, catholic and apostolic. The pope said to them, “Let’s add another: persecuted.” The church that lives up to its duty cannot exist without being persecuted.

Today we celebrate some Jesuit martyrs. John de Britto is one of them. As a martyr, de Britto was also persecuted in his life.
Father de Brito worked in India. The place is called as Madura, in the regions of Kolei and Tattuvanchery. When he studied the India caste system, he discovered that most Christians belonged to the lowest and most despised caste. He thought that members of the higher caste would also have to be converted for Christianity to have a future. He became an Indian ascetic, a pandaraswami since they were permitted to approach individuals of all castes. He changed his life style, eating just a bit of rice each day and sleeping on a mat, dressing in a red cloak and turban. He established a small retreat in the wilderness and was in time accepted as a pandaraswami. As he became well-known, the number of conversions greatly increased.
He was made superior in Madura after 11 years on the mission, but he also became the object of hostility from Brahmans, members of the highest caste, who resented his work and wanted to kill him. He and some catechists were captured by soldiers in 1686 and bound in heavy chains. When the soldiers threatened to kill the Jesuit, he simply offered his neck, but they did not act. After spending a month in prison, the Jesuit captive was released. When he got back to Madura, he was appointed to return to Portugal to report on the status of the mission in India. When he reached Lisbon ten months later, he was received like a hero. He toured the universities and colleges describing the adventurous life of an Indian missionary. His boyhood friend and now-king, Peter II noticed how thin, worn and tired his friend looked; he asked him to remain at home to tutor his two sons, but de Brito placed the needs in India above the comfort of the Portuguese court.

De Brito sailed again to Goa and returned to the mission in Madura when he arrived in November 1690. He came back despite a death threat that the raja of Marava had made four years earlier. The Jesuit missionary travelled at night from station to station so he could celebrate Mass and baptize converts.

His success in converting Prince Tadaya Theva indirectly led to his death. The prince was interested in Christianity even before the prayers of a catechist helped him recover from a serious interest. De Brito insisted that the prince could keep only one of his several wives after his baptism; he agreed to this condition, but one of the rejected wives complained to her uncle, the raja of Marava who sent soldiers to arrest the missionary on January 28, 1690. Twenty days later the raja exiled de Brito to Oriyur, a neighboring province his brother governed. The raja instructed his brother to execute the troublesome Jesuit who was taken from prison on February 4 and led to a knoll overlooking a river where an executioner decapitated him with a schimitar."
And now, what is the values of the life of the martyrs?
For us, the life of the martyrs explain how they bear their cross in their lives.

We know, Everybody has their cross? Is it heavy or not, but all are cross?
I often heard from many people about their life, their struggle, or their cross.
One day, A woman shared to me about her experience’s life.
She was a single parent. Her husband died when her oldest children stay in elementary school and her youngest children was two years old. She had 6 children. Since Her husband died, she began work.
Everyday she had to raise money for her family. She had to give the school fee for her children.
We can imagine how heavy her life. Even now, she still in difficult situation, although all her children have got marriage and have family.
All her life full of heavy cross. But, in that situation, that woman still happy.

But, another story, I have friend who don’t has a heavy burden.
He always has happy life. He had not to raise money. His parents is rich.
Does he has a cross?
I don’t know, may be he had small cross.

How about you?
Are You like that woman or my friend?
We have our own cross? Is it heavy or not, each one have their cross!
But, sometimes we try run away from our cross. Even, if allowed, we ask to God for small cross.

In my reflection, we can’t run away from our cross. We can’t ask for small cross.
Cross is God’s graces.
Cross is in our daily life. And Cross is not hidden outside ourself.
But remember, Cross is not happened because our mistakes.
As Christian we all have cross.

I have ilustration
Suppose someone gave you a dish of sand mixed with tiny iron filings.
You comb your fingers through the sand, but you don’t see any filings.
Then you take a small magnet and comb it through the sand.
Suddenly it is covered with filings.

Our cross is like a dish of sand. And God’s graces are like tiny iron filings.
So, when we combed with magnet and find the God’s graces, we can happy like woman in the beginning my sharing this morning.

On the other hand, Ungrateful people are like your fingers combing the sand.
They combed the “sands of life” with their fingers and found nothing for which to take up the cross.
Amen.

Read More...

Rabu, November 05, 2008

The Feast of All the Saints and Blessed of the Society of Jesus, Nov 5th 2008

Today, we remember all of our brothers who have become companions of the saints in heaven - those who are also recognized as saints and blessed of the Church. 51 have been declared saints, and 151 blessed.
Today’s feast tells us that holiness is our goal in life. When St. Ignatius chose to describe the purpose of The Jesuit Order he used these words: “The end of the society is to devote itself with God’s grace not only to the salvation and perfection of the members’ own souls, but also with the same grace to labor strenuously in giving aid toward the salvation and perfection of the souls of their fellowmen.”

The Jesuits who achieved heaven prove that holiness is within reach and that St. Ignatius did not ask his men to aspire something impossible. During the months he spent on the banks of the Cardoner in Manresa, St. Ignatius experienced God’s extraordinary graces and came to see how the Spiritual Exercises, which he was writing, could be a valid way of achieving holiness.


Individuals do not become holy on their own; God is the source of all holiness. As we praise our Jesuits in heaven today we likewise praise God for all He has done in and through His saints. If the saints achieved anything during their lifetime, it was God who accomplished it. To be holy one must first be humble.
The humility St. Ignatius asks of his followers is the humility that Christ possessed and which the Saints and Blessed of the Society eminently manifested in their lives.
It is sometimes suggested that the saints are really inimitable; for who of us can imitate the courage of Blessed Miguel Pro or the extraordinary patience of St. Alfonso Rodriquez? Perhaps we seek to imitate the wrong things! We can indeed imitate the saints in their humility, seeking to be clothed with the clothing and uniform of Our Lord and to be created as fools as He had been treated. Once we achieve humility, God will then take over and grant courage to his martyrs and patience to his confessors.
Therefore, today’s feast is a feast to encourage all of us who are still working our way to salvation. Holiness is possible to us; and since our Saints and Blessed are in the presence of The Blessed Trinity, these brothers of ours become our intercessors asking God for the graces, strength, and perseverance we need to fulfill our vocation.
Read More...

Senin, Oktober 27, 2008

Tantangan Iman Dalam Dunia Sekuler

Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, keduanya hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Mungkin, kita seringkali membayangkan bahwa manusialah yang aktif, sedangkan dunia adalah yang pasif, yang selalu dipengaruhi oleh keaktifan manusia. Tapi ini hanyalah sebuah kamuflase (keaktifan manusia hanya diartikan sebagai yang bergerak dan dapat ditangkap dengan indera). Padahal sebenarnya duniapun bergerak dan terus berubah, tapi itu tidak mudah ditangkap oleh indera. Sejarah dan kebudayaan yang berubah merupakan pertanda bahwa dunia terus bergerak.

Dunia yang bergerak ini tentunya akan selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, tidak ada manusia yang bisa berlari dari dunia (fuga mundi) semasa hidupnya. Sekalipun ada kelompok yang mengakui diri sebagai kelompok yang menyingkir dari dunia, mereka tidak sadar bahwa tetap masih hidup di dunia, dan dunia menghidupi mereka.
Demikianpun yang dialami oleh iman manusia. Iman tidak bisa lepas dari dunia. Hubungan kita dengan Allah, erat atau renggangkah, tergantung pada situasi dunia. Hubungan manusia dengan Tuhan pada zaman batu akan berbeda dengan manusia pada zaman mesin industri. Maka dari itu, cara pengungkapannya, tuntutan-tuntutan dan tantangannya pun berbeda-beda.
Tulisan ini akan memfokuskan pada topik tentang iman manusia di zaman mesin industri. Pada zaman mesin industri ini, segala teknologi telah mengubah wajah bumi. Dunia khayal yang diangan-angankan telah menjadi kenyataan. Mata telanjang manusia diperjelas daya lihatnya melalui sinar-X dan mikroskop elektronik. Otot-otot manusia diperkuat tenaganya dengan segala macam bentuk mesin. Tampaknya, dari hari ke hari manusia merasa segambar dengan sifat-sifat Allah. Dengan kemajuan teknologi, manusia secara samar-samar merasa banyak tahu, merasa bisa membuat ini-itu, merasa berkuasa.
Ini tentunya sangat mempengaruhi iman manusia terhadap Tuhan. Perhatian manusia mulai bergeser. Ada suatu keyakinan bahwa segala hal yang dulunya tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang dulunya jauh mengawang-awang, karena hanya Tuhanlah yang bisa, kini dengan mudah dijumpai di depan mata. Eksistensi Tuhan digeser dengan dunia ini, di sini dan sekarang. Iman manusia mendapatkan tantangannya. Iman manusia menghadapi kenyataan dunia sekuler. Lalu bagaimanakah sikap iman terhadap tantangan ini? Bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijawab, karena dengan demikian mesti melihat secara keseluruhan, baik dari sisi iman sendiri, maupun dari sisi sekularisasi (dan sekularisme)-nya. Ini adalah bagian dari sejarah manusia, jadi manusialah yang harus menjawab tantangan ini.


Apa itu Iman?
Menurut tradisi Kristen, iman dilukiskan sebagai serah diri, yaitu manusia yang menyerahkan seluruh dirinya dan hidupnya secara bebas (tidak karena terpaksa, melainkan dengan sukarela), dengan budi dan hatinya tunduk kepada kehendak Allah yang mewahyukan. Manusia yang berkata “ya” kepada Allah, bukanlah hanya ucapan bibir saja. “Ya” berarti pembaktian hidup.
Kata bebas yang digambarkan di atas, tidak hanya berarti bebas dalam hal fisik, berpikir dan bebas mengambil keputusan menurut keyakinannya sendiri, melainkan lebih mengikuti suara hati dan menentukan arah hidup sendiri. Dengan bebas manusia memasuki kemerdekaan anak-anak Allah, yakni kemerdekaan seseorang yang dibebaskan dari segala rasa takut dan merasa diri aman dalam tangan dan kasih Allah. Kasih Allah menembus rasa takut. Maka dari itu, iman membebaskan karena memecahkan belenggu ketakutan dan kecurigaan.
Tetapi, kadangkala sifat yang menyeluruh dari iman sulit dimengerti oleh pandangan yang rasional. Padahal rasionalitas adalah unsur hakiki dalam kehidupan manusia. Maka, perlu penjelasan yang matang bagaimana iman itu pun dapat ditangkap tidak hanya oleh hati, melainkan juga oleh budi kita. Ditelusuri lebih dalam, iman merupakan sebuah sikap, maka rasionalitas iman pertama-tama menyangkut motivasi atau alasannya: Mengapa manusia percaya dan menyerahkan diri seluruhnya kepada Tuhan, yang tentunya didasarkan pada pengalaman hidup setiap manusia, yang sifatnya unik dan khusus?
Iman adalah rahmat Tuhan. Dalam perkara iman, Allah berprakarsa lebih dulu. Iman tidak buta, melainkan hidup. Maka, manusia bisa mencapai sikap beriman, karena pengalaman akan Allah dalam hidupnya. Tanpa sebuah pengalaman akan Allah, sulit dipahami bagaimana seseorang bisa berserah diri, tanpa tahu siapa yang menjadi tempat penyerahan dirinya. Dengan demikian, terjawablah bagaimana iman itu diakui dalam hati dan budi.

Apa itu Sekularisasi?
Sekularisasi adalah proses yang membangun fakta dan kebenaran bahwa dunia bukanlah Tuhan dan bukanlah yang ilahi, maka manusia harus memisahkan diri dari-Nya dan mempercayakan diri pada kemanusiaannya. Di dalam dunia, manusia bukanlah obyek, tetapi subyek dan tujuan. Kapasitas manusia bukanlah hanya mengerti dunia saja, tapi juga mampu mengubahnya. Dunia telah berpindah dari tangan Tuhan ke tangan manusia.
Sekularisasi menggeser pusat dan minat manusia dewasa ini dari hidup akhirat kepada hidup ini. Manusia lebih mempedulikan hal-hal yang fana daripada hal-hal yang baka. Masalah-masalah seperti perdamaian, keadilan, kemiskinan, ekologi, pendidikan, dan pengendalian penduduk lebih menjadi pusat perhatian manusia modern daripada masalah keselamatan abadi. Intinya, yang riil dan berarti hanyalah dunia, sedangkan yang lain hanyalah khayalan manusia.
Perlu diperhatikan bahwa sekularisasi sama sekali tidak sama dengan sekularisme. Sekularisasi lebih pada suatu pembedaan antara bidang-bidang keagamaan dengan dunia. Penjelasan yang telah disebutkan di atas, ingin menunujukkan keotonoman manusia dan dunia sebagai tempat tinggalnya. Atau dengan kata lain, sekularisasi adalah dunia yang otonom, yang dibangun oleh manusia, yang tidak menunjukkan kerajaan Allah, tapi kerajaan manusia.
Sedangkan sekularisme adalah suatu ideologi bahwa dunia ini sebagai keseluruhan hanya dapat dimengerti tanpa hubungan apapun dengan suatu penyebab di luarnya (Sang Penciptanya). Dunia ini dapat dibangun tanpa harus mempedulikan hal-hal yang transenden. Inilah suatu close world view yang menyangkal adanya Sang Pencipta. Dalam sekularisme, iman kepada Tuhan tidak memiliki tempat karena tidak dibutuhkan lagi.
Tampak bahwa ada hubungan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi bisa dilihat secara positif, sedangkan sekularisme lebih bermakna negatif. Tapi sekularisasi bisa menjadi suatu proses menuju sekularisme.

Bagaimana Hubungan antara Iman dan Sekularisasi (atau juga sekularisme)?
Pertama-tama, akan dilihat dari sudut sekularisasi yang memandang iman. Sekularisasi melihat iman yang ada dalam agama sebagai hal yang lebih berminat kepada hidup yang lain, dunia yang lain, dan waktu yang lain. Maka harus diadakan pembedaan antara dunia yang nyata-profan, dengan dunia lain yang suci dan keramat (agama). Bagi kebanyakan orang dalam dunia sekuler, kegiatan dalam keagamaan yang menyangkut iman adalah sebuah kegiatan yang tidak real (misalnya, sembah sujud, perayaan liturgis) dibandingkan dengan kegiatan duniawi (sekuler). Demikianpun juga dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan, pengetahuan sekuler adalah pengetahuan yang diperoleh dengan usaha manusia, melalui pendayagunaan daya-daya intelektual alami manusia yang berupa pengamatan, pengingatan dan penalaran. Tampak bahwa semuanya bergantung pada hal-hal yang empiris.
Di dalam dunia sekuler manusia dipandang berotonomi. Kalaupun referensi samar-samar kepada Allah diperbolehkan, sebenarnya tidak ada pengakuan real terhadap hal yang lebih tinggi dari manusia. Mentalitas manusia sekuler sama sekali tidak mendukung orang mencapai iman kepercayaan. Mereka yang memilih untuk beriman akan berenang dengan kuat melawan arus kuat persuasi manusia, sebab iman dalam zaman ini barangkali akan kelihatan sebagai peninggalan masa lalu saja.
Sama halnya dalam sekularisme, tetapi lebih parah lagi, karena menisbikan iman dan agama. Dalam sekularisme, keyakinan dan nilai-nilai keagamaan samasekali tidak boleh berperan. Mereka melihat bahwa iman hanya mempedulikan Allah dan tidak mempedulikan manusia sama sekali. Maka, semuanya harus dinilai, diatur, dikerjakan tanpa sama sekali mengindahkan suatu realitas adi-kodrati, artinya yang melampaui batas-batas dunia.
Kedua, iman yang memandang sekularisasi (sekularisme). Untuk memahami setepat mungkin sikap iman terhadap sekularisasi, terlebih dahulu kita harus mengenal apa sasaran yang hendak dicapai kedua pihak. Dari uraian sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai sekularisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom (berdaulat). Sedangkan tujuan iman dalam agama adalah memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat (sama seperti sekularisasi). Tetapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang ada, perbedaannya terletak pada cara kerjanya. Sekularisasi semata-mata menggunakan bukti empiris yang tersedia di dunia ini. Sedangkan iman dalam agama mendayagunakan kekuatan supra-empiris yang datang dari dunia lain. Sebelum masa Fajar Budi, perbedaan cara kerja ini bergabung dalam satu kesatuan, yaitu kesatuan agama. Namun sesudahnya, menjadi dua kekuatan yang terpisah, bahkan sebagai dua gerakan yang saling berlawanan. Dari kenyataan ini, menjadi jelas bahwa sikap iman dalam agama terhadap sekularisasi bersikap mendua, antara mendukung dan menentang. Sikap mendukung dapat dilihat dari segi pengajarannya. Iman berusaha menjelaskan ajarannya secara rasional dengan bantuan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris. Sedangkan sikap menolak, terutama menolak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan ortodoksi serta kewibawaan. Apalagi sikap sekularisme yang menisbikan eksistensi Tuhan, iman akan menolaknya dengan tegas.

Sebuah Refleksi: Bagaimana menyikapinya?
Sudah diungkapkan pada awal tulisan bahwa manusia dan dunia berjalan berdampingan dan saling mempengaruhi. Antara keduanya telah menjadi bagian dan tidak bisa dipisahkan. Maka, yang ada hanya dukungan atau pertentangan (bukan pemisahan). Begitupun dengan iman, sekalipun ada pertentangan, yang menimbulkan corak negatif bagi hubungan manusia dengan Tuhan, tetap ada aspek positif di dalamnya.
Pertama, bisa dikatakan, sebagai tantangan. Dengan adanya tantangan, iman yang sebelumnya biasa-biasa saja, pasif (tidak ada hambatan), dibangkitkan lagi dan dipertanyakan lagi visinya. Sebagai contoh, pengalaman-pengalaman generasi muda ketika mewarisi iman dari orangtua mereka. Iman mereka bisa hanya jatuh pada suatu pengajaran atau pemahaman dan teori saja. Ini suatu iman permukaan atau bahkan suatu pendangkalan. Justru dengan adanya tantangan, seluruh daya-jiwa mereka digerakkan, dan mau tidak mau, iman mereka dibangkitkan atau bahkan dipertanyakan. Karena adanya tantangan, mereka mendapatkan pengalaman, terutama pengalaman akan Tuhan (iman mereka dikuatkan).
Kedua, dengan adanya tantangan, terkhusus tantangan iman dalam dunia sekular, mesti akan muncul pertanyaan, mengapa terjadi perubahan dunia menuju sekular? Ini adalah tanda-tanda zaman. Dengan pertanyaan ini, kita akan berefleksi dan diajak untuk bersikap dengan baik dan bijaksana. Kita akan menemukan sebab musabab terjadinya sekularisasi, yang pada dasarnya terjadi di dalam Kekristenan Eropa pada zaman Fajar Budi, di mana pada saat itu manusia mulai menemukan banyak hal, dan sesuatu yang tidak mungkin telah menjadi mungkin bagi manusia. Segala yang jauh sebenarnya ada dan nyata di hadapan manusia. Sebaliknya, iman pada waktu itu tidak menjawab sama sekali kebutuhan manusia karena terlalu adi-kodrati, transenden atau bahkan bersifat mistis saja. Akhirnya, iman mulai dipisahkan atau bahkan ditinggalkan.
Apakah dengan kenyataan ini, iman (yang ada di dalam agama) memusuhi dunia, yang telah mengkhianatinya. Bukan suatu tindakan yang bijaksana. Inilah suatu tanda-tanda zaman, yang pada intinya ingin menggerakkan iman ke arah yang lebih maju lagi, sejajar dan berdampingan dengan dunia sekular. Lalu, bagaimanakah caranya? Konsili Vatican II telah menjawabnya. Gaudium et Spes adalah cerminan sebuah jawaban yang menanggapi kenyataan dunia dewasa ini. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang adalah juga milik murid-murid Kristus. Berikutnya, ini menandakan dimulainya suatu dialog (aggiornamento terus-menerus) antara iman Kristiani dengan dunia sekular. Dialog ini terjadi bukan karena ada sesuatu yang berharga dari iman yang ingin dikatakan pada dunia, melainkan iman Kristiani harus memperhatikan diri mereka di tengah-tengah realita yang ada, bukan malahan tertutup dengan sekularisasi. Lebih jauh, dialog ini adalah dialog dua sisi, di mana keduanya tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan dan memahami. Dialog ini juga tidak hanya teori, interpretasi, tapi juga harus sampai ke level kerjasama.
Mungkin akan sulit membayangkan dialog seperti apa itu sebenarnya. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan yang berdialog dengan iman. Produk-produk yang dihasilkan olehnya hendaknya diarahkan kepada kebutuhan manusia, bukan malahan sebaliknya, manusia dijadikan budak (misalnya TV, komputer, dsb). Ini maksudnya adalah semata-mata demi hari depan manusia juga. Cara pandang yang positif ini, muaranya akan membawa manusia kepada kesadaran bahwa Allah ada di dalam segala, dan segala ada di dalam Allah (Allah yang konkret).
Ketiga, menanggapi aspek-aspek negatif dari sekularisasi atau bahkan sekularisme, sebenarnya iman manusia saat ini berada dalam suatu proses pemurnian. Pada paragraf pertama refleksi ini, telah diungkapkan sebagian. Jelasnya, saat ini manusia berada dalam tahap krisis. Krisis bukanlah suatu hal yang negatif, justru suatu hal yang mencoba memurnikan. Perlu dipahami bahwa akibat-akibat sekularisasi yang tidak diinginkan hanyalah akibat-akibat samping saja. Akibat samping itu bukan kesalahan proses sekularisasi itu sendiri, melainkan kesalahan manusia yang tak mau atau tak mampu menanggapinya. Misalnya kemiskinan, sebenarnya ini terjadi karena jarak antara mereka yang berpengetahuan dan berketerampilan lebih serta mereka yang hanya berpengetahuan dan berketerampilan sedikit makin lama makin lebar; hanya mereka yang mempunyai dana yang bisa mempunyai kesempatan. Akibat selanjutnya, yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Muncullah pula pemahaman bahwa agama adalah candu, seperti yang diungkapkan Marx (yang juga mengusahakan perjuangan kelas) dan ‘Tuhan sudah mati’ oleh Nietsche. Ada semacam ketidakmampuan dan sikap pesimistis dari manusia.
Maka dari itu, kita mesti menyadari bahwa menjadi manusia dan mengalami kepenuhan sesudahnya adalah suatu proses. Ini adalah salah satu cara Tuhan dalam mewahyukan dirinya, dan memang cara ini merupakan suatu misteri. Maka perlu waspada terhadap penggambaran yang salah terhadap Allah, karena melalui inilah manusia mudah menjadi salah dalam menafsirkan realita yang ada.
Dan yang keempat, perlu dihindari segala perhatian yang hanya dipusatkan pada agama (aspek ritual) saja. Padahal agama, dengan segala peraturan dan kegiatannya, hanya merupakan sarana dan jalan memperkuat dan menyokong iman, yang harus diwujudkan dalam kehidupan yang nyata. Yang pokok bukan agama, melainkan iman sebagai sikap dan orientasi dasar. Yang penting bukan iman yang formalitas, melainkan iman sebagai dasar dan dorongan hidup yang nyata, sebagai sikap dasar, dan sebagai sumber kehidupan.
Dengan demikian akan terjawablah tantangan dunia sekular itu dengan sikap baik dan bijaksana.***
Read More...

Sabtu, Oktober 04, 2008

Pelangi di Matamu


Hal Menghakimi (Luk 6:39-42)
Syaloom! Yesus dalam bacaan Injil kali ini, menyampaikan perumpamaan yang terasa begitu dekat sekali dengan keseharian kita. Yakni perihal menghakimi. Mungkin tanpa disadari, bisa setiap hari, lewat obrolan biasa, kita dengan mudah mengkritik orang lain atau bisa juga yang hampir mirip dengan mengkritik: ngrasani orang lain.

Kita tahu: selumbar itu serpihan kecil dari sebuah benda, sedangkan balok adalah tiang kayu yang biasanya dipakai untuk menahan atap, jadi ukurannya lumayan besar. Bila perumpamaan ini ditafsirkan secara harafiah, akan terkesan lucu? Jangankan untuk melihat, mengangkat kepala pun akan sulit, sebab beban balok yang begitu berat sedang berada di dalam mata. Kita harus berjuang keras dulu untuk mengeluarkan balok dari mata, baru dapatlah melihat dengan jelas selumbar di mata orang lain. Haha…

Ternyata, perumpamaan ini punya maksud lain. Kedua orang yang digambarkan oleh Yesus ini berada dalam kondisi yang sama: masing-masing perlu membenahi dirinya. Pertama-tama untuk membenahi diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian dapat membenahi diri orang lain. Di sini juga tidak ada larangan untuk ”membenahi” atau mengkritik orang lain.

Tetapi kadang kita mungkin bisa bertindak sebaliknya, “Akh, biarlah, kan hanya selumbar kecil saja, pasti tidak akan berdampak besar.” Sekali-kali tidak, karena mata adalah bagian sensitif. Seperti orang kelilipan. Kemarin pas futsal saya kelilipan. Risih sampai malam hari. Yesus mengatakan bahwa selumbar pun perlu dikeluarkan. Jadi selumbar di mata orang lain harus tetap dikeluarkan, karena itu adalah tanggung jawab untuk menegor dan mengoreksi agar hidup kita bisa menjadi lebih baik. Bukan untuk menjatuhkan, namun untuk tidak membiarkan kesalahan itu terjadi berlarut-larut. Jika kita membiarkan, berarti kita ikut ambil bagian dalam proses kesalahan itu.

Dalam kitab suci kita bisa melihat bagaimana teguran-teguran yang sangat keras disampaikan untuk maksud baik:
• Samuel terhadap Saul karena ketidaktaatannya. “Kata Samuel kepada Saul: Perbuatanmu itu bodoh! Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu.”
• Yesus terhadap Petrus yang sok mau jadi pahlawan. “Enyahlah Iblis, Engkau suatu batu sandungan bagiKu, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Contoh-contoh teguran dalam kitab suci itu otentik, sesuai kenyataan dan berisi kebenaran yang disampaikan dengan kasih (truth in love). Kebenaran yang disampaikan mungkin menyakitkan, namun motivasi dan tujuannya dilandasi oleh kasih. Teguran tersebut juga dilandasi oleh pertimbangan yang matang, bukan asal ngomong. Juga bukan tindakan yang emosional, tapi tindakan yang matang dan dalam kasih.
Setelah kritik dan teguran tersebut disampaikan, kita melihat bahwa mereka tetap mengasihi orang yang mereka kritik tersebut. Samuel tidak lantas menjadi musuh Saul. Yesus tetap mengasihi Petrus, bahkan memperbaiki hidupnya.

Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan kritik/teguran dan mengasihi:
1. Uncritical lover (mengasihi tanpa mengkritik).
Orang yang mengasihi tanpa memberikan kritik biasanya adalah orang yang taat secara mutlak kepada orang lain (pemimpinnya) tanpa berpikir atau bertanya. Ia hanya menyampaikan hal-hal yang enak didengar saja! Ini bisa terjadi karena ia sangat mengagumi orang tersebut dan percaya bahwa segala sesuatu yang dikatakan atau dilakukan orang tersebut pasti benar (pakewuh), atau karena sikap yang masa bodoh, takut atau tidak mau terlibat dalam masalah.
2. Unloving critics (mengkritik tanpa mengasihi).
Ini adalah orang yang hobinya mencari kesalahan orang lain. Orang ini selalu melancarkan kritik-kritik yang pedas dan tajam, dengan tujuan untuk mendiskreditkan orang lain, mengambil posisi sebagai oposisi/penentang. Setiap keputusan, pandangan, tindakan orang lain pasti ditentang, hanya karena ia ingin menentangnya sekalipun tanpa alasan yang tepat.
3. Critical lover (mengasihi dengan mengkritik).
Mengasihi orang dengan memberikan kritik dan teguran yang positif, konstruktif, meskipun ada resiko disalahmengerti oleh orang yang dikritik.

Kita memang tidak pernah 100% benar dan tidak luput dari kesalahan, namun kita mempunyai tanggung jawab moral untuk menegor, mengkritik hal-hal yang tidak benar! Jangan kita menunggu sampai kita sempurna dulu di seluruh kehidupan kita, baru kemudian mengoreksi orang lain. Jangan-jangan sampai mati pun kita tidak pernah mengoreksi orang lain. Menegor adalah bukti kasih, dengan begitu kita bisa menghindarkan orang lain tergelincir. Amin.
Read More...