Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, Maret 27, 2011

TUKANG BECAK (sebuah cerpen)

(Cerpen ini selain saya posting di blog ini, juga saya kirim ke Majalah Mingguan Hidup, dan diterbitkan oleh majalah tersebut tanggal 8 Mei 2011. Selamat membaca!)

Sungguh menyebalkan! Beginilah resiko naik kereta turun di stasiun Tawang dan pas hujan deras. Bukannya disambut dengan suasana yang segar karena bisa liburan pulang ke rumah, tetapi malah dihadang oleh kekalutan kota tua, yang tiba-tiba menjadi seperti kolam kubangan raksasa.
Pagi itu, kira-kira pukul 4, aku tiba di kota kelahiranku. Sudah hampir 2 tahun ini aku tak sempat pulang ke rumah. Ada banyak alasan. Entah karena banyak kerjaan di Jakarta, entah banyak masalah, ataupun rasa enggan menghamburkan uang tabungan. Namun, karena sudah untuk sekian kalinya mama memintaku untuk liburan, maka kali ini aku pun mau menurutinya.
Seperti biasanya, para tukang becak langsung menyerbu masuk ke peron, menawarkan diri untuk membawakan barang bawaan.
“Mas, mau ke mana?” “Di luar banjir, naik becak, Mas!” “Mau diantar ke mana, Mas?” Sebegitu banyaknya orang yang menawarkan jasa untuk mengantarkan penumpang keluar dari stasiun ini. Semua orang ditawari. Mau tidak mau, semua pasti akan menggunakan jasa mereka. Tidak ada pilihan lain. Kecuali mereka yang dijemput keluarga. Tapi, aku tidak!

Aku sebenarnya benci dengan suasana seperti ini. Apalagi, sangkaku, sebagian besar mereka itu bukanlah orang yang baik-baik. Siapa yang tidak tahu kawasan kota tua semarang? Di beberapa tempat, di malam hari, menjadi daerah yang sangat rawan. Aku yakin mereka adalah bagian kehidupan kota tua yang sangar itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah minta papa untuk menjemput. Tapi, dia tidak bisa. Kakinya sakit, asam uratnya lagi kambuh. Maka, aku harus memilih salah satu dari mereka.
“Ke Dr. Cipto berapa, Pak?”
“Biasa, Mas! 10 ribu saja!”
“Ah, koq mahal amat… 5 ribu saja. khan cuma dekat situ… gak ada 1 km.”
“Ini khan hujan, Mas… jalannya sulit, air tergenang di mana-mana.”
“Pokoknya kalo tidak 5 ribu, saya tidak mau.” Aku berpaling, sambil mencoba mencari-cari becak yang lain.
“Mari, Mas!” sebegitu cepatnya bapak tadi menarik tasku, dan kemudian mempersilakan aku naik ke becaknya.

Aku begitu senang, karena penawaranku diterimanya. Tak lama kemudian, kayuhan bapak itu mulai menggerakkan roda becak. Sementara aku menikmati ketenangan karena terhindar dari air, aku mengajak ngobrol bapak tadi.
“Kalo boleh tahu, Bapak orang mana ya?”
“Saya itu orang Salatiga. Keluarga saya ada di sana,” jawabnya.
“Lha, bapak apa tidak pernah pulang ke rumah?”
“Sesekali saja pulang. Biasanya hari sabtu malam. Tapi, itu tidak tentu. Tergantung penghasilannya berapa setelah kerja seminggu. Sayang kalo uangnya habis untuk ongkos bis.”
“Putra bapak berapa?”
“Saya punya 4 anak. Yang besar kelas 1 SMA. Yang kedua kelas 2 SMP. Yang satunya kelas 4 SD dan yang kecil masih umur 3 tahun.”
“Bapak, di Semarang tinggal di mana?”
“Boro-boro punya kontrakan, Mas. Untuk makan harus menyisihkan uang secukupnya. Kalo tidak seperti itu, bagaimana saya bisa bawa uang untuk keluarga.”
“Lho, terus tidurnya di mana?”
“Tergantung. Tapi biasanya saya tidur di stasiun. Di atas becak sudah nyaman koq.”
“Ini becak Bapak, bukan ya?”
“Bukan! Ini becak juragan. Per hari saya mesti setor 10 ribu.”
Tak terasa, kayuhan becak bapak tadi sudah mengantar aku persis di depan gang masuk rumahku. Aku minta diturunkan di depan portal saja, karena memang tidak mungkin untuk menerobos masuk. Biasanya portal baru dibuka oleh penjaga sekitar jam 6 pagi. Aku ambil uang 10 ribuan, dan kuberikan ke bapak itu.
“Ini kembaliannya, Mas!”
“Gak usah, Pak! Ambil saja semuanya!”
“Maturnuwun!”
“Sama-sama, Pak!”
***
Seharian aku tidak beranjak dari tempat tidur. Papa-mama senang sekali melihat kedatanganku. Seperti pucuk dicinta, ulam tiba. Kerinduan mereka benar-benar terobati. Mereka inginnya siang tadi aku sudah bangun dan ingin bertanya banyak tentang apa saja kegiatanku selama ini di Jakarta. Tapi aku tak begitu peduli. Aku tetap saja di dalam kamar. Namun sore ini, aku dipaksa bangun oleh mama. Kebetulan ini Sabtu sore.
“Ayo ke Gereja. Papa-mama dan adikmu akan ke Gereja sore ini, soalnya besok siang ada undangan mantenan di PRPP.”
Berat rasanya untuk melepas bantal. Apalagi, di Jakarta aku juga jarang pergi ke gereja. Bagaimana mau pergi ke gereja? Kadang hari sabtu saja aku masih di kantor. Hari minggu sepertinya benar-benar barang langka yang sayang untuk dibuang, kecuali untuk bermalas-malasan di tempat kos.
“Ayo, 15 menit lagi, papa sudah mau jalan lho!”
Mendengar suara terakhir dari mama, sedetik aku berpikir.
“Iya, ya! Mending aku berangkat ke Gereja saja. Supaya mama tidak bertanya-tanya soal apakah aku sering ke Gereja atau tidak selama di Jakarta.” Selama ini aku memang selalu bersilat lidah dengan mama lewat telpon. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak pernah lupa ke gereja. Padahal kalau dihitung-hitung, mungkin selama 2 tahun ini aku ke gereja cuma 10 kali.
***
Baru saja aku selesai doa sehabis menerima komuni, tiba-tiba mataku tertabrak dengan sesosok pria yang sedang berjalan persis di samping barisan bangkuku. Aku masih ingat. Rasanya belum lama ketemu bapak ini. Iya, benar! Persis baru tadi pagi aku ketemu bapak ini. Dia tukang becak yang mengantarku dari stasiun.
Setelah berkat penutup, aku bergegas keluar Gereja dan mencari Bapak itu. Aku mencari ke sana-ke mari. Sampai akhirnya aku menemukan Bapak tadi persis berada di dekat pintu gerbang Gereja. Aku mendekat ke sana.
“Pak, masih ingat saya?”
“Masih koq, Dik! Khan baru pagi tadi kita ketemu”
“Lho, bapak ke Gereja ya?”
“Iya, saya orang Katolik. Sudah dua bulan ini saya banyak membantu di Gereja setiap sabtu sore. Saya ikut misa, sekalian membantu satpam untuk jaga parkir. Cari uang tambahan sedikit. Tapi, setelah semua selesai, nanti saya langsung ke Salatiga. Sudah 3 minggu saya tidak pulang.”
“Kalo boleh tahu, nama Bapak siapa?”
“Nama saya Pak Harno! Lha adik namanya siapa?”
“Panggil saja saya Widi, Pak!” Tiba-tiba mama memanggilku untuk segera masuk ke mobil.
“Ok, Pak. Sampai ketemu lagi,” sapaku kepada pak Harno.
Ketika mobilku sampai di portal persis di depan pak Harno, Aku memberikan 2 lembar uang kertas, 10 ribu untuk parkir dan 50 ribu langsung kuberikan ke Pak Harno.
“Ini untuk bapak. Buat oleh-oleh untuk keluarga di Salatiga. Salam ya, Pak!”
Dalam perjalanan pulang aku merenung. Seorang Pak Harno yang telah bekerja begitu berat dan keras, nyatanya dia masih tetap setia untuk pergi ke Gereja, mengikuti Ekaristi, dan bertemu Tuhan. Sungguh berbeda dengan aku. Karena alasan capek bekerja, aku lebih sering tidak pergi ke Gereja. Untuk satu hal ini aku masih berhutang pada Pak Harno. Minggu depan, kalo bertemu lagi, aku akan bertanya, rumahnya di Salatiga di sebelah mana. Toh Semarang-Salatiga tidak jauh. Sekali-kali aku akan main ke sana.***

Semarang, Januari 2011
Read More...

Selasa, September 30, 2008

Emmaus 21


Hujan tidak juga kunjung reda. Hawa dingin semakin menyengat. Dengan berbekal cahaya temaram lampu taman, aku mencoba berjalan menyisir gang, dengan tujuan sebuah kamar di bilangan bangunan tua. Kamar nomor 21, tujuanku. Kira-kira, delapan meter di muka kamar itu, aku disambut dengan sebuah ukiran kayu besar yang menempel pada dinding di sebelah kiri. Dari ukiran itu terbaca, “Dengan langkah berat, aku sampai di Emmaus. Mataku terhalang seperti dahulu pada murid-murid-Nya. Namun, hatiku berkobar karena Dia di Emmaus.” Samar-samar, aku masih bisa membacanya, dan ukiran itu memperingatkanku bahwa aku telah memasuki bangunan yang begitu luas dan besar ini. Inilah wisma Emmaus, di mana romo-romo yang sudah sepuh tinggal dan bekerja sebagai pendoa sambil menantikan hari terakhir mereka.

Beberapa langkah di depan pintu Emmaus 21, di mana daun pintunya terbuka setengah, bau harum gaharu sudah menusuk hidungku. Jam 2 pagi ini, aku dibangunkan oleh temanku, bahwa ada berita berkabung, “Romo Topo meninggal!” Sungguh, suasana sedingin ini membuat kulitku merinding untuk memasuki kamar itu.
Sejurus tanganku membuka daun pintu itu, aku terkejut karena bed yang biasanya berada di sisi lain dari kamar berbentuk L ini, kini sudah berpindah ke tengah kamar, persis satu setengah meter di dekat pintu. Di atas bed itu, tampak seorang terbaring tak bergerak dan dari kaki hingga bahunya telah diselimuti kain putih. Bed itu terlalu besar untuk ukuran orang yang terbaring di atasnya. Di ujung bed, di dekat kaki, tertancap tiga batang gaharu di sebuah gelas yang berisi beras. Dari situlah bau harum tadi berasal. Di samping bed duduklah sendirian seorang laki-laki dengan sehelai kapas di tangannya.
Aku mendekati bed, dan perlahan-lahan ada bau aneh lain yang menyeruak masuk ke hidungku. Bau ini ikut tercampur dengan harumnya gaharu. Aku mencoba mencari dari mana asalnya. Di sebelah kiri pintu, ada sebuah lemari yang dipenuhi dengan perlengkapan pengobatan. Di bagian atas terdapat jarum suntik, botol infus, stetoskop, bejana aluminium, dan beberapa botol kecil yang berisi cairan suntikan. Di bagian bawah terdapat kain-kain putih dan beberapa pakaian. Tapi, bukan itu sumber bau aneh itu, karena bau obat tentu saja khas dan berbeda dengan bau aneh yang tercium olehku.
Arah pandanganku bergeser ke kanan dan mencoba menyisir ruangan itu. Pandanganku tertabrak pada sebuah TV 21 inchi merk Sony dan seperangkat telepon. Kemudian aku mencoba memalingkan ke sisi lain dari ruangan, di mana, sehari yang lalu, bed yang sekarang di tengah kamar, berada di situ. Bagian ini khusus untuk perawatan bagi romo-romo sepuh yang berada dalam kondisi kritis. Memang demikianlah Emmaus 21 digunakan, selain untuk kamar bersemayam bagi yang sudah meninggal, sehari-harinya digunakan juga untuk perawatan khusus.
Di tempat tadi ada sebaskom peralatan kedokteran yang tampaknya pernah dipakai. Ada botol infus bekas dan kain basah. “Bukan itu,” pikirku. Kembali aku menggeser kepalaku dan menatap sebuah ruangan di sebelah kanan pintu masuk. Ada WC. Pintunya tidak tertutup rapat, sehingga dari sudut kecil penglihatan dan celah-celah sempit penciuman, aku dapat menangkap bahwa WC itu bersih dan tidak ada bau aneh keluar dari WC itu.
Aku heran. Ruangan berukuran 12 meter persegi ini tidak menyisakan barang lain yang bisa kuamati sejenak untuk mencari sumber bau aneh tadi. Lalu, aku mengalihkan perhatian pada tubuh yang terbaring ini. Yang terlihat dengan jelas dari bagian tubuh ini hanyalah bagian kepalanya. Lubang hidung dan telinga telah ditutupi dengan kapas. Dan setiap beberapa saat, laki-laki penunggu tadi mengusapkan kapas di bagian pinggir mulutnya. Ada cairan yang keluar dari mulutnya. Aku mencoba memperhatikan lebih teliti.
***
Persis 5 bulan yang lalu aku mengambil kesempatan mengisi liburan ekskursi di Padepokan Bumiku. Setelah sekian lama mengharap, baru kali ini aku bisa ke padepokan yang begitu sederhana ini. Di salah satu sudut halaman aku sempat membaca ukiran kayu bertuliskan “memetri bumi anjejagi gesang”. Sedangkan di sudut lain tertera, “Alam bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tak bisa hidup tanpa alam.” Aku tertegun dengan untaian kalimat itu, dan seiring dengan ketertegunan itu, aku pun tak pernah habis pikir dengan perjuangan dan kerja keras yang telah dilakukan romo Topo demi lestarinya lingkungan hidup.
Baru sejam di padepokan, aku sudah diajak berkeliling kebun dan ladang. Semua kebutuhan dan perlengkapan hidup di padepokan itu tercukupi lewat pengolahan alam yang arif. Untuk konsumsi harian, ada sayuran dan buah-buahan kebun. Untuk tambahan protein, ada peternakan ayam dan sapi. Di beberapa sudut tempat disediakan dua jenis kotak sampah, yang satu berlabelkan sampah organik, yang lain non-organik. Untuk kebutuhan memasak harian tidak perlu minyak, rupanya ada digester biogas. Bahkan untuk penerangan malam hari, tempat ini mengandalkan pembangkit tenaga air dari aliran sungai di ujung ladang.
Wah, aku sungguh terkesan dengan kehidupan semacam ini, bahkan tidak jarang anak-anak sekolah datang untuk belajar mengenal alam di padepokan ini. “Kalau kita dapat melayani alam, maka alam juga akan memberikan sesuatu,” katanya suatu kali. Aku setuju. Alam benar-benar sudah lelah menghadapi tingkah manusia, terlalu banyak berkorban, tetapi jarang sekali dihargai.
Di hari berikutnya aku diajak romo untuk membantu menyiangi rerumputan di kebun kacang. Ketika hari semakin terik, romo masih tetap setia melanjutkan pekerjaannya. Aku sempat mengeluh karena panas. “Kamu tuh gimana tho, wong yang membuat bumi ini semakin panas khan kamu sendiri, koq sekarang gak mau menanggung perbuatanmu sendiri.” Aku terhentak. Dan semenjak itulah aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak merusak lingkungan.
***
Aku baru sadar kalau bau itu berasal dari cairan di mulutnya. Romo Topo meninggal karena sakit Lever kronis. Air yang keluar dari mulutnya berasal dari pembuluh-pembuluh darahnya yang pecah. Hampir seluruh hidupnya dibaktikan dalam totalitas memperjuangkan kelestarian alam. Sampai-sampai dia seringkali lupa diri bahkan dengan kesehatannya sendiri.
Aku mulai menundukkan kepala dan berdoa. Dalam hening, aku mengharu, betapa dia begitu dekat dengan alam, sehingga karena kedekatan itulah dia semakin dekat pula dengan Sang Pemilik alam itu.
Beberapa menit kemudian, aku tinggalkan kamar itu. Udara di luar semakin dingin. Hujan juga masih cukup deras. Dan waktu terus bergeser mendekati fajar. Aku melangkah kembali ke kamarku. Selamat jalan, Romo!***

Yogyakarta, Agustus 2008
Read More...

Minggu, September 21, 2008

"Mampir Ngombe"

Hidup ini hanyalah mampir ngombe. Semuanya terjadi begitu saja, sekadar untuk mengambil minum melepas lelah. Bagiku sama saja, hidup adalah kesempatan untuk mengambil saripati-saripati dari setiap pengalaman yang dijumpai. Mampir ngombe berarti memaknai setiap langkah yang pernah dipijak.
***
Tepatnya empat tahun yang lalu. Dalam sebuah perjalanan ke kota Surabaya aku dan seorang temanku kehabisan uang di tengah perjalanan. Baru kali ini aku pergi jauh, bahkan keluar kota. Alasan pergi ke Surabaya pun hanya ikut temanku. “Daripada be-te mendingan kita liburan ke surabaya tempat kakekku”, katanya.

Kami memutuskan untuk naik kereta. Tetapi kami tidak langsung ke Surabaya, aku tergiur ajakan temanku untuk mampir dulu di Semarang. Di situ kita jalan-jalan dulu di Simpang Lima dan lihat-lihat kota Semarang. Tentu saja aku senang dan mau saja mengikuti permintaannya, karena memang keluargaku tidak pernah mengajakku keluar kota. Aku berasal dari keluarga sederhana, sejak lahir aku tinggal di Jakarta.
Sesudah seharian jalan-jalan, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini kami meneruskan dengan naik bis. Kami sudah menghitung-hitung biaya yang akan dikeluarkan. Ternyata uangnya hanya cukup untuk naik bis, dan jatah makan malam tidak ada sama sekali. Kami berharap agar kami bisa segera sampai Surabaya.
Di tengah perjalanan, sesuatu yang tidak kami harapkan terjadi. Bis yang kami kendarai mogok. Setelah diperiksa ternyata bis ini tidak bisa melanjutkan lagi perjalanan, karena mesti bongkar mesin. Padahal waktu itu tengah malam, dan berada agak di tengah hutan. Beberapa di antara penumpang memutuskan untuk tinggal di bis, menanti pagi dan melanjutkan perjalanan dengan bis lain yang lewat.
Tetapi kami berpikir lain. Kami mencoba tetap mencari bis lain malam itu. Kondektur mengembalikan sebagian uang transport, dan sambil menunggu bis yang lewat, kami berjalan kaki perlahan-lahan. Sesekali melewati kampung kecil. Baru menjelang pagi, kami memasuki sebuah desa yang cukup besar. Karena hampir sehari kami tidak makan, kami memutuskan untuk sarapan di sebuah warung. Kami tidak menyangka bahwa sisa uang setelah sarapan itu tinggal dua ribu saja. Kami bingung, dan dalam kebingungan itu kami memutuskan untuk jalan saja. Temanku mengatakan bahwa kota Surabaya sudah dekat. Mungkin sekitar 4 jam jalan kaki.
Setelah 4 jam lewat ternyata kami belum juga sampai kota Surabaya. Aku sudah merasa kecapaian begitupun temanku. Kami mencoba terus melanjutkan perjalanan dengan keyakinan bahwa tidak berapa lama lagi kami akan sampai.
Hari semakin sore, badanku sudah terasa lemah, begitupun temanku. Selama perjalanan tadi kami hanya melewati kota-kota kecil. Sempat kami bertanya ke seorang bapak mengenai seberapa jauh lagi kota Surabaya. Bapak itu mengatakan, “Tidak lama lagi, nak!”
Menurutku bapak itu menjawabnya kalau perhitungan itu dengan naik kendaraan. Sementara itu, aku benar-benar tidak kuat lagi untuk berjalan. Aku memohon pada temanku untuk berhenti sejenak melepas lelah. Bagiku ini kesempatan untuk mengumpulkan tenaga lagi. Ketika aku istirahat, mataku berkunang-kunang, terasa kecapaian. Beberapa menit kemudian, aku tidak tahan lagi untuk muntah. Temanku terkejut, dia berusaha menolong. Dia mau membelikan obat, tetapi itu tidak mungkin, karena sebelum minum obat, mestinya makan dulu, sedangkan uang tinggal dua ribu perak saja.
Dari seberang jalan, ada seorang ibu yang dari tadi memperhatikan kami. Dengan rasa ibanya, dia mendekati kami dan bertanya kepada kami. Ibu ini kelihatan sederhana sekali. Dia mau menolong kami, tetapi sepertinya tidak mungkin karena dia tampak tidak punya apa-apa. Dia berpikir sejenak dan memutuskan mengantar kami ke rumah terdekat untuk sekadar memberikan tempat yang agak layak buat istirahat kami. Sampai di rumah itu, kami diberi teh hangat. Tetapi bapak pemilik rumah itu merasa curiga dengan kami. Walaupun temanku sudah menjelaskan semua pengalaman kami seharian ini, dia tidak mengizinkan kami istirahat di situ. Bapak itu meminta ibu sederhana itu untuk mengantar kami ke ketua RT saja. Sesampai di rumah pak RT, dia berpikiran yang sama, dia lebih curiga, dan meminta kami untuk tinggal di balai desa saja. Ibu yang mengantarkan kami tadi membawa kami ke balai desa, dan setelah itu mohon pamit, karena rumahnya berada di desa tetangga. Dia sebenarnya adalah seorang buruh tani di sawah milih penduduk desa ini.
Sambil duduk beristirahat, kami mencoba berpikir apa yang bisa kami lakukan selanjutnya. Badanku sudah lemas sekali. Hari sudah mulai malam. Azan Mahgrib sudah berkumandang. Sekitar jam setengah 8 malam, seorang bapak mendekati kami. Dia bersorban putih dan memakai kopiah putih. Kami tahu bahwa bapak ini baru pulang dari Mushalla di seberang balai desa ini. Dia bertanya pada kami, mengapa kami bisa terdampar di tempat ini. Dengan rasa agak kesal kami mencoba menjawab pertanyaan bapak ini, karena kami yakin dia juga akan curiga dengan kami, dan setelahnya akan meninggalkan kami.
Tetapi, kenyataannya terjadi sebaliknya. Dia memutuskan untuk membawa kami ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, kami disambut dengan baik oleh keluarganya. Kami disajikan makanan. Setelah itu ibunya membawakan obatan ala kadarnya buatku, biar aku cepat sembuh.
Bapak itu menanyakan banyak hal tentang kami, dari mana kami, sudah kelas berapa, bahkan apa agama kami. Dalam suatu kesempatan bapak itu menceritakan mengapa penduduk di sini begitu curiga dengan orang asing. Kampung ini sudah beberapa kali kecurian. Kali lalu ada yang kecurian ayam. Sebulan yang lalu ada yang sapinya hilang. Seminggu lalu ada yang kehilangan motor. Modusnya hampir sama, mereka menumpang menginap di rumah seorang penduduk.
Tiga bulan yang lalu, ada seorang pencuri tertangkap dan pencuri itu mati dibakar massa. Kejadian ini membuat trauma masyarakat, karena beberapa orang yang terlibat pembakaran ditahan oleh polisi. Waktu itu bapak ini sempat melarang massa untuk menghakimi sendiri pencuri itu. Tetapi perjuangannya sia-sia, dan kejadian itu terlanjur terjadi. Maka dari itu, sekarang penduduk curiga dengan orang asing. Lebih baik menolak daripada mendapatkan sial.
Sehabis cerita, bapak ini mempersilahkan kami istirahat. Malam itu, dia masih melanjutkan mengajar anaknya untuk membaca Al-Quran. Bapak ini ternyata seorang ustad. Sejak awal pertemuan kami, aku merasa takut sekali untuk berbicara dengannya, karena pakaian ibadatnya yang memberikan kesan negatif padaku.
Selama tinggal di Jakarta, aku antipati dengan orang Islam. Alasan yang utama karena kebanyakan anak tetanggaku mengejek aku karena aku anak Katolik. Aku juga trauma dengan membaca beberapa berita di mana di Ambon ada perang atas nama agama, lalu di beberapa tempat ada gereja dibakar, bahkan gerejakupun sekarang tidak mendapatkan izin pembangunan. Maka dari itu aku menutup diri dari mereka.
Tetapi yang kualami sekarang ini berbeda sama sekali. Seorang Ustad, yang notabene taat beribadah dan menjalankan ajaran Islam dengan baik, memperlakukan aku yang Katolik ini dengan cara berbeda, tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Hatiku terharu. Bahkan malam itu, mereka sekeluarga tidur di ruang tamu, menemani kami. Tampaknya mereka tak layak tidur di kamar mereka sendiri, yang lebih nyaman. Mereka mengagungkan tamunya, yang jelas-jelas ‘orang lain’ bagi mereka.
Keesokan harinya setelah sarapan, kami diikutkan pada truk tetangganya yang memang hendak pergi ke Surabaya mengambil barang dagangan. Aku bersyukur sekali atas pengalaman ini. Lewat pengalaman ini sikapku terhadap orang Islam berubah. Damai tidak diciptakan dari menutup diri. Ustad ini mengajarkanku untuk mau menerima siapa saja, tanpa memandang dari agama mana atau dari suku mana. Damai justru hadir lewat terbuka bagi siapapun. Urip mung mampir ngombe. Setelah 4 tahun itu berlalu, sekarang aku justru mempunyai banyak teman dari kalangaan Islam. Kami seringkali berdialog.

Bluntas, Januari 2006
Read More...