Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, Mei 12, 2011

Perubahan Nama Blog

Teman-teman, ada satu hal yang mau saya informasikan lewat blog ini.
Saya baru saja mengubah satu nama blog dari trilogi blog yang saya miliki dan kelola.

Nama blog yang lama adalah ini:


Sekarang menjadi ini:


Mengenai konten, visi dan misi yang diemban blog tersebut tidak ada perubahan sama sekali.
Ini hanya soal nama blog saja, supaya lebih mendarat dengan isi yang selama ini di posting.
Judul awal agak terlalu luas jangkauannya, padahal isi tulisannya lebih menyangkut soal Indonesia. Dan, memang Indonesia lah yang hendak disasar.

"For better Indonesia" adalah sebuah impian.
Mungkin ada pertanyaan, apakah Indonesia sekarang tidak baik?
Menurut saya, Indonesia sekarang sudah baik. Hanya saja ke-baik-an ini perlu dilanjutkan dan dikembangkan lagi; jangan malah menjadi semakin mundur. Oleh karena itu judulnya "For better Indonesia", untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Itulah harapannya! Semoga!
Read More...

Senin, Juli 13, 2009

KISAH KRISTUS dan PILPRES 2009: Presiden Terpilih Rakyat Berharap!!!

Jalan menuju Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009, berlangsung seru. Ada 3 pasangan capres dan cawapres yang bertarung. Ketiga pasangan tersebut sudah promosi diri, menawarkan program-program bakal pemerintahannya, bak seperti penjual obat menawarkan dagangannya di pasar malam. Sementara itu, tim sukses juga berharap calon pasangan yang diusung bisa gol menuju istana kepresidenan.

Di sisi lain, rakyat Indonesia, yang adalah pemilih dalam pemilu tersebut, seperti dibuat bingung. Ketiga pasangan tersebut selalu menawarkan program-program yang baik, yakni program yang selalu mengatasnamakan masyarakat. Kadang-kadang pemilu ini seperti menjadi semacam pertaruhan. Janji-janji calon yang diumbar selama kurang lebih 2 bulan adalah sebuah pertaruhan untuk bangsa Indonesia selama 5 tahun ke depan.
Setidaknya ada banyak penilaian dan isu yang muncul, yang bisa menjadi pertimbangan dalam memilih presiden dan wakil presiden kali ini. Pertama, persoalan ideologi. Dari ketiga pasangan ini, masyarakat sudah mulai bisa melihat ke arah mana negara ini akan dibawa dan dipimpin. Yang paling kentara adalah persoalan memilih antara nasionalisme atau pro-Islam. Selain itu, karena Indonesia adalah negara majemuk, dengan beragam suku dan latar belakang, persoalan daerah juga dikedepankan. Isu yang mencuat adalah soal Jawa-non jawa.
Kedua, persoalan kebijakan. Harapan besar dari masyarakat adalah pemerintahan yang benar-benar pro wong cilik. Siapapun orangnya, rakyat hanya akan memilih orang yang sungguh mau melihat keadaan rakyat dan mau memajukan bangsa. Meskipun bangsa ini sudah berumur 60 tahun lebih, pada kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tercatat dalam sebuah survey, pengangguran di Indonesia masih terbilang tinggi. Sekitar 30 juta rakyat, yang berada di usia kerja, sama sekali tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak, dengan pekerjaan yang sewajarnya.
Terlepas dari isu dan pertimbangan-pertimbangan di atas, lagi-lagi hal yang paling mendasar dalam pemilihan ini adalah pasangan mana yang paling cocok dan paling representatif dan mampu menjawab keinginan besar seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai analisa dari para ahli, guna menanggapi ketiga pasangan ini sudah bermunculan. Setiap hari, kita bisa melihat lewat layar kaca, membaca lewat media massa, dan mendengar lewat radio, serta berdiskusi di warung pojok, membahas calon mana yang sungguh pas di hati rakyat. Ini sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Seperti mencari emas di hamparan pasir yang begitu luas.

Kadang-kadang, masyarakat sudah jenuh juga terhadap persoalan ini. Seperti lingkaran setan yang tak pernah usai. Harapan tinggal harapan. Persoalan selalu berulang dari masa ke masa. Presiden yang terpilih tidak selalu ada dalam hati rakyat. Lalu, daripada ribut soal pilpres, yang penting bagi mereka adalah bagaimana bisa mengisi ‘perut’ mereka hari ini.
Nah, setelah kita belajar dari tokoh dan peristiwa dalam sejarah kristianitas, kita diajak untuk mengkisahkan bagaimana Allah turun menjadi manusia dalam konteks ini. Apakah Allah masih relevan ketika masyarakat kita sedang bingung memilih sosok mana yang pas. Apakah bahasa iman yang kita pelajari sesuai dengan realita dalam masyarakat? Bagaimana kita menceritakan kisah Kristus dengan tepat dalam kondisi dan situasi pilpres kali ini?

Bahasa Iman berbicara apa?
Dalam peristiwa inkarnasi, seperti yang diungkapkan dalam Yoh 3:16, “karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang dipercaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal,” di situ kita bisa melihat dengan jelas, bagaimana Allah berpihak dan terlibat dalam hidup manusia. Maka, kisah Kristus dalam pilpres kali ini terkait erat dengan pemimpin mana yang sungguh(!) mau berpihak dan terlibat.
Pembelajaran lewat tokoh Maximus Confessor, menawarkan kepada kita sebuah pertimbangan dalam memilih pasangan capres-cawapres mana yang baik. Prinsipnya, jangan membawa iman ke dalam politik. Jangan menggunakan iman demi kepentingan politik. Maka dari itu, pertimbangan tentang sosok yang nasionalis adalah pertimbangan yang masuk akal. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang begitu majemuk, yang berasal dari beragam agama.
Sementara itu, Agustinus, dalam “de civitate Dei” berharap agar pemimpin itu adalah pemimpin yang realistis, yang belajar dari pengalaman. Hidup bernegara adalah “hiduplah sebaik mungkin.” Menjadi pemimipin adalah menjadi pribadi yang tahu berbuat apa bagi rakyatnya. Meskipun punya pengalaman masa lalu yang buruk, dia bisa belajar dari situ, dan mampu bertransformasi di masa yang akan datang, yakni membawa kebaikan bagi seluruh rakyat.
Anselmus menegaskan sekali lagi bahwa harus ada pemisahan yang tegas antara iman dan negara. Iman dan politik adalah dua hal yang terpisah. Oleh karena itu, pilihan yang tepat adalah pasangan yang menawarkan kehidupan yang benar-benar fokus pada kehidupan itu sendiri, bukan memindahkan ‘agama’ ke dalam kehidupan bernegara.
Bagi Thomas Aquinas, kebenaran itu adalah kerinduan setiap orang. Berdasarkan hal ini, program-program yang sungguh menawarkan ditegakkannya kebenaran akan menjadi opsi yang tepat bagi pemilih. Konsep ‘kebenaran’ di sini mesti tegas! Mengapa? Kita lihat sendiri, bahwa di Indonesia betapa mudahnya kebenaran diputarbalikkan. Yang korupsi, yang jelas-jelas merugikan masyarakat banyak malah bebas berkeliaran, sedangkan yang cuma mencuri ayam malah dibakar massa. Dunia seperti dibolak-balik.
Kebenaran itu selayaknya didasarkan pula pada dasar negara kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. Sama seperti yang dibuat oleh Martin Luther. Dia mengajak kita ke prinsip ‘back to basic’ (sola scriptura). Sementara itu, Konsili Trente juga menekankan hal yang sama, tetapi juga menambahkan peran yang lain, yakni tradisi dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, tradisi itu konkret dalam bentuk tradisi penafsiran baru (menurut situasi dan konteks zaman) atas undang-undang (misalnya amandemen UUD 1945), tanpa harus mengubah dasar negara, yang telah dicita-citakan dan dibangun oleh para founding fathers bangsa ini.
Cita-cita dan semangat pendiri negara ini adalah cita-cita yang mesti pula diteruskan oleh calon-calon pemimpin baru negara ini. Oleh karena itu, pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang omongannya bisa dipercaya oleh rakyat, berbicara tegas(!) dan mampu menjawab keinginan konkret masyarakat. Konsili Vatikan I menegaskan hal itu (seperti dalam perumusan infalibilitas paus). Tetapi, pemimpin itu pun harus mawas diri. Tindakan otoriter dan sikap reaktif adalah tindakan yang paling rawan bisa dibuat oleh seorang pemimpin (kritik terhadap infalibilitas paus).
Newman menawarkan sebuah alternatif lain. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang punya pengalaman dengan rakyat dan mau berkembang bersama rakyat. Dan juga melandaskan alur gerak kepemimpinannya pada peranan suarahati. “Jika melawan suarahati, itu berarti bagaikan membunuh wewenang sendiri.” Maka dari itu, pemimpin haruslah melibatkan rakyat seluruhnya, bukan hanya melibatkan orang yang punya ‘duit’ saja.
Bonhoeffer menegaskan soal keterlibatan yang sungguh. Menjadi pemimpin adalah memberikan dirinya. Seperti martir, dia ‘berbuat sesuatu’ untuk kehidupan. Pemimpin harus berani melakukan sesuatu di saat-saat sulit, meskipun itu taruhannya adalah nyawa. Yang paling pokok adalah menghindari yang jahat demi kebaikan banyak orang.
Lewat Konsili Vatican II, prinsip aggiornamento menjadi penting. Bertindak sebagai pemimpin adalah bertindak sebagai pribadi yang mau terbuka terhadap siapapun, bisa menjadi fasilitator bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan beberapa kelompok saja.
Dan yang terakhir, Tissa Balasuriya. Kontekstual! Bahasa pemimpin adalah bahasa yang hidup dalam rakyat. Maka dari itu, pemimpin haruslah bisa membaca situasi dan konteks Indonesia secara keseluruhan.

Penutup
Melalui butir-butir di atas, bahasa iman kita tampak menjadi begitu aktual, mampu menjawab kebutuhan orang beriman, di sini dan saat ini. Pun juga inspiratif, karena mau melibatkan semakin banyak orang dalam sejarah keberlangsungan manusia. Dengan pembahasan tentang pilpres 2009 tadi, kita sebagai orang beriman jelas-jelas diajak untuk terlibat, sebagaimana Yesus, 2000 tahun yang lalu, yang sungguh terlibat dalam hidup manusia!***
Read More...

Rabu, Desember 10, 2008

Keterpanggilan Dalam Jejaring Teknologi

Beberapa tahun yang lalu, dunia sempat tersentak ketika Deep Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak, tetapi dengan kekalahan itu, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.
Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jejaring teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer.
Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selain itu, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya di-klik saja, maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, komunitas maya tersebut secara eksplisit sudah mewujud dalam komunitas pertemanan semacam friendster dan facebook, di mana tidak jarang beberapa orang menggunakannya sebagai sarana untuk mencari jodoh pula.
Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead, perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Gates menambahkan bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja, sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi dan Robot (GNR). Tiga serangkai ini adalah kekuatan yang akan mendominasi teknologi di masa yang akan datang. Genetika sendiri menunjuk pada perkembangbiakan genetika seperti maraknya kloning. Nanoteknologi adalah berbagai macam peralatan teknologi terapan yang menggunakan perangkat sangat lunak dan tidak membutuhkan banyak ruang. Sedangkan Robot adalah perangkat yang bekerja menggantikan manusia dalam berbagai macam kegiatan, seperti mencuci, menulis, dsb.

Siapakah Kita di Jejaring ini?
Pesatnya perkembangan teknologi terutama lewat komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar menjadikannya berhala baru.
Tetapi anehnya, kemajuan teknologi adalah parameter yang selalu digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Suka atau tidak suka, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia.
Neil Postman dalam bukunya Technopoly mengatakan bahwa setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Dengan demikian manusia justru didikte oleh teknologi.
Akhirnya, siapakah kita di jejaring ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan demikian komputer sama seperti manusia? Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin? Lalu, bagaimana sikap kita?

Keterpanggilan Hidup Manusia
Kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja, sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Komputer sebenarnya hanya bisa memutuskan dan menentukan sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria yang diberikan. Dengan demikian, permasalahan ini semata-mata terletak pada manusianya!
Pertama, manusia modern (termasuk kita tentunya) sepertinya sedang sakit mental! Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, penyakit malas ini begitu cepat berkembang ketika dihadapkan dengan kecanggihan teknologi. Anak-anak kita bingung kalau diberi soal hitungan tanpa menggunakan kalkulator. Kita pun kadang pusing dengan motor atau mobil kita yang tiba-tiba mogok, sepertinya dunia sudah kiamat.
Dalam menyikapi penyakit mental ini tidaklah arif jika kita begitu saja membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern. Siapa dari kita yang mau kembali pada ke zaman pra-teknologi atau zaman batu? Basis teknologi tetap perlu bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif. Oleh karena itu, cara mendidik kita salah, jika seorang anak diajari berhitung langsung dengan menggunakan kalkulator. Ujilah dahulu mereka dengan penghitungan secara konvensional. Sebaliknya, kalau punya kendaraan bermotor semestinya sedikit banyak tahu tentang kerusakan-kerusakan ringan, sehingga bisa menanganinya secara darurat. Inilah yang dimaksud dengan menggunakan teknologi secara kualitatif.
Kedua, perlu disadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan manusia itu memiliki sifat yang khas sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan teknologi. Manusia bisa menunjukkan emosi dan perasaannya secara natural, sedangkan robot sama sekali tidak bisa.
Ketiga, manusia dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, dan atas keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Teknologi kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa yang mengganggunya, teknologi akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali, seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalanannya untuk mencapai tujuan dengan pasti. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka.
Keempat, yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan terampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain yakni manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan.***
Read More...

Senin, Oktober 27, 2008

Tantangan Iman Dalam Dunia Sekuler

Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, keduanya hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Mungkin, kita seringkali membayangkan bahwa manusialah yang aktif, sedangkan dunia adalah yang pasif, yang selalu dipengaruhi oleh keaktifan manusia. Tapi ini hanyalah sebuah kamuflase (keaktifan manusia hanya diartikan sebagai yang bergerak dan dapat ditangkap dengan indera). Padahal sebenarnya duniapun bergerak dan terus berubah, tapi itu tidak mudah ditangkap oleh indera. Sejarah dan kebudayaan yang berubah merupakan pertanda bahwa dunia terus bergerak.

Dunia yang bergerak ini tentunya akan selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, tidak ada manusia yang bisa berlari dari dunia (fuga mundi) semasa hidupnya. Sekalipun ada kelompok yang mengakui diri sebagai kelompok yang menyingkir dari dunia, mereka tidak sadar bahwa tetap masih hidup di dunia, dan dunia menghidupi mereka.
Demikianpun yang dialami oleh iman manusia. Iman tidak bisa lepas dari dunia. Hubungan kita dengan Allah, erat atau renggangkah, tergantung pada situasi dunia. Hubungan manusia dengan Tuhan pada zaman batu akan berbeda dengan manusia pada zaman mesin industri. Maka dari itu, cara pengungkapannya, tuntutan-tuntutan dan tantangannya pun berbeda-beda.
Tulisan ini akan memfokuskan pada topik tentang iman manusia di zaman mesin industri. Pada zaman mesin industri ini, segala teknologi telah mengubah wajah bumi. Dunia khayal yang diangan-angankan telah menjadi kenyataan. Mata telanjang manusia diperjelas daya lihatnya melalui sinar-X dan mikroskop elektronik. Otot-otot manusia diperkuat tenaganya dengan segala macam bentuk mesin. Tampaknya, dari hari ke hari manusia merasa segambar dengan sifat-sifat Allah. Dengan kemajuan teknologi, manusia secara samar-samar merasa banyak tahu, merasa bisa membuat ini-itu, merasa berkuasa.
Ini tentunya sangat mempengaruhi iman manusia terhadap Tuhan. Perhatian manusia mulai bergeser. Ada suatu keyakinan bahwa segala hal yang dulunya tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang dulunya jauh mengawang-awang, karena hanya Tuhanlah yang bisa, kini dengan mudah dijumpai di depan mata. Eksistensi Tuhan digeser dengan dunia ini, di sini dan sekarang. Iman manusia mendapatkan tantangannya. Iman manusia menghadapi kenyataan dunia sekuler. Lalu bagaimanakah sikap iman terhadap tantangan ini? Bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijawab, karena dengan demikian mesti melihat secara keseluruhan, baik dari sisi iman sendiri, maupun dari sisi sekularisasi (dan sekularisme)-nya. Ini adalah bagian dari sejarah manusia, jadi manusialah yang harus menjawab tantangan ini.


Apa itu Iman?
Menurut tradisi Kristen, iman dilukiskan sebagai serah diri, yaitu manusia yang menyerahkan seluruh dirinya dan hidupnya secara bebas (tidak karena terpaksa, melainkan dengan sukarela), dengan budi dan hatinya tunduk kepada kehendak Allah yang mewahyukan. Manusia yang berkata “ya” kepada Allah, bukanlah hanya ucapan bibir saja. “Ya” berarti pembaktian hidup.
Kata bebas yang digambarkan di atas, tidak hanya berarti bebas dalam hal fisik, berpikir dan bebas mengambil keputusan menurut keyakinannya sendiri, melainkan lebih mengikuti suara hati dan menentukan arah hidup sendiri. Dengan bebas manusia memasuki kemerdekaan anak-anak Allah, yakni kemerdekaan seseorang yang dibebaskan dari segala rasa takut dan merasa diri aman dalam tangan dan kasih Allah. Kasih Allah menembus rasa takut. Maka dari itu, iman membebaskan karena memecahkan belenggu ketakutan dan kecurigaan.
Tetapi, kadangkala sifat yang menyeluruh dari iman sulit dimengerti oleh pandangan yang rasional. Padahal rasionalitas adalah unsur hakiki dalam kehidupan manusia. Maka, perlu penjelasan yang matang bagaimana iman itu pun dapat ditangkap tidak hanya oleh hati, melainkan juga oleh budi kita. Ditelusuri lebih dalam, iman merupakan sebuah sikap, maka rasionalitas iman pertama-tama menyangkut motivasi atau alasannya: Mengapa manusia percaya dan menyerahkan diri seluruhnya kepada Tuhan, yang tentunya didasarkan pada pengalaman hidup setiap manusia, yang sifatnya unik dan khusus?
Iman adalah rahmat Tuhan. Dalam perkara iman, Allah berprakarsa lebih dulu. Iman tidak buta, melainkan hidup. Maka, manusia bisa mencapai sikap beriman, karena pengalaman akan Allah dalam hidupnya. Tanpa sebuah pengalaman akan Allah, sulit dipahami bagaimana seseorang bisa berserah diri, tanpa tahu siapa yang menjadi tempat penyerahan dirinya. Dengan demikian, terjawablah bagaimana iman itu diakui dalam hati dan budi.

Apa itu Sekularisasi?
Sekularisasi adalah proses yang membangun fakta dan kebenaran bahwa dunia bukanlah Tuhan dan bukanlah yang ilahi, maka manusia harus memisahkan diri dari-Nya dan mempercayakan diri pada kemanusiaannya. Di dalam dunia, manusia bukanlah obyek, tetapi subyek dan tujuan. Kapasitas manusia bukanlah hanya mengerti dunia saja, tapi juga mampu mengubahnya. Dunia telah berpindah dari tangan Tuhan ke tangan manusia.
Sekularisasi menggeser pusat dan minat manusia dewasa ini dari hidup akhirat kepada hidup ini. Manusia lebih mempedulikan hal-hal yang fana daripada hal-hal yang baka. Masalah-masalah seperti perdamaian, keadilan, kemiskinan, ekologi, pendidikan, dan pengendalian penduduk lebih menjadi pusat perhatian manusia modern daripada masalah keselamatan abadi. Intinya, yang riil dan berarti hanyalah dunia, sedangkan yang lain hanyalah khayalan manusia.
Perlu diperhatikan bahwa sekularisasi sama sekali tidak sama dengan sekularisme. Sekularisasi lebih pada suatu pembedaan antara bidang-bidang keagamaan dengan dunia. Penjelasan yang telah disebutkan di atas, ingin menunujukkan keotonoman manusia dan dunia sebagai tempat tinggalnya. Atau dengan kata lain, sekularisasi adalah dunia yang otonom, yang dibangun oleh manusia, yang tidak menunjukkan kerajaan Allah, tapi kerajaan manusia.
Sedangkan sekularisme adalah suatu ideologi bahwa dunia ini sebagai keseluruhan hanya dapat dimengerti tanpa hubungan apapun dengan suatu penyebab di luarnya (Sang Penciptanya). Dunia ini dapat dibangun tanpa harus mempedulikan hal-hal yang transenden. Inilah suatu close world view yang menyangkal adanya Sang Pencipta. Dalam sekularisme, iman kepada Tuhan tidak memiliki tempat karena tidak dibutuhkan lagi.
Tampak bahwa ada hubungan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi bisa dilihat secara positif, sedangkan sekularisme lebih bermakna negatif. Tapi sekularisasi bisa menjadi suatu proses menuju sekularisme.

Bagaimana Hubungan antara Iman dan Sekularisasi (atau juga sekularisme)?
Pertama-tama, akan dilihat dari sudut sekularisasi yang memandang iman. Sekularisasi melihat iman yang ada dalam agama sebagai hal yang lebih berminat kepada hidup yang lain, dunia yang lain, dan waktu yang lain. Maka harus diadakan pembedaan antara dunia yang nyata-profan, dengan dunia lain yang suci dan keramat (agama). Bagi kebanyakan orang dalam dunia sekuler, kegiatan dalam keagamaan yang menyangkut iman adalah sebuah kegiatan yang tidak real (misalnya, sembah sujud, perayaan liturgis) dibandingkan dengan kegiatan duniawi (sekuler). Demikianpun juga dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan, pengetahuan sekuler adalah pengetahuan yang diperoleh dengan usaha manusia, melalui pendayagunaan daya-daya intelektual alami manusia yang berupa pengamatan, pengingatan dan penalaran. Tampak bahwa semuanya bergantung pada hal-hal yang empiris.
Di dalam dunia sekuler manusia dipandang berotonomi. Kalaupun referensi samar-samar kepada Allah diperbolehkan, sebenarnya tidak ada pengakuan real terhadap hal yang lebih tinggi dari manusia. Mentalitas manusia sekuler sama sekali tidak mendukung orang mencapai iman kepercayaan. Mereka yang memilih untuk beriman akan berenang dengan kuat melawan arus kuat persuasi manusia, sebab iman dalam zaman ini barangkali akan kelihatan sebagai peninggalan masa lalu saja.
Sama halnya dalam sekularisme, tetapi lebih parah lagi, karena menisbikan iman dan agama. Dalam sekularisme, keyakinan dan nilai-nilai keagamaan samasekali tidak boleh berperan. Mereka melihat bahwa iman hanya mempedulikan Allah dan tidak mempedulikan manusia sama sekali. Maka, semuanya harus dinilai, diatur, dikerjakan tanpa sama sekali mengindahkan suatu realitas adi-kodrati, artinya yang melampaui batas-batas dunia.
Kedua, iman yang memandang sekularisasi (sekularisme). Untuk memahami setepat mungkin sikap iman terhadap sekularisasi, terlebih dahulu kita harus mengenal apa sasaran yang hendak dicapai kedua pihak. Dari uraian sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai sekularisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom (berdaulat). Sedangkan tujuan iman dalam agama adalah memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat (sama seperti sekularisasi). Tetapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang ada, perbedaannya terletak pada cara kerjanya. Sekularisasi semata-mata menggunakan bukti empiris yang tersedia di dunia ini. Sedangkan iman dalam agama mendayagunakan kekuatan supra-empiris yang datang dari dunia lain. Sebelum masa Fajar Budi, perbedaan cara kerja ini bergabung dalam satu kesatuan, yaitu kesatuan agama. Namun sesudahnya, menjadi dua kekuatan yang terpisah, bahkan sebagai dua gerakan yang saling berlawanan. Dari kenyataan ini, menjadi jelas bahwa sikap iman dalam agama terhadap sekularisasi bersikap mendua, antara mendukung dan menentang. Sikap mendukung dapat dilihat dari segi pengajarannya. Iman berusaha menjelaskan ajarannya secara rasional dengan bantuan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris. Sedangkan sikap menolak, terutama menolak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan ortodoksi serta kewibawaan. Apalagi sikap sekularisme yang menisbikan eksistensi Tuhan, iman akan menolaknya dengan tegas.

Sebuah Refleksi: Bagaimana menyikapinya?
Sudah diungkapkan pada awal tulisan bahwa manusia dan dunia berjalan berdampingan dan saling mempengaruhi. Antara keduanya telah menjadi bagian dan tidak bisa dipisahkan. Maka, yang ada hanya dukungan atau pertentangan (bukan pemisahan). Begitupun dengan iman, sekalipun ada pertentangan, yang menimbulkan corak negatif bagi hubungan manusia dengan Tuhan, tetap ada aspek positif di dalamnya.
Pertama, bisa dikatakan, sebagai tantangan. Dengan adanya tantangan, iman yang sebelumnya biasa-biasa saja, pasif (tidak ada hambatan), dibangkitkan lagi dan dipertanyakan lagi visinya. Sebagai contoh, pengalaman-pengalaman generasi muda ketika mewarisi iman dari orangtua mereka. Iman mereka bisa hanya jatuh pada suatu pengajaran atau pemahaman dan teori saja. Ini suatu iman permukaan atau bahkan suatu pendangkalan. Justru dengan adanya tantangan, seluruh daya-jiwa mereka digerakkan, dan mau tidak mau, iman mereka dibangkitkan atau bahkan dipertanyakan. Karena adanya tantangan, mereka mendapatkan pengalaman, terutama pengalaman akan Tuhan (iman mereka dikuatkan).
Kedua, dengan adanya tantangan, terkhusus tantangan iman dalam dunia sekular, mesti akan muncul pertanyaan, mengapa terjadi perubahan dunia menuju sekular? Ini adalah tanda-tanda zaman. Dengan pertanyaan ini, kita akan berefleksi dan diajak untuk bersikap dengan baik dan bijaksana. Kita akan menemukan sebab musabab terjadinya sekularisasi, yang pada dasarnya terjadi di dalam Kekristenan Eropa pada zaman Fajar Budi, di mana pada saat itu manusia mulai menemukan banyak hal, dan sesuatu yang tidak mungkin telah menjadi mungkin bagi manusia. Segala yang jauh sebenarnya ada dan nyata di hadapan manusia. Sebaliknya, iman pada waktu itu tidak menjawab sama sekali kebutuhan manusia karena terlalu adi-kodrati, transenden atau bahkan bersifat mistis saja. Akhirnya, iman mulai dipisahkan atau bahkan ditinggalkan.
Apakah dengan kenyataan ini, iman (yang ada di dalam agama) memusuhi dunia, yang telah mengkhianatinya. Bukan suatu tindakan yang bijaksana. Inilah suatu tanda-tanda zaman, yang pada intinya ingin menggerakkan iman ke arah yang lebih maju lagi, sejajar dan berdampingan dengan dunia sekular. Lalu, bagaimanakah caranya? Konsili Vatican II telah menjawabnya. Gaudium et Spes adalah cerminan sebuah jawaban yang menanggapi kenyataan dunia dewasa ini. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang adalah juga milik murid-murid Kristus. Berikutnya, ini menandakan dimulainya suatu dialog (aggiornamento terus-menerus) antara iman Kristiani dengan dunia sekular. Dialog ini terjadi bukan karena ada sesuatu yang berharga dari iman yang ingin dikatakan pada dunia, melainkan iman Kristiani harus memperhatikan diri mereka di tengah-tengah realita yang ada, bukan malahan tertutup dengan sekularisasi. Lebih jauh, dialog ini adalah dialog dua sisi, di mana keduanya tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan dan memahami. Dialog ini juga tidak hanya teori, interpretasi, tapi juga harus sampai ke level kerjasama.
Mungkin akan sulit membayangkan dialog seperti apa itu sebenarnya. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan yang berdialog dengan iman. Produk-produk yang dihasilkan olehnya hendaknya diarahkan kepada kebutuhan manusia, bukan malahan sebaliknya, manusia dijadikan budak (misalnya TV, komputer, dsb). Ini maksudnya adalah semata-mata demi hari depan manusia juga. Cara pandang yang positif ini, muaranya akan membawa manusia kepada kesadaran bahwa Allah ada di dalam segala, dan segala ada di dalam Allah (Allah yang konkret).
Ketiga, menanggapi aspek-aspek negatif dari sekularisasi atau bahkan sekularisme, sebenarnya iman manusia saat ini berada dalam suatu proses pemurnian. Pada paragraf pertama refleksi ini, telah diungkapkan sebagian. Jelasnya, saat ini manusia berada dalam tahap krisis. Krisis bukanlah suatu hal yang negatif, justru suatu hal yang mencoba memurnikan. Perlu dipahami bahwa akibat-akibat sekularisasi yang tidak diinginkan hanyalah akibat-akibat samping saja. Akibat samping itu bukan kesalahan proses sekularisasi itu sendiri, melainkan kesalahan manusia yang tak mau atau tak mampu menanggapinya. Misalnya kemiskinan, sebenarnya ini terjadi karena jarak antara mereka yang berpengetahuan dan berketerampilan lebih serta mereka yang hanya berpengetahuan dan berketerampilan sedikit makin lama makin lebar; hanya mereka yang mempunyai dana yang bisa mempunyai kesempatan. Akibat selanjutnya, yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Muncullah pula pemahaman bahwa agama adalah candu, seperti yang diungkapkan Marx (yang juga mengusahakan perjuangan kelas) dan ‘Tuhan sudah mati’ oleh Nietsche. Ada semacam ketidakmampuan dan sikap pesimistis dari manusia.
Maka dari itu, kita mesti menyadari bahwa menjadi manusia dan mengalami kepenuhan sesudahnya adalah suatu proses. Ini adalah salah satu cara Tuhan dalam mewahyukan dirinya, dan memang cara ini merupakan suatu misteri. Maka perlu waspada terhadap penggambaran yang salah terhadap Allah, karena melalui inilah manusia mudah menjadi salah dalam menafsirkan realita yang ada.
Dan yang keempat, perlu dihindari segala perhatian yang hanya dipusatkan pada agama (aspek ritual) saja. Padahal agama, dengan segala peraturan dan kegiatannya, hanya merupakan sarana dan jalan memperkuat dan menyokong iman, yang harus diwujudkan dalam kehidupan yang nyata. Yang pokok bukan agama, melainkan iman sebagai sikap dan orientasi dasar. Yang penting bukan iman yang formalitas, melainkan iman sebagai dasar dan dorongan hidup yang nyata, sebagai sikap dasar, dan sebagai sumber kehidupan.
Dengan demikian akan terjawablah tantangan dunia sekular itu dengan sikap baik dan bijaksana.***
Read More...

Selasa, September 23, 2008

Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permisif

Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang seragam, apapun itu bentuknya. Fakta bahwa ada begitu banyak suku, budaya, agama dan norma hidup menunjukkan bahwa bangsa kita itu multi-etnis, multi-kultural, multi-agamis dan multi-pandangan. Seolah-olah sudah takdir bagi yang terlahir di Indonesia untuk menyadari kenyataan bahwa dirinya berbeda dari yang lain.
Namun fakta perbedaan itu tidak hanya ada pada lembaga-lembaga formal di atas saja. Sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang begitu kompleks dan sangat plural. Bangsa Indonesia sudah mengalami segalanya—untuk menyebut satu per satu kondisi perbedaan yang lain: demokrasi dan kediktatoran militer, undang-undang dasar nonagamis dan syariah Islam, kekayaan ekstrem lapisan atas dan fight for survival orang kecil, nasionalisme dan separatisme, toleransi dan kekerasan ekstrem, Islam dengan mayoritas besar yang moderat dengan kelompok garis keras hingga yang ekstrem, korupsi yang meresapi semua bidang kehidupan masyarakat dan hukum yang bisa dipermainkan, tradisionalis dan modernis, lokalis dan globalis.

Pluralisme inilah yang seringkali menandai sikap kebanyakan orang Indonesia untuk permisif, seolah-olah “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Pindah situasi, pindah tempat, di situlah normanya berganti. “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.”
Mungkin sebagian besar orang akan beralasan bahwa dengan adanya pluralisme ini, sepantasnyalah kita menjunjung toleransi. Tetapi toleransi macam apa kalau jelas-jelas di depan mata terjadi tindak korupsi, namun dibiarkan begitu saja. Toleransi macam apa jika kemiskinan dan ketidakadilan rakyat kecil diabaikan, sedangkan sebagai wakil rakyat malah menuntut tunjangan 10 juta. Toleransi macam apa bila nyawa 202 orang di Bali dibiarkan sebagai bentuk penghargaan terhadap sebuah keyakinan tertentu. Bukankah itu sikap toleran yang permisif? Tidakkah ini berarti sikap toleransinya berdampak negatif? Masih adakah orang yang berani menjadi whistle blower ?
Memang benar zaman kita acapkali disebut era keruntuhan “narasi-narasi besar”. Pada era ini keyakinan yang bersandar pada nilai-nilai absolut mengalami gugatan serius. Di semua lini kehidupan, mulai dari sosial, politik, hukum, sampai seni seakan berlaku diktum: nilai apapun yang bertendensi menjadi absolut harus ditolak. Gugatan terhadap ‘absolutisme’ itu juga berlangsung pada ranah etika dan moral. Relativisme moral berpendapat ada banyak bentuk moralitas yang sama benarnya. Moralitas orang Barat, misalnya tak lebih benar daripada moralitas orang Asia. Ekstremnya, moralitasku berbeda dengan moralitasmu. Relativisme moral menyanggah klaim superioritas nilai moral. Dengan begitu, ia menawarkan jalan menuju pluralitas pilihan, pendapat dan opsi moral.
Oleh karena latar belakang di ataslah, tulisan singkat ini hendak mengupas problem serius atas terciptanya gugatan terhadap nilai-nilai absolut. Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu berlaku permisif terhadap tindakan yang nyata-nyata melanggar prinsip dasar moral? Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu seolah-olah menjadi seorang relativis praktis, tanpa harus mengatakan bahwa diri mereka adalah penganut relativisme? Lalu, hal-hal penting macam apa yang membuat seseorang seharusnya memegang dasar-dasar moralitas—sekaligus ini menggugat tindakan toleransi permisif?
Tulisan ini murni akan ditinjau dari sudut etika dan moral. Penulis sendiri akan banyak mengacu pada karya Mohammad Ali Shomali, seorang filsuf Iran kontemporer, yang berjudul Ethical Relativism (2001).

Kegagalan Menemukan Prinsip Moral yang Memadai
Menurut Shomali, sikap toleransi terhadap pluralisme pandangan yang condong bersifat permisif itu merupakan kegagalan seseorang untuk menemukan perangkat prinsip moral yang memadai. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang berlaku demikian.
Pertama, sebagian orang tidak begitu cerdas atau terlalu malas untuk menempatkan prinsip atau nilai-nilai moral dalam sebuah hierarki nilai. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui atau memahami apa yang harus dilakukan ketika berbagai prinsip atau nilai saling bertentangan. Untuk hal ini, terutama penentuan hierarki nilai, kita berhutang banyak pada W.D. Ross, Max Scheler, dan von Hildebrand. Ross (1877-1971) memberikan jalan keluar terhadap etika Kant yang keras. Menurut Ross, setiap kewajiban selalu merupakan prima facie, artinya suatu kewajiban hanya bersifat mutlak sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dengan kata lain, suatu kewajiban adalah ‘kewajiban untuk sementara’. Apabila berdasarkan pertimbangan lain, ternyata kita tahu bahwa ada kewajiban lain yang lebih penting, kewajiban inilah yang harus didahulukan dari kewajiban pertama tadi. Dalam kasus di atas kiranya jelas bahwa tindakan menghargai nyawa sesama lebih penting daripada sebuah keyakinan ekstrem.
Sedangkan Scheler (1874-1924) mengatakan bahwa orang bertindak bukan demi kewajiban belaka, melainkan demi nilai-nilai. Analisis fenomenologis Scheler memperlihatkan bahwa nilai-nilai itu bisa digolongkan ke dalam empat bagian yang tersusun secara hirarkis. Pertama, nilai enak-tidak enak. Kedua, nilai vital, misalnya kesehatan dan keberanian. Ketiga, nilai rohani, yang meliputi nilai estetis (indah dan jelek) dan nilai etis (kebenaran dan keadilan). Keempat, nilai yang menyangkut obyek absolut (yang kudus, yang profan, dan nilai religius). Menurut Scheler, kewajiban moral terdiri dari keharusan yang dirasakan manusia untuk selalu merealisasikan nilai-nilai yang lebih tinggi di antara nilai-nilai yang mungkin terealisasikan. Namun ajaran Scheler ini diperbaiki oleh von Hildebrand (1889-1966) dengan membedakan antara nilai moral dan nilai non-moral. Kesehatan, misalnya, adalah nilai vital (nilai non-moral), namun kesehatan orang lain (nilai moral) adalah hal yang wajib saya perhatikan. Dengan demikian, jika seseorang benar-benar menggunakan akal budinya dalam menentukan tindakan moral, pastilah akan mempertimbangkan sistem hierarki nilai ini.
Kedua, orang berlaku permisif karena tidak mengetahui bahwa prinsip dan kaidah moral dapat diterapkan lewat berbagai cara, sesuai dengan beragamnya keadaan yang ada sepanjang berubahnya waktu dan masyarakat. Penerapan yang berbeda ini tidak berarti bahwa ada pluralitas prinsip dasar.
Ketiga, orang gagal menemukan prinsip moral yang memadai karena tidak menyadari banyaknya perbedaan yang sebenarnya merupakan akibat penerapan nilai-nilai dan prinsip umum yang berbeda dalam konteks keyakinan yang berbeda, misalnya perbedaan menyangkut sifat manusia, perbedaan alamiah antara jenis kelamin atau ras yang berbeda, dan menyangkut hubungan manusia dengan alam dan dunia adikodrati.
Keempat, terkadang orang berada dalam tekanan pikiran yang hebat sehingga terlalu berat untuk hidup dengan prinsip-prinsip moral. Di samping itu, terkadang ada banyak kepentingan praktis-psikologis yang dipilih seseorang untuk tidak menganut prinsip moral umum, misalnya mencari rasa aman.

Pertimbangan bagi Relativisme Moral Praktis
Mengenai bukti empiris bahwa tindakan yang dapat diterima secara moral cenderung berbeda-beda, baik antara berbagai masyarakat maupun antarwaktu, menurut Shomali, orang harus mempertimbangkan hal-hal berikut sebelum menarik kesimpulan relativistik (yang menciptakan sikap toleransi permisif) dari bukti itu.
Pertama, meskipun tidak ada kesamaan dalam prinsip dasar mengenai sistem moral yang berbeda, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang fakta-fakta nonmoral atau meskipun mengira bahwa perbedaan-perbedaan itu muncul hanya karena orang telah menganut berbagai ukuran moral, orang tidak beralasan menyimpulkan bahwa semua ukuran alternatif yang dianut atau sebagian darinya mestilah benar.
Kedua, ada berbagai kesamaan moral yang penting di seluruh budaya. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa prinsip atau ukuran moral yang dapat diterima secara universal. Pojman (1998:47) mengetengahkan daftar prinsip umum yang mencakup larangan melukai dengan sengaja, membunuh orang yang tidak bersalah, menimbulkan penderitaan, menipu atau mencuri, dan prinsip yang menganjurkan kesetiaan terhadap janji atau sumpah, bersikap adil, berbicara jujur, tahu berterimakasih dan menolong orang lain. Sedangkan James Rachels (2004: 58-60) menyebutkan nilai inti yang sama bagi semua masyarakat dan sebenarnya diperlukan bagi eksistensi sebuah masyarakat, yakni keharusan merawat anak-anak (keturunan), keharusan berkata jujur, dan larangan membunuh. Dari kedua pandangan itu, ada kesimpulan teoretis yang bersifat umum, yakni adanya beberapa prinsip moral universal bagi semua masyarakat. Jika tidak demikian, tidak ada masyarakat yang bisa survive.
Ketiga, adanya perbedaan dan perselisihan moral sejalan dengan adanya prinsip-prinsip moral yang bersifat umum. Menurut Shomali, perselisihan moral itu lebih terletak pada “keragaman penerapan”. Dua budaya atau individu mungkin saja berpegang pada prinsip dasar yang sama namun cara menerapkannya berbeda, karena adanya keyakinan metafisis atau keadaan yang berbeda.
Keempat, ada beberapa implikasi yang tidak dapat ditoleransi dari penolakan terhadap ukuran dan prinsip-prinsip moral yang sah secara universal (implikasi yang tidak diinginkan oleh relativisme moral) : (1) tidak ada manfaatnya bersandar pada ukuran orang lain. Jika relativisme moral benar, kita dapat memutuskan apakah perbuatan itu benar atau salah hanya dengan bersandar pada standar masyarakat kita. Tetapi hanya sedikit orang yang berpikir bahwa masyarakat mereka mempunyai standar moral yang sempurna; (2) upaya pembaruan moral tidak masuk akal. Jika relativisme moral benar, pembaruan moral dan para pembaru moral tidak dapat dibenarkan, karena mereka bertentangan dengan ukuran-ukuran yang sudah ada. Misalnya, orang yang berjuang pada abad ke-8 untuk menghapuskan perbudakan adalah salah, karena mereka menentang perbudakan ketika perbudakan itu sendiri tengah populer; (3) konsep kemajuan dan moralitas ideal tidak bermakna. Biasanya kita berpikir bahwa setidaknya beberapa perubahan (kemajuan) dimaksudkan agar masyarakat kita menjadi lebih baik; (4) tidak ada manfaatnya kritik moral. Jika adat-istiadat berfungsi untuk menentukan apa yang baik dan adil, tentu tidak akan ada ruang untuk mengkritiknya. Jika relativisme benar, orang dapat membuat kritik internal menurut standar mereka sendiri; (5) tidak adanya keyakinan moral mengarah kepada nihilisme. Ini berkaitan dengan fakta bahwa relativisme terkadang diidentifikasi dengan bentuknya yang paling ekstrem yang berpendapat bahwa segala sesuatu diperbolehkan. Namun ada juga fakta bahwa keyakinan dan komitmen moral bergantung pada cara memandang moralitas seseorang sebagai satu-satunya kebenaran atau yang paling masuk akal; (6) kegagalan mengevaluasi ukuran moral orang lain. Menurut relativisme moral, setiap ukuran moral suatu masyarakat tidak mungkin dinilai salah atau benar oleh orang lain. Oleh karena itu, agresi Nazi bukanlah hal yang tidak bermoral, karena menurut mereka sendiri tindakan mereka adalah benar. Kegagalan mencela perilaku semacam itu tampaknya tidak masuk akal. Agresi atau penjajahan selalu keliru di manapun ia berada.

Teori Relativisme Moral Modern
Pada bagian ini, saya sedikit menggambarkan usaha lain dari relativisme moral dalam membangun teorinya. Sekalipun tidak berkaitan langsung dengan relativisme moral praktis, setidaknya teori relativisme moral modern ini membantu kita untuk memetakan persoalan relativisme moral sebenarnya.
Gilbert Harman dan David Wong adalah tokoh relativisme moral yang penting dewasa ini, yang mencoba membangun argumen moderat guna menangkal serangan dan sanggahan terhadap relativisme moral. Mereka yakin bahwa argumen standar relativisme moral —bahwa dalam moralitas semua hal dibenarkan— tidaklah efektif atau bahkan tidak mungkin lagi untuk dianut. Mereka belajar banyak dari argumen-argumen lama, dan akibatnya memposisikan argumen mereka menjadi lebih rumit dibandingkan dengan argumen-argumen relativisme yang terdahulu.
Argumen pokok Gilbert Harman adalah pembahasannya mengenai dasar moralitas. Baginya, dasar moralitas tidak ada bedanya dengan sebuah konvensionalisme moral implisit. Moralitas bergantung pada tawar-menawar yang terjadi dengan sendirinya, yang menyesuaikan diri tanpa mesti dipaksakan diadakan perundingan tertulis. Konvensionalisme moral ini terjadi di dalam adat-istiadat atau budaya masyarakat, dan bisa saja berubah seiring dengan bingkai moralnya, yakni perubahan ruang dan waktu, pergantian generasi dan zaman.
David Wong membangun argumen relativismenya dengan mencoba mencari jalan tengah antara obyektivitas dan subyektivitas moral, mencoba mendamaikan pertentangan antara keduanya. Wong yakin bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antarpribadi (toleran). Kreasi sosial ini berbeda dengan teori konvensionalisme Harman. Teori relativisme moral Wong lebih bersifat kognitif, karena dia mampu menjelaskan dan mendefinisikan moralitas aktual yang sesuai dengan akal sehat dan pengalaman moral manusia. Bahkan dalam analisanya, dia menelurkan gagasan baru yakni mengenai “sistem moral yang memadai”. Dalam sistem inilah dia membedakan moralitas yang berintikan kebaikan dan moralitas yang berintikan hak.
Wong menjelaskan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan menekankan cita-cita tentang bentuk tertentu kehidupan masyarakat di mana individu diterima dan berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu dalam kebebasan dan kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidupnya. Kita dapat mengatakan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Moralitas tersebut menjelaskan berbagai bentuk sifat dan perbuatan sebagai kebaikan yang diperlukan guna mencapai kebaikan umum. Salah satu bagian penting dari moralitas semacam itu adalah pandangan tentang fungsi dan peran sosial. Sebaliknya, moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi yang mendahului, atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas. Moralitas semacam ini memberikan beberapa hak kepada individu untuk melindungi kepentingan mereka.

Dasar-dasar Moralitas
Membabi-buta meyakini relativisme moral sangatlah berbahaya karena berpotensi menjurus pada nihilisme dan anarki. Seperti yang sudah kita sadari pada awal tulisan ini, relativisme moral mengakibatkan seseorang begitu mudah menyatakan sikap toleransi alih-alih bersikap permisif saja. Orang dapat berbuat sesukanya atas nama toleransi, tanpa peduli tanggungjawab dan kewajibannya kepada sesama. Untuk itu, diperlukan seperangkat kriteria moral objektif yang bisa dijadikan pedoman bersama dalam menangani persoalan-persoalan moral pada umumnya. Pada bagian ini, secara menyeluruh akan dipaparkan gagasan Shomali mengenai dasar-dasar moralitas.

Moralitas dan Cinta-Diri
Menurut Shomali, moralitas didasarkan atas hasrat alamiah seseorang untuk memperbaiki diri sendiri dan keinginannya untuk mencapai cita-citanya. Teori ini dapat disebut ‘moralitas cinta-diri’. Untuk melindungi kepentingannya secara utuh, orang perlu memuaskan segala bentuk keinginan naluriahnya, termasuk keinginan untuk menjadi orang yang baik. Orang yang mencintai diri sendiri dan mencintai orangtua, anak-anak, kerabat dan sahabatnya mungkin pula mencintai semua manusia, hewan dan alam. Manusia tidak akan merasakan kehidupan yang menyenangkan jika mereka menyaksikan orang lain menderita atau kelaparan. Kepedulian mereka pada diri sendiri, demi kebahagiaan dan kesempurnaan mereka, mengharuskan mereka bersikap baik. Dengan demikian, teori moralitas cinta-diri mengakomodasi keinginan intrinsik dan asasi dalam diri manusia untuk membahagiakan orang lain, meskipun tidak ada kaitannya dengan kepentingan langsung manusia tersebut. Jadi, semua perbuatan yang disengaja dari setiap pelaku tindakan berasal dari keinginan asasi atau kecenderungan untuk memuaskan perhatian dan kepentingannya.
Di sini memang perlu dicatat bahwa cinta-diri sangat berbeda dengan mementingkan diri sendiri. Perbedaan antara egois dan tidak egois bukanlah ada atau tidak adanya cinta-diri. Perbedaan itu terkait dengan cara seseorang mempertimbangkan kepentingan dan tujuan serta mencoba memenuhi syarat-syarat cinta-diri.
Shomali menyimpulkan bahwa hasrat asasi dan kepentingan manusia yang membentuk moralitas bergantung pada watak manusia, yang memang sama pada setiap manusia. Ada hubungan nyata antara watak manusia dan hasrat maupun kepentingan di dalamnya, dan kedudukan moral dari setiap perbuatan bersumber dari hubungan nyata semacam itu. Dengan kesimpulan ini, pemikiran Shomali tentang moralitas berbeda dengan teori Harman yang yakin bahwa tuntutan moral hanya berlaku pada orang-orang yang memang ingin mengikutinya.

Membuat Keputusan Moral
Moralitas cinta-diri menentukan setiap manusia dalam mengambil keputusan moral. Lewat keputusan moral inilah, manusia mampu menentukan prinsip dasar moral universal, dan tidak membiarkan sikap permisif menguasai dirinya. Untuk sampai pada pengambilan keputusan moral, manusia akan melewati beberapa tahap rumit yang dipengaruhi beberapa faktor. Shomali mencoba menjelaskannya dengan memulai dari faktor pertama, yakni pemahaman dan penilaian. Menurutnya, manusia akan mustahil membuat keputusan tanpa memahami masalah tersebut. Manusia mesti berpikir tentang perbuatan itu dan akibatnya, manfaatnya ataupun kekurangannya. Baru setelah kita mempertimbangkannya, kita akan membuat penilaian terhadap perbuatan itu, benar atau salah. Lalu memutuskan untuk melakukannya atau tidak sama sekali. Selain itu, faktor ini juga mempengaruhi pengambilan sebuah keputusan di mana keputusan itu berangkat dari tindakan yang sudah pernah kita lakukan. Di sini, pemahaman dan penilaian menjadi semacam evaluasi diri.
Faktor kedua adalah melihat motivasi apa di belakang keputusan itu. Di sini Shomali mencoba membedakan antara ‘penalaran teoretis’ dan ‘penalaran praktis’. Penalaran teoretis berkaitan dengan keyakinan dan penalaran praktis berkaitan dengan hasrat atau niat. Shomali berpendapat bahwa setiap penalaran praktis didahului oleh beberapa bentuk penalaran teoretis. Pada mulanya seorang pelaku menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa dalam kenyataannya perbuatan tertentu adalah kondusif atau tidak kondusif bagi cita-citanya. Kemudian, setelah menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa salah satu alternatif memang lebih baik, dia mendapatkan sebuah motivasi untuk berbuat sesuai dengan alternatif itu. Hanya setelah termotivasi kita berniat atau memutuskan untuk melakukan perbuatan tertentu. Di sini dan selama melakukan penilaian, peran emosi dan hasrat sangatlah penting. Selain kedua peran itu, Shomali menambahkan bahwa peran akal tidak kalah pentingnya dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, tiga peran yang disebutkan Shomali menjembatani sekaligus antara emotivisme, hedonisme dan etika Kantian.
Shomali sependapat dengan Hume bahwa manusia punya kecenderungan bawaan untuk bersimpati terhadap orang lain. Atau seperti yang telah Shomali katakan bahwa setiap orang telah dibekali oleh moralitas cinta-diri.
Usaha demi kesenangan atau untuk memuaskan hasrat, tidak berarti kita menerima bentuk hedonisme murni. Shomali menyebutkan ada berbagai bentuk hasrat dan dengan demikian ada pula berbagai bentuk kesenangan. Dia setidaknya menyebutkan tiga bentuk. Pertama, hasrat ‘fisik’ atau ‘sensual’, yakni hasrat yang menimbulkan kesenangan fisik atau sensual, misalnya kesenangan yang muncul karena merasakan makanan yang lezat. Kedua, hasrat ‘semi-abstrak’, yakni hasrat yang tidak secara langsung disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik sehingga tidak berhubungan langsung dengan indera kita, misalnya kesenangan yang dirasakan orang karena mempunyai uang atau jabatan yang tinggi. Ketiga, hasrat ‘abstrak’, inilah hasrat sejati yakni hasrat yang dapat kita rasakan secara langsung, independen dan tidak dapat direduksi kepada hasrat yang lain, misalnya kesenangan yang diperoleh seseorang ketika dia memiliki rasa percaya diri atau rasa tenteram dalam pikiran atau perasaan bahagia. Hasrat abstraklah yang dimaksud Shomali dalam kaitannya dengan moralitas kita. Menurutnya, hasrat abstrak bukan hanya tidak mengarahkan kita kepada perbuatan jahat, tetapi bahkan cenderung menimbulkan sifat yang positif dan baik.
Dengan penjelasan tentang pengambilan keputusan di atas, Shomali berhasil menunjukkan bahwa moralitas baik dan buruk sama sekali tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan atau ditemukan oleh akal budi manusia dengan cara memperhatikan sifat, bakat, dan potensialitas manusia. Dan itu ukurannya sama pada setiap manusia. Oleh karena itu sifatnya universal.

Peran-Peran dalam Pengambilan Keputusan
Selanjutnya, Shomali mengatakan bahwa ada peran internal dan eksternal dalam keputusan moral manusia. Shomali yakin bahwa adanya pemahaman yang benar terhadap peran ini dapat menjelaskan situasi yang kondusif bagi seseorang dalam menentukan sikap moral. Shomali menyebutkan lima macam peran. Pertama, peran keyakinan, pengetahuan dan informasi.
Salah satu bagian penting keputusan moral kita adalah cara kita memahami sebuah persoalan, kemudian cara kita mendapatkan hasil dan akibat-akibat dari setiap sisi persoalan. Perbedaan dalam tataran ini dapat menghasilkan keputusan yang berbeda walaupun masalahnya sama. Bahkan orang yang memiliki cita-cita moral yang sama tidak terlepas juga dari perbedaan ini.
Kedua, peran hasrat. Hasrat merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan kita. Seperti sudah dijelaskan di atas, meskipun hasrat sejati sama pada semua manusia, mungkin penerapannya berbeda. Yang perlu ditekankan pada hasrat sejati adalah arahnya yang selalu pada perbuatan baik. Sedangkan hasrat fisik, sifatnya netral, maksudnya dapat dipuaskan dengan cara yang bermoral maupun tidak bermoral. Dari sinilah seringkali perbuatan buruk berasal.
Ketiga, peran keinginan dan keputusan seseorang. Meskipun ada banyak pembatasan yang diakibatkan oleh berbagai keadaan internal dan eksternal, manusia bebas untuk membuat keputusannya. Tanpa keyakinan akan kehendak bebas, maka sebenarnya tidak ada moralitas. Dan dalam kehendak bebasnya itu, manusia pastilah menganut nilai atau cita-cita yang mengarahkan perbuatan mereka.
Keempat, peran kemampuan mental dan intelektual serta bakat (misalnya kebiasaan baik). Kelima, peran keadaan. Yang dimaksud dengan keadaan adalah sifat atau ciri khas yang berada di sekitar pembuatan keputusan. Itu bisa keadaan fisik dan mental pelaku (mis: sehat atau sakit), perasaan pelaku (mis: senang atau sedih), kemampuan pelaku, keadaan orang lain yang terlibat, waktu, tempat, hukum, budaya, sumber alam yang ada, alat, dan sarana. Setiap perubahan dalam kondisi ini akan mengharuskan pelaku mengubah penilaian terhadap keputusan atau tindakan mereka.
Selanjutnya Shomali menjelaskan bahwa setiap keputusan mestilah memenuhi syarat-syarat pilihan rasional. Dalam hal ini, Shomali mengadopsi pemikiran Paul Taylor. Taylor percaya bahwa sebuah pilihan adalah rasional selama ia bebas, tercerahkan, dan netral. Tetapi situasi ini memang sedikit utopis, karena Taylor sendiri yakin bahwa tidak ada pilihan yang sepenuhnya bebas, tercerahkan dan netral. Namun Shomali menganjurkan hal ini sebagai alat bantu bagi pelaku tindakan untuk membuat penilaian dan keputusan yang lebih baik.
Syarat-syarat kebebasan adalah tidak ditentukan oleh motif yang tidak disadari, tidak dalam keadaan terpaksa atau dengan kata lain orang tersebut sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh hambatan eksternal, dan segala pilihan sepenuhnya ditentukan oleh keputusan orang itu sendiri. Syarat pencerahan adalah mengetahui hakikat jalan hidup yang dipilih, mengetahui segala kemungkinan akibat-akibat dari menjalani suatu pandangan hidup, dan mengetahui sarana apa yang diperlukan untuk menjalankan pandangan hidup itu. Syarat sikap netral adalah bersifat murni, tidak memihak atau bersifat objektif, dan tidak menyimpang, maksudnya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis bawaan yang kronis.

Sifat Manusia: Hal yang Diabaikan oleh Relativisme Moral
Setelah mengikuti alur penjelasan Shomali di atas, terakhir dia menekankan bahwa adanya perbedaan cita-cita atau nilai moral semata tidak menyiratkan bahwa tidak ada satu moralitas yang benar dan paling masuk akal. Menurutnya ada hubungan nyata antara cinta-diri kita dan hasrat, cita-cita dan sifat kita yang sejati. Agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, kaum relativis harus menunjukkan adanya perbedaan jenis sifat manusia. Masyarakat atau individu dengan sistem moral yang berbeda harus terbukti tidak termasuk dalam spesies manusia yang sama. Dan itu tidak mungkin! Salah satu implikasi yang tidak dikehendaki dari pandangan ini adalah bahwa jika seseorang atau sebuah masyarakat memutuskan untuk menganut sebuah moralitas baru, maka orang itu atau masyarakat itu pertama-tama harus mengubah sifat-nya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak dapat mengubah pendirian moral mereka, kecuali jika sifat mereka sudah diubah. Inilah, menurut Shomali, yang tidak dapat diterima oleh kaum relativis.
Kajian tentang sifat manusia jauh lebih sulit daripada yang dapat dilakukan dalam pembahasan tentang relativisme moral. Menurut Shomali ada alasan yang baik untuk berpikir bahwa manusia memiliki sifat yang sama. Tentu secara biologis manusia itu sama. Tetapi yang dimaksud Shomali dengan sifat manusia lebih dari sekadar unsur biologis. Sifat manusia merupakan pandangan ontologis yang menciptakan sifat-sifat yang sama pada semua manusia. Seandainya tidak ada sifat semacam ini di antara manusia, tentu tidak akan ada ruang bagi disiplin ilmu-ilmu. Semua ilmu ini berasumsi bahwa manusia itu sama dan bersikap sama dalam keadaan yang sama.
Manusia terikat dengan sifat mereka dan manusia dengan sifat yang sama itu tidak dapat menganut moralitas yang berbeda. Kaum relativis harus menunjukkan bahwa manusia yang berada dalam keadaan yang sama dapat memiliki moralitas yang berbeda. Ini bisa dianalogikan seperti misalnya kesehatan. Manusia dalam keadaan yang berbeda mungkin membutuhkan bentuk perawatan yang berbeda atau jenis makanan maupun vitamin yang berbeda. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa manusia secara biologis dan fisik hampir sama dan dalam keadaan yang sama mereka membutuhkan gizi dan perawatan kesehatan yang sama. Oleh karena itu, perbedaan dalam bentuknya tidak berarti bahwa kesehatan bukanlah tujuan, atau tidak ada prinsip umum menyangkut kesehatan.
Dengan demikian, objektivitas moral atau penolakan terhadap relativisme moral tidak memutlakkan bahwa semua orang harus berbuat sama. Orang yang berbeda dengan sifat yang sama secara moral bisa diharapkan untuk berbuat secara berbeda. Yang diduga akan dilakukan oleh seorang anak kecil berbeda dari apa yang harus dilakukan oleh orang dewasa. Hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang ibu jelas berbeda dari hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang anak, saudara, atau istri. Orang yang sama, dengan peran yang sama secara moral, bahkan mungkin saja harus melakukan sesuatu yang bertentangan pada waktu atau tempat yang berbeda. Misalnya, Ibu M yang harus menyusui anaknya yang masih bayi, tetapi dia tidak boleh berbuat serupa ketika anak-anaknya itu sudah dewasa. Oleh karena itu, berasumsi bahwa orang yang berbeda mempunyai sifat yang berbeda atau kewajiban maupun tanggungjawab yang berbeda tidak membuktikan relativisme.

Karakteristik Cita-cita Moral yang Benar
Dengan menggunakan pemikiran yang telah dikembangkan sebelumnya, Shomali mencoba menyusun argumennya tentang absolutisme. Argumennya berangkat dari kenyataan bahwa setiap manusia pasti memiliki cita-cita. Dalam prakteknya, manusia menganut berbagai bentuk cita-cita. Cita-cita ini dibentuk oleh berbagai faktor, semisal agama, budaya, pendidikan, profesi, dan lingkungan keluarga. Cita-cita yang dianut melalui cara ini mungkin saja berbeda dan memang bertentangan satu sama lain. Tetapi memiliki fungsi yang sama, yakni menentukan nilai seseorang dan menciptakan bentuk kehidupannya. Setiap orang yang berakal harus selalu memikirkan cita-citanya dan melihat apakah cita-cita itu layak dianut sebagai cita-cita atau tidak. Maka di sini, kita harus membedakan antara apa yang Shomali sebut sebagai cita-cita moral yang sejati dan apa yang secara kebetulan (relatif) dianut sebagai sebuah cita-cita moral.
Shomali menyusun enam karakteristik cita-cita moral yang sejati. Pertama, cita-cita moral yang sejati pastilah selaras dengan sifat manusia. Kedua, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dipahami oleh akal kita, sehingga kita bisa mengikutinya. Ketiga, cita-cita moral itu memenuhi syarat rasional, yakni bebas, tercerahkan dan netral. Keempat, cita-cita moral yang sejati pastilah didukung oleh hasrat sejati kita. Jika tidak demikian, ia tidak dapat menggerakkan kita untuk bertindak menurut apa yang kita anggap baik bagi kita. Kelima, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dicapai dan bersifat praktis. Jika tidak demikian, ia hanyalah mimpi saja dan bukan pedoman hidup. Keenam, cita-cita moral yang sejati mampu mencakup nilai dan ukuran moral yang lain dan menempatkannya dengan tepat dalam tingkatan nilainya, sehingga dapat menjelaskan tujuan atau nilai yang dituju atas suatu perbuatan.
Menurut Shomali, cita-cita memiliki kedudukan penting dan krusial dalam sistem nilai manusia. Terlepas apa atau bagaimana seharusnya cita-cita moral itu, dan terlepas apakah “baik” dapat didefinisikan atau tidak, bagi setiap orang, cita-cita moral merupakan kebaikan tertinggi. Jika misalnya kita menanyakan setiap orang tentang alasan tindakannya, lambat laun dia akhirnya mencapai titik di mana dia tidak dapat bertolak lebih jauh lagi. Titik inilah yang kita anggap sebagai cita-citanya atau tujuan tertingginya. Sedangkan tujuan-tujuan lain hanyalah suatu rangkaian tujuan yang muaranya adalah cita-cita tertinggi itu. Kedekatan atau kejauhan tujuan-tujuan lain tadi dengan tujuan tertinggi akan menentukan kedudukan setiap tujuan atau nilai dalam sistem moral tersebut. Dengan mempertimbangkan hierarki nilai itu, pelaku tindakan dapat memutuskan apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan konflik praktis antara beberapa nilai. Orang harus membedakan antara yang baik dan yang lebih baik atau antara yang buruk dan yang lebih buruk. Shomali menambahkan bahwa argumen relativisme moral sebenarnya berangkat dari perselisihan membedakan manakah hierarki nilai yang benar.

Tali Simpul: Menyoal Korupsi
Pada bagian terakhir Shomali mengembangkan teori tentang dasar-dasar moralitas. Dia mencoba menyelami hakikat moralitas, cita-cita moral dan sifat-sifatnya, berbagai faktor yang terdapat dalam proses itu dan hasil dari pengambilan keputusan. Menurut Shomali, setiap sistem moral didasarkan atas cita-cita moral. Pada mulanya cita-cita moral menentukan nilai seseorang dan kemudian menata nilai-nilai itu. Bagi setiap orang, cita-cita moralnya merupakan kebaikan tertinggi atau tujuan akhir. Cita-cita moral kita pada gilirannya ditentukan oleh cinta kita kepada diri sendiri, dan dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk hidup bahagia. Status moral setiap perbuatan bergantung pada hubungan antara perbuatan itu dan cita-citanya. Sebuah perbuatan adalah baik jika ia dapat mengantar kita pada cita-cita kita. Cinta kita kepada diri sendiri juga membentuk serangkaian hasrat yang mungkin memberi kita motivasi yang memadai untuk melaksanakan apa yang diajarkan penalaran praktis kepada kita. Hal itu menjadi sarana yang baik demi mencapai cita-cita, tujuan dan maksud kita. Apapun yang dituntut oleh hasrat sejati kita (hasrat yang nyata dan tidak dapat direduksi) menjadi nilai alamiah bagi kita. Fakta ini sangat erat kaitannya dengan fakta lain, bahwa “baik” dan “buruk” tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan serta ditemukan oleh akal manusia dengan cara mencermati hakikat, bakat, potensi, dan kesempurnaan manusia.
Selanjutnya Shomali mengatakan bahwa satu-satunya usaha yang masuk akal bagi kaum relativis atau penganut toleransi permisif adalah menunjukkan bagaimana setiap individu atau masyarakat dapat menganut cita-cita yang sejajar dan rasional. Namun, agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, mereka harus membuktikan adanya bermacam-macam sifat manusia, sebab menurut Shomali ada hubungan yang nyata antara cita-cita dan sifat manusia. Masyarakat atau individu, dengan bermacam sistem moral harus dianggap bagian dari spesies manusia yang berbeda, bukan bagian dari apa yang biasanya kita pahami sebagai sifat manusia yang sama. Dengan menyebutkan implikasi yang tidak masuk akal dari asumsi ini, Shomali berpendapat bahwa sikap menerima perbedaan sifat manusia tidak malah berarti mendukung toleransi permisif. Sebab manusia terikat pada sifatnya. Orang yang sama tidak dapat menganut moralitas yang berbeda, sedangkan kaum toleran permisif harus membuktikan bahwa orang yang sama dalam keadaan yang sama benar-benar dapat memiliki moralitas yang berbeda.
Dengan demikian, apa yang digagas oleh Shomali mengenai dasar-dasar moralitas memberikan jawaban yang memadai mengenai aspek penting yang dapat mengubah seseorang melakukan tindakan moral universal. Wacana-wacana kontemporer seperti multikulturalisme, HAM, korupsi, aborsi ataupun etika lingkungan di Indonesia dapat berpijak dari teori ini.
Baiklah bila di akhir tulisan ini, kita memakai gagasan Shomali sebagai pisau cukur dalam menjawab persoalan tentang korupsi. Setidaknya ada tiga permasalahan di balik korupsi. Pertama, budaya korupsi mewabah karena adanya prinsip tahu sama tahu di antara orang-orang di dalam birokrasi apapun di negeri kita ini. Ada semacam konvensionalisme moral implisit, toh sama-sama melakukan korupsi, jadi tidak perlu dilaporkan apalagi dibicarakan —sambil diam-diam memasukkan uang ke dalam kantongnya. Makanya, para koruptor tidak merasa bersalah dengan tindakannya karena mereka memiliki alibi bahwa ada banyak orang yang melakukan hal yang sama. Dengan demikian kalau ada banyak orang melakukannya, kejahatan tersebut adalah sesuatu hal yang biasa. Akibatnya, kebiasaan itu menciptakan hak. Dan kalau satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab. Kalau “semua bertanggungjawab” bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggungjawab? Ini berarti di antara mereka sendiri tidak mungkin saling menyalahkan. Di sini timbullah semacam kreasi sosial, yang secara tidak sengaja dirancang untuk mengatasi pertentangan antarpribadi. Lebih baik membiarkan saja –toleran dan bertindak permisif— daripada ikut terjerat dalam hukum.
Kedua, tiadanya sanksi hukum membuat orang berani melakukan korupsi karena yakin tidak ketahuan atau didiamkan saja. Ketiga, korupsi itu berwajah banyak atau anonim, sebab yang dirugikan tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan penyelewengan uang negara atau rakyat. Siapa yang dirugikan tidak langsung terlihat, berbeda dengan penodongan atau perampokan.
Dari ketiga permasalahan itu, tampak jelas bahwa orang lebih baik bertindak permisif dan toleran daripada memulai untuk mengungkapkan korupsi atau menjadi seorang whistle blower, apalagi bila keberanian untuk jujur itu menjadi ‘senjata makan tuan’, seperti yang dialami oleh Khairiansyah sendiri. Keberanian itu taruhannya memang mahal. Tetapi bila sikap permisif lebih dibudayakan, tidakkah itu berarti kita bukan manusia atau melawan kodrat kemanusiaan kita —seperti apa yang dikatakan Shomali! Jadi, sekalipun keberanian itu mahal harganya, itu tidaklah melawan nilai alamiah (kodrat) yang kita miliki, malahan justru sejajar dengannya.
Selain itu, manusia dengan sifatnya pastilah memiliki cita-cita. Cita-cita yang merusak—lewat praktek korupsi—bukanlah cita-cita yang sejati. Itu hanyalah cita-cita yang secara kebetulan dianut, demi hasrat fisik kita semata. Oleh karena itu, tidak ada cara lain dalam menghancurkan budaya korupsi kecuali dengan cara melawan budaya permisif. Sebab, melawan budaya permisif terhadap korupsi sama halnya dengan mengedepankan salah satu nilai dalam cita-cita kemanusiaan kita, yakni nilai kejujuran. Sebagai kata akhir, peganglah diktum ini, “Hentikan budaya permisif!”***

-salah satu artikel dlm Buku "Korupsi Kemanusiaan" (Andang Listya ed.)
Read More...

Rabu, September 17, 2008

Bangunlah dan Berjalanlah

Derita dan kesusahan manusia tiada pernah habis-habisnya. Setiap hari, entah lewat media massa maupun media elektronik, kita dengar dan lihat cuplikan peristiwa kecelakaan, bencana alam, peperangan, kerusuhan, penggusuran, dsb. Sontak —seringkali— berita itu membuat kita miris kasihan, tergerak hati untuk membantu. Tapi, biasanya rasa kasihan itu hanya bertahan beberapa menit saja. Obyek perhatian beralih pada berita yang lain. Dan berita kesusahan tadi hilang, seperti dibawa angin.
Mengapa ini bisa terjadi?

Ada banyak alasan yang membuatnya demikian. Alasan pertama karena orang itu belum pernah merasakannya sendiri dan tidak bersentuhan langsung dengan kejadian itu (jauh dari tempat kejadian). Alasan kedua, tuduhan bahwa bencana itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri, misalnya tidak memelihara lingkungan dengan baik. Atau alasan ketiga, dukungan bagi musuh korban, misalnya memuji penggusuran karena itu berarti menertibkan lingkungan kota dari sesuatu hal yang mengurangi keindahan.
Cuplikan tentang kehidupan sehari-hari di atas dan reaksi di sekitar peristiwa itu memberikan gambaran singkat tentang sebuah paradigma moralitas yang lemah. Menurut Irish Murdoch “the enemy is the fat relentless ego.” Musuh kita adalah ego kita. Kekuatan ego membuat seseorang tertahan pada dirinya sendiri dan karena itu, tindakan yang semestinya dilakukan sama sekali tidak tersentuh.
Ego itu menunjuk pada kehendak otonom manusia. Tetapi kehendak otonom ini berhenti pada tuduhan saja dan tidak menyentuh pada realitas yang sebenarnya. Padahal kehendak otonom manusia itu selalu terarah pada ‘yang baik’. Setiap peristiwa, tidak hanya terbatas pada peristiwa kesusahan dan penderitaan, memiliki suatu daya tarik ‘yang baik’. Namun, daya tarik ini hanya bisa kita rasakan bila kita bangun (keluar dari diri kita) dan berjalan (melihat dengan mata kita) melihat realitas di sekitar kita, menolong atau memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan kita. Oleh karena itu, “Bangunlah dan Berjalanlah!” (Luk 5:23), lakukanlah hal-hal ‘yang baik’ untuk kita lakukan.

-published by Majalah Utusan, April 2006
Read More...