Senin, Juni 13, 2011

Tanggapan untuk Posting terakhir

KASUS 1
Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 3 masalah moral yang utama.

Pertama, masalah keinginan keluarga (terutama ayahnya) untuk mencabut selang makanan yang membuat Tarno tetap bertahan hidup. Dalam moralitas, perbuatan ini sering disebut sebagai tindakan euthanasia. Euthanasia sendiri terdiri dari beberapa macam. Setidaknya ada 5 bentuk euthanasia: Euthanasia pasif (mis: dengan mencabut selang), euthanasia aktif (bisa dilakukan oleh dokter/orang lain, bisa juga dilakukan oleh pasien langsung), euthanasia tidak langsung (dg tindakan medik, tp tidak lgsg menyebabkan kematian), voluntary euthanasia (pasien sadar dan meminta sendiri) dan involuntary euthanasia (pasien sudah tidak sadar dan orang lain yang memutuskan).
Untuk kasus tindakan yang akan dibuat oleh keluarga terhadap Tarno termasuk kategori euthanasia pasif. Mengapa hanya pasif, apa pendasaran pokoknya? Pendasarannya adalah prinsip ordinary-extraordinary. Dalam prinsip ini, tindakan itu menjadi wajib hanya boleh dikenakan pada hal-hal yang biasa dan bisa dicapai oleh orang pada umumnya. Sedangkan hal-hal luar biasa yang pencapaiannya sulit tidaklah boleh dikenakan sebagai kewajiban umum kepada semua orang.
Nah, penggunaan selang makanan bagi penderita koma, yang biasanya hanya bisa kita temukan dalam ruang ICU, adalah termasuk kategori extraordinary. Penggunaan ruang ICU tidak bisa kita wajibkan kepada semua orang. Lalu, terkait dengan kasus Tarno, apakah dengan demikian pencabutan selang itu diperbolehkan? Jika, melihat sisi extraordinary-nya, itu tidaklah menjadi masalah. Para moralis dan kaum agamawan umumnya memandang cara ini (euthanasia pasif) tidak masalah. Sebab, dalam kondisi misalnya tidak ada ICU di suatu tempat tertentu, Tarno mungkin sudah tidak bisa bertahan selama 5 bulan. Penggunaan ICU membuat Tarno bertahan hidup lebih panjang. Jadi pelepasan selang mengembalikan kondisi Tarno pada situasi ordinary.
Tetapi, jika pelepasan selang itu semata-mata demi alasan ekonomi, tindakan itu tidaklah bijak. Artinya, value dari ekonomi kalah penting dari value dari kehidupan. Bagaimanapun juga kehidupan haruslah diperjuangkan. Toh, keluarga bisa meminta kepada pemerintah untuk membantu meringankan biayanya (ini adalah kewajiban negara untuk menyediakan Jamkesmas bagi warga yang kurang mampu).
Dalam Kitab suci, kita bisa belajar dari tokoh Ayub. Maka, pemecahan masalahnya bisa menggunakan kisah Ayub ini sebagai cerita inspiratif untuk keluarganya. Keluarga harus diajak tabah, tetap berpasrah pada Tuhan. Jangan hanya semata-mata demi alasan ekonomis saja.

Kedua, masalah penggusuran atas nama manfaat (banyak orang).
Cara ini seringkali dijadikan kampanye paling efektif dari pemerintah untuk melaksanakan rencana pembangunan dan sekaligus penertiban warga yang tinggal di wilayah pemerintahan mereka. Tetapi, bila kita lihat lebih seksama, asas manfaat ini tidak bisa dibenarkan. Meski bermanfaat bagi “banyak” orang, tetap saja ada orang yang dirugikan, meskipun itu hanya “segelintir”. “Segelintir” ini juga manusia lho, bukan mainan. Ingat, pernyataan Kayafas kepada orang Yahudi ketika Yesus akan dihukum, "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa." Pernyataan ini hanya berlandaskan pada asas manfaat. Yesus dikorbankan demi kepentingan banyak orang.
Solusinya adalah meminta pemerintah dan warga mencari waktu dan tempat untuk musyawarah. Harus ditemukan titik temu yang win-win solution. Tidak boleh ada satu pun yang dirugikan. Di Indonesia sudah ada beberapa contohnya. Pemerintah kota Yogyakarta dan kota Solo termasuk dalam kategori pemerintah yang berjuang tidak sekedar seenaknya menggunakan asas manfaat. Meski ada penertiban, warga yang ditertibkan diberi ganti rugi yang seimbang dan malahan justru menguntungkan warga sendiri.

Ketiga, masalah bentrokan antara satpol PP dan warga. Bentrokan ini terjadi sebagai implikasi dari kebijakan penggusuran yang dibuat oleh pemerintah. Satpol PP dalam kasus ini seringkali tidak bisa langsung disalahkan. Mereka hanyalah alat dari pemerintahan. Mereka dibayar oleh pemerintah. Tokoh sentral dalam penggusuran ini adalah pemerintah. Penting di sini digarisbawahi soal prinsip keadilan. Dalam moral sosial, keadilan dan bonnum commune (kebaikan bersama) menjadi prinsip yang paling pokok. Ajaran sosial Gereja sudah banyak membicarakan hal ini. Bila menilik pokok permasalahan yang terpenting, pemerintah dan masyarakat harus saling bertemu. Bila di dalamnya ada kepentingan bisnis (pengusaha), maka kelompok ini juga harus ikut dalam pertemuan itu. Mufakat dan hasil yang berimbang dari 3 posisi sentral (pemerintah-rakyat-pengusaha) ini tentu harapannya.





KASUS 2
Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 4 masalah moral yang utama:

Pertama, masalah aborsi. Aborsi adalah termasuk tindakan membunuh. Yang dibunuh adalah janin manusia yang masih di dalam rahim seorang perempuan. Dewasa ini ada kecenderungan antara pilihan pro-life atau pro-choice. Pro life adalah opsi untuk tetap mempertahankan kehidupan, meski dalam keadaan dilematis sekalipun. Sementara pro-choice, si ibu bisa memilih yang terbaik bagi hidupnya (hanya dalam kondisi medis yang harus mengorbankan janinnya).
Dalam kasus ini, permintaan Doni tidak ada sangkut pautnya dengan pro-choice (karena bukan persoalan medis). Doni meminta aborsi, karena kehadiran bayi itu tidak diinginkan.
Memang, dalam kasus ini tindakan aborsi itu sendiri belum terjadi. Tetapi, baru ‘niat’ saja sudah membuat tindakannya intrinsik jahat.
Aborsi tidak saja masuk dalam kategori membunuh biasa. Dalam Gereja katolik, pelaku aborsi (pelaku langsung maupun tidak langsung) dikenai sanksi eks-komunikasi. Dan rekonsiliasinya harus dipenuhi lewat pengakuan dosa secara khusus. Mengapa berefek demikian? Karena aborsi pada dasarnya sama saja dengan membunuh manusia yang masih belum bisa membela dirinya; di mana seharusnya kita menjaga dan merawat janin ini, aborsi justru melawannya. Di sinilah pokok kejahatan dari aborsi.

Kedua, masalah kehamilan di luar nikah. Perihal kehamilan di luar nikah, itu terkait dengan moral keluarga. Dalam weekend moral tempo hari kita sudah mendalaminya secara khusus. Problem pokok kehamilan di luar nikah adalah kesalahan dalam memaknai arti cinta. Cinta adalah anugerah dari Tuhan yang istimewa. Cinta yang lahir lewat pasangan mestilah dihidupi sebagaimana seperti cinta Tuhan kepada manusia.
Selain itu, Gereja juga menegaskan (seperti juga disebutkan dalam kitab suci) bahwa perkawinan itu adalah sakral. Perkawinan bukan sekedar hubungan intim suami-istri. Di dalam perkawinan, intrinsik hadir karya Tuhan.

Ketiga, masalah kontrasepsi. Meski masalah ini tidak terlalu nyata, tetapi permintaan Doni kepada Santi untuk meminum pil anti-hamil, berarti di dalamnya ada unsur anjuran penggunaan alat kontrasepsi. Supaya bahasan untuk masalah ini tidak terlalu rancu, penting diingat bahwa alat kontrasepsi bukanlah diperuntukkan bagi pasangan yang belum menikah. Secara moral alat itu hanya ‘boleh’ digunakan atau dipakai untuk orang yang sudah menikah. Lalu, jika syarat pernikahan sudah terpenuhi, barulah kita bicara bagaimana tanggapan gereja terhadap penggunaan kontrasepsi. Pada intinya, Gereja tidak memperkenankan pengaturan kelahiran dengan cara penggunaan alat-kontrasepsi, apalagi jika alat tersebut bersifat kontra-vita (sama saja dengan membunuh/aborsi). Yang gereja minta dari pasangan adalah pengaturan kelahiran secara alami (atau istilahnya KB Alami).

Keempat, masalah relasi berpacaran lewat facebook. Ada dua cabang masalah dari persoalan ini. Yang pertama soal bagaimana berelasi yang baik, dan yang kedua soal alat komunikasi (facebook).
Dalam membangun relasi yang baik, apalagi dalam rangka pacaran, haruslah dipergunakan sarana-sarana yang baik dan mendukung pula. Dalam tradisi gereja, masa pacaran adalah kesempatan bagi pasangan untuk sungguh mengenal pasangan, sehingga kelak siap masuk dalam jenjang pernikahan. Sifat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan sungguh mengharapkan setiap pasangan siap sehidup-semati dengan pasangannya. Maka, pacaran menjadi kesempatan untuk sungguh mengenal satu sama lain. Sementara itu, kembali ke kasus kualitas relasi antara Santi dan Doni memang patut dipertanyakan.
Lalu, soal facebook. Dalam dirinya sendiri, facebook bersifat netral. Tetapi, di hadapan pengguna, facebook bisa menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi bisa memberi dampak positif, relasi menjadi lebih baik; tetapi bisa memberi dampak negatif, manakala di dalamnya dipenuhi unsur-unsur penipuan.






Solusi untuk masalah ini adalah merawat janin itu dan membiarkan lahir. Lalu meminta Doni bertanggungjawab dan meminta keduanya meningkatkan relasi sehingga berkualitas. Jika kemudian mesti menikah dini, kualitas relasi itu mesti dikondisikan. Bagaimanapun juga pernikahan dini terhitung cacat. Pernikahannya ada unsur ‘terpaksa’. Yang namanya ‘terpaksa’, di mana-mana seringkali berdampak buruk. Maka buatlah ‘keterpaksaan’ itu menjadi sikap pasrah. Pengalaman ini adalah kesempatan berahmat bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dengan merawat janin itu dan menjalani hidup berkeluarga, rahmat itu pasti direngkuh dengan baik.


Catatan: bagian yang dicetak tebal adalah kata-kata kuncinya.

Read More...

Jumat, Mei 27, 2011

Titipan Untuk Gen. AX dan AY

Teman-teman yang terkasih dan tersayang, postingan kali ini adalah titipan buat teman-teman yang dikenal sebagai Generasi AX dan AY. Ini 2 kasus yang baik untuk kita pelajari bersama. Dua kasus ini adalah gabungan dari beberapa kejadian/kasus di kehidupan nyata. Semoga kita bisa belajar dari 2 kasus ini!

Kasus 1

Tragis sekali nasib Tarno. Dalam peristiwa bentrokan antara Satpol PP dan warga Penjaringan, Jakarta Utara, 5 bulan lalu, Tarno menjadi salah seorang korban dari pihak Satpol. Kondisinya sekarang masih dalam keadaan koma di RS Cipto Mangunkusumo. Keluarganya masih mencoba bersabar menanti kesembuhan Tarno, meskipun telah diusahakan pengobatan sedemikian rupa. Dalam peristiwa bentrokan 5 bulan lalu itu, Tarno dan teman-temannya mendapatkan perintah dari atasannya untuk menertibkan dan menggusur pemukiman di wilayah Penjaringan, karena di lahan itu akan segera dibangun Pembangkit Listrik. Bentrokan itu sendiri terjadi karena warga setempat masih menuntut hak mereka atas biaya ganti rugi. Tetapi pemerintah merasa sudah menjalankan kewajibannya, apalagi pemerintah punya alasan kuat, bahwa pembangunan pembangkit listrik ini akan bermanfaat bagi banyak orang. Pemerintah berasumsi para warga Penjaringan sewajarnyalah harus mau bekerjasama, karena ini demi kepentingan orang banyak. Sementara itu, terlepas dari persoalan bentrokan itu, ayah Tarno sudah pasrah dengan kondisi anaknya, bahkan ayahnya telah mengajukan permohonan kepada rumah sakit supaya mencabut selang saluran makanan tersebut dan merelakan anaknya pergi selamanya. Keluarga besar melihat sudah tidak ada harapan dan tanda-tanda kesembuhan dari diri Tarno. Apalagi keluarga sudah tidak sanggup lagi membiayai perawatannya.

Kasus 2

Santi mendapati dirinya mengandung. Doni, pacarnya marah habis-habisan karena sebulan yang lalu, pada waktu kejadian itu terjadi, Santi tidak mau minum pil anti-hamil, pil yang biasanya dipakai ibu-ibu bila ingin menjalankan program KB. Doni tidak mau bertanggungjawab atas kejadian ini dan menganjurkan Santi untuk menggugurkan kandungannya. Tapi, Santi takut akan tindakan itu. Sebaliknya, Doni juga menakut-nakuti Santi, sebabnya orangtua Santi kebetulan seorang kepala desa. Doni mengancam, jika Santi tidak mau menggugurkan, pasti keluarganya akan marah-marah, sebab itu menjadi sebuah aib buat keluarga. Belum lagi, masa depan Santi masih panjang, dan sekarang Santi juga baru kelas 1 SMA. Jauh sebelum permasalahan ini muncul, proses pacaran Santi dan Doni terbilang belum lama. Mereka baru berpacaran 3 bulan ini. Mulanya mereka bertemu lewat facebook. Lewat media itu, dan setelah bertukar sekian banyak message, Doni ujung-ujungnya mengajak “kopi darat”. Setelah perjumpaan itu, pertemuan mereka semakin sering. Doni tertarik dan memacari Santi, padahal selisih umur mereka lumayan jauh. Doni sendiri sekarang adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang sudah berumur 27 tahun.


Dari 2 kasus ini, cobalah pikirkan pertanyaan-pertanyaan kritis berikut ini:
  1. Sebutkan apa saja masalah moral yang ada di dalamnya!
  2. Tinjaulah masalah tersebut dengan bahasan teologi moral yang sudah kita dalami dan pelajari!
  3. Dan, berikan tanggapan kritis terhadapnya (ajaran kristiani, ajaran sosial, dsb.)!
  4. Jika memang perlu, buatlah solusi dan tujukan kepada siapa saja solusi tersebut harus diberikan?
Read More...

Kamis, Mei 12, 2011

Perubahan Nama Blog

Teman-teman, ada satu hal yang mau saya informasikan lewat blog ini.
Saya baru saja mengubah satu nama blog dari trilogi blog yang saya miliki dan kelola.

Nama blog yang lama adalah ini:


Sekarang menjadi ini:


Mengenai konten, visi dan misi yang diemban blog tersebut tidak ada perubahan sama sekali.
Ini hanya soal nama blog saja, supaya lebih mendarat dengan isi yang selama ini di posting.
Judul awal agak terlalu luas jangkauannya, padahal isi tulisannya lebih menyangkut soal Indonesia. Dan, memang Indonesia lah yang hendak disasar.

"For better Indonesia" adalah sebuah impian.
Mungkin ada pertanyaan, apakah Indonesia sekarang tidak baik?
Menurut saya, Indonesia sekarang sudah baik. Hanya saja ke-baik-an ini perlu dilanjutkan dan dikembangkan lagi; jangan malah menjadi semakin mundur. Oleh karena itu judulnya "For better Indonesia", untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Itulah harapannya! Semoga!
Read More...

Selasa, Mei 10, 2011

“Cémén Loe!”

“True friends are like diamonds, precious and rare. False friends are like leaves, found everywhere.”
--Author Unknown--


Pernah tidak teman-teman dianggap sebagai penakut? Apapun bentuk dan sumber ketakutan itu, kamu pasti pernah mengalami sebuah ketakutan. Seperti yang dialami Dodi ketika diajak teman-temannya untuk cabut dari sekolah.

“Eh, Dod, tahu nggak? Loe tuh masih akan seperti anak kecil, kalau cabut sekali-sekali saja gak berani! Cémén tahu gak sih loe!”

Begitulah teman-teman se-genk-nya menggoda Dodi untuk bolos dari sekolah.
Ya, ketakutan yang dialami Dodi ini adalah ketakutan karena diajak untuk berbuat sesuatu yang buruk. Ketika muncul ketakutan, hati nurani kita menggugat, apakah mau mengambil tindakan tersebut atau mau menolaknya. Selama kamu masih mengalami sebuah ketakutan, berarti kamu masih sadar bahwa perbuatan itu salah. Sebaliknya, kalau kamu sama sekali tidak merasakan ketakutan itu lagi, dan serta merta mengikuti tawaran temanmu, itu berarti kepekaanmu membedakan yang baik dan buruk sudah mulai berkurang.

Tapi, walau begitu, hati nurani kita sebenarnya sama sekali tidak bisa ditipu, atau setidaknya ditutupi atau diabaikan. Hati nurani kita akan menggugat kita pada saat sebelum tindakan dilakukan, pada saat sedang dilakukan dan pada saat setelah tindakan dilakukan. Hanya saja, jika tindakannya terlalu sering diperbuat, ya pastilah, kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang amat biasa. Bukankah, ada pepatah berbunyi “bisa karena biasa, tahu karena mau.” Kita bisa melakukan sesuatu, karena memang kita membiasakan perbuatan tersebut. Kita bisa mengetahui sesuatu karena kita punya kemauan untuk mengetahuinya.

Pengalaman Dodi tadi bisa menjadi semakin berat jika bumbu ceritanya ditambah begini: ketakutan Dodi terjadi bukan karena soal hati nurani saja, tetapi terjadi karena di bawah ancaman teman-temannya. Dia tidak berani melawan, karena takut kelak pertemanan antar mereka menjadi kacau dan mungkin dia bisa dimusuhi teman-temannya. Nah, kalau soal ini, memang lebih agak rumit. Soalnya yang diangkat adalah bagaimana menciptakan sebuah pertemanan yang baik.

Bicara soal pertemanan, memang tidak ada rumusan yang pasti soal ini. Sebab, kita tidak pernah tahu, kelak kita bakal mendapatkan teman seperti apa. Kita hanya bisa mengkondisikan situasinya, memilih sarananya, tetapi orang yang datang kepada kita dan menjadi teman kita itu layaknya seperti sungai mengalir. Let it flows!

Sederhananya begini, misalkan kamu waktu TK-SD sekolah di tempat tertentu, mungkin di kota kecil lalu kemudian sewaktu SMP dan SMA memilih sekolah di kota besar, pasti ragam teman-teman kita akan amat kelihatan. Demikian pun sewaktu kita memilih untuk ikut kegiatan hobi tertentu, misalnya hobi nge-band, pastilah kita akan bertemu teman-teman dengan karakter yang senada. Kalau kita memilih kelompok hobi dance, pasti berbeda pula dengan karakter teman-teman yang biasa nge-band.

Itu tadi baru bentuk kelompok yang kita pilih, selanjutnya pertemanan akan amat bergantung pada pasang-surut kualitas pertemanannya, yang biasanya amat melibatkan emosi kita sendiri. Nah, di sinilah kita bisa menguji bagaimana kita mampu mengembangkan kualitas pertemanan kita. Semakin terlibat secara emosional, kita sebenarnya diuji. Tetapi, sebaliknya kalau kita cuma sekedar ikut-ikutan, tentu saja kualitas pertemanan itu akan biasa-biasa saja.

Andai si Dodi berani menolak tawaran teman-temannya untuk bolos, pasti di situ dimensi emosional antara Dodi dan teman-temannya dilibatkan. Andai Dodi bisa memberi penalaran dan alasan yang baik agar tidak membolos, pastilah teman-temannya ikut berpikir dan mengolahnya. Tetapi, andaikan Dodi hanya ikut saja ajakan teman-temannya, dimensi emosinya tentu saja tidak begitu kelihatan, karena dia hanya sekedar ikut-ikutan, tidak ada banyak pergulatan emosional di sana. Orang yang memilih tindakan berbeda, tentu pergulatannya lebih besar dibandingkan dengan orang yang memilih tindakan yang sama.

Mungkin di kemudian hari ada semacam permusuhan atau penolakan atas dasar keputusan yang dibuat Dodi jika dia tidak menerima tawaran dari teman-temannya. Namun justru di situlah kualitas pertemanan kita diuji. Kalau bentuk pertemanan kita ke arah positif, pastilah teman-temannya akan menjadi sadar atas apa yang telah mereka perbuat. Sebaliknya, jika bentuk pertemanannya ke arah negatif, pastilah teman-temannya akan membiarkan Dodi pergi atau tidak melibatkan lagi Dodi dalam percaturan genk mereka.

Pertanyaannya kemudian adalah kembali ke kita. Kamu sebenarnya mau pilih bentuk pertemanan yang seperti apa? From deep our heart, biasanya kita akan memilih pertemanan yang sehat, pertemanan yang mengembangkan. Benarlah kata pepatah kuno, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Setiap keburukan-keburukan yang kita tabung sejak dulu, lama-lama kita akan kelak menuai timbunan keburukan yang lebih besar. Kalau kita menabung kebaikan-kebaikan yakinlah bahwa suatu saat kita akan memanen kebaikan-kebaikan yang lebih besar lagi.

Kata Steven Covey, penulis buku Seven Habits, kalau mau jadi manusia efektif, kita harus membuat rekening bank emosional. Kalau sejak kecil kita terbiasa menabung emosi-emosi yang buruk, tabungan kita kelak hanya akan berbuah emosi yang buruk pula. Demikian pun sebaliknya, kalau kita sudah membiasakan menabung emosi-emosi yang baik, tabungan kita akan penuh dengan hal-hal yang baik pula.

So, teman-teman, membangun pertemanan itu memang gampang-gampang susah, atau mungkin susah-susah gampang. Terlepas bahwa pertemanan itu seperti sungai mengalir, pasang-surutnya tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing pribadi, tetapi peran kita tetaplah besar. Sejauh kita mau terbuka, dimensi emosi dan afektif kita tunjukkan, pastilah pertemanan yang kita buat akan semakin positif.

Sekarang kita mau menuai yang mana nih? Tinggal teman-teman yang menentukannya. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Segala yang kita buat, kita harus siap menerima segala resikonya kelak.
Read More...

Jumat, April 22, 2011

DI BAWAH KAYU SALIBMU



Aku tertegun begitu lama
Tubuhku merinding melihatnya
Hatiku berat tuk menahannya
Jiwaku sperti mau hilang rasanya

Di bawah kayu salib-Mu

Sukmaku tertancap…
Bukan karna tak ingin meninggalkannya
Bukan karna tak ada lagi tempat berpijak
Bukan karna tak sadar akan rasa dosaku

Di bawah kayu salib-Mu

Aku temukan kekuatan-Mu yang besar
Aku bayangkan hati-Mu yang terperi
Aku simpulkan kasih-Mu yang tulus

Di bawah kayu salib-Mu

Kau ajak aku bertumbuh
Tidak untuk sekedar sedih atas salah yang telah kuperbuat
Tapi untuk yakin, O betapa tegarnya Engkau menopang aku.

Di bawah kayu salib-Mu

Kau bangunkan aku untuk ikut memanggul bersama Engkau yang memanggul…
Read More...

Selasa, April 12, 2011

Bergaya Trendsetter

“Each person must live their life as a model for others.”
- Rosa Parks –

Gile tuh si Sinta! Baru minggu lalu bawa hape Nokia Serie E72, sekarang sudah bawa yang baru, Blackberry Onyx. Up to date banget tuh anak! Kalau jalan-jalan ke mall kaos yang dipakainya juga bagus-bagus. Dia sudah jadi kayak trendsetter gitu. So, koq kita mau-maunya juga ya jadi pengikut gaya dia. Kayaknya kalau gak ikut-ikutan gayanya, rasanya sudah ketinggalan zaman.

Fren, Trendsetter itu apaan sih?
Ah, kamu tuh gak gaul banget sih? Trendsetter itu istilah untuk menyebut seseorang yang menjadi panutan dalam hal tertentu karena keunikan dan kreativitasnya, sehingga selalu membuat terobosan (breakthrough) di tengah kemapanan yang ada. Sebenarnya pengertiannya sangat luas sekali sebab mencakup semua bidang. Tapi, umumnya sih bidang yang dijadikan trendsetter itu bidang fashion, gadget, IT, dan otomotif.

Contohnya juga banyak lho. Liat tuh Agnes Monica, si vokalis trendy, yang hampir setiap penampilannya, dia pakai rambut yang beraneka bentuk dan warna; khan banyak tuh, anak muda yang ikut-ikutan gaya dia. Atau contoh jadul nih, pas zaman Demi Moore masih bergaya botak; banyak juga khan cewek-cewek yang berani memangkas rambutnya sampai habis, padahal aneh banget khan kalau cewek botak, jadinya kayak pak ogah dalam serial Unyil zaman dulu.

Kalau yang cowok-cowok biasanya ngikutin gaya pemain sepakbola favoritnya atau ngikutin gaya boyband yang digandrunginya. Udah banyak tuh cowok-cowok yang ikut-ikutan fashion yang dipopulerkan Clubeighties, gaya jadul yang aneh, tapi nyentrik.

Eh… tapi jangan salah menduga dulu ya. Trendsetter tidak cuma soal fashion dan buat gaya-gayaan. Nyatanya, di bidang sosial-politik dan ekonomi banyak hal bisa dijadikan topik trendsetter juga. Contoh paling kelihatan ya waktu presiden Chile, Sebastian Pinera mampu menyelamatkan 33 pekerja tambang yang terperangkap di bawah bumi. Dia benar-benar menjadi pahlawan bagi negaranya. Sudah pasti dia menjadi trendsetter buat tokoh-tokoh politik di negara lain.

So, mungkin kamu awalnya agak merasa gak terlalu senang ya dengan istilah trendsetter, soalnya seolah-olah jadi pedoman untuk hal-hal yang aneh. Mungkin, dulu kamu pernah mendengar istilah ini, “hari ini gak punya hape?” Itu khan secara tidak langsung jadi semacam ‘paksaan’ untuk mengajak teman-teman-nya juga punya hape. Kepemilikan hape menjadi semacam trendsetter. Nah, itu dulu! Sekarang mungkin pertanyaannya bisa dibuat begini, “Hari gini gak bisa jadi anak muda berprestasi?”


Mungkin dengan cara begitu, kita bisa menjadi trendsetter yang positif dan transformatif bagi banyak orang, seperti Sebastian Pinera itu. Lalu, gimana caranya? Kayaknya susah amat ya jadi orang yang bisa dijadikan panutan.

Eits… jangan menyerah dulu. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Bagi yang memiliki kemauan ingin jadi trendsetter yang positif tadi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Kamu masih muda khan? Atau minimal masih berjiwa muda. Ya nggak? Tunjukkan kemudaanmu dengan semangat dan hati yang berkobar-kobar dong. Artinya, tunjukkan semangat kreatifmu, semangat pembaruanmu. Istilah sederhananya, harus berani tampil beda. Tampil beda sih bukan hal yang buruk, bukan? Tampil beda membuat kita berani mencoba sesuatu yang beda dari yang lain. Tapi, jangan asal beda doang lho ya! Harus pakai prinsip juga. Minimal prinsip demi kemaslahatan bersama, artinya tidak membuat orang lain dirugikan dan menyusahkan orang lain.

Bisa jadi pas kita berani tampil beda, orang lain mengejek kita. Jangan sampai tersinggung dan cepat-cepat berkecil hati. Mikirnya simple aja deh, sambil bergurau gini, “Ehh…, kamu tuh… orang sirik itu tanda tak mampu!” Udah banyak lho teman-teman kita yang nyobain jadi trendsetter yang amat positif. Misalnya nih, kayak Cella, temanku yang kuliah di universitas terkenal di Yogya. Dia bersama beberapa temannya memilih meluangkan sedikit waktu senggangnya untuk membuka kelompok belajar buat anak-anak desa, yang mungkin tidak pernah bisa mendapatkan pelajaran tambahan seperti yang bisa dirasakan anak-anak kota. Ini benar-benar tampil beda khan? Mungkin sekarang belum bisa disebut trendsetter, tapi mungkin beberapa tahun mendatang, akan ada banyak kegiatan kampus yang sifatnya kayak gini, kegiatan ekstrakurikuler yang sifatnya keluar-kampus yakni dengan jalan membantu masyarakat. Tidak hanya cuma lewat KKN, tapi lewat keseharian sebagai mahasiswa.

Atau kayak temanku di Magelang, Eko namanya. Dia sekarang lagi mengembangkan usaha brownies. Mungkin kamu bertanya-tanya, lho, koq cowok malah dagang makanan? Jangan salah kira lho ya! Temanku yang satu ini sedang mengembangkan usaha enterpreneurship-nya. Ups, istilah apalagi tuh? Susah amat bacanya.

Begini teman, entrepreneurship itu arti sederhananya adalah berwirausaha. Eko, temanku tadi, sedang berwirausaha lewat produk kue brownies. Dia umurnya masih 23 tahun lho. Bayangkan umur segitu sudah sukses berwirausaha.

Kalau kamu mau tahu, sekarang wirausaha sudah menjadi trendsetter di kalangan anak muda. Apalagi, pemerintah juga dari tahun ke tahun semakin kewalahan menyediakan lapangan pekerjaan buat kita-kita. Semakin banyak saja pengangguran baru. Ya, cara yang terbaik adalah berani berwirausaha. Abis kuliah jangan merasa yakin bisa langsung bekerja di sebuah perusahaan besar. So, berpikirlah dengan cara yang lain. Ya, solusi yang lain ya dengan wirausaha itu.

Pak Ciputra, sang pengusaha terkenal dari Indonesia pernah mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad enterpreneurship bagi Indonesia. Jadi, gak salah bukan kalau wirausaha adalah trendsetter di kalangan anak muda zaman ini. Lalu, bagaimana caranya? Tidak usah terlalu pusing-pusing. Mulai dari yang kamu suka saja. Kalau kamu suka makan, ya mulailah dari wirausaha di bidang makanan. Kalau kamu suka pernak-pernik, bukalah usaha kerajinan tangan. Mudah khan? Soal modal gimana? Yah, khan kamu punya celengan. Nah, itu dia. Celengannya gak usah beli hape baru. Pakai saja buat modal untuk usaha. Inget pesan ini, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Mulai dari usaha yang kecil, yakin suatu saat usahamu bakal menjadi besar. Tentu dengan kesabaran dan ketekunan.

Tuh khan, kalau dibikin list, banyak juga ya model-model trendsetter yang mengembangkan diri kita. Sederhananya, dalam diri kita tuh ada banyak potensi untuk menjadi contoh dan panutan bagi banyak orang. Tidak harus jadi public figure dulu baru kita bisa jadi trendsetter. Dengan jadi diri kita sendiri saja, model trendsetter yang akan muncul pasti amat otentik, gak sekedar ikut-ikutan. Ya nggak?***

Read More...

Rabu, April 06, 2011

Cukupkah dengan Chatting?

"Ngapain sih lo? Ayo, ikutan diskusi, jangan asyik mainan BB sendiri!"
Begitulah Candra memarahi Dina, karena dari tadi Dina tidak fokus dengan rapat koordinasi akhir untuk acara pementasan drama. Dina sibuk chatting lewat aplikasi messenger di Blackberry-nya, sampai-sampai rapat yang dihadirinya tidak lebih penting dari chatting yang dilakukannya.

Tidak jarang kita menemui teman-teman kita yang seringkali sibuk dengan gadget yang dibawanya, sibuk dengan orang lain yang ada di luar sana atau jauh di sana, dan kurang menghargai orang yang real ada di depannya. Aneh! Orang bisa sampai bisa tega berbuat demikian. Tubuh real di suatu tempat, tapi hati dan jiwa ada di lain tempat.

Ya, ada banyak anggapan bahwa teknologi informasi memang membantu sekali dalam kehidupan sehari-hari kita. Gara-gara alat teknologi ini, semua batas dan sekat bisa dihilangkan. Jarak yang sedemikian jauh bisa dipangkas dengan teknologi supercepat. Kehadiran langsung sudah dinihilkan. Orang bisa hanya dengan videochat atau videocall bisa langsung rapat koordinasi. Pada dirinya sendiri, teknologi ini memang dibuat untuk mempermudah komunikasi manusia.

Tapi, nyatanya kalau teknologi ini disalahgunakan, ya nasibnya seperti Dina tadi. Dia membuat dunia sendiri, terasing dari teman-temannya. Dia tidak mau terlibat dalam situasi real yang ada di hadapannya.

Dina masih lumayan lebih baik. Kakaknya, Rina, lebih parah lagi. Setiap bangun pagi yang pertama-tama dia buat, bukannya bersyukur atas hari yang baru, tetapi dia terduduk termenung memandangi BB, mulai sibuk dengan ‘Rosario’-nya, menyapa teman-temannya lewat twitter. Bak burung berkicau di pagi hari, Rina sudah mulai meng-tweet siapa saja yang bisa disapa.

Begitulah yang terjadi dengan situasi komunikasi kita saat ini. Kesadaran real kita kadang terlampaui sedemikian rupa, sehingga kita jadi lupa dengan situasi dan keadaan sekitar kita yang lebih konkret. Ada semacam lompatan komunikasi yang tidak tanggung-tanggung, tetapi mengancam relasi personal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi karena ruang sempit, seperti di dalam keluarga, di dalam rapat seperti kisah Dina, di dalam sekolah, dan masih banyak tempat lain, yang memang mau tidak mau harus kita jumpai setiap hari.

Mbak Eileen Rachman dalam tulisannya tentang “Generasi Chatting” mengatakan kalau di masa yang akan datang terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka, akan semakin menjadi problem utama.

Meski mungkin ada yang mengatakan pula bahwa komunikasi itu yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya, tetapi masih selalu menjadi pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, yakni sarana apa yang tepat untuk membuat komunikasi itu berkualitas. Tapi, walau bagaimanapun juga kuantitas tetaplah perlu. Karena komunikasi membutuhkan ketersalingan dan keterhubungan yang stabil dan ajeg. Artinya, bagaimana mungkin kualitas komunikasi tercipta dengan baik, jika kuantitas komunikasi tidak pernah direncanakan apalagi dibuat secara kontiniu.

Chatting lewat gadget yang ada memang akan menciptakan kualitas komunikasi yang baik, jika kita menempatkan secara tepat. Sudah banyak contohnya lho ya. Kita bisa berkomunikasi dengan mudah dengan pacar kita atau dengan keluarga kita, karena bantuan gadget semacam itu. Coba bayangkan beberapa dekade yang lalu!

Syukurlah kita lahir di zaman sekarang. Dulu, papa-mama kita mengalami situasi di mana untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh tempatnya, susahnya minta ampun. Mereka masih menggunakan surat-menyurat atau kalau mau lebih cepat berkomunikasi, harus menggunakan jaringan telpon sambungan langsung jarak jauh yang relatif mahal biayanya. Dengan begitu, sebenarnya alat-alat chatting itu tidak serta merta negatif lho. Ada banyak positifnya juga.

Kembali ke kita, kalau mau mencoba menciptakan komunikasi dan relasi yang positif, baiklah kalau kita bisa menempatkan diri secara tepat. Dalam kondisi bertegur sapa dengan orang lain di dalam sebuah pertemuan, entah itu formal maupun tidak formal, berusahalah untuk menghormati orang yang berbicara di depan kita. Karena dengan menghormati orang yang berbicara, kita juga pasti akan dihormati ketika berbicara di depan.

Ada sebuah cerita yang menarik tentang ini. Seorang dosen di kampus terkenal pernah hampir marah, karena melihat mahasiswanya bermain hape ketika kuliah sedang berlangsung. Tapi, dia punya akal untuk mengatasi kemarahan tersebut. Tiba-tiba, dia memberhentikan perkuliahan dan membuat semacam simulasi. Simulasinya semacam “agreement”. Dia mengusulkan adanya kesamaan hak soal penggunaan hape di dalam kelas dan selama pelajaran berlangsung. Dia akan berbuat yang sama seperti yang dibuat oleh mahasiswa dalam hal menerima SMS dan panggilan telpon, yakni langsung membalasnya. Sembari mengeluarkan HP-nya, dosen itu mengirim message pada istrinya. Isi pesannya begini, “Ma, tolong setiap lima menit sekali aku dikirimi sms atau sesekali aku ditelpon juga.” Setelah agreement ini disepakati, kuliah dilanjutkan kembali.

Kalian tahu apa yang terjadi? Tidak sampai 5 menit, HP pak dosen ini sudah berbunyi. Ada sms masuk. Dia cepat-cepat menghentikan kuliah karena harus membalas sms tersebut. Mahasiswa yang lain pun sibuk melakukan hal demikian, saling sibuk sms. Setelah pak dosen selesai membalas sms, dia melanjutkan kuliahnya lagi. Tapi, tidak sampai 5 menit, hapenya berdering lagi, ada telpon masuk. Serta merta dia menjawab telpon itu. Begitulah, sampai berulangkali terjadi. Kita tahu bahwa nada panggil dan sms masuk itu memang hanya berasal dari istrinya semata.

Ketika jam kuliah hampir selesai, ada seorang mahasiswa mengacungkan tangannya dan protes, dia merasa terganggu dengan “agreement” ini. Dia ke kampus untuk kuliah, bukan untuk mendengar dan memperhatikan pak dosen yang sibuk dengan hapenya di ruang kuliah. Beberapa temannya juga mengamini pernyataan mahasiswa tadi. Akhirnya, semua kelas sepakat bahwa selama kuliah semua hape harus di-silent dan disimpan di dalam tas.

Kisah lain, mungkin teman-teman masih ingat yakni kisah tentang pelatih timnas sepakbola kita, Alfred Riedl yang marah-marah dengan seorang wartawan yang sedang mewawancarainya, yang tiba-tiba mengangkat hapenya yang sedang berdering. Sementara tangan satunya memegang recorder untuk merekam kata-kata Riedl, si wartawan ini menggunakan tangan satunya untuk memegang hape dan menjawab telpon tersebut. Sehabis wawancara, Riedl mengatakan demikian, “Sangat tidak sopan bila Anda berbicara dengan orang lain saat saya memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Anda. Jika Anda pemain saya, maka Anda akan mendapatkan masalah.” Wah, kejam juga nih pelatih. Tapi, ya semestinyalah kita menghormati orang yang sedang bicara dengan kita.

Nah, teman-teman, sekarang pertanyaannya diarahkan pada diri kita sendiri. Kita mau jadi generasi yang terisolasi dan bodoh dalam bersosialisasi atau generasi yang memang semakin baik dalam berelasi dan berkomunikasi? Ditunggu lho jawabannya.***
Read More...

Minggu, Maret 27, 2011

TUKANG BECAK (sebuah cerpen)

(Cerpen ini selain saya posting di blog ini, juga saya kirim ke Majalah Mingguan Hidup, dan diterbitkan oleh majalah tersebut tanggal 8 Mei 2011. Selamat membaca!)

Sungguh menyebalkan! Beginilah resiko naik kereta turun di stasiun Tawang dan pas hujan deras. Bukannya disambut dengan suasana yang segar karena bisa liburan pulang ke rumah, tetapi malah dihadang oleh kekalutan kota tua, yang tiba-tiba menjadi seperti kolam kubangan raksasa.
Pagi itu, kira-kira pukul 4, aku tiba di kota kelahiranku. Sudah hampir 2 tahun ini aku tak sempat pulang ke rumah. Ada banyak alasan. Entah karena banyak kerjaan di Jakarta, entah banyak masalah, ataupun rasa enggan menghamburkan uang tabungan. Namun, karena sudah untuk sekian kalinya mama memintaku untuk liburan, maka kali ini aku pun mau menurutinya.
Seperti biasanya, para tukang becak langsung menyerbu masuk ke peron, menawarkan diri untuk membawakan barang bawaan.
“Mas, mau ke mana?” “Di luar banjir, naik becak, Mas!” “Mau diantar ke mana, Mas?” Sebegitu banyaknya orang yang menawarkan jasa untuk mengantarkan penumpang keluar dari stasiun ini. Semua orang ditawari. Mau tidak mau, semua pasti akan menggunakan jasa mereka. Tidak ada pilihan lain. Kecuali mereka yang dijemput keluarga. Tapi, aku tidak!

Aku sebenarnya benci dengan suasana seperti ini. Apalagi, sangkaku, sebagian besar mereka itu bukanlah orang yang baik-baik. Siapa yang tidak tahu kawasan kota tua semarang? Di beberapa tempat, di malam hari, menjadi daerah yang sangat rawan. Aku yakin mereka adalah bagian kehidupan kota tua yang sangar itu.
Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah minta papa untuk menjemput. Tapi, dia tidak bisa. Kakinya sakit, asam uratnya lagi kambuh. Maka, aku harus memilih salah satu dari mereka.
“Ke Dr. Cipto berapa, Pak?”
“Biasa, Mas! 10 ribu saja!”
“Ah, koq mahal amat… 5 ribu saja. khan cuma dekat situ… gak ada 1 km.”
“Ini khan hujan, Mas… jalannya sulit, air tergenang di mana-mana.”
“Pokoknya kalo tidak 5 ribu, saya tidak mau.” Aku berpaling, sambil mencoba mencari-cari becak yang lain.
“Mari, Mas!” sebegitu cepatnya bapak tadi menarik tasku, dan kemudian mempersilakan aku naik ke becaknya.

Aku begitu senang, karena penawaranku diterimanya. Tak lama kemudian, kayuhan bapak itu mulai menggerakkan roda becak. Sementara aku menikmati ketenangan karena terhindar dari air, aku mengajak ngobrol bapak tadi.
“Kalo boleh tahu, Bapak orang mana ya?”
“Saya itu orang Salatiga. Keluarga saya ada di sana,” jawabnya.
“Lha, bapak apa tidak pernah pulang ke rumah?”
“Sesekali saja pulang. Biasanya hari sabtu malam. Tapi, itu tidak tentu. Tergantung penghasilannya berapa setelah kerja seminggu. Sayang kalo uangnya habis untuk ongkos bis.”
“Putra bapak berapa?”
“Saya punya 4 anak. Yang besar kelas 1 SMA. Yang kedua kelas 2 SMP. Yang satunya kelas 4 SD dan yang kecil masih umur 3 tahun.”
“Bapak, di Semarang tinggal di mana?”
“Boro-boro punya kontrakan, Mas. Untuk makan harus menyisihkan uang secukupnya. Kalo tidak seperti itu, bagaimana saya bisa bawa uang untuk keluarga.”
“Lho, terus tidurnya di mana?”
“Tergantung. Tapi biasanya saya tidur di stasiun. Di atas becak sudah nyaman koq.”
“Ini becak Bapak, bukan ya?”
“Bukan! Ini becak juragan. Per hari saya mesti setor 10 ribu.”
Tak terasa, kayuhan becak bapak tadi sudah mengantar aku persis di depan gang masuk rumahku. Aku minta diturunkan di depan portal saja, karena memang tidak mungkin untuk menerobos masuk. Biasanya portal baru dibuka oleh penjaga sekitar jam 6 pagi. Aku ambil uang 10 ribuan, dan kuberikan ke bapak itu.
“Ini kembaliannya, Mas!”
“Gak usah, Pak! Ambil saja semuanya!”
“Maturnuwun!”
“Sama-sama, Pak!”
***
Seharian aku tidak beranjak dari tempat tidur. Papa-mama senang sekali melihat kedatanganku. Seperti pucuk dicinta, ulam tiba. Kerinduan mereka benar-benar terobati. Mereka inginnya siang tadi aku sudah bangun dan ingin bertanya banyak tentang apa saja kegiatanku selama ini di Jakarta. Tapi aku tak begitu peduli. Aku tetap saja di dalam kamar. Namun sore ini, aku dipaksa bangun oleh mama. Kebetulan ini Sabtu sore.
“Ayo ke Gereja. Papa-mama dan adikmu akan ke Gereja sore ini, soalnya besok siang ada undangan mantenan di PRPP.”
Berat rasanya untuk melepas bantal. Apalagi, di Jakarta aku juga jarang pergi ke gereja. Bagaimana mau pergi ke gereja? Kadang hari sabtu saja aku masih di kantor. Hari minggu sepertinya benar-benar barang langka yang sayang untuk dibuang, kecuali untuk bermalas-malasan di tempat kos.
“Ayo, 15 menit lagi, papa sudah mau jalan lho!”
Mendengar suara terakhir dari mama, sedetik aku berpikir.
“Iya, ya! Mending aku berangkat ke Gereja saja. Supaya mama tidak bertanya-tanya soal apakah aku sering ke Gereja atau tidak selama di Jakarta.” Selama ini aku memang selalu bersilat lidah dengan mama lewat telpon. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak pernah lupa ke gereja. Padahal kalau dihitung-hitung, mungkin selama 2 tahun ini aku ke gereja cuma 10 kali.
***
Baru saja aku selesai doa sehabis menerima komuni, tiba-tiba mataku tertabrak dengan sesosok pria yang sedang berjalan persis di samping barisan bangkuku. Aku masih ingat. Rasanya belum lama ketemu bapak ini. Iya, benar! Persis baru tadi pagi aku ketemu bapak ini. Dia tukang becak yang mengantarku dari stasiun.
Setelah berkat penutup, aku bergegas keluar Gereja dan mencari Bapak itu. Aku mencari ke sana-ke mari. Sampai akhirnya aku menemukan Bapak tadi persis berada di dekat pintu gerbang Gereja. Aku mendekat ke sana.
“Pak, masih ingat saya?”
“Masih koq, Dik! Khan baru pagi tadi kita ketemu”
“Lho, bapak ke Gereja ya?”
“Iya, saya orang Katolik. Sudah dua bulan ini saya banyak membantu di Gereja setiap sabtu sore. Saya ikut misa, sekalian membantu satpam untuk jaga parkir. Cari uang tambahan sedikit. Tapi, setelah semua selesai, nanti saya langsung ke Salatiga. Sudah 3 minggu saya tidak pulang.”
“Kalo boleh tahu, nama Bapak siapa?”
“Nama saya Pak Harno! Lha adik namanya siapa?”
“Panggil saja saya Widi, Pak!” Tiba-tiba mama memanggilku untuk segera masuk ke mobil.
“Ok, Pak. Sampai ketemu lagi,” sapaku kepada pak Harno.
Ketika mobilku sampai di portal persis di depan pak Harno, Aku memberikan 2 lembar uang kertas, 10 ribu untuk parkir dan 50 ribu langsung kuberikan ke Pak Harno.
“Ini untuk bapak. Buat oleh-oleh untuk keluarga di Salatiga. Salam ya, Pak!”
Dalam perjalanan pulang aku merenung. Seorang Pak Harno yang telah bekerja begitu berat dan keras, nyatanya dia masih tetap setia untuk pergi ke Gereja, mengikuti Ekaristi, dan bertemu Tuhan. Sungguh berbeda dengan aku. Karena alasan capek bekerja, aku lebih sering tidak pergi ke Gereja. Untuk satu hal ini aku masih berhutang pada Pak Harno. Minggu depan, kalo bertemu lagi, aku akan bertanya, rumahnya di Salatiga di sebelah mana. Toh Semarang-Salatiga tidak jauh. Sekali-kali aku akan main ke sana.***

Semarang, Januari 2011
Read More...

Rabu, Maret 23, 2011

Iman mengalahkan Kesombongan dan Dendam (Mrk 11:11-26)

Pada bagian pertama injil ini kita bisa melihat aspek kemanusiawian pada diri Yesus. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus mendapatkan dirinya lapar. Dari jauh Ia melihat pohon ara, tetapi didapatinya pohon ara itu tidak berbuah. Yesus kesal karena tidak mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan, lalu Ia mengutuk pohon tersebut.

Pada bagian berikutnya, Yesus juga menampakkan dirinya yang kesal dan marah. Di Bait Allah, Yesus mengusir para pedagang dengan segala barang jualan mereka. Tindakan ini lebih ganas daripada sekedar kutukan. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikan-Nya. Yesus marah dan mengatakan: “Bukankah ada tertulis Rumah-Ku disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun.”

Maaf, mungkin bagian yang terakhir ini agak sensitif, karena lagi hangat dibahas di milis internos soal misa imlek. Tetapi saya tidak ingin membahasnya juga. Selain memang bukan pada tempatnya, saya juga setuju dengan romo Heru, kesannya kog nganeh-nganehi.

Kembali ke Yesus. Kalau kesan nganeh-nganehi itu dikenakan pada Yesus, tampaknya koq Yesus memang juga nganeh-nganehi.
Di mana letak nganeh-nganehinya?
Pada bagian pertama, Yesus semestinya tahu bahwa pada waktu itu bukanlah musim buah ara. Sehingga tidaklah perlu sampai mengutuk pohon ara itu.
Demikianpun juga di Bait Allah. Yesus juga aneh. Dia tanpa ba-bi-bu, tanpa pakai permisi atau semacam teguran/peringatan dulu, tiba-tiba langsung melabrak para pedagang dan menghancurkan barang dagangan mereka.

Tetapi, mungkin dalam kacamata kita, tindakan Yesus itu nganeh-nganehi.
Di balik tindakan itu, Yesus hendak menyampaikan sesuatu.
Pohon ara dalam kitab suci sering dilambangkan sama seperti kebun anggur, yakni umat pilihan Allah. Yesus berharap umat Israel menghasilkan buah kasih sejati. Baik buah kasih sejati kepada Allah maupun buah kasih kepada sesama. Namun, kenyataan apa yang dihadapi-Nya? Israel maupun Bait Sucinya sama sekali tidak menghasilkan buah yang indah itu. Yang ada ialah kepura-puraan, fanatisme kurban, pemeliharaan hukum tanpa jiwa, dan kebohongan.

Soal musim buah ara yang belum tiba juga mengartikan bahwa misi Yesus belum tiba saatnya. Karya penebusan masih dalam prosesnya. Begitulah Markus hendak bercerita. Markus perlahan-lahan membuka misteri Kristus pada sidang pembaca.

Beberapa hari ini, seperti Anda ketahui, saya sedang dalam situasi susah. Operasi gigi di malam minggu yang lalu membuat gerak saya jadi agak terbatas. Gerak untuk makan, gerak untuk bicara, gerak untuk bepergian. Belum lagi beberapa teman menggoda, entah dengan mengajak untuk mentraktir atau diajak ke concat. Dengan kondisi gigi yang sakit ini, ajakan itu tentu saja akan mentah-mentah saya tolak, karena nganeh-nganehi atau tidak mungkin.
Lalu, pada sore kemarin, mungkin karena giginya masih agak sakit, saya juga jadi kesal; kesal pada komunitas, karena tradisi sport bersama sudah tidak jalan lagi. Meski mungkin tidak semua suka futsal, tetapi yang bisa futsal, yang ada saja sama sekali tidak punya keinginan untuk futsalan lagi.

Ya, suasana kesal hati saya hampir separalel dengan kekesalan hati Yesus. Sore kemarin setelah futsalan dengan anak-anak Loyola, saya punya rencana untuk menulis sesuatu di papan whiteboard di ruang rekreasi frater. Saya hendak menulis, “Quo vadis Sport?” besar-besar. Tapi tindakan itu tidak sampai dibuat.

Pada malam hari, sehabis makan malam, ketika hendak menyiapkan renungan untuk pagi ini, saya mendapatkan insight untuk bahan refleksi saya. Itu ada pada bagian akhir injil ini.

Di situ, Yesus menanggapi murid-murid-Nya dengan cara yang amat berbeda. Saya terkesan dengan tanggapan Yesus ini. Pada mulanya, murid-murid-Nya amat bangga kepada Yesus karena pohon ara yang dikutuk Yesus benar-benar kering.
Tetapi Yesus berpikir lain. Yesus tidak melihat itu sebagai sesuatu yang perlu disombong-sombongkan.
Bagi-Nya yang paling hebat bukan kemampuan mengeringkan pohon dalam waktu beberapa jam atau langsung, bukan juga mengusir para pedagang dari Bait Suci, melainkan iman. Iman memang diberikan oleh Tuhan. Tetapi, kalau manusia tidak mau menerima anugerah ini, Tuhan pun tak berdaya. Dan sebaliknya, kalau manusia mau beriman dan belajar untuk sungguh beriman, Tuhan tak mampu menolak doanya.
Untuk beriman dengan baik, manusia harus membebaskan dirinya dari segala sesuatu yang bernama: benci, dendam. Hanya manusia yang sungguh tulus mengampuni saudaranya, dapat disebut beriman. Sebab iman melandaskan dirinya pada sesuatu yang tak kelihatan, yang tak terjangkau secara fisik. Iman selalu mengandalkan Tuhan saja.
Oleh karena itulah, pada bagian akhir refleksi saya tadi malam, saya berpikir mungkin kalau saya terus merasa sakit hati karena tidak bisa futsal rame-rame dengan saudara se-komunitas, dan memaksa menuliskan pernyataan tadi di whiteboard komunitas; mungkin sakit gigi saya justru tidak akan sembuh-sembuh. Benar juga kata Meggy Z, “Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi saja.”
Dan benarlah kata Yesus, “jika kamu tidak mengampuni, maka Bapa-Mu yang di sorga juga tidak akan mengampuni.”
Begitulah maksud Yesus sebenarnya. Semoga permenungan injil hari ini membantu kita untuk semakin beriman dan percaya kepada Allah. Amin.
Read More...

Selasa, Maret 22, 2011

Menjadi Manusia Bebas

“Freewill means that the Universe never judges, never interferes with your own
choices - and sees you as a being of equal creative power.”
--Joy Page

Slogan yang paling sering dikumandangkan oleh orang muda adalah kebebasan. Ya, bagi mereka, kebebasan adalah ruang untuk menunjukkan jatidiri. Kebebasan adalah ruang untuk mandiri. Kebebasan adalah tempat untuk belajar. Tapi, mereka juga berpikir bahwa kebebasan adalah kemungkinan untuk bisa buat ini-itu. Kebebasan adalah bisa lepas dari kekangan dan pantauan orang lain. Kebebasan adalah semau gue. Lalu, apakah kebebasan itu memang seperti gambaran tadi semua?
Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Orang muda secara bertahap menuntut ruang kebebasan itu. Mulai dari menuntut kebebasan dari pantauan orangtua. Kemudian menuntut ingin bebas dari kewajiban-kewajiban di sekolah: ingin bebas dari tugas dan PR, ingin bebas dari kegiatan yang tidak diminati. Lalu berkembang ingin bebas dari segala hal-hal yang tidak disukainya. Dan ingin bebas untuk mengekspresikan dirinya, entah bagaimana caranya, yang penting eksis.

Demikianlah yang dialami Yudi dalam hidupnya. Selepas lulus SMP, dia melanjutkan studi di luar kota, di tempat pamannya. Dia begitu senang karena bisa bebas dari pantauan dan bebas dari kewajiban-kewajiban yang harus dibuatnya sebagai seorang anak. Tapi, dalam kebebasan itu ada ketegangan seperti yang tampak dalam gambaran kebebasan di awal tadi. Di satu sisi dia dihadapkan pada ruang untuk belajar mandiri dan menentukan hidup sendiri, tetapi di sisi lain dia terpasung pada konsep bebas semau gue. Setelah lulus SMA, Yudi tidak mau lagi tinggal di rumah pamannya. Dia tinggal di kos-kosan. Ruang kebebasan itu lebih besar lagi. Yudi sangat merasakan hal itu. Dalam ruang kebebasan penuh, dia bisa melakukan apa saja. Dia mau hidup kacau ya bisa. Dia mau hidup baik juga bisa.
Teman-teman, manusia adalah mahluk ciptaan yang paling sempurna. Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Oleh karena itu, secara kodrati, manusia memang terlahir bebas. Kita adalah manusia bebas. Tidak harus menunggu sampai umur 17 tahun, kita memang terlahir untuk menjadi manusia bebas. Dalam kehidupan, kita pun bebas untuk memilih apapun. Karena menjalani hidup itu pada dasarnya adalah menjalankan pilihan-pilihan bebas kita.
Lalu, apa artinya pantauan dan proteksi yang dibuat oleh orangtua? Apa artinya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh sekolah dan guru? Apakah itu artinya mereka melawan hakekat kodrati kita sebagai manusia yang diciptakan bebas?
Tidak! Mereka sama sekali tidak mengekang kebebasan hidup kita. Dengan melihat dari sudut pandang berbeda, seperti yang dimaksud dengan hadirnya buku ini, saya akan mengajak teman-teman untuk memahami dengan cara lain. Kita mulai dari yang sederhana. Ketika kita lahir ke dunia, sebagai seorang manusia baru, analogikan saja bahwa kita bagaikan ‘kertas kosong’, yang masih putih bersih tanpa coretan sedikit pun. Sebagai sesuatu yang baru dan masih bersih, tentu saja kertas putih itu masuk dalam sebuah ancaman. Ancaman itu bisa berupa coretan yang tidak jelas, sobekan yang tidak perlu, dan sebagainya. Maka, supaya hal-hal yang merusak itu tidak terjadi, ‘kertas putih’ haruslah dijaga, dirawat dan mulai ditulisi dengan hal-hal yang baik. Begitulah sebenarnya peran orangtua dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah bukti tanggungjawab mereka untuk menjaga hidup kita. Kehadiran mereka tidak untuk merusak kebebasan yang terpatri sejak kita lahir.

Sama halnya di bangku sekolah. Sejak awal masuk sekolah sudah jelas khan kalau kita memang diserahkan oleh orangtua untuk dididik. Bukan maksud mereka untuk melepaskan begitu saja hidup kita. Mereka tahu bahwa ‘kertas putih’ tadi harus ditulis dengan ‘tulisan-tulisan’ yang baik, yakni dengan pendidikan yang baik. Maka, tuntutan dari sekolah, entah berbentuk tugas atau ujian, adalah bentuk tanggungjawab mereka untuk menjaga kita. Kebebasan kita yang sudah terpatri sejak lahir tidak sama sekali terpasung. Pendidikan di sekolah justru menjadi ruang untuk mengaktifkan ruang kebebasan kita.
Lalu, bagaimana dengan aturan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat? Nyatanya setelah kita beranjak dewasa, ketika sudah mulai bisa mandiri, kita justru terpasung oleh aturan dan norma yang ada?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan dan norma tersebut. Kita memang terlahir bebas. Tetapi kita tidak bisa hidup bebas semau gue. Kita hidup bersama orang lain. Kalau semua orang berprinsip bahwa kebebasan adalah hidup semau gue, mau jadi apa dunia ini nantinya. Salah-salah yang ada mungkin adalah suasana khaos. Tentu bukan itu yang kita harapkan, bukan?
Aturan dan norma dibuat adalah untuk menata manusia yang ada di dalamnya. Itu dibuat untuk memberi kejelasan atas ruang yang luas bagi kebebasan kita. Jika tidak ada aturan dan norma, semua orang pasti akan terganggu kebebasannya. Lho koq bisa? Coba saja kamu bayangkan. Andaikan dunia ini tidak pernah ada aturan dan norma. Apakah semua orang bisa bertindak bebas? Yang ada malah orang akan saling bertengkar dan berkonflik karena kebebasan mereka terganggu. Akhirnya, bukan kebebasan yang didapat, tetapi malah kehancuran hidup kita sendiri.
Tapi, kalau kita mau hidup ekstrim ya bisa juga sih. Kalau mau ingin hidup bebas semau gue, tetapi juga tidak terlibat dalam konflik itu juga bisa dilakukan. Caranya gampang. Tinggal aja di suatu tempat sendirian, dan berusahalah untuk tidak ketemu siapa-siapa. Wah, kalau itu memang terlalu ekstrim. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukannya. Cerita dongeng tentang Tarzan saja menunjukkan bahwa dia sendiri tidak bisa mungkin hidup sendirian. Meski memang tidak ada manusia lain yang menemani, nyatanya dia juga butuh mahluk hutan lainnya agar dia bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.
So, teman-teman, kita tidak perlu merasa terpasung oleh aturan dan norma yang ada, tidak perlu merasa kecewa karena orangtua selalu memantau kita. Semua itu ada dan dibuat supaya kebebasan yang ada dalam diri kita tetap terpelihara dengan baik. Saya yakin, besok pun kalau kamu gantian menjadi orangtua, pasti juga membuat hal yang sama buat anak-anak kalian. Kamu pasti akan menjaga dan merawat mereka.
Satu hal lagi yang mesti segera kita sadari soal kebebasan adalah bahwa prinsip yang paling pokok bukan menuntut “kebebasan dari” apa tetapi berpikirlah mengenai “kebebasan untuk” berbuat apa. Artinya, kita tidak perlu berlelah-lelah atau pusing mencari cara untuk terhindar atau bebas dari hal-hal yang kita ‘anggap’ membuat diri kita tidak bebas. Tetapi, carilah hal-hal yang membuat kita bisa “bebas untuk” berbuat apa. Kalau begitu khan cara kita memandang kebebasan jadi positif, bukan? Yup, begitulah seharusnya yang terjadi.***


Read More...

Rabu, Februari 23, 2011

Thinking Otofdeboks


Rekan-rekan muda yang masih berjiwa muda dan bersemangat muda, mungkin di antara kalian seringkali mendengar istilah “thinking out side the box”. Sebenarnya istilah ini amat identik dengan diri kita yang sering dicap berjiwa pemberontak, ingin lepas dari kemapanan. “Out of the box” arti sederhananya adalah berpikir di luar ‘kotak’, berpikir di luar kebiasaan umumnya atau mempunyai cara yang berbeda dalam memecahkan suatu permasalahan. Atau dengan kata lain, cara berpikirnya menggunakan carapandang dan perspektif yang baru.

Apakah ada yang salah dengan cara berpikir ini? Tentu saja tidak, justru sebagai orang muda, cara berpikir seperti inilah yang mesti ditunjukkan. Sayang jika kita menganggap diri kita masih muda, tetapi kita tidak bisa menunjukkan kualitas kemudaan dalam ide dan cara bertindak kita. “Out of the box” menunjukkan realitas yang kreatif dalam diri kita. Out of the box menunjukkan jatidiri kita.
Masa muda amat identik dengan pertumbuhan. Masa muda adalah periode untuk berkembang menjadi pribadi yang kita impikan dan cita-citakan. Masa muda adalah masa di mana manusia secara psikologis berada pada fase “becoming” di dalam dirinya. Maka dari itu, kesadaran bahwa dirinya tumbuh haruslah dibina dengan cara hidup yang dinamis pula. Aneh rasanya kalau masih muda kehidupannya menunjukkan pola stagnasi. Nah, rekan-rekan muda, pertanyaannya sekarang, kalau kalian belum mengembangkan cara berpikir “out of the box”, kira-kira bagaimana mengembangkannya?

Kita mulai dengan sebuah kisah yang dialami Toni. Suatu hari Toni mendapat jatah memimpin rapat OMK yang agendanya hendak mencari bentuk kegiatan yang perlu dibuat oleh pengurus agar banyak rekan muda mau terlibat dalam kegiatan OMK. Selama ini, OMK di tempatnya seperti mati suri. Secara cacah jumlahnya lumayan banyak, lebih dari seratus orang. Tetapi, dinamika yang dibuat OMK tidak pernah ada berita dan gaungnya. Pengurus OMK sebenarnya ada, tetapi mereka hanya tercantum namanya saja di kepengurusan. Para pengurus bingung mau berbuat apa, sementara kalau mau buat sesuatu saja tidak ada yang berminat ikut. Banyak yang mengatakan kegiatan OMK sekarang sudah terlalu kuno, maka kurang menarik dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan di luar gereja.
Dalam rapat itu, Toni mengumpulkan sumbang saran dari teman-temannya yang masih cukup care dengan kegiatan OMK. Beberapa rekan mengusulkan agar diadakan misa kreatif khusus untuk anak muda. Bicara soal misa kreatif, kegiatan ini sebenarnya sudah dua kali diadakan. Memang tidak dibuat rutin, karena memakan biaya yang besar dan hasilnya tidak terlalu berpengaruh pada OMK. Beberapa rekan mengusulkan acara khusus anak muda seperti acara valentine. Tapi, berhubung waktunya masih lama, mungkin itu untuk rencana jangka panjang saja.
Usulan yang masuk di dalam rapat ini cukup banyak. Namun sebagian besar dari usulan ini selalu terkendala dengan biaya yang dibutuhkan dan jumlah personelnya tidak mencukupi. Maka, lagi-lagi apa yang sudah dibayangkan dan diimpikan pasti jadi mentah lagi.
Apa yang dihadapi Toni dan teman-temannya hampir hanya terkurung di dalam “thinking inside the box”. Mereka hanya berpikir soal yang normal-normal saja. Kira-kira, kalau berpikir tentang “out of the box”, hasilnya akan seperti apa ya?
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melatih diri kita supaya bisa berkembang dalam pola pikir “out of the box”. Yang pertama adalah terbuka pada sesuatu yang berbeda dan melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda. Dalam kisah Toni tadi, para pengurus sebaiknya mencari cara berpikir yang baru. Jika penggunaan misa kreatif tidak efektif buat mengumpulkan OMK, maka mereka harus mencari cara yang benar-benar baru. Tidak salah bukan, jika cara-cara yang benar-benar baru dicari dan kemudian dicoba. Jika gagal lagi, itu bisa menjadi masukan untuk format dan bentuk kegiatan yang baru lagi.
Yang kedua, belajarlah untuk mendengarkan dan menimba ilmu dari orang lain. Itulah pentingnya ada orang lain. Diri kita selalu punya keterbatasan. Maka, kehadiran orang lain sebenarnya bisa menjadi kekayaan bagi kita. Dalam pengalaman Toni, pantaslah jika pengurus mencoba belajar dari pengalaman OMK di paroki lain. Bisa jadi, di tempat lain ada bentuk baru yang cocok pula di tempat Toni. Belajar pada orang lain berarti belajar juga pada OMK yang separoki, yang tidak terlibat pada kepengurusan. Semestinya mereka ‘jemput bola’, bertanya kepada rekan-rekan muda, kira-kira apa yang mereka inginkan dan impikan sebagai orang muda. Keinginan pengurus belum tentu keinginan dari para peserta. Dengan demikian masukan-masukan akan semakin diperkaya.
Ada pepatah mengatakan “Masuk pintu mereka, ke luar pintu kita.” Demikianlah strategi ini sewajarnya diterapkan dalam menggerakkan orang muda. Pengurus mestinya mencari tahu lewat ‘pintu’ yang dimiliki oleh rekan-rekan muda lainnya, baru nanti setelahnya kita akan mengarahkan mereka pada nilai-nilai (‘pintu kita’) yang kita perjuangkan.
Yang ketiga, menciptakan nilai dengan cara-cara yang baru. Lha, bagaimana itu bisa dibuat? Dalam kisah Toni, misa kreatif yang dibuat sebenarnya membawa nilai yang amat positif. Misa kreatif meningkatkan peranserta OMK dalam ekaristi, yang menjadi sumber dan puncak hidup orang kristen. Dengan peningkatan itu, OMK diharapkan semakin terlibat lebih jauh dalam buah-buah ekaristi. Tetapi, karena ternyata tidak membawa dampak yang signifikan, mengapa tidak dipikirkan cara yang baru. Misalnya, guna mendukung aspek-aspek penting dalam misa kreatif, dibentuklah kelompok-kelompok kategorial seperti kelompok teater, kelompok musik, kelompok penari, kelompok dekorasi, dsb. Kelompok kategorial ini haruslah dibuat kegiatan rutin, entah dalam bentuk latihan mingguan atau workshop kecil guna pengembangan diri. Jika hal ini dipikirkan oleh Toni dan teman-teman pengurus, pastilah mereka tidak akan menemukan kendala yang besar. Sebab, misa kreatif benar-benar berasal dari OMK, dibuat untuk OMK, dan setelahnya juga kembali kepada OMK. Misa kreatif menjadi sebuah lingkaran konsentris dan berkesinambungan. Dari cara seperti ini, kita akan melihat sebuah nilai baru muncul. Tidak lagi hanya nilai partisipasi dalam segi kuantitas tetapi juga nilai kebersamaan sekaligus kualitas diri dalam OMK masing-masing.
Nah, tidak sulit bukan bagi kita untuk berpikir “out of the box”? Kalau begitu, mulailah melatihnya dan mempraktekkannya. Yakinlah kalau kalian terbiasa dengan cara berpikir seperti ini, segala kesulitan dan permasalahan pasti ada jalan keluarnya.***


“Thinking out of the box. Only those who see the invisible can do the impossible.”
- Dr. B. Lown -

Read More...

Kamis, Februari 03, 2011

Out Of The Box

Teman-teman, kamu masih berjiwa muda khan? Kalau memang kamu sadar masih muda, ayo mulailah belajar berpikir “out of the box”! Anak muda itu selalu punya semangat besar, semangat pembaru, semangat yang berbeda dari yang lain. Nah itulah semangat “out of the box”, berani berpikir dan bertindak di luar kemapanan dan kenyamanan.

Tulisan-tulisan sederhana ini bukan bermaksud untuk menggurui siapapun, tapi berniat dalam maksud yang sama dengan konsep “out of the box”. Selamat membaca!

Read More...

Rabu, Januari 26, 2011

Hampir setahun tidak posting...

Kata ahli IT, era blogging hampir berlalu.
Untuk bisa eksis di dunia maya, tidak perlu sulit-sulit lagi buka blogspot ato wordpress. Sekarang, lewat twitter, orang dengan mudah menyampaikan statusnya terkini.
Semua begitu mudah, dengan hanya mengetikkan beberapa kalimat, seperti menulis sms, semua orang (follower) bisa membaca dan mengetahuinya, sekaligus bisa mengomentarinya.
Hukum pemampatan dalam komunikasi berlaku di sini. Orang lebih memilih untuk cara yang lebih cepat. "Kalau ada yang cepat, mengapa mesti mencari yang lambat?" Lebih cepat, lebih baik. Itulah slogan teori pemampatan komunikasi.
Soal ini memang tidak tertutup kemungkinan untuk diperdebatkan. Salah satu perdebatannya adalah soal logika pendek yang terlalu diagung-agungkan oleh orang-orang modern. Logika pendek inilah yang membuat segala sesuatunya menjadi instan. Tidak ada yang salah dengan mentalitas instan, tetapi tidaklah sedikit dampat negatif yang ditimbulkan dari mentalitas instan. Manusia semakin meninggalkan sebuah "proses". Padahal dalam "proses" selalu ada banyak pembalajaran. Di dalam "proses" orang dilatih untuk sabar, tekun, dan tak mudah patah semangat.
So, teman-teman, meski mungkin Anda sudah mulai beralih ke Twitter, cuap sana, cuap sini, janganlah lupa bahwa pergumulan hidup itu butuh "proses".
Read More...