Sabtu, April 24, 2010

Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa!

Sehabis peristiwa mukjizat roti untuk 5000 orang, Yesus dicari ke mana-mana. Gara-gara itu, setelah Yesus ditemukan kembali, Yesus menjawab secara mengejutkan, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang.”

Kata-kata ini sungguh menusuk buat si pencari tentu saja. Karena apa yang dikatakan Yesus benar sekali. Bagi mereka yang paling penting adalah bisa makan dan bisa melanjutkan hidup. Makan untuk hidup. Tetapi, rumusan ini bisa dibalik. Hidup untuk makan. Beberapa hari yang lalu, di salah satu Koran harian dibahas soal nikmatnya wisata kuliner, sehingga kesannya hidup untuk makan saja. Tapi, ya karena memang maksudnya untuk promosi, maka mau tidak mau, si kulinerawan, seperti Pak Bondan, melakukannya ya karena dengan Hidup untuk makan itulah dia bisa mendapatkan uang.
Sewaktu acara Jubileum bruder Prapto, tepatnya pada saat makan siang, saya sempat berkomentar dengan salah seorang teman. Hebat… hebat… Jesuit itu kalau mengadakan sajian pesta, selalu pantas diacungi jempol. Tidak ada konvik lain yang bisa mengalahkan Jesuit soal jamuan makan. Apalagi kalau mau membandingkannya dengan ST. Di mana-mana, entah di Jakarta, di Semarang, di Yogyakarta, selalu memuaskan. Kurang enak sedikit, kurang tepat waktu penyajiannya pasti sudah banyak komentar muncul. Bicara rasa makanan enak-tidak enak, tampaknya Jesuit itu berpegang pada prinsip ini. Prinsip ini pernah saya dengar dari Romo Riyo sewaktu masih rektor Loyola, “de gustibus non est disputandum.” Setiap orang memiliki cita rasanya sendiri-sendiri. Maka, karena itulah setiap orang yang mendapat jatah seksi konsumsi pada acara Jesuit, haruslah benar-benar mengakomodasi prinsip ini.

Kembali ke soal Hidup untuk makan. Gara-gara mempersiapkan sharing pagi ini, tadi malam saya teringat dengan tulisan yang dibuat oleh bidel refter di papan pengumuman komunitas untuk mengingatkan kita bahwa kemarin sabtu, bambang ulangtahun. Kalau dipikir-pikir, saya merasa, tinggal di Kolsani itu begitu menyenangkan. Bagi saya sendiri, kalau saya tidak hati-hati, saya bisa jadi seperti apa yang saya katakana tadi. Hidup itu untuk makan. Karena, pagi-siang-sore makanan sudah tersedia, bahkan sesekali waktu, minimal sebulan sekali, bisa makan banyak dan menikmatinya dengan puas.

Tapi, Yesus melanjutkan kata-kata-Nya:
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya."
Lalu, bekerja yang bagaimana dan untuk makanan apa yang tidak dapat binasa ya? Pikir saya.
Seminggu yang lalu dalam sebuah chatting, saya sedikit syok dengan pernyataan salah seorang mantan murid saya di Loyola.
“Buat apa kami sekolah dan belajar selama 3 tahun, kalau nasib kami hanya ditentukan oleh 5 hari ujian? Mending kami di-drill 1 bulan saja, khusus untuk mempersiapkan ujian ini, sehingga kami bisa lulus!”
Menurut saya, anak ini sedang bergulat dengan pengalaman Ujian nasionalnya. Benar juga ya, buat apa mereka susah-susah belajar 3 tahun? Yang terpenting bagi mereka adalah mereka bisa lulus. Sementara, lulus-tidaknya hanya ditentukan oleh ujian yang dibuat selama 5 hari. Bagi mereka 3 tahun tidak ada gunanya, sia-sia dan membuang waktu hidup saja. Kalau bisa disiapkan dalam 1 bulan, mengapa harus menyiapkannya dalam 3 tahun.
Kadang-kadang, stresnya orang bekerja di kolese ya seperti ini. Sudah susah-susah diurus, anak orang lagi, selama 3 tahun, tanggapannya koq Cuma seperti ini. Di mana perjuangan selama 3 tahun, yang sudah mereka perjuangkan dan sudah ditawarkan oleh sekolah?
Maka, dulu sewaktu pelajaran agama atau pendalaman materi ignatian di kelas, saya selalu menekankan bahwa kita belajar itu untuk hidup. Non scholae sed vitae discimus. Ini kata-kata Seneca, sang filsuf Romawi, yang memperingatkan muridnya Lucilius. Studi di sekolah tidak semata-mata demi raihan nilai dan hasil yang sempurna dengan lulus ujian. Tetapi yang terpenting dari sekolah adalah untuk mengerti hal-hal yang akan dijalani dalam hidup. Oleh karena itulah, Loyola dan kolese-kolese lainnya menawarkan visi yang tertuang dalam 3C (comopetence, conscience, compassion). Kalau Cuma ujian 5 hari itu saja baru bagian competence. Lalu, saya jawab dalam chatting saya, “Meskipun kamu lulus UN, dan bagi anak Loyola, itu pasti (yakin), kamu bisa gak lulus hanya karena conscience dan compassionmu gagal. Sudah ada buktinya lho. Gara-gara nyontek, tidak lulus. Gara-gara menyepelekan dan menyerang guru atau pamongnya, belum kelulusan sudah dikeluarkan.”
Ngomong-ngomong soal belajar untuk hidup. Sambil bermain kata-kata, saya mau membaliknya, menjadi Hidup untuk belajar.
Mungkin inilah yang dimaksud Yesus dengan bekerja untuk makanan yang tidak dapat binasa. Bagi kita skolatik, yang teologan, Belajarlah bentuk kerja kita. Dan belajar itu adalah demi makanan yang tidak dapat binasa. Maka jadi Jesuit itu ya Hidup untuk belajar. Lagi-lagi, gara-gara kata ini, saya teringat dengan wawancara pada saat solisitasi saya 10 tahun yang lalu. Karena di hadapan pater magister, saya begitu gugup, tiba-tiba saya mengatakan bahwa Jesuit itu punya prinsip “Hidup untuk belajar”. Entah dari mana kata-kata ini keluar. Tapi, yang jelas saya tidak bisa memberi penjelasan yang meyakinkan kepada magister mengenai alasan pernyataaan saya tersebut. Kalau saya boleh kembali ke 10 tahun yang lalu. Ayat kitab suci ini akan saya kutip untuk menjelaskannya.

Dan yang terakhir dari teks hari ini:
Lalu kata mereka kepada-Nya: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" Jawab Yesus kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.
Untuk penjelasan yang satu ini, kita kembali ke Bacaan pertama, di situ dikisahkan tentang Stefanus. Stefanus adalah orang yang percaya pada Yesus. Dia penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak (Kis 6:8). Nah, jika hidup kita sehat (terkait dengan soal makan tadi) dan hidup kita inspiratif (karena hasil belajar kita) kiranya kita juga dapat mengadakan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda di antara orang banyak di sekitar kita, sama seperti yang telah dilakukan oleh Stefanus. Dan mungkin teman-teman sekomunitas kita, tidak melihat kita sebagai beban, atau sebagai penghambat kerja komunitas, tetapi bisa melihat kita sama seperti melihat Stefanus. Oleh Mahkamah agama, seperti disebutkan dalam bacaan, muka Stefanus seperti muka seorang malaikat. Semoga itu terjadi juga di antara kita!
Read More...