Rabu, Juni 10, 2009

IMAN TIDAK PERNAH DARI ANGKA NOL!


Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, dunia yang bergerak dan menyejarah terus memberikan latar dan pengaruh pada kehidupan manusia, dan sebaliknya, manusia jugalah yang secara otonom membentuk dan mengukir dunia seluas hidupnya.

Dalam peziarahannya di dunia, manusia tidak jarang berhenti pada suatu titik, di mana dia bertanya-tanya di dalam batin, mencoba mencari jawaban, siapa sebenarnya ‘sang aktor’ di balik peristiwa kehidupannya? Meski manusia yakin bahwa tindakan yang dilakukannya dari detik ke detik adalah opsi fundamental-nya, tetapi seringkali dalam situasi tertentu, manusia menjadi seperti tertahan, tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tepat pada saat itu, manusia merasakan ada ‘sesuatu’ di luar dirinya yang ikut terlibat dalam peristiwa itu. Itulah proses pengenalan manusia akan ‘Yang Transenden’.
Siapakah ‘Yang Transenden’ itu? Manusia terus mencoba mencari jawab. Penggalan-penggalan sejarah telah banyak bercerita bahwa manusia tidak pernah berhenti menginterpretasikan siapa ‘Yang Transenden’ itu. Proses pengenalan itu tak akan pernah berhenti dan mengalir terus sepanjang hidup manusia.
Secara sederhana, itulah yang disebut dengan iman. Iman selalu berdinamika di antara pribadi manusia dan ‘Yang Transenden’, serta ketersediaannya selalu berangkat dari konteks dunia yang menghidupinya.

Pokok-pokok pembinaan iman zaman ini
Bila mendiskusikan pokok-pokok apa saja yang menjadi perhatian dalam membina iman, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah aspek pribadi manusia yang mengalami iman itu sendiri. Iman itu relasi personal, yakni pengalaman pribadi manusia itu sendiri. Masing-masing orang punya pengalaman iman yang berbeda dan unik. Pengalaman itu terjadi lewat cara-cara yang identik dengan orang yang mengalaminya, sehingga orang lain tidak bisa dengan mudah memahaminya.
Dalam kesadaran iman yang unik itu, setiap pribadi bergulat dalam dirinya: bagaimana ‘Yang Transenden’ itu sungguh-sungguh disadari. Maka, refleksi atas pengalaman atau pemaknaan atas hidup menjadi sangat penting, sebab di situ manusia menjadi sadar bahwa hidup itu bukan miliknya sendiri. Ada campur tangan dari Sang Pribadi ‘Yang Transenden’. Pribadi itulah yang dikenal oleh manusia sebagai Allah. Dan dengan kesadaran itu pula, lewat seluruh hidupnya tampak ditunjukkan keterlibatan Allah. Sementara itu, refleksi keberimanan tadi diperoleh dengan melibatkan seluruh afeksi/rasa dan kognisi serta aksi dari manusia itu sendiri.
Hal kedua yang menjadi pokok perhatian adalah konteks dan lingkungan-budaya yang melingkupi pribadi manusia itu. Seorang beriman tidak pernah lepas dari konteks, apalagi bila konteks itu adalah hidup bersama orang lain, yang notabene adalah orang yang sangat beragam, apalagi masing-masing orang tersebut mempunyai pengalaman keberimanan yang khas dan unik juga. Konteks ini juga mencakup dunia/zaman macam apa yang ditinggali oleh manusia tersebut.
Hal ketiga adalah kesadaran bahwa keberimanan itu bukanlah tindakan sekali jadi. Keberimanan adalah sebuah proses hidup, yang dimulai sejak pribadi itu terlahir ke dunia, dan selesai pada waktu kehidupan itu dicabut dari dirinya. Dengan kata lain, pencarian akan Allah atau keberimanan terhadap Allah ‘Yang Transenden’ itu terus diperjuangkan sampai sukma terenggut dari tubuh. Namun, dalam proses keberimanan tersebut, bukan berarti manusia tidak pernah punya pilihan pasti. Dalam setiap titik-titik hidup yang dilaluinya, manusia menentukan opsi fundamental-nya. Dalam opsi itulah, dia bergulat dalam hidupnya, dan itu tiada kata akhir, sampai semuanya benar-benar paripurna di akhir hidupnya.
Hal keempat adalah Pribadi ‘Yang Transenden’, yakni Allah sendiri. Dalam proses keberimanan manusia, Allah ikut terlibat dan ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan-Nya pun unik sebab bergantung kepada masing-masing manusia dalam berprosesnya.

Pengertian dasar yang memberi arah pembinaan iman
Setelah memahami pokok-pokok iman di atas, selanjutnya perlu adanya pengertian dasar guna memberi arah bagi pembinaan iman tersebut. Pada dasarnya, kehidupan manusia itu tak pernah berdiri sendiri. Pengalaman akan ‘Yang Transenden’ selalu muncul dalam benak kehidupan manusia. Proses keberimanan itu bisa dianalogikan seperti orang berjalan menyusuri sungai. Sementara, ‘Yang Transenden’ itu, yang kita kenal sebagai Allah, persis berada di seberang sungai, yang juga sama-sama menyusur. Sesekali, kedua sisi sungai itu bertemu. Titik pertemuan itu adalah sebuah jembatan. Lewat jembatan itulah, manusia dan Allah menjadi saling terhubung. Tetapi, setiap kali Allah dan manusia juga akan selalu bertemu, sebab indera (mata) tak menghalangi penglihatan dan oleh karenanya, manusia menjadi yakin bahwa di seberang Allah juga terlibat dalam dan aktif dalam ‘permainan’ hidupnya.
Selain daripada itu, tidak jarang pula terdapat banyak hal yang bisa menghalangi keterhubungan itu, entah itu terjadi karena jarak sisi sungai yang semakin melebar, entah karena ada benda asing yang seketika itu lewat di tengah sungai, sehingga pandangan langsung menjadi terhalang. Atau bisa juga selama perjalanan menyusur sungai, tak satupun jembatan yang bisa ditemui.
Tapi itu bukanlah hal yang pokok. Sebab keberimanan itu seperti sebuah permainan. Di dalamnya, manusia diajak untuk terlibat. Allah pun melakukan hal yang sama. Di sini tidak tertutup kemungkinan ada proses tarik-ulur, antara Allah dan manusia. Dengan demikian, yang pokok dalam permainan itu adalah manusia tidak pernah berhenti dalam pencariannya, tidak pernah berhenti menyusuri sungai.
Di samping itu, di dalam ‘permainan’, manusia juga benar-benar diuji. Allah sebagai pihak yang lain, juga memainkan peran-Nya, meskipun Allah kerapkali membuat banyak gerakan-gerakan (=rahmat) yang tak terduga. Ketakterdugaan ini juga menunjuk pada situasi di mana, seringkali manusia menemui ‘jalan buntu’ di dalam hidupnya, yakni situasi di mana manusia ‘merasa’ ditinggalkan oleh Allah (misalnya dalam menjawab masalah penderitaan). Itulah misteri permainan itu. Manusia tidak tahu apa yang dibuat Allah, tapi manusia yakin bahwa Allah tetap terus bermain. Oleh karena itu, yang terpenting dari sisi manusia adalah sungguh-sungguh bermain, dan terus bermain sampai akhir hidup.
Lewat permainan itulah, manusia bertanggungjawab atas hidupnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa iman bukan berarti ‘aku manut’, tetapi mau berubah dari hari ke hari.

Kristus dalam pembinaan itu
Proses keberimanan manusia menandakan adanya sejarah iman. Bagi orang kristen, sejarah iman itu belum penuh. Sebab kepenuhannya ada dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, keberimanan orang kristen berfokus dalam pribadi Kristus.
Kristus adalah komunikasi Allah. Kristus menjadi cara sekaligus menjadi model dalam keberimanan orang kristen. Dengan keterlibatan Kristus dalam hidup, kita akhirnya diundang masuk ke dalam pusaran arus Allah.
Kristus menjadi cara keberimanan kita, dan oleh karenanya, hidup Yesus menjadi semacam model dalam keberimanan kita. Yesus adalah juga manusia yang ikut ambil bagian dalam permainan bersama Allah. Dalam permainan itu, Yesus bergulat dan secara kontiniu berproses mencari dan menangkap Allah. Bahkan sampai wafat-Nya di kayu salib, pencarian itu tak pernah ada kata akhir. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46)
Selain itu, meski Yesus adalah komunikasi Allah sendiri —atau dengan kata lain Yesus adalah Wahyu—, selama hidup-Nya Yesus sama seperti manusia, menjadi pendengar Sabda Allah sendiri. Sikap-Nya inilah yang membuat-Nya hidup dalam masterplan Allah. Itu berarti pula bahwa Yesus selalu membuka diri-Nya pada rahmat (=permainan) yang dibuat Allah.

Lalu, apakah hidup dan doa kita mulai dengan nol?
Setelah melihat bagaimana proses keberimanan manusia, pada bagian ini, kami hendak menanggapi pengalaman iman yang unik, yang dialami oleh Andre Sulistyo (yang dimuat di majalah Utusan, edisi Agustus 2008)
Pada dasarnya, posisi/titik hidup yang dialami Andre tidak bisa dikatakan harus mulai lagi dari angka nol. Iman itu adalah proses. Pada titik yang dianggap nol oleh Andre itu justru adalah titik lanjutan, bukanlah titik awal. Sedangkan, menurut kami, angka nol haruslah selalu menunjuk pada mulainya hidup seorang manusia. Posisi angka nol menjadi tepat/benar, jika itu menunjuk pada mulainya kehidupan manusia di dunia, yakni ketika dia dilahirkan. Sementara, hidup yang sedang berjalan, apakah dia dalam krisis beriman atau tidak, tak pernahlah dimulai lagi dari angka nol.
Sejak manusia terlahir sampai akhir hidupnya, manusia bergulat dalam imannya. Keadaan sebagai seorang fatalis, tidak berarti dia tidak beriman. Justru di situlah, imannya sedang diuji. Titik nol yang disebut Andre justru bisa dikatakan sebagai ‘puncak hidup’-nya, karena dia sungguh menyerahkan seluruh hidupnya (bdk. Pengalaman St. Yohanes dari salib). Dalam ‘titik nol’ itulah, Allah mewahyukan dirinya, Allah menunjukkan gerakan-gerakan dalam permainan-Nya.
Mesti diakui bahwa anggapan Andre Sulistyo itu merupakan gejala umum yang kerap dialami manusia zaman sekarang, yang melihat hidup itu sebatas keberhasilan. Sehingga, sah-sah saja jika Andre menganggap dirinya mesti memulai lagi dari angka nol. Padahal di samping keberhasilan, hidup itu juga termasuk penderitaan. Itu tampak dari ungkapan ‘keberimanan’-nya. Ada perbedaan tipis antara penyerahan diri dan keputusasaan. “Kalau hari ini Tuhan mau ambil nyawaku, ya silakan!” Maka dari itu, hidup itu tidak bergantung pada iman kita saja. Dalam permainan itu, kita juga bergantung pada Allah yang cuma-cuma memberikan rahmat-Nya.***
Read More...

Rabu, Juni 03, 2009

"Let's bear The FRUIT!"


God has a purpose for our lives and what is that purpose very simply, it is to bear FRUIT.
If we bear fruit, we are of value to him. God the Father is the vinedresser, and his sole desire is that the branches of the vine might bear fruit, that is how he evaluates them.
Notice what He does.
"I am the true vine and my Father is the vinedresser. He cuts off every branch that does not bear fruit."
In grape vines, 90 - 95% of them is pruning off worthless branches. The reason is, on grape vines, grapes only happen on new growth. Those old branches might look wonderful and leafy but the simple truth is that they will not bear any fruit. So God cuts them off and tosses out all that old stuff so that the new vine branches might be fruit bearing ones. The simple truth is that old branches on a vine take up its nutrients so that new vine branches will only produce poor fruit. That is why old branches are cut off.
This first part that the vinedresser does is the painful to us because he is talking about us as individuals. This passages forces us to ask ourselves: Are we fulfilling God's function for our lives? Are we bearing fruit that will last? Or are we pieces that need to be cut off because we are fruitless?
Before we ask that question further, let me point out something else that the vinedresser does. If he sees a branch bearing fruit, maybe not a lot, but a little, you know what he does to it - this time he does not cut it off, rather he cuts it way down to size.
"Every branch in me that bears no fruit he cuts away, and every branch that does bear fruit he prunes to make it bear even more."
The whole reason behind pruning is FRUIT - not just a little, but a lot of fruit.
"It is the Glory of my Father, that you should bear much fruit, and then you will be my disciples."
Pruning is also done for the purpose of strength. Some long branches couldn't bear any fruit because simply they are not strong enough. Therefore the vinedresser cuts branches short so that when the fruit comes, it will be strong
So the question asks us: Are we BEARING FRUIT? And then: What does it mean to bear fruit?

Let me describe.
1. Fruit never exists for itself. Fruit is designed for others. However you might choose to define fruit - the first and most basic question is this - are you living to serve yourself or are you living to serve God and others?
2. Good fruit is food! This is true of spiritual fruit also, it is for other people to enjoy and grow by, it blesses others, it nurtures them.
3. Good fruit is reproducable - it has the potential when falling onto good soil to reproduce again the same fruit as the original vine. The faith of the ours ought to become the faith of those around us. If not, we will be burned.
This has many applications for our lives. It is very practical. We always live in a time when we are making choices. And so often we make those choices based on abilities, interest, and so on. But how about the question of having a choice in which we intentionally bear fruit for God? How does fruit bearing fit into our plans? How are we going to be living our life for others? How is our life in Christ going to be reproduced in others?
The last question, if we want to bear fruit is - "What is the key to bearing fruit?"
The answer is the wonderful part of this passage. The key to bearing fruit is not in our doing so much, not in our work or activities, the key to the function of bearing fruit is in our RELATIONSHIP with Christ.
"Make your home in me, as I make mine in you. As a branch cannot bear fruit all by itself, but must remain part of the vine, neither can you unless you remain in me. I am the vine, you are the branches. Whoever remains in me, with me in him, bears fruit in plenty; for cut off from me you can do nothing."
Amen.
Read More...