Selasa, Maret 22, 2011

Menjadi Manusia Bebas

“Freewill means that the Universe never judges, never interferes with your own
choices - and sees you as a being of equal creative power.”
--Joy Page

Slogan yang paling sering dikumandangkan oleh orang muda adalah kebebasan. Ya, bagi mereka, kebebasan adalah ruang untuk menunjukkan jatidiri. Kebebasan adalah ruang untuk mandiri. Kebebasan adalah tempat untuk belajar. Tapi, mereka juga berpikir bahwa kebebasan adalah kemungkinan untuk bisa buat ini-itu. Kebebasan adalah bisa lepas dari kekangan dan pantauan orang lain. Kebebasan adalah semau gue. Lalu, apakah kebebasan itu memang seperti gambaran tadi semua?
Fakta di lapangan memang menunjukkan demikian. Orang muda secara bertahap menuntut ruang kebebasan itu. Mulai dari menuntut kebebasan dari pantauan orangtua. Kemudian menuntut ingin bebas dari kewajiban-kewajiban di sekolah: ingin bebas dari tugas dan PR, ingin bebas dari kegiatan yang tidak diminati. Lalu berkembang ingin bebas dari segala hal-hal yang tidak disukainya. Dan ingin bebas untuk mengekspresikan dirinya, entah bagaimana caranya, yang penting eksis.

Demikianlah yang dialami Yudi dalam hidupnya. Selepas lulus SMP, dia melanjutkan studi di luar kota, di tempat pamannya. Dia begitu senang karena bisa bebas dari pantauan dan bebas dari kewajiban-kewajiban yang harus dibuatnya sebagai seorang anak. Tapi, dalam kebebasan itu ada ketegangan seperti yang tampak dalam gambaran kebebasan di awal tadi. Di satu sisi dia dihadapkan pada ruang untuk belajar mandiri dan menentukan hidup sendiri, tetapi di sisi lain dia terpasung pada konsep bebas semau gue. Setelah lulus SMA, Yudi tidak mau lagi tinggal di rumah pamannya. Dia tinggal di kos-kosan. Ruang kebebasan itu lebih besar lagi. Yudi sangat merasakan hal itu. Dalam ruang kebebasan penuh, dia bisa melakukan apa saja. Dia mau hidup kacau ya bisa. Dia mau hidup baik juga bisa.
Teman-teman, manusia adalah mahluk ciptaan yang paling sempurna. Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Oleh karena itu, secara kodrati, manusia memang terlahir bebas. Kita adalah manusia bebas. Tidak harus menunggu sampai umur 17 tahun, kita memang terlahir untuk menjadi manusia bebas. Dalam kehidupan, kita pun bebas untuk memilih apapun. Karena menjalani hidup itu pada dasarnya adalah menjalankan pilihan-pilihan bebas kita.
Lalu, apa artinya pantauan dan proteksi yang dibuat oleh orangtua? Apa artinya kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh sekolah dan guru? Apakah itu artinya mereka melawan hakekat kodrati kita sebagai manusia yang diciptakan bebas?
Tidak! Mereka sama sekali tidak mengekang kebebasan hidup kita. Dengan melihat dari sudut pandang berbeda, seperti yang dimaksud dengan hadirnya buku ini, saya akan mengajak teman-teman untuk memahami dengan cara lain. Kita mulai dari yang sederhana. Ketika kita lahir ke dunia, sebagai seorang manusia baru, analogikan saja bahwa kita bagaikan ‘kertas kosong’, yang masih putih bersih tanpa coretan sedikit pun. Sebagai sesuatu yang baru dan masih bersih, tentu saja kertas putih itu masuk dalam sebuah ancaman. Ancaman itu bisa berupa coretan yang tidak jelas, sobekan yang tidak perlu, dan sebagainya. Maka, supaya hal-hal yang merusak itu tidak terjadi, ‘kertas putih’ haruslah dijaga, dirawat dan mulai ditulisi dengan hal-hal yang baik. Begitulah sebenarnya peran orangtua dalam hidup kita. Kehadiran mereka adalah bukti tanggungjawab mereka untuk menjaga hidup kita. Kehadiran mereka tidak untuk merusak kebebasan yang terpatri sejak kita lahir.

Sama halnya di bangku sekolah. Sejak awal masuk sekolah sudah jelas khan kalau kita memang diserahkan oleh orangtua untuk dididik. Bukan maksud mereka untuk melepaskan begitu saja hidup kita. Mereka tahu bahwa ‘kertas putih’ tadi harus ditulis dengan ‘tulisan-tulisan’ yang baik, yakni dengan pendidikan yang baik. Maka, tuntutan dari sekolah, entah berbentuk tugas atau ujian, adalah bentuk tanggungjawab mereka untuk menjaga kita. Kebebasan kita yang sudah terpatri sejak lahir tidak sama sekali terpasung. Pendidikan di sekolah justru menjadi ruang untuk mengaktifkan ruang kebebasan kita.
Lalu, bagaimana dengan aturan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat? Nyatanya setelah kita beranjak dewasa, ketika sudah mulai bisa mandiri, kita justru terpasung oleh aturan dan norma yang ada?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan dan norma tersebut. Kita memang terlahir bebas. Tetapi kita tidak bisa hidup bebas semau gue. Kita hidup bersama orang lain. Kalau semua orang berprinsip bahwa kebebasan adalah hidup semau gue, mau jadi apa dunia ini nantinya. Salah-salah yang ada mungkin adalah suasana khaos. Tentu bukan itu yang kita harapkan, bukan?
Aturan dan norma dibuat adalah untuk menata manusia yang ada di dalamnya. Itu dibuat untuk memberi kejelasan atas ruang yang luas bagi kebebasan kita. Jika tidak ada aturan dan norma, semua orang pasti akan terganggu kebebasannya. Lho koq bisa? Coba saja kamu bayangkan. Andaikan dunia ini tidak pernah ada aturan dan norma. Apakah semua orang bisa bertindak bebas? Yang ada malah orang akan saling bertengkar dan berkonflik karena kebebasan mereka terganggu. Akhirnya, bukan kebebasan yang didapat, tetapi malah kehancuran hidup kita sendiri.
Tapi, kalau kita mau hidup ekstrim ya bisa juga sih. Kalau mau ingin hidup bebas semau gue, tetapi juga tidak terlibat dalam konflik itu juga bisa dilakukan. Caranya gampang. Tinggal aja di suatu tempat sendirian, dan berusahalah untuk tidak ketemu siapa-siapa. Wah, kalau itu memang terlalu ekstrim. Mana mungkin ada manusia yang bisa melakukannya. Cerita dongeng tentang Tarzan saja menunjukkan bahwa dia sendiri tidak bisa mungkin hidup sendirian. Meski memang tidak ada manusia lain yang menemani, nyatanya dia juga butuh mahluk hutan lainnya agar dia bisa tumbuh menjadi manusia sempurna.
So, teman-teman, kita tidak perlu merasa terpasung oleh aturan dan norma yang ada, tidak perlu merasa kecewa karena orangtua selalu memantau kita. Semua itu ada dan dibuat supaya kebebasan yang ada dalam diri kita tetap terpelihara dengan baik. Saya yakin, besok pun kalau kamu gantian menjadi orangtua, pasti juga membuat hal yang sama buat anak-anak kalian. Kamu pasti akan menjaga dan merawat mereka.
Satu hal lagi yang mesti segera kita sadari soal kebebasan adalah bahwa prinsip yang paling pokok bukan menuntut “kebebasan dari” apa tetapi berpikirlah mengenai “kebebasan untuk” berbuat apa. Artinya, kita tidak perlu berlelah-lelah atau pusing mencari cara untuk terhindar atau bebas dari hal-hal yang kita ‘anggap’ membuat diri kita tidak bebas. Tetapi, carilah hal-hal yang membuat kita bisa “bebas untuk” berbuat apa. Kalau begitu khan cara kita memandang kebebasan jadi positif, bukan? Yup, begitulah seharusnya yang terjadi.***


Tidak ada komentar: