Senin, Juni 13, 2011

Tanggapan untuk Posting terakhir

KASUS 1
Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 3 masalah moral yang utama.

Pertama, masalah keinginan keluarga (terutama ayahnya) untuk mencabut selang makanan yang membuat Tarno tetap bertahan hidup. Dalam moralitas, perbuatan ini sering disebut sebagai tindakan euthanasia. Euthanasia sendiri terdiri dari beberapa macam. Setidaknya ada 5 bentuk euthanasia: Euthanasia pasif (mis: dengan mencabut selang), euthanasia aktif (bisa dilakukan oleh dokter/orang lain, bisa juga dilakukan oleh pasien langsung), euthanasia tidak langsung (dg tindakan medik, tp tidak lgsg menyebabkan kematian), voluntary euthanasia (pasien sadar dan meminta sendiri) dan involuntary euthanasia (pasien sudah tidak sadar dan orang lain yang memutuskan).
Untuk kasus tindakan yang akan dibuat oleh keluarga terhadap Tarno termasuk kategori euthanasia pasif. Mengapa hanya pasif, apa pendasaran pokoknya? Pendasarannya adalah prinsip ordinary-extraordinary. Dalam prinsip ini, tindakan itu menjadi wajib hanya boleh dikenakan pada hal-hal yang biasa dan bisa dicapai oleh orang pada umumnya. Sedangkan hal-hal luar biasa yang pencapaiannya sulit tidaklah boleh dikenakan sebagai kewajiban umum kepada semua orang.
Nah, penggunaan selang makanan bagi penderita koma, yang biasanya hanya bisa kita temukan dalam ruang ICU, adalah termasuk kategori extraordinary. Penggunaan ruang ICU tidak bisa kita wajibkan kepada semua orang. Lalu, terkait dengan kasus Tarno, apakah dengan demikian pencabutan selang itu diperbolehkan? Jika, melihat sisi extraordinary-nya, itu tidaklah menjadi masalah. Para moralis dan kaum agamawan umumnya memandang cara ini (euthanasia pasif) tidak masalah. Sebab, dalam kondisi misalnya tidak ada ICU di suatu tempat tertentu, Tarno mungkin sudah tidak bisa bertahan selama 5 bulan. Penggunaan ICU membuat Tarno bertahan hidup lebih panjang. Jadi pelepasan selang mengembalikan kondisi Tarno pada situasi ordinary.
Tetapi, jika pelepasan selang itu semata-mata demi alasan ekonomi, tindakan itu tidaklah bijak. Artinya, value dari ekonomi kalah penting dari value dari kehidupan. Bagaimanapun juga kehidupan haruslah diperjuangkan. Toh, keluarga bisa meminta kepada pemerintah untuk membantu meringankan biayanya (ini adalah kewajiban negara untuk menyediakan Jamkesmas bagi warga yang kurang mampu).
Dalam Kitab suci, kita bisa belajar dari tokoh Ayub. Maka, pemecahan masalahnya bisa menggunakan kisah Ayub ini sebagai cerita inspiratif untuk keluarganya. Keluarga harus diajak tabah, tetap berpasrah pada Tuhan. Jangan hanya semata-mata demi alasan ekonomis saja.

Kedua, masalah penggusuran atas nama manfaat (banyak orang).
Cara ini seringkali dijadikan kampanye paling efektif dari pemerintah untuk melaksanakan rencana pembangunan dan sekaligus penertiban warga yang tinggal di wilayah pemerintahan mereka. Tetapi, bila kita lihat lebih seksama, asas manfaat ini tidak bisa dibenarkan. Meski bermanfaat bagi “banyak” orang, tetap saja ada orang yang dirugikan, meskipun itu hanya “segelintir”. “Segelintir” ini juga manusia lho, bukan mainan. Ingat, pernyataan Kayafas kepada orang Yahudi ketika Yesus akan dihukum, "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa." Pernyataan ini hanya berlandaskan pada asas manfaat. Yesus dikorbankan demi kepentingan banyak orang.
Solusinya adalah meminta pemerintah dan warga mencari waktu dan tempat untuk musyawarah. Harus ditemukan titik temu yang win-win solution. Tidak boleh ada satu pun yang dirugikan. Di Indonesia sudah ada beberapa contohnya. Pemerintah kota Yogyakarta dan kota Solo termasuk dalam kategori pemerintah yang berjuang tidak sekedar seenaknya menggunakan asas manfaat. Meski ada penertiban, warga yang ditertibkan diberi ganti rugi yang seimbang dan malahan justru menguntungkan warga sendiri.

Ketiga, masalah bentrokan antara satpol PP dan warga. Bentrokan ini terjadi sebagai implikasi dari kebijakan penggusuran yang dibuat oleh pemerintah. Satpol PP dalam kasus ini seringkali tidak bisa langsung disalahkan. Mereka hanyalah alat dari pemerintahan. Mereka dibayar oleh pemerintah. Tokoh sentral dalam penggusuran ini adalah pemerintah. Penting di sini digarisbawahi soal prinsip keadilan. Dalam moral sosial, keadilan dan bonnum commune (kebaikan bersama) menjadi prinsip yang paling pokok. Ajaran sosial Gereja sudah banyak membicarakan hal ini. Bila menilik pokok permasalahan yang terpenting, pemerintah dan masyarakat harus saling bertemu. Bila di dalamnya ada kepentingan bisnis (pengusaha), maka kelompok ini juga harus ikut dalam pertemuan itu. Mufakat dan hasil yang berimbang dari 3 posisi sentral (pemerintah-rakyat-pengusaha) ini tentu harapannya.





KASUS 2
Dalam kasus ini, kita bisa menemukan 4 masalah moral yang utama:

Pertama, masalah aborsi. Aborsi adalah termasuk tindakan membunuh. Yang dibunuh adalah janin manusia yang masih di dalam rahim seorang perempuan. Dewasa ini ada kecenderungan antara pilihan pro-life atau pro-choice. Pro life adalah opsi untuk tetap mempertahankan kehidupan, meski dalam keadaan dilematis sekalipun. Sementara pro-choice, si ibu bisa memilih yang terbaik bagi hidupnya (hanya dalam kondisi medis yang harus mengorbankan janinnya).
Dalam kasus ini, permintaan Doni tidak ada sangkut pautnya dengan pro-choice (karena bukan persoalan medis). Doni meminta aborsi, karena kehadiran bayi itu tidak diinginkan.
Memang, dalam kasus ini tindakan aborsi itu sendiri belum terjadi. Tetapi, baru ‘niat’ saja sudah membuat tindakannya intrinsik jahat.
Aborsi tidak saja masuk dalam kategori membunuh biasa. Dalam Gereja katolik, pelaku aborsi (pelaku langsung maupun tidak langsung) dikenai sanksi eks-komunikasi. Dan rekonsiliasinya harus dipenuhi lewat pengakuan dosa secara khusus. Mengapa berefek demikian? Karena aborsi pada dasarnya sama saja dengan membunuh manusia yang masih belum bisa membela dirinya; di mana seharusnya kita menjaga dan merawat janin ini, aborsi justru melawannya. Di sinilah pokok kejahatan dari aborsi.

Kedua, masalah kehamilan di luar nikah. Perihal kehamilan di luar nikah, itu terkait dengan moral keluarga. Dalam weekend moral tempo hari kita sudah mendalaminya secara khusus. Problem pokok kehamilan di luar nikah adalah kesalahan dalam memaknai arti cinta. Cinta adalah anugerah dari Tuhan yang istimewa. Cinta yang lahir lewat pasangan mestilah dihidupi sebagaimana seperti cinta Tuhan kepada manusia.
Selain itu, Gereja juga menegaskan (seperti juga disebutkan dalam kitab suci) bahwa perkawinan itu adalah sakral. Perkawinan bukan sekedar hubungan intim suami-istri. Di dalam perkawinan, intrinsik hadir karya Tuhan.

Ketiga, masalah kontrasepsi. Meski masalah ini tidak terlalu nyata, tetapi permintaan Doni kepada Santi untuk meminum pil anti-hamil, berarti di dalamnya ada unsur anjuran penggunaan alat kontrasepsi. Supaya bahasan untuk masalah ini tidak terlalu rancu, penting diingat bahwa alat kontrasepsi bukanlah diperuntukkan bagi pasangan yang belum menikah. Secara moral alat itu hanya ‘boleh’ digunakan atau dipakai untuk orang yang sudah menikah. Lalu, jika syarat pernikahan sudah terpenuhi, barulah kita bicara bagaimana tanggapan gereja terhadap penggunaan kontrasepsi. Pada intinya, Gereja tidak memperkenankan pengaturan kelahiran dengan cara penggunaan alat-kontrasepsi, apalagi jika alat tersebut bersifat kontra-vita (sama saja dengan membunuh/aborsi). Yang gereja minta dari pasangan adalah pengaturan kelahiran secara alami (atau istilahnya KB Alami).

Keempat, masalah relasi berpacaran lewat facebook. Ada dua cabang masalah dari persoalan ini. Yang pertama soal bagaimana berelasi yang baik, dan yang kedua soal alat komunikasi (facebook).
Dalam membangun relasi yang baik, apalagi dalam rangka pacaran, haruslah dipergunakan sarana-sarana yang baik dan mendukung pula. Dalam tradisi gereja, masa pacaran adalah kesempatan bagi pasangan untuk sungguh mengenal pasangan, sehingga kelak siap masuk dalam jenjang pernikahan. Sifat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan sungguh mengharapkan setiap pasangan siap sehidup-semati dengan pasangannya. Maka, pacaran menjadi kesempatan untuk sungguh mengenal satu sama lain. Sementara itu, kembali ke kasus kualitas relasi antara Santi dan Doni memang patut dipertanyakan.
Lalu, soal facebook. Dalam dirinya sendiri, facebook bersifat netral. Tetapi, di hadapan pengguna, facebook bisa menjadi dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi bisa memberi dampak positif, relasi menjadi lebih baik; tetapi bisa memberi dampak negatif, manakala di dalamnya dipenuhi unsur-unsur penipuan.






Solusi untuk masalah ini adalah merawat janin itu dan membiarkan lahir. Lalu meminta Doni bertanggungjawab dan meminta keduanya meningkatkan relasi sehingga berkualitas. Jika kemudian mesti menikah dini, kualitas relasi itu mesti dikondisikan. Bagaimanapun juga pernikahan dini terhitung cacat. Pernikahannya ada unsur ‘terpaksa’. Yang namanya ‘terpaksa’, di mana-mana seringkali berdampak buruk. Maka buatlah ‘keterpaksaan’ itu menjadi sikap pasrah. Pengalaman ini adalah kesempatan berahmat bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dengan merawat janin itu dan menjalani hidup berkeluarga, rahmat itu pasti direngkuh dengan baik.


Catatan: bagian yang dicetak tebal adalah kata-kata kuncinya.

Read More...