Sabtu, September 27, 2008

Mitos Gua Plato


Dalam perumpamaan tentang gua, Plato sebenarnya hendak membicarakan manusia. Manusia dapat dibandingkan dengan orang-orang tahanan yang sejak lahirnya terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah kepada dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang dari orang-orang yang lewat hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain.

Kemudian tiba-tiba ada satu tahanan yang memberontak, memalingkan lehernya, bergerak dan memandang ke arah cahaya, dan semua ini hanya dengan rasa sakit dan silau karena cahaya. Ia mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang bukan merupakan realitas yang sebenarnya. Dia keluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Mula-mula, ia berpikir bahwa ia telah meninggalkan realitas. Tetapi, berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Ia memandang matahari tidak sebagai pantulan, melainkan memandang matahari itu dan ciri-cirinya senyata-nyatanya.
Ia ingat akan gua dan akan teman-teman senasibnya, akhirnya dia kembali ke gua dan berceritera kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. Tetapi teman-temannya tidak percaya, dan seandainya mereka tidak terbelenggu mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.
Ternyata untuk melihat realitas sebenarnya merupakan suatu hal yang sulit. Tahanan yang bebas itu harus mengalami rasa sakit dan mata yang kabur karena silaunya cahaya. Suatu perubahan dari sebuah kemapanan pengetahuan dan kepercayaan adalah suatu hal yang tampak jahat – lepas dari kebiasaan. Dan tidak sampai di situ saja, untuk mengalami penyesuaian dengan realitas sebenarnya, matanya kabur terlebih dahulu dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal.
Dari uraian di atas, secara singkat dapat diintepretasikan bahwa gua tadi ialah dunia yang disajikan kepada pancaindera kita. Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan tahanan yang terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja. Tetapi, ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas inderawi tidak lain daripada bayang-bayang saja. Orang-orang itu adalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, mencoba beradaptasi, dan berangsur-angsur mereka menemukan Idea ‘yang baik’, yakni matahari sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran (realitas sebenarnya), yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari pancaindera yang menyesatkan.
Ada tiga hal yang hendak disampaikan Plato melalui perumpamaannya itu:
a.Kita manusia adalah tawanan dari gambaran dan pendapat-pendapat yang kita peroleh dari ‘dalang’ dan ‘pemain boneka’. Kita dapat mengatakan bahwa pendapat, ‘pengetahuan’ dan kepercayaan-kepercayaan dimanipulasi oleh para pembentuk opini umum.
b.Filsafat membebaskan manusia dari keterbelengguan rohnya. Filsafat membebaskan kita dari prasangka, pendapat, dan anggapan-anggapan dangkal yang tidak benar. Filsafat membuat kita melihat kenyataan yang sebenarnya.
c.Pembebasan oleh filsafat itu tidak disukai oleh semua orang. Ada yang tidak senang diganggu gugat dalam prasangka dan praduga mereka. Melepaskan pendapat-pendapat yang sudah lama diakrabi mesti menyakitkan. Prasangka-prasangka merupakan alam di mana kita sudah mapan, di mana segala-galanya sudah mempunyai tempatnya, yang tidak ingin kita ganggu gugat. Kita tidak ingin keluar dari keakraban itu. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan Filsafat membantu kita untuk membebaskan diri dari kedangkalan, praduga dan prasangka (meninggalkan mitos) dan menghadapi realitas yang sebenarnya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hello...

yaik...heavy topic.

Ini ak quote kt2 u "Suatu perubahan dari sebuah kemapanan pengetahuan dan kepercayaan adalah suatu hal yang tampak jahat – lepas dari kebiasaan. Dan tidak sampai di situ saja, untuk mengalami penyesuaian dengan realitas sebenarnya, matanya kabur terlebih dahulu dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal". Kya physic law aja sich, benda uda bergerak maunya gerak terus, ap yg uda brti hrs diforce buat gerak. Sama sich, buat kita kluar dari comfort zone kita, itu bkn hal yg gampang, mnrtku bkn cm butuh waktu yg lama, tp butuh force jg. Trs iya sich kita hrs bljr mnghadapi spontaneous moment. tp jgn sampe yg krn trllu byk yg spontan itu, mlh yg spontan itu jd hal yg kebiasaan.
Then (cz ak ga pnh bljr tuh filsafat) ak question aja(biar 2 ways convo).. klo filsafat itu menghancurkn prasangka buruk, n build up the real condition n pny manfaat buat kita sendiri, apakah itu cm berada didlm kerangka berpikir kita aja... bisa ga, kita relate and bawa itu ke dunia skitar kita, sama org skitar kita, or pny manfaat bkn cm buat diri sendiri, tp buat org2 lain karena diri kita and cara berpikir kita??

thanks
another great work :)
kz