Rabu, September 24, 2008

Slamet


Liburan tahun lalu, aku dan beberapa teman pergi naik gunung. Kali ini kami menuju ke Purwokerto, hendak mendaki gunung Slamet. Memang sejak di novisiat naik gunung menjadi semacam kesukaan. Bukan pertama-tama karena keinginan untuk dapat melihat sunrise atau petualangan serunya, tetapi terlebih karena prosesnya menuju puncak dan turun kembali ke bawah.

Naik gunung itu seperti menapaki peziarahan rohani. Sebelum naik gunung, setiap pendaki butuh persiapan yang sangat matang, bahkan sampai detik-detik pendakian. Mereka mesti siap mental, fisik, dan tentu saja perlengkapan serta perbekalan. Perencanaan mesti dibayangkan dan dikontemplasikan. Bila berencana mendaki 2 hari, berarti perbekalan mesti disiapkan untuk 3 hari atau lebih. Bila berencana mendaki 3 hari, perbekalan mesti disiapkan untuk 4 hari atau lebih.
Jauh hari sebelum pendakian, fisik juga mesti siap. Pemanasan setiap hari, minimal jogging. Selain itu, bila pendakian dilakukan bersama-sama, tentu kekompakan tim juga ditentukan: siapakah yang akan menjadi leader, sweeper, dan siapakah anggota yang tampaknya paling lemah?
Kini tibalah hari keberangkatan. Dalam perjalanan pendakian, ditentukanlah prosesnya. Banyak hal diperhatikan, ritme langkah kaki, stamina tubuh, jeda untuk istirahat, berhenti untuk berkemah, bahkan perhatian dan pertolongan bagi teman yang sudah kepayahan.
Tidak hanya secara tim menentukan, tetapi terlebih juga secara individu. Lewat proses pendakian ini, aku semakin mengenal diriku, seberapa mampu aku berjalan, seberapa kuat lagi aku bertahan. Memang kadangkala, proses ini tidaklah sesederhana itu, sebab rasa putus asa dan keinginan untuk tidak melanjutkan lagi pendakian seringkali begitu saja muncul. Ada juga faktor-faktor lain di luar diri kita yang turut menentukan proses ini, tetapi keputusan kitalah yang menentukan. Bila sampai di puncak, hanya ada satu kegembiraan dan syukur yakni karena penyertaan Tuhan sampai sejauh ini.
Demikianpun kehidupan rohani kita. Rahmat Tuhan bukan datang begitu saja. Kita mesti menyiapkan diri kita. Persiapan itu adalah kesediaan diri kita untuk dibentuk oleh Tuhan sendiri. Setiap hari ditempa dengan olah rohani. Proses pendakian sama halnya dengan kita belajar semakin mengenal diri kita, belajar berdiskresi, menentukan manakah jalan yang benar untuk sampai ke rahmat itu. Kadangkala ada rasa putus asa, rasa desolasi dan kering tak kunjung usai. Tapi dengan jiwa besar kita terima itu hingga akhirnya sampai pada rahmat di puncak.
Puncak adalah rahmat itu sendiri. Sesampai di puncak, kita bersyukur atas itu dan memohon agar kita tetap tekun dan selalu dikuatkan. Sebab, perjalanan turun dari gunung justru lebih menyakitkan, sebab mesti menahan beban 2 kali, yakni tubuh kita dan gravitasi bumi. Untuk itulah rahmat di puncak menjadi bekal yang cukup pada saat kita mengalami desolasi lagi.
Mendaki gunung bagiku bukanlah suatu pengalaman yang sia-sia atau bahkan membuang waktu. Tetapi, mendaki gunung adalah pengalaman yang menghidupkan kerohanianku. Gunung Slamet baru saja kudaki, semoga kerohanianku juga slamet.

Tidak ada komentar: