Rabu, April 06, 2011

Cukupkah dengan Chatting?

"Ngapain sih lo? Ayo, ikutan diskusi, jangan asyik mainan BB sendiri!"
Begitulah Candra memarahi Dina, karena dari tadi Dina tidak fokus dengan rapat koordinasi akhir untuk acara pementasan drama. Dina sibuk chatting lewat aplikasi messenger di Blackberry-nya, sampai-sampai rapat yang dihadirinya tidak lebih penting dari chatting yang dilakukannya.

Tidak jarang kita menemui teman-teman kita yang seringkali sibuk dengan gadget yang dibawanya, sibuk dengan orang lain yang ada di luar sana atau jauh di sana, dan kurang menghargai orang yang real ada di depannya. Aneh! Orang bisa sampai bisa tega berbuat demikian. Tubuh real di suatu tempat, tapi hati dan jiwa ada di lain tempat.

Ya, ada banyak anggapan bahwa teknologi informasi memang membantu sekali dalam kehidupan sehari-hari kita. Gara-gara alat teknologi ini, semua batas dan sekat bisa dihilangkan. Jarak yang sedemikian jauh bisa dipangkas dengan teknologi supercepat. Kehadiran langsung sudah dinihilkan. Orang bisa hanya dengan videochat atau videocall bisa langsung rapat koordinasi. Pada dirinya sendiri, teknologi ini memang dibuat untuk mempermudah komunikasi manusia.

Tapi, nyatanya kalau teknologi ini disalahgunakan, ya nasibnya seperti Dina tadi. Dia membuat dunia sendiri, terasing dari teman-temannya. Dia tidak mau terlibat dalam situasi real yang ada di hadapannya.

Dina masih lumayan lebih baik. Kakaknya, Rina, lebih parah lagi. Setiap bangun pagi yang pertama-tama dia buat, bukannya bersyukur atas hari yang baru, tetapi dia terduduk termenung memandangi BB, mulai sibuk dengan ‘Rosario’-nya, menyapa teman-temannya lewat twitter. Bak burung berkicau di pagi hari, Rina sudah mulai meng-tweet siapa saja yang bisa disapa.

Begitulah yang terjadi dengan situasi komunikasi kita saat ini. Kesadaran real kita kadang terlampaui sedemikian rupa, sehingga kita jadi lupa dengan situasi dan keadaan sekitar kita yang lebih konkret. Ada semacam lompatan komunikasi yang tidak tanggung-tanggung, tetapi mengancam relasi personal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi karena ruang sempit, seperti di dalam keluarga, di dalam rapat seperti kisah Dina, di dalam sekolah, dan masih banyak tempat lain, yang memang mau tidak mau harus kita jumpai setiap hari.

Mbak Eileen Rachman dalam tulisannya tentang “Generasi Chatting” mengatakan kalau di masa yang akan datang terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka, akan semakin menjadi problem utama.

Meski mungkin ada yang mengatakan pula bahwa komunikasi itu yang penting kualitasnya bukan kuantitasnya, tetapi masih selalu menjadi pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, yakni sarana apa yang tepat untuk membuat komunikasi itu berkualitas. Tapi, walau bagaimanapun juga kuantitas tetaplah perlu. Karena komunikasi membutuhkan ketersalingan dan keterhubungan yang stabil dan ajeg. Artinya, bagaimana mungkin kualitas komunikasi tercipta dengan baik, jika kuantitas komunikasi tidak pernah direncanakan apalagi dibuat secara kontiniu.

Chatting lewat gadget yang ada memang akan menciptakan kualitas komunikasi yang baik, jika kita menempatkan secara tepat. Sudah banyak contohnya lho ya. Kita bisa berkomunikasi dengan mudah dengan pacar kita atau dengan keluarga kita, karena bantuan gadget semacam itu. Coba bayangkan beberapa dekade yang lalu!

Syukurlah kita lahir di zaman sekarang. Dulu, papa-mama kita mengalami situasi di mana untuk berkomunikasi dengan orang yang jauh tempatnya, susahnya minta ampun. Mereka masih menggunakan surat-menyurat atau kalau mau lebih cepat berkomunikasi, harus menggunakan jaringan telpon sambungan langsung jarak jauh yang relatif mahal biayanya. Dengan begitu, sebenarnya alat-alat chatting itu tidak serta merta negatif lho. Ada banyak positifnya juga.

Kembali ke kita, kalau mau mencoba menciptakan komunikasi dan relasi yang positif, baiklah kalau kita bisa menempatkan diri secara tepat. Dalam kondisi bertegur sapa dengan orang lain di dalam sebuah pertemuan, entah itu formal maupun tidak formal, berusahalah untuk menghormati orang yang berbicara di depan kita. Karena dengan menghormati orang yang berbicara, kita juga pasti akan dihormati ketika berbicara di depan.

Ada sebuah cerita yang menarik tentang ini. Seorang dosen di kampus terkenal pernah hampir marah, karena melihat mahasiswanya bermain hape ketika kuliah sedang berlangsung. Tapi, dia punya akal untuk mengatasi kemarahan tersebut. Tiba-tiba, dia memberhentikan perkuliahan dan membuat semacam simulasi. Simulasinya semacam “agreement”. Dia mengusulkan adanya kesamaan hak soal penggunaan hape di dalam kelas dan selama pelajaran berlangsung. Dia akan berbuat yang sama seperti yang dibuat oleh mahasiswa dalam hal menerima SMS dan panggilan telpon, yakni langsung membalasnya. Sembari mengeluarkan HP-nya, dosen itu mengirim message pada istrinya. Isi pesannya begini, “Ma, tolong setiap lima menit sekali aku dikirimi sms atau sesekali aku ditelpon juga.” Setelah agreement ini disepakati, kuliah dilanjutkan kembali.

Kalian tahu apa yang terjadi? Tidak sampai 5 menit, HP pak dosen ini sudah berbunyi. Ada sms masuk. Dia cepat-cepat menghentikan kuliah karena harus membalas sms tersebut. Mahasiswa yang lain pun sibuk melakukan hal demikian, saling sibuk sms. Setelah pak dosen selesai membalas sms, dia melanjutkan kuliahnya lagi. Tapi, tidak sampai 5 menit, hapenya berdering lagi, ada telpon masuk. Serta merta dia menjawab telpon itu. Begitulah, sampai berulangkali terjadi. Kita tahu bahwa nada panggil dan sms masuk itu memang hanya berasal dari istrinya semata.

Ketika jam kuliah hampir selesai, ada seorang mahasiswa mengacungkan tangannya dan protes, dia merasa terganggu dengan “agreement” ini. Dia ke kampus untuk kuliah, bukan untuk mendengar dan memperhatikan pak dosen yang sibuk dengan hapenya di ruang kuliah. Beberapa temannya juga mengamini pernyataan mahasiswa tadi. Akhirnya, semua kelas sepakat bahwa selama kuliah semua hape harus di-silent dan disimpan di dalam tas.

Kisah lain, mungkin teman-teman masih ingat yakni kisah tentang pelatih timnas sepakbola kita, Alfred Riedl yang marah-marah dengan seorang wartawan yang sedang mewawancarainya, yang tiba-tiba mengangkat hapenya yang sedang berdering. Sementara tangan satunya memegang recorder untuk merekam kata-kata Riedl, si wartawan ini menggunakan tangan satunya untuk memegang hape dan menjawab telpon tersebut. Sehabis wawancara, Riedl mengatakan demikian, “Sangat tidak sopan bila Anda berbicara dengan orang lain saat saya memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Anda. Jika Anda pemain saya, maka Anda akan mendapatkan masalah.” Wah, kejam juga nih pelatih. Tapi, ya semestinyalah kita menghormati orang yang sedang bicara dengan kita.

Nah, teman-teman, sekarang pertanyaannya diarahkan pada diri kita sendiri. Kita mau jadi generasi yang terisolasi dan bodoh dalam bersosialisasi atau generasi yang memang semakin baik dalam berelasi dan berkomunikasi? Ditunggu lho jawabannya.***

Tidak ada komentar: