Jumat, Desember 12, 2008

"Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta"


Berisi Sharing Inspiratif dr mahasiswa SaDhar, Jogja, yang berusaha meretas perbedaan menjalin kerja sama lintas iman. Sebuah buku yang mampu menggerakkan orang muda untuk bersatu menata kehidupan masyarakat agar lebih damai, sejahtera dan bahagia. (only 23rb)
Berminat dg Buku ini!!! Hub: didikedu@gmail.com
Read More...

Rabu, Desember 10, 2008

Keterpanggilan Dalam Jejaring Teknologi

Beberapa tahun yang lalu, dunia sempat tersentak ketika Deep Blue, komputer super canggih dengan kecepatan 300 juta kalkulasi per detik, mengalahkan Gary Kasparov, pecatur nomor satu dunia dalam pertandingan manusia versus mesin. Begitu lama catur telah dikenal sebagai olahraga bergengsi yang mengandalkan otak, tetapi dengan kekalahan itu, seakan-akan ditandakan bahwa keberadaan manusia tercampakkan. Otak manusia kalah oleh mesin komputer yang sebenarnya buatan manusia sendiri.
Peristiwa seperti di atas tidak akan menjadi suatu kejutan bila kita menyadari keberadaan teknologi dewasa ini. Dunia manusia sudah semakin ruwet dengan jejaring teknologi. Mesin-mesin yang digerakkan komputer bukan lagi suatu hal yang aneh. Perangkat yang ada di kantor-kantor besar seperti di Amerika mampu menggantikan tugas-tugas manusia, misalnya menjaga keamanan, menyiapkan makanan, dsb. Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, banyak pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin. Pengetahuan manusia akan dimonopoli oleh komputer.
Otak manusia akan kalah oleh jaringan neurosis komputer-komputer super canggih.
Selain itu, komunitas maya akan mudah terbentuk dan orang tidak perlu lagi pergi keluar rumah, tinggal pesan segala sesuatu yang kita butuhkan melalui jaringan dunia maya dan setelahnya di-klik saja, maka apa yang dibutuhkan segera datang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, komunitas maya tersebut secara eksplisit sudah mewujud dalam komunitas pertemanan semacam friendster dan facebook, di mana tidak jarang beberapa orang menggunakannya sebagai sarana untuk mencari jodoh pula.
Dari semua fenomena ini begitu kentara bahwa teknologi itu berjalan dan berkembang bersamaan dengan kehidupan manusia. Seberapa jauhkah teknologi itu melampaui manusia?

Artificial Intelligence
Satu hal yang baru dalam perkembangan komputer dewasa ini adalah hadirnya Artificial Intelligence. Artificial Intelligence adalah sebuah perangkat komputer yang bisa berpikir sendiri. Perangkat ini hampir serupa dengan cara kerja otak manusia. Di dalamnya terdapat jaringan neural, algoritma genetik, sistem dan logika yang canggih. Dengan perangkat yang demikian, cara kerja perangkat ini hampir sama dengan cara kerja otak manusia. Menurut Bill Gates dalam bukunya The Road Ahead, perangkat ini di masa yang akan datang dapat mengerti kebutuhan dan perasaan kita, seperti misalnya memilihkan dan menghidupkan musik yang sesuai dengan perasaan kita ketika memasuki rumah sepulang dari kantor.
Gates menambahkan bahwa dengan adanya perangkat ini, di masa yang akan datang tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi. Manusia hanya berperan dalam dunia moral dan etika saja, sedangkan bidang-bidang lain akan dikuasai oleh Genetika, Nanoteknologi dan Robot (GNR). Tiga serangkai ini adalah kekuatan yang akan mendominasi teknologi di masa yang akan datang. Genetika sendiri menunjuk pada perkembangbiakan genetika seperti maraknya kloning. Nanoteknologi adalah berbagai macam peralatan teknologi terapan yang menggunakan perangkat sangat lunak dan tidak membutuhkan banyak ruang. Sedangkan Robot adalah perangkat yang bekerja menggantikan manusia dalam berbagai macam kegiatan, seperti mencuci, menulis, dsb.

Siapakah Kita di Jejaring ini?
Pesatnya perkembangan teknologi terutama lewat komputerisasi, membuat manusia mudah menjadi lupa akan keberadaannya. Segala pekerjaan diserahkan perlahan-lahan pada kecanggihan komputer. Lama-kelamaan manusia menjadi mabuk akan teknologi komputer, bahkan secara tidak sadar menjadikannya berhala baru.
Tetapi anehnya, kemajuan teknologi adalah parameter yang selalu digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Suka atau tidak suka, kiprah dalam bidang sains dan teknologi sangat menentukan kebesaran dan kejayaan sebuah bangsa. Dalam era teknologi sekarang ini, hampir tidak ada negara yang terlepas dari pengaruh teknologi. Totalisasi teknologi sulit dibendung. Seluruh negara di dunia menggunakan teknologi tinggi, mulai teknologi penerbangan sampai reaktor nuklir. Hubungan manusia dengan teknologi tidak lagi menjadi netral. Posisinya malah berlaku sebaliknya. Teknologi justru berangsur-angsur menjadi subjek, sedangkan manusia menjadi objeknya. Teknologi memperbudak manusia.
Neil Postman dalam bukunya Technopoly mengatakan bahwa setiap teknologi selalu memiliki ideologi yang menyertainya. Cara pandang, berpikir dan cara kerja pengguna akan secara perlahan dipengaruhi oleh teknologi ini. Sekali teknologi tersebut digunakan secara luas di masyarakat, maka akan bekerja sesuai dengan dasar desainnya dan akan bekerja sesuai dengan agenda sosialnya sendiri. Dengan demikian manusia justru didikte oleh teknologi.
Akhirnya, siapakah kita di jejaring ini kalau komputerisasi bisa menjadi seperti manusia. Apakah dengan demikian komputer sama seperti manusia? Bagaimana mungkin manusia disamakan dengan mesin? Lalu, bagaimana sikap kita?

Keterpanggilan Hidup Manusia
Kalau mau disimak lebih jauh, sekalipun komputer bisa menyimpan banyak memori, benda itu hanya memiliki kemampuan menjawab ya atau tidak saja, sedangkan manusia memiliki ratusan jalan untuk akhirnya bisa mengatakan ya atau tidak. Komputer sebenarnya hanya bisa memutuskan dan menentukan sesuai dengan input-input dan kriteria-kriteria yang diberikan. Dengan demikian, permasalahan ini semata-mata terletak pada manusianya!
Pertama, manusia modern (termasuk kita tentunya) sepertinya sedang sakit mental! Sakit mental yang dimaksud adalah penyakit malas. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, penyakit malas ini begitu cepat berkembang ketika dihadapkan dengan kecanggihan teknologi. Anak-anak kita bingung kalau diberi soal hitungan tanpa menggunakan kalkulator. Kita pun kadang pusing dengan motor atau mobil kita yang tiba-tiba mogok, sepertinya dunia sudah kiamat.
Dalam menyikapi penyakit mental ini tidaklah arif jika kita begitu saja membuang ilmu pengetahuan, teknologi dan industri modern. Siapa dari kita yang mau kembali pada ke zaman pra-teknologi atau zaman batu? Basis teknologi tetap perlu bagi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara kualitatif, sehingga dapat timbul juga suatu masyarakat yang kualitatif. Oleh karena itu, cara mendidik kita salah, jika seorang anak diajari berhitung langsung dengan menggunakan kalkulator. Ujilah dahulu mereka dengan penghitungan secara konvensional. Sebaliknya, kalau punya kendaraan bermotor semestinya sedikit banyak tahu tentang kerusakan-kerusakan ringan, sehingga bisa menanganinya secara darurat. Inilah yang dimaksud dengan menggunakan teknologi secara kualitatif.
Kedua, perlu disadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan manusia itu memiliki sifat yang khas sehingga tidak bisa direduksikan kepada kemampuan-kemampuan teknologi. Manusia bisa menunjukkan emosi dan perasaannya secara natural, sedangkan robot sama sekali tidak bisa.
Ketiga, manusia dapat bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya, dan atas keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Teknologi kelihatannya juga mengadaptasikan dirinya dan dalam beberapa hal tertentu dilakukannya secara mengagumkan. Terhadap apa yang mengganggunya, teknologi akan bereaksi secara cepat dan rasional sekali, seperti roket-roket yang dapat mengoreksi sendiri deviasi-deviasi yang mungkin terjadi dalam perjalanannya untuk mencapai tujuan dengan pasti. Tetapi roket-roket itu mampu melakukan hal itu karena mekanisasi, otomatisasi, dan tidak dengan sadar. Mereka nampaknya berbuat dari dirinya sendiri, tetapi sebenarnya mereka bertindak hanya berkat orang yang mendesain dan menyusun mereka, atau berkat orang yang mempergunakan mereka.
Keempat, yang lebih penting lagi, harus dicatat bahwa mesin yang paling pandai dan terampil sekalipun tak pernah bekerja bagi dirinya sebagaimana pada mahluk hidup. Mesin selalu adalah semacam instrumen, suatu sarana, suatu alat yang berguna. Tujuannya, secara mutlak, terdapat di luar dirinya. Objektifnya selalu ditentukan oleh suatu realitas lain yakni manusia. Hanya manusialah sesungguhnya yang mampu menentukan sendiri tujuan-tujuannya. Mesin tidak mempunyai tujuan kecuali kalau tujuan itu sudah diprogramkan.***
Read More...

Senin, November 24, 2008

Perjumpaan, What’s wrong with You?

Banyak hal dalam hidup kita yang seringkali terlewati begitu saja tanpa ada artinya. Seolah-olah pernak-pernik kehidupan itu adalah sesuatu yang tak perlu diperdebatkan, sesuatu yang biarlah terjadi begitu saja. Tak terkecuali pengalaman perjumpaan. Tiap hari kita berjumpa pak polisi di perempatan lampu merah. Tiap hari kita berjumpa dengan pedagang kaki lima. Tiap hari kita bertemu tema-teman kita, dan payahnya hanya yang itu-itu saja. Tiap hari kita ketemu saudara kita. Membosankan.
Tetapi cobalah sekali waktu perhatikan salah satu perjumpaan kita dengan orang lain. Tanpa disadari, setiap perjumpaan, meskipun tidak sengaja atau kebetulan, ternyata perjumpaan itu punya arti tersendiri.
Suatu kali aku mengalami perjumpaan dengan serombongan tukang pembuat lapangan tenis. Aku tidak bisa membayangkan betapa tidak enaknya bekerja di hamparan lapangan terbuka, apalagi kalau cuaca begitu ekstrim, entah hujan atau panas yang begitu terik.

Kebetulan dalam perjumpaan itu aku juga sedang bekerja di lapangan, tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Ketika matahari semakin memuncak dan begitu angkuhnya berdiri di atas kepala, tanpa sedikitpun terhalang oleh seberkas awan, serta merta aku langsung mengeluh. Mengeluh karena apa? Mengeluh karena panasnya itu lho… Dengan mudahnya aku berhenti sejenak dari pekerjaanku. Aku mencoba mencari tempat yang enak, yang lebih teduh, yang menghindarkan diriku dari kepanasan alias biar tidak hitam. Wong sudah hitam, mosok harus lebih hitam lagi.
Sewaktu aku berteduh, kebetulan lagi bahwa tempatku berteduh itu tidak jauh dari tempat di mana tukang-tukang pembuat lapangan tenis tadi bekerja. Sejurus kemudian, terjadilah percakapan sederhana antara kami. Aku sempat berkomentar, “Wuih... panasnya siang ini!” Mendengar komentarku itu, tak kusangka muncul jawaban dari salah seorang tukang itu. “Mas, panasnya dunia tuh banyak yang menanggung. Tapi, panasnya neraka tanggung dhewe!”
Aku agak terkejut juga dengan tanggapan itu. Padahal aku Cuma komentar ringan, tapi dia menimpali dengan cukup serius. Walau bagaimana, tanggapannya itu ada benarnya juga. Panasnya dunia yang nanggung seluruh dunia, setidaknya ya sebagian tempat tertentu. Dan benar juga, kalau masuk neraka, panasnya ya tanggung sendiri. Meskipun mungkin banyak jiwa juga di neraka, tapi siapa yang mau menolong. Sedangkan di dunia, masih ada orang lain yang punya hati untuk menolong kita bebas dari panasnya dunia. Karena itulah, kalau aku sedang bekerja di luar ruangan, seringkali aku teringat dengan kata-kata itu.
Nah, itu pengalaman kecil. Ada banyak pengalaman yang lain. Kadang-kadang perjumpaan itu sungguh membawa arti tersendiri. Meskipun tidak jarang pula, kita mudah begitu saja menghiraukannya, ternyata perjumpaan itu membawa makna terdalam.***
Read More...

Kamis, November 13, 2008

Kereta Menuju Surga

Anda pernah naik kereta api?
Sebagian besar di antara kita tentu pernah naik kereta api, transportasi yang relatif aman dan harga tiketnya juga cukup terjangkau. Seumur hidup, saya sudah berulang kali naik kereta. Mungkin hampir mendekati angka 50 kali. Alasan utama saya memilih moda sarana ini adalah soal kenyamanannya. Kereta khan jalannya rata, tidak akan melewati jalan yang berlubang. Jadi, kalo mau tidur selama di perjalanan jelas tidak akan terganggu.

Waktu kecil, saya pernah punya cita-cita ingin jadi masinis kereta api. Bagi saya, masinis itu begitu heroik. Mereka bisa menjalankan kendaraan berat, dan bekerja mengikuti disiplin perkeretaapian dengan ketat, sebab kalau tidak demikian, mungkin akan ada banyak kecelakaan terjadi.

Di rumah pun, ada mainan kereta-keretaan yang dibelikan orangtua. Waktu senggang biasanya saya pakai untuk bermain. Menarik! Tantangannya: bagaimana harus melangsir kereta, bagaimana menarik gerbong-gerbong dengan perkasanya, dsb?
Sekarang, kalau ditanya teman-teman soal keretaapi, jelas saya merasa cukup menguasainya, dari kereta penumpang ekonomi sampai eksekutif serta kereta barang dan sejenisnya. Pernah, 6 tahun lalu persisnya, saya mencoba naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Malang, Jawa Timur. Bagi orang tertentu, itu pilihan yang jelek. Siapa yang mau duduk di kereta kelas ‘kambing’ selama 30 jam? Tapi bagi saya, justru di situlah kenikmatannya naik kereta. Meski 30 jam di kereta, jelas beda dibandingkan naik bis yang ruang geraknya kecil sekali. Di kereta, meski dapat jatah duduk 1 kursi, tidak menutup kemungkinan untuk mengisi waktu senggang dengan jalan-jalan. Mungkin, Anda jarang melakukannya. Cobalah sekali waktu naik kereta, berjalanlah menyusuri lorong-lorong kereta. Ada sesuatu yang menarik. Anda berjalan di atas kereta yang jalan.
Bagi saya naik kereta itu juga memberikan cerminan yang lain. Pernahkah Anda berusaha melihat rel kereta yang Anda lalui? Hal ini mungkin sulit. Kemungkinannya Anda mesti berdiri di depan lokomotif atau sebaliknya di gerbong paling belakang. Tapi, umumnya orang tinggal duduk dan hanya bisa merasakan kalau kereta berjalan di atas rel.
Nah, itulah perjalanan menuju surga. Dalam hidup kita, banyak pengalaman yang seringkali terjadi di luar bayangan kita. Kita punya rencana sendiri, tapi tanpa disadari ada tangan-tangan lain yang ikut membantu kita. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?
Suatu hari, saya melakukan perjalanan jauh, ziarah semacam itu, tanpa perbekalan yang cukup. Setelah melihat bekal minum sudah habis, saya berkehendak untuk mampir di rumah orang, minta minum. Tapi, apa yang saya dapat? Ternyata tuan rumah, yang saya minta itu malah menawarkan makanan juga. Apakah karena mereka kasihan? Mungkin juga demikian. Tapi, dari sisi lain, saya menangkap ini adalah sebuah pertolongan yang tak diduga.
Begitulah perjalanan ke surga. Kita kerapkali merasakan jalan yang seolah-olah ‘smooth’, lancar, karena di balik itu Tuhan bekerja lewat tangan-tangan orang lain dalam membantu hidup kita.

Read More...

Sabtu, November 08, 2008

Minggu I Latihan Rohani

Berangkat dari Asas dan Dasar
Asas dan dasar boleh disebut sebagai state of nature manusia dalam Latihan rohani. Asas dan dasar mengantar retretan mengalami peralihan dari kesadaran pasif menuju kesadaran aktif, beralih dari kesadaran ‘umum’ (bersama) menjadi personal ‘milikku’.
Setelah mencapai keadaan/kesadaran demikian, retretan akan mulai terkejut atas dirinya. Retretan sadar bahwa dirinya dan hidupnya tidak sejalan dengan asas dan dasar. Maka, retretan diantar masuk ke dalam minggu I, minggu di mana dirinya menjadi sadar akan keberdosaannya. Dan dari situ kiranya akan timbul kesadaran konkret bahwa perlu pertobatan.

Meditasi Tiga Daya Jiwa tentang “Sejarah Dosa”
Minggu I Latihan Rohani dimulai dengan meditasi tentang “sejarah dosa” (LR 45-54). Bagi Ignatius, ‘sejarah dosa’ itu tidak boleh hanya direnungkan saja: dibaca, dicerna, dan dipahami (secara budi). Tetapi, retretan harus ikut (aktif-afektif, budi dan hati) mengalami dan ikut merasakan rentetan sejarah dosa tersebut. Mengapa? Karena, pada dasarnya seluruh manusia di dunia ikut terlibat dan ambil bagian dalam sejarah dosa tersebut.
Bagaimana hal itu dialami/dijalankan? Diperlukanlah 3 daya jiwa: ingatan, pikiran, dan kehendak. Lewat 3 daya jiwa inilah, retretan akan secara penuh menyadari bahwa seluruh dirinya sungguh-sungguh terlibat dalam kejatuhan manusia.
Sejarah dosa itu dimulai dari dosa pertama, yakni dosa malaikat (LR 50). “…karena jatuh menjadi sombong mereka berubah dari keadaan berahmat jatuh ke dalam kebencian kepada Allah, kemudian diusir masuk neraka.” Akibat dosa satu saja, malaikat ditempatkan di neraka.

Kemudian berlanjut ke dosa kedua, yakni dosa Adam-Hawa (LR 51). “Mereka berdosa karena melanggar perintah Tuhan.” Akibatnya, mereka diusir dari Firdaus, dan hidup dalam susah payah dan laku-tapa berat. Sampai dosa ketiga, yakni orang yang masuk neraka karena satu dosa berat saja (LR 52). Bahkan, ada juga orang yang masuk neraka karena dosa-dosa yang lebih sedikit daripada yang aku lakukan.
Tidak hanya berhenti sampai dosa yang ketiga saja, masih ada dosa yang lain, yakni dosa kita sendiri. Sejarah dosa itu masih berlanjut! Dengan demikian, ketiga dosa itu menjadi semacam pengantar untuk menyadarkan retretan akan dosa-dosanya.
Ketika kesadaran keberdosaan itu semakin memuncak/memusat (pada diri retretan), retretan kemudian diarahkan pada percakapan dengan Yesus yang tersalib. “Apa yang telah kuperbuat, apa yang sedang kuperbuat, dan apa yang harus kuperbuat bagi Kristus?”
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam percakapan ini. Pertama, percakapan ini menjadi semacam puncak dari kesadaran penuh retretan akan dosa-dosa yang telah dia perbuat dan kesadaran akan keterlibatannya dalam sejarah dosa, hingga muncul sikap ngeri terhadap dosa dan kedosaan tersebut. Kedua, percakapan ini menunjukkan peranan Yesus yang begitu besar, yakni sebagai perantara/jembatan antara aku dan Allah, sekaligus sebagai korban pendamaian (penghapus dosa-dosa yang telah aku buat). Ketiga, dan yang paling pokok, percakapan ini bermuara pada sikap Allah yang maharahim. Aku berbeda dengan nasib malaikat/orang dalam dosa pertama, kedua, dan ketiga. Allah justru menerima diriku!

Meditasi Sejarah Dosaku: Kerahiman Ilahi-Penerimaan oleh Allah
Setelah retretan sadar akan posisi keberdosaannya dalam sejarah dosa manusia, pada tahap selanjutnya, dia diarahkan untuk melihat lebih detil dan jelas lagi dosa-dosa yang pernah dibuat selama hidup (LR 55-61). Ada 3 patokan: meninjau tempat dan rumah di mana pernah tinggal, hubungan/relasi yang pernah dibuat dengan orang lain, dan pekerjaan yang pernah dilakukan.
Tidak jarang meditasi tentang sejarah dosa pribadi ini membawa retretan pada situasi penuh penyesalan yang begitu mendalam bahkan menimbulkan kegelisahan dan keputusasaan. Ignatius menyadari bahwa pada tahap ini, diri retretan seperti ditabrak-tabrakkan. Maka dari itu, Ignatius memberikan Pedoman pembedaan roh minggu I. Kegelisahan dan keputusasaan yang muncul akibat dosa bukan berasal dari Allah, itu hanya godaan semata.
Puncak dari meditasi ini adalah kesadaran akan dosa yang berbanding terbalik dengan kasih dan kerahiman Tuhan. Kerahiman Tuhan adalah pintu untuk memperbaiki hidup yang telah rusak. Oleh karena itu, semakin jelaslah bahwa dalam minggu I, Allah sungguh berperan aktif dan mengambil inisiatif lebih dulu. Kesadaran retretan bahwa dirinya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup, menunjukkan bahwa dia tidak dihakimi oleh Allah. Retretan tidak saja diampuni, tetapi diangkat kembali martabatnya. Tuhan tidak membiarkan manusia terbenam dalam kegelapan (negativitas), tetapi sebaliknya, diterima dalam pangkuan-Nya.
Lalu, sekali lagi lewat ulangan meditasi dan dengan 3 percakapan (dengan Bunda, dengan Putera, dan dengan Bapa), retretan semakin disadarkan bahwa dirinya diselamatkan dari kejatuhan ke dalam dosa yang dalam. Tidak hanya pengampunan tetapi penerimaan kembali.
Begitupun pula dalam meditasi tentang Neraka (LR 65-71). Ignatius ingin menunjukkan bahwa struktur dosa begitu kuat, akar-akarnya begitu dalam, sehingga tidak mudah untuk dicabut. Maka dari itu, retretan juga mesti menyadari keadaan dosa yang berakibat neraka. Dalam meditasi ini, 3 daya jiwa diperluas dengan menggunakan pancaindera guna mengindera tempat dosa yang terkutuk, yakni neraka. Sekali lagi, kesadaran keberdosaan itu bukan semata-mata demi penyesalan tetapi demi kesadaran akan besarnya kerahiman Tuhan sendiri.

Efek Dosa Sosial: Pintu ke Minggu II
Perihal keberdosaan semata-mata bukan hanya terputusnya hubunganku dengan Tuhan, tetapi juga terputusnya hubunganku dengan sesama. Dosa selalu berdampak bagi orang lain. Kita bisa menggunakan sebuah gambaran dari Perjanjian Lama. Bagi orang Israel, orang yang berdosa harus disingkirkan dari komunitas/masyarakat. Orang kusta, orang lumpuh, orang buta adalah orang-orang yang tidak layak hidup bersama di dalam masyarakat umum. Dengan demikian, dosa membawa dampak ke dalam kehidupan sosial.
Coba simak dosa-dosa modern dewasa ini: korupsi, terorisme, ketidakadilan, dsb. Dosa-dosa ini menunjukkan aspek-aspek sosial yang sangat mendasar. Tanggungjawab kita semestinya tidak hanya personal tetapi juga tanggungjawab yang mampu mengubah masyarakat kita. Guttierez mengatakan, “kita dibebaskan untuk membebaskan.” Setelah kita memperoleh rahmat kerahiman dari Allah, semestinya kita merealisasikan cinta Tuhan itu dalam kehidupan sosial bersama. Dosa sosial merupakan masalah kerohanian yang lebih serius.
Kesadaran betapa besarnya kerahiman Tuhan atas diri kita, membuat kita mau ikut ambil bagian dalam perjuangan penyelamatan Allah di dunia yang belum usai. Mulai dari sinilah, retretan siap masuk ke dalam minggu II.***

Read More...

Rabu, November 05, 2008

The Feast of All the Saints and Blessed of the Society of Jesus, Nov 5th 2008

Today, we remember all of our brothers who have become companions of the saints in heaven - those who are also recognized as saints and blessed of the Church. 51 have been declared saints, and 151 blessed.
Today’s feast tells us that holiness is our goal in life. When St. Ignatius chose to describe the purpose of The Jesuit Order he used these words: “The end of the society is to devote itself with God’s grace not only to the salvation and perfection of the members’ own souls, but also with the same grace to labor strenuously in giving aid toward the salvation and perfection of the souls of their fellowmen.”

The Jesuits who achieved heaven prove that holiness is within reach and that St. Ignatius did not ask his men to aspire something impossible. During the months he spent on the banks of the Cardoner in Manresa, St. Ignatius experienced God’s extraordinary graces and came to see how the Spiritual Exercises, which he was writing, could be a valid way of achieving holiness.


Individuals do not become holy on their own; God is the source of all holiness. As we praise our Jesuits in heaven today we likewise praise God for all He has done in and through His saints. If the saints achieved anything during their lifetime, it was God who accomplished it. To be holy one must first be humble.
The humility St. Ignatius asks of his followers is the humility that Christ possessed and which the Saints and Blessed of the Society eminently manifested in their lives.
It is sometimes suggested that the saints are really inimitable; for who of us can imitate the courage of Blessed Miguel Pro or the extraordinary patience of St. Alfonso Rodriquez? Perhaps we seek to imitate the wrong things! We can indeed imitate the saints in their humility, seeking to be clothed with the clothing and uniform of Our Lord and to be created as fools as He had been treated. Once we achieve humility, God will then take over and grant courage to his martyrs and patience to his confessors.
Therefore, today’s feast is a feast to encourage all of us who are still working our way to salvation. Holiness is possible to us; and since our Saints and Blessed are in the presence of The Blessed Trinity, these brothers of ours become our intercessors asking God for the graces, strength, and perseverance we need to fulfill our vocation.
Read More...

Senin, Oktober 27, 2008

Tantangan Iman Dalam Dunia Sekuler

Manusia dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Manusia hidup di dunia dan dunia menghidupi manusia. Seperti dua sisi pada keping mata uang, keduanya hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Mungkin, kita seringkali membayangkan bahwa manusialah yang aktif, sedangkan dunia adalah yang pasif, yang selalu dipengaruhi oleh keaktifan manusia. Tapi ini hanyalah sebuah kamuflase (keaktifan manusia hanya diartikan sebagai yang bergerak dan dapat ditangkap dengan indera). Padahal sebenarnya duniapun bergerak dan terus berubah, tapi itu tidak mudah ditangkap oleh indera. Sejarah dan kebudayaan yang berubah merupakan pertanda bahwa dunia terus bergerak.

Dunia yang bergerak ini tentunya akan selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, tidak ada manusia yang bisa berlari dari dunia (fuga mundi) semasa hidupnya. Sekalipun ada kelompok yang mengakui diri sebagai kelompok yang menyingkir dari dunia, mereka tidak sadar bahwa tetap masih hidup di dunia, dan dunia menghidupi mereka.
Demikianpun yang dialami oleh iman manusia. Iman tidak bisa lepas dari dunia. Hubungan kita dengan Allah, erat atau renggangkah, tergantung pada situasi dunia. Hubungan manusia dengan Tuhan pada zaman batu akan berbeda dengan manusia pada zaman mesin industri. Maka dari itu, cara pengungkapannya, tuntutan-tuntutan dan tantangannya pun berbeda-beda.
Tulisan ini akan memfokuskan pada topik tentang iman manusia di zaman mesin industri. Pada zaman mesin industri ini, segala teknologi telah mengubah wajah bumi. Dunia khayal yang diangan-angankan telah menjadi kenyataan. Mata telanjang manusia diperjelas daya lihatnya melalui sinar-X dan mikroskop elektronik. Otot-otot manusia diperkuat tenaganya dengan segala macam bentuk mesin. Tampaknya, dari hari ke hari manusia merasa segambar dengan sifat-sifat Allah. Dengan kemajuan teknologi, manusia secara samar-samar merasa banyak tahu, merasa bisa membuat ini-itu, merasa berkuasa.
Ini tentunya sangat mempengaruhi iman manusia terhadap Tuhan. Perhatian manusia mulai bergeser. Ada suatu keyakinan bahwa segala hal yang dulunya tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang dulunya jauh mengawang-awang, karena hanya Tuhanlah yang bisa, kini dengan mudah dijumpai di depan mata. Eksistensi Tuhan digeser dengan dunia ini, di sini dan sekarang. Iman manusia mendapatkan tantangannya. Iman manusia menghadapi kenyataan dunia sekuler. Lalu bagaimanakah sikap iman terhadap tantangan ini? Bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijawab, karena dengan demikian mesti melihat secara keseluruhan, baik dari sisi iman sendiri, maupun dari sisi sekularisasi (dan sekularisme)-nya. Ini adalah bagian dari sejarah manusia, jadi manusialah yang harus menjawab tantangan ini.


Apa itu Iman?
Menurut tradisi Kristen, iman dilukiskan sebagai serah diri, yaitu manusia yang menyerahkan seluruh dirinya dan hidupnya secara bebas (tidak karena terpaksa, melainkan dengan sukarela), dengan budi dan hatinya tunduk kepada kehendak Allah yang mewahyukan. Manusia yang berkata “ya” kepada Allah, bukanlah hanya ucapan bibir saja. “Ya” berarti pembaktian hidup.
Kata bebas yang digambarkan di atas, tidak hanya berarti bebas dalam hal fisik, berpikir dan bebas mengambil keputusan menurut keyakinannya sendiri, melainkan lebih mengikuti suara hati dan menentukan arah hidup sendiri. Dengan bebas manusia memasuki kemerdekaan anak-anak Allah, yakni kemerdekaan seseorang yang dibebaskan dari segala rasa takut dan merasa diri aman dalam tangan dan kasih Allah. Kasih Allah menembus rasa takut. Maka dari itu, iman membebaskan karena memecahkan belenggu ketakutan dan kecurigaan.
Tetapi, kadangkala sifat yang menyeluruh dari iman sulit dimengerti oleh pandangan yang rasional. Padahal rasionalitas adalah unsur hakiki dalam kehidupan manusia. Maka, perlu penjelasan yang matang bagaimana iman itu pun dapat ditangkap tidak hanya oleh hati, melainkan juga oleh budi kita. Ditelusuri lebih dalam, iman merupakan sebuah sikap, maka rasionalitas iman pertama-tama menyangkut motivasi atau alasannya: Mengapa manusia percaya dan menyerahkan diri seluruhnya kepada Tuhan, yang tentunya didasarkan pada pengalaman hidup setiap manusia, yang sifatnya unik dan khusus?
Iman adalah rahmat Tuhan. Dalam perkara iman, Allah berprakarsa lebih dulu. Iman tidak buta, melainkan hidup. Maka, manusia bisa mencapai sikap beriman, karena pengalaman akan Allah dalam hidupnya. Tanpa sebuah pengalaman akan Allah, sulit dipahami bagaimana seseorang bisa berserah diri, tanpa tahu siapa yang menjadi tempat penyerahan dirinya. Dengan demikian, terjawablah bagaimana iman itu diakui dalam hati dan budi.

Apa itu Sekularisasi?
Sekularisasi adalah proses yang membangun fakta dan kebenaran bahwa dunia bukanlah Tuhan dan bukanlah yang ilahi, maka manusia harus memisahkan diri dari-Nya dan mempercayakan diri pada kemanusiaannya. Di dalam dunia, manusia bukanlah obyek, tetapi subyek dan tujuan. Kapasitas manusia bukanlah hanya mengerti dunia saja, tapi juga mampu mengubahnya. Dunia telah berpindah dari tangan Tuhan ke tangan manusia.
Sekularisasi menggeser pusat dan minat manusia dewasa ini dari hidup akhirat kepada hidup ini. Manusia lebih mempedulikan hal-hal yang fana daripada hal-hal yang baka. Masalah-masalah seperti perdamaian, keadilan, kemiskinan, ekologi, pendidikan, dan pengendalian penduduk lebih menjadi pusat perhatian manusia modern daripada masalah keselamatan abadi. Intinya, yang riil dan berarti hanyalah dunia, sedangkan yang lain hanyalah khayalan manusia.
Perlu diperhatikan bahwa sekularisasi sama sekali tidak sama dengan sekularisme. Sekularisasi lebih pada suatu pembedaan antara bidang-bidang keagamaan dengan dunia. Penjelasan yang telah disebutkan di atas, ingin menunujukkan keotonoman manusia dan dunia sebagai tempat tinggalnya. Atau dengan kata lain, sekularisasi adalah dunia yang otonom, yang dibangun oleh manusia, yang tidak menunjukkan kerajaan Allah, tapi kerajaan manusia.
Sedangkan sekularisme adalah suatu ideologi bahwa dunia ini sebagai keseluruhan hanya dapat dimengerti tanpa hubungan apapun dengan suatu penyebab di luarnya (Sang Penciptanya). Dunia ini dapat dibangun tanpa harus mempedulikan hal-hal yang transenden. Inilah suatu close world view yang menyangkal adanya Sang Pencipta. Dalam sekularisme, iman kepada Tuhan tidak memiliki tempat karena tidak dibutuhkan lagi.
Tampak bahwa ada hubungan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi bisa dilihat secara positif, sedangkan sekularisme lebih bermakna negatif. Tapi sekularisasi bisa menjadi suatu proses menuju sekularisme.

Bagaimana Hubungan antara Iman dan Sekularisasi (atau juga sekularisme)?
Pertama-tama, akan dilihat dari sudut sekularisasi yang memandang iman. Sekularisasi melihat iman yang ada dalam agama sebagai hal yang lebih berminat kepada hidup yang lain, dunia yang lain, dan waktu yang lain. Maka harus diadakan pembedaan antara dunia yang nyata-profan, dengan dunia lain yang suci dan keramat (agama). Bagi kebanyakan orang dalam dunia sekuler, kegiatan dalam keagamaan yang menyangkut iman adalah sebuah kegiatan yang tidak real (misalnya, sembah sujud, perayaan liturgis) dibandingkan dengan kegiatan duniawi (sekuler). Demikianpun juga dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan, pengetahuan sekuler adalah pengetahuan yang diperoleh dengan usaha manusia, melalui pendayagunaan daya-daya intelektual alami manusia yang berupa pengamatan, pengingatan dan penalaran. Tampak bahwa semuanya bergantung pada hal-hal yang empiris.
Di dalam dunia sekuler manusia dipandang berotonomi. Kalaupun referensi samar-samar kepada Allah diperbolehkan, sebenarnya tidak ada pengakuan real terhadap hal yang lebih tinggi dari manusia. Mentalitas manusia sekuler sama sekali tidak mendukung orang mencapai iman kepercayaan. Mereka yang memilih untuk beriman akan berenang dengan kuat melawan arus kuat persuasi manusia, sebab iman dalam zaman ini barangkali akan kelihatan sebagai peninggalan masa lalu saja.
Sama halnya dalam sekularisme, tetapi lebih parah lagi, karena menisbikan iman dan agama. Dalam sekularisme, keyakinan dan nilai-nilai keagamaan samasekali tidak boleh berperan. Mereka melihat bahwa iman hanya mempedulikan Allah dan tidak mempedulikan manusia sama sekali. Maka, semuanya harus dinilai, diatur, dikerjakan tanpa sama sekali mengindahkan suatu realitas adi-kodrati, artinya yang melampaui batas-batas dunia.
Kedua, iman yang memandang sekularisasi (sekularisme). Untuk memahami setepat mungkin sikap iman terhadap sekularisasi, terlebih dahulu kita harus mengenal apa sasaran yang hendak dicapai kedua pihak. Dari uraian sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai sekularisasi pada dasarnya adalah manusia yang otonom (berdaulat). Sedangkan tujuan iman dalam agama adalah memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat (sama seperti sekularisasi). Tetapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang ada, perbedaannya terletak pada cara kerjanya. Sekularisasi semata-mata menggunakan bukti empiris yang tersedia di dunia ini. Sedangkan iman dalam agama mendayagunakan kekuatan supra-empiris yang datang dari dunia lain. Sebelum masa Fajar Budi, perbedaan cara kerja ini bergabung dalam satu kesatuan, yaitu kesatuan agama. Namun sesudahnya, menjadi dua kekuatan yang terpisah, bahkan sebagai dua gerakan yang saling berlawanan. Dari kenyataan ini, menjadi jelas bahwa sikap iman dalam agama terhadap sekularisasi bersikap mendua, antara mendukung dan menentang. Sikap mendukung dapat dilihat dari segi pengajarannya. Iman berusaha menjelaskan ajarannya secara rasional dengan bantuan filsafat dan ilmu pengetahuan empiris. Sedangkan sikap menolak, terutama menolak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan ortodoksi serta kewibawaan. Apalagi sikap sekularisme yang menisbikan eksistensi Tuhan, iman akan menolaknya dengan tegas.

Sebuah Refleksi: Bagaimana menyikapinya?
Sudah diungkapkan pada awal tulisan bahwa manusia dan dunia berjalan berdampingan dan saling mempengaruhi. Antara keduanya telah menjadi bagian dan tidak bisa dipisahkan. Maka, yang ada hanya dukungan atau pertentangan (bukan pemisahan). Begitupun dengan iman, sekalipun ada pertentangan, yang menimbulkan corak negatif bagi hubungan manusia dengan Tuhan, tetap ada aspek positif di dalamnya.
Pertama, bisa dikatakan, sebagai tantangan. Dengan adanya tantangan, iman yang sebelumnya biasa-biasa saja, pasif (tidak ada hambatan), dibangkitkan lagi dan dipertanyakan lagi visinya. Sebagai contoh, pengalaman-pengalaman generasi muda ketika mewarisi iman dari orangtua mereka. Iman mereka bisa hanya jatuh pada suatu pengajaran atau pemahaman dan teori saja. Ini suatu iman permukaan atau bahkan suatu pendangkalan. Justru dengan adanya tantangan, seluruh daya-jiwa mereka digerakkan, dan mau tidak mau, iman mereka dibangkitkan atau bahkan dipertanyakan. Karena adanya tantangan, mereka mendapatkan pengalaman, terutama pengalaman akan Tuhan (iman mereka dikuatkan).
Kedua, dengan adanya tantangan, terkhusus tantangan iman dalam dunia sekular, mesti akan muncul pertanyaan, mengapa terjadi perubahan dunia menuju sekular? Ini adalah tanda-tanda zaman. Dengan pertanyaan ini, kita akan berefleksi dan diajak untuk bersikap dengan baik dan bijaksana. Kita akan menemukan sebab musabab terjadinya sekularisasi, yang pada dasarnya terjadi di dalam Kekristenan Eropa pada zaman Fajar Budi, di mana pada saat itu manusia mulai menemukan banyak hal, dan sesuatu yang tidak mungkin telah menjadi mungkin bagi manusia. Segala yang jauh sebenarnya ada dan nyata di hadapan manusia. Sebaliknya, iman pada waktu itu tidak menjawab sama sekali kebutuhan manusia karena terlalu adi-kodrati, transenden atau bahkan bersifat mistis saja. Akhirnya, iman mulai dipisahkan atau bahkan ditinggalkan.
Apakah dengan kenyataan ini, iman (yang ada di dalam agama) memusuhi dunia, yang telah mengkhianatinya. Bukan suatu tindakan yang bijaksana. Inilah suatu tanda-tanda zaman, yang pada intinya ingin menggerakkan iman ke arah yang lebih maju lagi, sejajar dan berdampingan dengan dunia sekular. Lalu, bagaimanakah caranya? Konsili Vatican II telah menjawabnya. Gaudium et Spes adalah cerminan sebuah jawaban yang menanggapi kenyataan dunia dewasa ini. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang adalah juga milik murid-murid Kristus. Berikutnya, ini menandakan dimulainya suatu dialog (aggiornamento terus-menerus) antara iman Kristiani dengan dunia sekular. Dialog ini terjadi bukan karena ada sesuatu yang berharga dari iman yang ingin dikatakan pada dunia, melainkan iman Kristiani harus memperhatikan diri mereka di tengah-tengah realita yang ada, bukan malahan tertutup dengan sekularisasi. Lebih jauh, dialog ini adalah dialog dua sisi, di mana keduanya tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan dan memahami. Dialog ini juga tidak hanya teori, interpretasi, tapi juga harus sampai ke level kerjasama.
Mungkin akan sulit membayangkan dialog seperti apa itu sebenarnya. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan yang berdialog dengan iman. Produk-produk yang dihasilkan olehnya hendaknya diarahkan kepada kebutuhan manusia, bukan malahan sebaliknya, manusia dijadikan budak (misalnya TV, komputer, dsb). Ini maksudnya adalah semata-mata demi hari depan manusia juga. Cara pandang yang positif ini, muaranya akan membawa manusia kepada kesadaran bahwa Allah ada di dalam segala, dan segala ada di dalam Allah (Allah yang konkret).
Ketiga, menanggapi aspek-aspek negatif dari sekularisasi atau bahkan sekularisme, sebenarnya iman manusia saat ini berada dalam suatu proses pemurnian. Pada paragraf pertama refleksi ini, telah diungkapkan sebagian. Jelasnya, saat ini manusia berada dalam tahap krisis. Krisis bukanlah suatu hal yang negatif, justru suatu hal yang mencoba memurnikan. Perlu dipahami bahwa akibat-akibat sekularisasi yang tidak diinginkan hanyalah akibat-akibat samping saja. Akibat samping itu bukan kesalahan proses sekularisasi itu sendiri, melainkan kesalahan manusia yang tak mau atau tak mampu menanggapinya. Misalnya kemiskinan, sebenarnya ini terjadi karena jarak antara mereka yang berpengetahuan dan berketerampilan lebih serta mereka yang hanya berpengetahuan dan berketerampilan sedikit makin lama makin lebar; hanya mereka yang mempunyai dana yang bisa mempunyai kesempatan. Akibat selanjutnya, yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Muncullah pula pemahaman bahwa agama adalah candu, seperti yang diungkapkan Marx (yang juga mengusahakan perjuangan kelas) dan ‘Tuhan sudah mati’ oleh Nietsche. Ada semacam ketidakmampuan dan sikap pesimistis dari manusia.
Maka dari itu, kita mesti menyadari bahwa menjadi manusia dan mengalami kepenuhan sesudahnya adalah suatu proses. Ini adalah salah satu cara Tuhan dalam mewahyukan dirinya, dan memang cara ini merupakan suatu misteri. Maka perlu waspada terhadap penggambaran yang salah terhadap Allah, karena melalui inilah manusia mudah menjadi salah dalam menafsirkan realita yang ada.
Dan yang keempat, perlu dihindari segala perhatian yang hanya dipusatkan pada agama (aspek ritual) saja. Padahal agama, dengan segala peraturan dan kegiatannya, hanya merupakan sarana dan jalan memperkuat dan menyokong iman, yang harus diwujudkan dalam kehidupan yang nyata. Yang pokok bukan agama, melainkan iman sebagai sikap dan orientasi dasar. Yang penting bukan iman yang formalitas, melainkan iman sebagai dasar dan dorongan hidup yang nyata, sebagai sikap dasar, dan sebagai sumber kehidupan.
Dengan demikian akan terjawablah tantangan dunia sekular itu dengan sikap baik dan bijaksana.***
Read More...

Sabtu, Oktober 04, 2008

Pelangi di Matamu


Hal Menghakimi (Luk 6:39-42)
Syaloom! Yesus dalam bacaan Injil kali ini, menyampaikan perumpamaan yang terasa begitu dekat sekali dengan keseharian kita. Yakni perihal menghakimi. Mungkin tanpa disadari, bisa setiap hari, lewat obrolan biasa, kita dengan mudah mengkritik orang lain atau bisa juga yang hampir mirip dengan mengkritik: ngrasani orang lain.

Kita tahu: selumbar itu serpihan kecil dari sebuah benda, sedangkan balok adalah tiang kayu yang biasanya dipakai untuk menahan atap, jadi ukurannya lumayan besar. Bila perumpamaan ini ditafsirkan secara harafiah, akan terkesan lucu? Jangankan untuk melihat, mengangkat kepala pun akan sulit, sebab beban balok yang begitu berat sedang berada di dalam mata. Kita harus berjuang keras dulu untuk mengeluarkan balok dari mata, baru dapatlah melihat dengan jelas selumbar di mata orang lain. Haha…

Ternyata, perumpamaan ini punya maksud lain. Kedua orang yang digambarkan oleh Yesus ini berada dalam kondisi yang sama: masing-masing perlu membenahi dirinya. Pertama-tama untuk membenahi diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian dapat membenahi diri orang lain. Di sini juga tidak ada larangan untuk ”membenahi” atau mengkritik orang lain.

Tetapi kadang kita mungkin bisa bertindak sebaliknya, “Akh, biarlah, kan hanya selumbar kecil saja, pasti tidak akan berdampak besar.” Sekali-kali tidak, karena mata adalah bagian sensitif. Seperti orang kelilipan. Kemarin pas futsal saya kelilipan. Risih sampai malam hari. Yesus mengatakan bahwa selumbar pun perlu dikeluarkan. Jadi selumbar di mata orang lain harus tetap dikeluarkan, karena itu adalah tanggung jawab untuk menegor dan mengoreksi agar hidup kita bisa menjadi lebih baik. Bukan untuk menjatuhkan, namun untuk tidak membiarkan kesalahan itu terjadi berlarut-larut. Jika kita membiarkan, berarti kita ikut ambil bagian dalam proses kesalahan itu.

Dalam kitab suci kita bisa melihat bagaimana teguran-teguran yang sangat keras disampaikan untuk maksud baik:
• Samuel terhadap Saul karena ketidaktaatannya. “Kata Samuel kepada Saul: Perbuatanmu itu bodoh! Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu.”
• Yesus terhadap Petrus yang sok mau jadi pahlawan. “Enyahlah Iblis, Engkau suatu batu sandungan bagiKu, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

Contoh-contoh teguran dalam kitab suci itu otentik, sesuai kenyataan dan berisi kebenaran yang disampaikan dengan kasih (truth in love). Kebenaran yang disampaikan mungkin menyakitkan, namun motivasi dan tujuannya dilandasi oleh kasih. Teguran tersebut juga dilandasi oleh pertimbangan yang matang, bukan asal ngomong. Juga bukan tindakan yang emosional, tapi tindakan yang matang dan dalam kasih.
Setelah kritik dan teguran tersebut disampaikan, kita melihat bahwa mereka tetap mengasihi orang yang mereka kritik tersebut. Samuel tidak lantas menjadi musuh Saul. Yesus tetap mengasihi Petrus, bahkan memperbaiki hidupnya.

Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan kritik/teguran dan mengasihi:
1. Uncritical lover (mengasihi tanpa mengkritik).
Orang yang mengasihi tanpa memberikan kritik biasanya adalah orang yang taat secara mutlak kepada orang lain (pemimpinnya) tanpa berpikir atau bertanya. Ia hanya menyampaikan hal-hal yang enak didengar saja! Ini bisa terjadi karena ia sangat mengagumi orang tersebut dan percaya bahwa segala sesuatu yang dikatakan atau dilakukan orang tersebut pasti benar (pakewuh), atau karena sikap yang masa bodoh, takut atau tidak mau terlibat dalam masalah.
2. Unloving critics (mengkritik tanpa mengasihi).
Ini adalah orang yang hobinya mencari kesalahan orang lain. Orang ini selalu melancarkan kritik-kritik yang pedas dan tajam, dengan tujuan untuk mendiskreditkan orang lain, mengambil posisi sebagai oposisi/penentang. Setiap keputusan, pandangan, tindakan orang lain pasti ditentang, hanya karena ia ingin menentangnya sekalipun tanpa alasan yang tepat.
3. Critical lover (mengasihi dengan mengkritik).
Mengasihi orang dengan memberikan kritik dan teguran yang positif, konstruktif, meskipun ada resiko disalahmengerti oleh orang yang dikritik.

Kita memang tidak pernah 100% benar dan tidak luput dari kesalahan, namun kita mempunyai tanggung jawab moral untuk menegor, mengkritik hal-hal yang tidak benar! Jangan kita menunggu sampai kita sempurna dulu di seluruh kehidupan kita, baru kemudian mengoreksi orang lain. Jangan-jangan sampai mati pun kita tidak pernah mengoreksi orang lain. Menegor adalah bukti kasih, dengan begitu kita bisa menghindarkan orang lain tergelincir. Amin.
Read More...

Rabu, Oktober 01, 2008

Amor Benevolentiae


amor benevolentiae… cinta kemurahan hati…

ini merupakan perpaduan antara mata hati dan mata akal budi
antara eudaimonia (kebahagiaan) dan kewajiban untuk bertindak moral
Ricardo san Victor pernah mengatakan: bahwa cinta membukakan mata
berbeda dengan pepatah kacangan: cinta membuat buta
Ya, cinta kemurahan hati adalah cinta yang membukakan mata


contohnya:
misalkan ada 2 orang sahabat, salah satunya diperlakukan tidak adil oleh orang lain.
gak mungkin dong seorang sahabat akan membiarkan diri sahabatnya diperlakukan tidak adil.
begitulah cinta kemurahan hati.
mata terbuka melihat keadaan yang tidak beres, dan serta merta memberikan yang terbaik buat sahabatnya.

contoh konkret: Yesus Sendiri
Dia mau memberikan diri-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya.

Nah, itulah namanya cinta…
Semakin seseorang terbuka mata hatinya dan mata akal budinya, dia akan semakin menunjukkan kemurahan hatinya…

mau coba??
belajarlah untuk mencintai… belajarlah membuka mata… belajarlah membuka hati
Read More...

Selasa, September 30, 2008

Emmaus 21


Hujan tidak juga kunjung reda. Hawa dingin semakin menyengat. Dengan berbekal cahaya temaram lampu taman, aku mencoba berjalan menyisir gang, dengan tujuan sebuah kamar di bilangan bangunan tua. Kamar nomor 21, tujuanku. Kira-kira, delapan meter di muka kamar itu, aku disambut dengan sebuah ukiran kayu besar yang menempel pada dinding di sebelah kiri. Dari ukiran itu terbaca, “Dengan langkah berat, aku sampai di Emmaus. Mataku terhalang seperti dahulu pada murid-murid-Nya. Namun, hatiku berkobar karena Dia di Emmaus.” Samar-samar, aku masih bisa membacanya, dan ukiran itu memperingatkanku bahwa aku telah memasuki bangunan yang begitu luas dan besar ini. Inilah wisma Emmaus, di mana romo-romo yang sudah sepuh tinggal dan bekerja sebagai pendoa sambil menantikan hari terakhir mereka.

Beberapa langkah di depan pintu Emmaus 21, di mana daun pintunya terbuka setengah, bau harum gaharu sudah menusuk hidungku. Jam 2 pagi ini, aku dibangunkan oleh temanku, bahwa ada berita berkabung, “Romo Topo meninggal!” Sungguh, suasana sedingin ini membuat kulitku merinding untuk memasuki kamar itu.
Sejurus tanganku membuka daun pintu itu, aku terkejut karena bed yang biasanya berada di sisi lain dari kamar berbentuk L ini, kini sudah berpindah ke tengah kamar, persis satu setengah meter di dekat pintu. Di atas bed itu, tampak seorang terbaring tak bergerak dan dari kaki hingga bahunya telah diselimuti kain putih. Bed itu terlalu besar untuk ukuran orang yang terbaring di atasnya. Di ujung bed, di dekat kaki, tertancap tiga batang gaharu di sebuah gelas yang berisi beras. Dari situlah bau harum tadi berasal. Di samping bed duduklah sendirian seorang laki-laki dengan sehelai kapas di tangannya.
Aku mendekati bed, dan perlahan-lahan ada bau aneh lain yang menyeruak masuk ke hidungku. Bau ini ikut tercampur dengan harumnya gaharu. Aku mencoba mencari dari mana asalnya. Di sebelah kiri pintu, ada sebuah lemari yang dipenuhi dengan perlengkapan pengobatan. Di bagian atas terdapat jarum suntik, botol infus, stetoskop, bejana aluminium, dan beberapa botol kecil yang berisi cairan suntikan. Di bagian bawah terdapat kain-kain putih dan beberapa pakaian. Tapi, bukan itu sumber bau aneh itu, karena bau obat tentu saja khas dan berbeda dengan bau aneh yang tercium olehku.
Arah pandanganku bergeser ke kanan dan mencoba menyisir ruangan itu. Pandanganku tertabrak pada sebuah TV 21 inchi merk Sony dan seperangkat telepon. Kemudian aku mencoba memalingkan ke sisi lain dari ruangan, di mana, sehari yang lalu, bed yang sekarang di tengah kamar, berada di situ. Bagian ini khusus untuk perawatan bagi romo-romo sepuh yang berada dalam kondisi kritis. Memang demikianlah Emmaus 21 digunakan, selain untuk kamar bersemayam bagi yang sudah meninggal, sehari-harinya digunakan juga untuk perawatan khusus.
Di tempat tadi ada sebaskom peralatan kedokteran yang tampaknya pernah dipakai. Ada botol infus bekas dan kain basah. “Bukan itu,” pikirku. Kembali aku menggeser kepalaku dan menatap sebuah ruangan di sebelah kanan pintu masuk. Ada WC. Pintunya tidak tertutup rapat, sehingga dari sudut kecil penglihatan dan celah-celah sempit penciuman, aku dapat menangkap bahwa WC itu bersih dan tidak ada bau aneh keluar dari WC itu.
Aku heran. Ruangan berukuran 12 meter persegi ini tidak menyisakan barang lain yang bisa kuamati sejenak untuk mencari sumber bau aneh tadi. Lalu, aku mengalihkan perhatian pada tubuh yang terbaring ini. Yang terlihat dengan jelas dari bagian tubuh ini hanyalah bagian kepalanya. Lubang hidung dan telinga telah ditutupi dengan kapas. Dan setiap beberapa saat, laki-laki penunggu tadi mengusapkan kapas di bagian pinggir mulutnya. Ada cairan yang keluar dari mulutnya. Aku mencoba memperhatikan lebih teliti.
***
Persis 5 bulan yang lalu aku mengambil kesempatan mengisi liburan ekskursi di Padepokan Bumiku. Setelah sekian lama mengharap, baru kali ini aku bisa ke padepokan yang begitu sederhana ini. Di salah satu sudut halaman aku sempat membaca ukiran kayu bertuliskan “memetri bumi anjejagi gesang”. Sedangkan di sudut lain tertera, “Alam bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tak bisa hidup tanpa alam.” Aku tertegun dengan untaian kalimat itu, dan seiring dengan ketertegunan itu, aku pun tak pernah habis pikir dengan perjuangan dan kerja keras yang telah dilakukan romo Topo demi lestarinya lingkungan hidup.
Baru sejam di padepokan, aku sudah diajak berkeliling kebun dan ladang. Semua kebutuhan dan perlengkapan hidup di padepokan itu tercukupi lewat pengolahan alam yang arif. Untuk konsumsi harian, ada sayuran dan buah-buahan kebun. Untuk tambahan protein, ada peternakan ayam dan sapi. Di beberapa sudut tempat disediakan dua jenis kotak sampah, yang satu berlabelkan sampah organik, yang lain non-organik. Untuk kebutuhan memasak harian tidak perlu minyak, rupanya ada digester biogas. Bahkan untuk penerangan malam hari, tempat ini mengandalkan pembangkit tenaga air dari aliran sungai di ujung ladang.
Wah, aku sungguh terkesan dengan kehidupan semacam ini, bahkan tidak jarang anak-anak sekolah datang untuk belajar mengenal alam di padepokan ini. “Kalau kita dapat melayani alam, maka alam juga akan memberikan sesuatu,” katanya suatu kali. Aku setuju. Alam benar-benar sudah lelah menghadapi tingkah manusia, terlalu banyak berkorban, tetapi jarang sekali dihargai.
Di hari berikutnya aku diajak romo untuk membantu menyiangi rerumputan di kebun kacang. Ketika hari semakin terik, romo masih tetap setia melanjutkan pekerjaannya. Aku sempat mengeluh karena panas. “Kamu tuh gimana tho, wong yang membuat bumi ini semakin panas khan kamu sendiri, koq sekarang gak mau menanggung perbuatanmu sendiri.” Aku terhentak. Dan semenjak itulah aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak merusak lingkungan.
***
Aku baru sadar kalau bau itu berasal dari cairan di mulutnya. Romo Topo meninggal karena sakit Lever kronis. Air yang keluar dari mulutnya berasal dari pembuluh-pembuluh darahnya yang pecah. Hampir seluruh hidupnya dibaktikan dalam totalitas memperjuangkan kelestarian alam. Sampai-sampai dia seringkali lupa diri bahkan dengan kesehatannya sendiri.
Aku mulai menundukkan kepala dan berdoa. Dalam hening, aku mengharu, betapa dia begitu dekat dengan alam, sehingga karena kedekatan itulah dia semakin dekat pula dengan Sang Pemilik alam itu.
Beberapa menit kemudian, aku tinggalkan kamar itu. Udara di luar semakin dingin. Hujan juga masih cukup deras. Dan waktu terus bergeser mendekati fajar. Aku melangkah kembali ke kamarku. Selamat jalan, Romo!***

Yogyakarta, Agustus 2008
Read More...

Senin, September 29, 2008

Trilogy of my Blogs


Mengapa mesti Trilogi?
mungkin teman-teman bertanya alasan di balik pembuatan trilogi blog ini.
Kata hati ingin mengatakan bahwa sebenarnya banyak hal sekali yang bisa di-eksplore dari diri kita. so, aku ingin membuat per bidang/kategori.
kalau hanya 1 saja mungkin tidak cukup...
tapi kalo 4 ato 5 terlalu banyak. oleh karena itu, aku milih 3 saja, 'trilogi', sehingga mudah diingat.
blog pertama, nicosj.blogspot.com. Blog ini murni tentang diriku dan pergulatanku.
blog kedua, for-the-better-world.blogspot.com. Blog ini mungkin salah satu cara yang bisa aku sumbangkan buat orang lain secara lebih luas, tanpa mengenal batas. semua orang punya impian tentang dunia yg lebih baik. aku juga melihat hal itu, dan ingin mewujudkannya. mungkin hanya sebatas tulisan saja.
blog ketiga, greenclimber.blogspot.com. Nah, blog ini salah satu sisi diriku, yang tanpa sadar seringkali membuatku kelihatan aslinya. Sedikit banyak aku suka petualangan. Oleh karena itu, secara khusus aku menceritakan petualangan-petualanganku di tempat ini. Sekaligus aku mencoba fokus terhadap lingkungan hidup.

akhirnya selamat membaca!! Read More...

Sabtu, September 27, 2008

Mitos Gua Plato


Dalam perumpamaan tentang gua, Plato sebenarnya hendak membicarakan manusia. Manusia dapat dibandingkan dengan orang-orang tahanan yang sejak lahirnya terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah kepada dinding gua. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang dari orang-orang yang lewat hilir mudik, yang dibentuk oleh cahaya api di belakang mereka. Tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang itu adalah realitas sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain.

Kemudian tiba-tiba ada satu tahanan yang memberontak, memalingkan lehernya, bergerak dan memandang ke arah cahaya, dan semua ini hanya dengan rasa sakit dan silau karena cahaya. Ia mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang bukan merupakan realitas yang sebenarnya. Dia keluar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Mula-mula, ia berpikir bahwa ia telah meninggalkan realitas. Tetapi, berangsur-angsur ia sadar bahwa itulah realitas sebenarnya dan bahwa ia belum pernah memandangnya. Ia memandang matahari tidak sebagai pantulan, melainkan memandang matahari itu dan ciri-cirinya senyata-nyatanya.
Ia ingat akan gua dan akan teman-teman senasibnya, akhirnya dia kembali ke gua dan berceritera kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya bayang-bayang saja. Tetapi teman-temannya tidak percaya, dan seandainya mereka tidak terbelenggu mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.
Ternyata untuk melihat realitas sebenarnya merupakan suatu hal yang sulit. Tahanan yang bebas itu harus mengalami rasa sakit dan mata yang kabur karena silaunya cahaya. Suatu perubahan dari sebuah kemapanan pengetahuan dan kepercayaan adalah suatu hal yang tampak jahat – lepas dari kebiasaan. Dan tidak sampai di situ saja, untuk mengalami penyesuaian dengan realitas sebenarnya, matanya kabur terlebih dahulu dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal.
Dari uraian di atas, secara singkat dapat diintepretasikan bahwa gua tadi ialah dunia yang disajikan kepada pancaindera kita. Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan tahanan yang terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja. Tetapi, ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa realitas inderawi tidak lain daripada bayang-bayang saja. Orang-orang itu adalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, mencoba beradaptasi, dan berangsur-angsur mereka menemukan Idea ‘yang baik’, yakni matahari sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran (realitas sebenarnya), yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus untuk melepaskan diri dari pancaindera yang menyesatkan.
Ada tiga hal yang hendak disampaikan Plato melalui perumpamaannya itu:
a.Kita manusia adalah tawanan dari gambaran dan pendapat-pendapat yang kita peroleh dari ‘dalang’ dan ‘pemain boneka’. Kita dapat mengatakan bahwa pendapat, ‘pengetahuan’ dan kepercayaan-kepercayaan dimanipulasi oleh para pembentuk opini umum.
b.Filsafat membebaskan manusia dari keterbelengguan rohnya. Filsafat membebaskan kita dari prasangka, pendapat, dan anggapan-anggapan dangkal yang tidak benar. Filsafat membuat kita melihat kenyataan yang sebenarnya.
c.Pembebasan oleh filsafat itu tidak disukai oleh semua orang. Ada yang tidak senang diganggu gugat dalam prasangka dan praduga mereka. Melepaskan pendapat-pendapat yang sudah lama diakrabi mesti menyakitkan. Prasangka-prasangka merupakan alam di mana kita sudah mapan, di mana segala-galanya sudah mempunyai tempatnya, yang tidak ingin kita ganggu gugat. Kita tidak ingin keluar dari keakraban itu. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan Filsafat membantu kita untuk membebaskan diri dari kedangkalan, praduga dan prasangka (meninggalkan mitos) dan menghadapi realitas yang sebenarnya.
Read More...

Rabu, September 24, 2008

Slamet


Liburan tahun lalu, aku dan beberapa teman pergi naik gunung. Kali ini kami menuju ke Purwokerto, hendak mendaki gunung Slamet. Memang sejak di novisiat naik gunung menjadi semacam kesukaan. Bukan pertama-tama karena keinginan untuk dapat melihat sunrise atau petualangan serunya, tetapi terlebih karena prosesnya menuju puncak dan turun kembali ke bawah.

Naik gunung itu seperti menapaki peziarahan rohani. Sebelum naik gunung, setiap pendaki butuh persiapan yang sangat matang, bahkan sampai detik-detik pendakian. Mereka mesti siap mental, fisik, dan tentu saja perlengkapan serta perbekalan. Perencanaan mesti dibayangkan dan dikontemplasikan. Bila berencana mendaki 2 hari, berarti perbekalan mesti disiapkan untuk 3 hari atau lebih. Bila berencana mendaki 3 hari, perbekalan mesti disiapkan untuk 4 hari atau lebih.
Jauh hari sebelum pendakian, fisik juga mesti siap. Pemanasan setiap hari, minimal jogging. Selain itu, bila pendakian dilakukan bersama-sama, tentu kekompakan tim juga ditentukan: siapakah yang akan menjadi leader, sweeper, dan siapakah anggota yang tampaknya paling lemah?
Kini tibalah hari keberangkatan. Dalam perjalanan pendakian, ditentukanlah prosesnya. Banyak hal diperhatikan, ritme langkah kaki, stamina tubuh, jeda untuk istirahat, berhenti untuk berkemah, bahkan perhatian dan pertolongan bagi teman yang sudah kepayahan.
Tidak hanya secara tim menentukan, tetapi terlebih juga secara individu. Lewat proses pendakian ini, aku semakin mengenal diriku, seberapa mampu aku berjalan, seberapa kuat lagi aku bertahan. Memang kadangkala, proses ini tidaklah sesederhana itu, sebab rasa putus asa dan keinginan untuk tidak melanjutkan lagi pendakian seringkali begitu saja muncul. Ada juga faktor-faktor lain di luar diri kita yang turut menentukan proses ini, tetapi keputusan kitalah yang menentukan. Bila sampai di puncak, hanya ada satu kegembiraan dan syukur yakni karena penyertaan Tuhan sampai sejauh ini.
Demikianpun kehidupan rohani kita. Rahmat Tuhan bukan datang begitu saja. Kita mesti menyiapkan diri kita. Persiapan itu adalah kesediaan diri kita untuk dibentuk oleh Tuhan sendiri. Setiap hari ditempa dengan olah rohani. Proses pendakian sama halnya dengan kita belajar semakin mengenal diri kita, belajar berdiskresi, menentukan manakah jalan yang benar untuk sampai ke rahmat itu. Kadangkala ada rasa putus asa, rasa desolasi dan kering tak kunjung usai. Tapi dengan jiwa besar kita terima itu hingga akhirnya sampai pada rahmat di puncak.
Puncak adalah rahmat itu sendiri. Sesampai di puncak, kita bersyukur atas itu dan memohon agar kita tetap tekun dan selalu dikuatkan. Sebab, perjalanan turun dari gunung justru lebih menyakitkan, sebab mesti menahan beban 2 kali, yakni tubuh kita dan gravitasi bumi. Untuk itulah rahmat di puncak menjadi bekal yang cukup pada saat kita mengalami desolasi lagi.
Mendaki gunung bagiku bukanlah suatu pengalaman yang sia-sia atau bahkan membuang waktu. Tetapi, mendaki gunung adalah pengalaman yang menghidupkan kerohanianku. Gunung Slamet baru saja kudaki, semoga kerohanianku juga slamet.
Read More...

Selasa, September 23, 2008

Menggugat Toleransi Moral dan Budaya Permisif

Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang seragam, apapun itu bentuknya. Fakta bahwa ada begitu banyak suku, budaya, agama dan norma hidup menunjukkan bahwa bangsa kita itu multi-etnis, multi-kultural, multi-agamis dan multi-pandangan. Seolah-olah sudah takdir bagi yang terlahir di Indonesia untuk menyadari kenyataan bahwa dirinya berbeda dari yang lain.
Namun fakta perbedaan itu tidak hanya ada pada lembaga-lembaga formal di atas saja. Sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang begitu kompleks dan sangat plural. Bangsa Indonesia sudah mengalami segalanya—untuk menyebut satu per satu kondisi perbedaan yang lain: demokrasi dan kediktatoran militer, undang-undang dasar nonagamis dan syariah Islam, kekayaan ekstrem lapisan atas dan fight for survival orang kecil, nasionalisme dan separatisme, toleransi dan kekerasan ekstrem, Islam dengan mayoritas besar yang moderat dengan kelompok garis keras hingga yang ekstrem, korupsi yang meresapi semua bidang kehidupan masyarakat dan hukum yang bisa dipermainkan, tradisionalis dan modernis, lokalis dan globalis.

Pluralisme inilah yang seringkali menandai sikap kebanyakan orang Indonesia untuk permisif, seolah-olah “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Pindah situasi, pindah tempat, di situlah normanya berganti. “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.”
Mungkin sebagian besar orang akan beralasan bahwa dengan adanya pluralisme ini, sepantasnyalah kita menjunjung toleransi. Tetapi toleransi macam apa kalau jelas-jelas di depan mata terjadi tindak korupsi, namun dibiarkan begitu saja. Toleransi macam apa jika kemiskinan dan ketidakadilan rakyat kecil diabaikan, sedangkan sebagai wakil rakyat malah menuntut tunjangan 10 juta. Toleransi macam apa bila nyawa 202 orang di Bali dibiarkan sebagai bentuk penghargaan terhadap sebuah keyakinan tertentu. Bukankah itu sikap toleran yang permisif? Tidakkah ini berarti sikap toleransinya berdampak negatif? Masih adakah orang yang berani menjadi whistle blower ?
Memang benar zaman kita acapkali disebut era keruntuhan “narasi-narasi besar”. Pada era ini keyakinan yang bersandar pada nilai-nilai absolut mengalami gugatan serius. Di semua lini kehidupan, mulai dari sosial, politik, hukum, sampai seni seakan berlaku diktum: nilai apapun yang bertendensi menjadi absolut harus ditolak. Gugatan terhadap ‘absolutisme’ itu juga berlangsung pada ranah etika dan moral. Relativisme moral berpendapat ada banyak bentuk moralitas yang sama benarnya. Moralitas orang Barat, misalnya tak lebih benar daripada moralitas orang Asia. Ekstremnya, moralitasku berbeda dengan moralitasmu. Relativisme moral menyanggah klaim superioritas nilai moral. Dengan begitu, ia menawarkan jalan menuju pluralitas pilihan, pendapat dan opsi moral.
Oleh karena latar belakang di ataslah, tulisan singkat ini hendak mengupas problem serius atas terciptanya gugatan terhadap nilai-nilai absolut. Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu berlaku permisif terhadap tindakan yang nyata-nyata melanggar prinsip dasar moral? Apa yang membuat seseorang atau kelompok tertentu seolah-olah menjadi seorang relativis praktis, tanpa harus mengatakan bahwa diri mereka adalah penganut relativisme? Lalu, hal-hal penting macam apa yang membuat seseorang seharusnya memegang dasar-dasar moralitas—sekaligus ini menggugat tindakan toleransi permisif?
Tulisan ini murni akan ditinjau dari sudut etika dan moral. Penulis sendiri akan banyak mengacu pada karya Mohammad Ali Shomali, seorang filsuf Iran kontemporer, yang berjudul Ethical Relativism (2001).

Kegagalan Menemukan Prinsip Moral yang Memadai
Menurut Shomali, sikap toleransi terhadap pluralisme pandangan yang condong bersifat permisif itu merupakan kegagalan seseorang untuk menemukan perangkat prinsip moral yang memadai. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang berlaku demikian.
Pertama, sebagian orang tidak begitu cerdas atau terlalu malas untuk menempatkan prinsip atau nilai-nilai moral dalam sebuah hierarki nilai. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui atau memahami apa yang harus dilakukan ketika berbagai prinsip atau nilai saling bertentangan. Untuk hal ini, terutama penentuan hierarki nilai, kita berhutang banyak pada W.D. Ross, Max Scheler, dan von Hildebrand. Ross (1877-1971) memberikan jalan keluar terhadap etika Kant yang keras. Menurut Ross, setiap kewajiban selalu merupakan prima facie, artinya suatu kewajiban hanya bersifat mutlak sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dengan kata lain, suatu kewajiban adalah ‘kewajiban untuk sementara’. Apabila berdasarkan pertimbangan lain, ternyata kita tahu bahwa ada kewajiban lain yang lebih penting, kewajiban inilah yang harus didahulukan dari kewajiban pertama tadi. Dalam kasus di atas kiranya jelas bahwa tindakan menghargai nyawa sesama lebih penting daripada sebuah keyakinan ekstrem.
Sedangkan Scheler (1874-1924) mengatakan bahwa orang bertindak bukan demi kewajiban belaka, melainkan demi nilai-nilai. Analisis fenomenologis Scheler memperlihatkan bahwa nilai-nilai itu bisa digolongkan ke dalam empat bagian yang tersusun secara hirarkis. Pertama, nilai enak-tidak enak. Kedua, nilai vital, misalnya kesehatan dan keberanian. Ketiga, nilai rohani, yang meliputi nilai estetis (indah dan jelek) dan nilai etis (kebenaran dan keadilan). Keempat, nilai yang menyangkut obyek absolut (yang kudus, yang profan, dan nilai religius). Menurut Scheler, kewajiban moral terdiri dari keharusan yang dirasakan manusia untuk selalu merealisasikan nilai-nilai yang lebih tinggi di antara nilai-nilai yang mungkin terealisasikan. Namun ajaran Scheler ini diperbaiki oleh von Hildebrand (1889-1966) dengan membedakan antara nilai moral dan nilai non-moral. Kesehatan, misalnya, adalah nilai vital (nilai non-moral), namun kesehatan orang lain (nilai moral) adalah hal yang wajib saya perhatikan. Dengan demikian, jika seseorang benar-benar menggunakan akal budinya dalam menentukan tindakan moral, pastilah akan mempertimbangkan sistem hierarki nilai ini.
Kedua, orang berlaku permisif karena tidak mengetahui bahwa prinsip dan kaidah moral dapat diterapkan lewat berbagai cara, sesuai dengan beragamnya keadaan yang ada sepanjang berubahnya waktu dan masyarakat. Penerapan yang berbeda ini tidak berarti bahwa ada pluralitas prinsip dasar.
Ketiga, orang gagal menemukan prinsip moral yang memadai karena tidak menyadari banyaknya perbedaan yang sebenarnya merupakan akibat penerapan nilai-nilai dan prinsip umum yang berbeda dalam konteks keyakinan yang berbeda, misalnya perbedaan menyangkut sifat manusia, perbedaan alamiah antara jenis kelamin atau ras yang berbeda, dan menyangkut hubungan manusia dengan alam dan dunia adikodrati.
Keempat, terkadang orang berada dalam tekanan pikiran yang hebat sehingga terlalu berat untuk hidup dengan prinsip-prinsip moral. Di samping itu, terkadang ada banyak kepentingan praktis-psikologis yang dipilih seseorang untuk tidak menganut prinsip moral umum, misalnya mencari rasa aman.

Pertimbangan bagi Relativisme Moral Praktis
Mengenai bukti empiris bahwa tindakan yang dapat diterima secara moral cenderung berbeda-beda, baik antara berbagai masyarakat maupun antarwaktu, menurut Shomali, orang harus mempertimbangkan hal-hal berikut sebelum menarik kesimpulan relativistik (yang menciptakan sikap toleransi permisif) dari bukti itu.
Pertama, meskipun tidak ada kesamaan dalam prinsip dasar mengenai sistem moral yang berbeda, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang fakta-fakta nonmoral atau meskipun mengira bahwa perbedaan-perbedaan itu muncul hanya karena orang telah menganut berbagai ukuran moral, orang tidak beralasan menyimpulkan bahwa semua ukuran alternatif yang dianut atau sebagian darinya mestilah benar.
Kedua, ada berbagai kesamaan moral yang penting di seluruh budaya. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa prinsip atau ukuran moral yang dapat diterima secara universal. Pojman (1998:47) mengetengahkan daftar prinsip umum yang mencakup larangan melukai dengan sengaja, membunuh orang yang tidak bersalah, menimbulkan penderitaan, menipu atau mencuri, dan prinsip yang menganjurkan kesetiaan terhadap janji atau sumpah, bersikap adil, berbicara jujur, tahu berterimakasih dan menolong orang lain. Sedangkan James Rachels (2004: 58-60) menyebutkan nilai inti yang sama bagi semua masyarakat dan sebenarnya diperlukan bagi eksistensi sebuah masyarakat, yakni keharusan merawat anak-anak (keturunan), keharusan berkata jujur, dan larangan membunuh. Dari kedua pandangan itu, ada kesimpulan teoretis yang bersifat umum, yakni adanya beberapa prinsip moral universal bagi semua masyarakat. Jika tidak demikian, tidak ada masyarakat yang bisa survive.
Ketiga, adanya perbedaan dan perselisihan moral sejalan dengan adanya prinsip-prinsip moral yang bersifat umum. Menurut Shomali, perselisihan moral itu lebih terletak pada “keragaman penerapan”. Dua budaya atau individu mungkin saja berpegang pada prinsip dasar yang sama namun cara menerapkannya berbeda, karena adanya keyakinan metafisis atau keadaan yang berbeda.
Keempat, ada beberapa implikasi yang tidak dapat ditoleransi dari penolakan terhadap ukuran dan prinsip-prinsip moral yang sah secara universal (implikasi yang tidak diinginkan oleh relativisme moral) : (1) tidak ada manfaatnya bersandar pada ukuran orang lain. Jika relativisme moral benar, kita dapat memutuskan apakah perbuatan itu benar atau salah hanya dengan bersandar pada standar masyarakat kita. Tetapi hanya sedikit orang yang berpikir bahwa masyarakat mereka mempunyai standar moral yang sempurna; (2) upaya pembaruan moral tidak masuk akal. Jika relativisme moral benar, pembaruan moral dan para pembaru moral tidak dapat dibenarkan, karena mereka bertentangan dengan ukuran-ukuran yang sudah ada. Misalnya, orang yang berjuang pada abad ke-8 untuk menghapuskan perbudakan adalah salah, karena mereka menentang perbudakan ketika perbudakan itu sendiri tengah populer; (3) konsep kemajuan dan moralitas ideal tidak bermakna. Biasanya kita berpikir bahwa setidaknya beberapa perubahan (kemajuan) dimaksudkan agar masyarakat kita menjadi lebih baik; (4) tidak ada manfaatnya kritik moral. Jika adat-istiadat berfungsi untuk menentukan apa yang baik dan adil, tentu tidak akan ada ruang untuk mengkritiknya. Jika relativisme benar, orang dapat membuat kritik internal menurut standar mereka sendiri; (5) tidak adanya keyakinan moral mengarah kepada nihilisme. Ini berkaitan dengan fakta bahwa relativisme terkadang diidentifikasi dengan bentuknya yang paling ekstrem yang berpendapat bahwa segala sesuatu diperbolehkan. Namun ada juga fakta bahwa keyakinan dan komitmen moral bergantung pada cara memandang moralitas seseorang sebagai satu-satunya kebenaran atau yang paling masuk akal; (6) kegagalan mengevaluasi ukuran moral orang lain. Menurut relativisme moral, setiap ukuran moral suatu masyarakat tidak mungkin dinilai salah atau benar oleh orang lain. Oleh karena itu, agresi Nazi bukanlah hal yang tidak bermoral, karena menurut mereka sendiri tindakan mereka adalah benar. Kegagalan mencela perilaku semacam itu tampaknya tidak masuk akal. Agresi atau penjajahan selalu keliru di manapun ia berada.

Teori Relativisme Moral Modern
Pada bagian ini, saya sedikit menggambarkan usaha lain dari relativisme moral dalam membangun teorinya. Sekalipun tidak berkaitan langsung dengan relativisme moral praktis, setidaknya teori relativisme moral modern ini membantu kita untuk memetakan persoalan relativisme moral sebenarnya.
Gilbert Harman dan David Wong adalah tokoh relativisme moral yang penting dewasa ini, yang mencoba membangun argumen moderat guna menangkal serangan dan sanggahan terhadap relativisme moral. Mereka yakin bahwa argumen standar relativisme moral —bahwa dalam moralitas semua hal dibenarkan— tidaklah efektif atau bahkan tidak mungkin lagi untuk dianut. Mereka belajar banyak dari argumen-argumen lama, dan akibatnya memposisikan argumen mereka menjadi lebih rumit dibandingkan dengan argumen-argumen relativisme yang terdahulu.
Argumen pokok Gilbert Harman adalah pembahasannya mengenai dasar moralitas. Baginya, dasar moralitas tidak ada bedanya dengan sebuah konvensionalisme moral implisit. Moralitas bergantung pada tawar-menawar yang terjadi dengan sendirinya, yang menyesuaikan diri tanpa mesti dipaksakan diadakan perundingan tertulis. Konvensionalisme moral ini terjadi di dalam adat-istiadat atau budaya masyarakat, dan bisa saja berubah seiring dengan bingkai moralnya, yakni perubahan ruang dan waktu, pergantian generasi dan zaman.
David Wong membangun argumen relativismenya dengan mencoba mencari jalan tengah antara obyektivitas dan subyektivitas moral, mencoba mendamaikan pertentangan antara keduanya. Wong yakin bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antarpribadi (toleran). Kreasi sosial ini berbeda dengan teori konvensionalisme Harman. Teori relativisme moral Wong lebih bersifat kognitif, karena dia mampu menjelaskan dan mendefinisikan moralitas aktual yang sesuai dengan akal sehat dan pengalaman moral manusia. Bahkan dalam analisanya, dia menelurkan gagasan baru yakni mengenai “sistem moral yang memadai”. Dalam sistem inilah dia membedakan moralitas yang berintikan kebaikan dan moralitas yang berintikan hak.
Wong menjelaskan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan menekankan cita-cita tentang bentuk tertentu kehidupan masyarakat di mana individu diterima dan berkembang, sedangkan moralitas yang berintikan hak menekankan hak-hak individu dalam kebebasan dan kebaikan yang lain, yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidupnya. Kita dapat mengatakan bahwa moralitas yang berintikan kebaikan bekerja dengan konsep kebaikan umum menuju sebuah komunitas manusia. Moralitas tersebut menjelaskan berbagai bentuk sifat dan perbuatan sebagai kebaikan yang diperlukan guna mencapai kebaikan umum. Salah satu bagian penting dari moralitas semacam itu adalah pandangan tentang fungsi dan peran sosial. Sebaliknya, moralitas yang berintikan hak bekerja dengan beberapa konsep tentang kepentingan pribadi yang mendahului, atau terlepas dari partisipasi dalam sebuah komunitas. Moralitas semacam ini memberikan beberapa hak kepada individu untuk melindungi kepentingan mereka.

Dasar-dasar Moralitas
Membabi-buta meyakini relativisme moral sangatlah berbahaya karena berpotensi menjurus pada nihilisme dan anarki. Seperti yang sudah kita sadari pada awal tulisan ini, relativisme moral mengakibatkan seseorang begitu mudah menyatakan sikap toleransi alih-alih bersikap permisif saja. Orang dapat berbuat sesukanya atas nama toleransi, tanpa peduli tanggungjawab dan kewajibannya kepada sesama. Untuk itu, diperlukan seperangkat kriteria moral objektif yang bisa dijadikan pedoman bersama dalam menangani persoalan-persoalan moral pada umumnya. Pada bagian ini, secara menyeluruh akan dipaparkan gagasan Shomali mengenai dasar-dasar moralitas.

Moralitas dan Cinta-Diri
Menurut Shomali, moralitas didasarkan atas hasrat alamiah seseorang untuk memperbaiki diri sendiri dan keinginannya untuk mencapai cita-citanya. Teori ini dapat disebut ‘moralitas cinta-diri’. Untuk melindungi kepentingannya secara utuh, orang perlu memuaskan segala bentuk keinginan naluriahnya, termasuk keinginan untuk menjadi orang yang baik. Orang yang mencintai diri sendiri dan mencintai orangtua, anak-anak, kerabat dan sahabatnya mungkin pula mencintai semua manusia, hewan dan alam. Manusia tidak akan merasakan kehidupan yang menyenangkan jika mereka menyaksikan orang lain menderita atau kelaparan. Kepedulian mereka pada diri sendiri, demi kebahagiaan dan kesempurnaan mereka, mengharuskan mereka bersikap baik. Dengan demikian, teori moralitas cinta-diri mengakomodasi keinginan intrinsik dan asasi dalam diri manusia untuk membahagiakan orang lain, meskipun tidak ada kaitannya dengan kepentingan langsung manusia tersebut. Jadi, semua perbuatan yang disengaja dari setiap pelaku tindakan berasal dari keinginan asasi atau kecenderungan untuk memuaskan perhatian dan kepentingannya.
Di sini memang perlu dicatat bahwa cinta-diri sangat berbeda dengan mementingkan diri sendiri. Perbedaan antara egois dan tidak egois bukanlah ada atau tidak adanya cinta-diri. Perbedaan itu terkait dengan cara seseorang mempertimbangkan kepentingan dan tujuan serta mencoba memenuhi syarat-syarat cinta-diri.
Shomali menyimpulkan bahwa hasrat asasi dan kepentingan manusia yang membentuk moralitas bergantung pada watak manusia, yang memang sama pada setiap manusia. Ada hubungan nyata antara watak manusia dan hasrat maupun kepentingan di dalamnya, dan kedudukan moral dari setiap perbuatan bersumber dari hubungan nyata semacam itu. Dengan kesimpulan ini, pemikiran Shomali tentang moralitas berbeda dengan teori Harman yang yakin bahwa tuntutan moral hanya berlaku pada orang-orang yang memang ingin mengikutinya.

Membuat Keputusan Moral
Moralitas cinta-diri menentukan setiap manusia dalam mengambil keputusan moral. Lewat keputusan moral inilah, manusia mampu menentukan prinsip dasar moral universal, dan tidak membiarkan sikap permisif menguasai dirinya. Untuk sampai pada pengambilan keputusan moral, manusia akan melewati beberapa tahap rumit yang dipengaruhi beberapa faktor. Shomali mencoba menjelaskannya dengan memulai dari faktor pertama, yakni pemahaman dan penilaian. Menurutnya, manusia akan mustahil membuat keputusan tanpa memahami masalah tersebut. Manusia mesti berpikir tentang perbuatan itu dan akibatnya, manfaatnya ataupun kekurangannya. Baru setelah kita mempertimbangkannya, kita akan membuat penilaian terhadap perbuatan itu, benar atau salah. Lalu memutuskan untuk melakukannya atau tidak sama sekali. Selain itu, faktor ini juga mempengaruhi pengambilan sebuah keputusan di mana keputusan itu berangkat dari tindakan yang sudah pernah kita lakukan. Di sini, pemahaman dan penilaian menjadi semacam evaluasi diri.
Faktor kedua adalah melihat motivasi apa di belakang keputusan itu. Di sini Shomali mencoba membedakan antara ‘penalaran teoretis’ dan ‘penalaran praktis’. Penalaran teoretis berkaitan dengan keyakinan dan penalaran praktis berkaitan dengan hasrat atau niat. Shomali berpendapat bahwa setiap penalaran praktis didahului oleh beberapa bentuk penalaran teoretis. Pada mulanya seorang pelaku menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa dalam kenyataannya perbuatan tertentu adalah kondusif atau tidak kondusif bagi cita-citanya. Kemudian, setelah menemukan beberapa alasan untuk meyakini bahwa salah satu alternatif memang lebih baik, dia mendapatkan sebuah motivasi untuk berbuat sesuai dengan alternatif itu. Hanya setelah termotivasi kita berniat atau memutuskan untuk melakukan perbuatan tertentu. Di sini dan selama melakukan penilaian, peran emosi dan hasrat sangatlah penting. Selain kedua peran itu, Shomali menambahkan bahwa peran akal tidak kalah pentingnya dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, tiga peran yang disebutkan Shomali menjembatani sekaligus antara emotivisme, hedonisme dan etika Kantian.
Shomali sependapat dengan Hume bahwa manusia punya kecenderungan bawaan untuk bersimpati terhadap orang lain. Atau seperti yang telah Shomali katakan bahwa setiap orang telah dibekali oleh moralitas cinta-diri.
Usaha demi kesenangan atau untuk memuaskan hasrat, tidak berarti kita menerima bentuk hedonisme murni. Shomali menyebutkan ada berbagai bentuk hasrat dan dengan demikian ada pula berbagai bentuk kesenangan. Dia setidaknya menyebutkan tiga bentuk. Pertama, hasrat ‘fisik’ atau ‘sensual’, yakni hasrat yang menimbulkan kesenangan fisik atau sensual, misalnya kesenangan yang muncul karena merasakan makanan yang lezat. Kedua, hasrat ‘semi-abstrak’, yakni hasrat yang tidak secara langsung disebabkan oleh hal-hal yang bersifat fisik sehingga tidak berhubungan langsung dengan indera kita, misalnya kesenangan yang dirasakan orang karena mempunyai uang atau jabatan yang tinggi. Ketiga, hasrat ‘abstrak’, inilah hasrat sejati yakni hasrat yang dapat kita rasakan secara langsung, independen dan tidak dapat direduksi kepada hasrat yang lain, misalnya kesenangan yang diperoleh seseorang ketika dia memiliki rasa percaya diri atau rasa tenteram dalam pikiran atau perasaan bahagia. Hasrat abstraklah yang dimaksud Shomali dalam kaitannya dengan moralitas kita. Menurutnya, hasrat abstrak bukan hanya tidak mengarahkan kita kepada perbuatan jahat, tetapi bahkan cenderung menimbulkan sifat yang positif dan baik.
Dengan penjelasan tentang pengambilan keputusan di atas, Shomali berhasil menunjukkan bahwa moralitas baik dan buruk sama sekali tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan atau ditemukan oleh akal budi manusia dengan cara memperhatikan sifat, bakat, dan potensialitas manusia. Dan itu ukurannya sama pada setiap manusia. Oleh karena itu sifatnya universal.

Peran-Peran dalam Pengambilan Keputusan
Selanjutnya, Shomali mengatakan bahwa ada peran internal dan eksternal dalam keputusan moral manusia. Shomali yakin bahwa adanya pemahaman yang benar terhadap peran ini dapat menjelaskan situasi yang kondusif bagi seseorang dalam menentukan sikap moral. Shomali menyebutkan lima macam peran. Pertama, peran keyakinan, pengetahuan dan informasi.
Salah satu bagian penting keputusan moral kita adalah cara kita memahami sebuah persoalan, kemudian cara kita mendapatkan hasil dan akibat-akibat dari setiap sisi persoalan. Perbedaan dalam tataran ini dapat menghasilkan keputusan yang berbeda walaupun masalahnya sama. Bahkan orang yang memiliki cita-cita moral yang sama tidak terlepas juga dari perbedaan ini.
Kedua, peran hasrat. Hasrat merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan kita. Seperti sudah dijelaskan di atas, meskipun hasrat sejati sama pada semua manusia, mungkin penerapannya berbeda. Yang perlu ditekankan pada hasrat sejati adalah arahnya yang selalu pada perbuatan baik. Sedangkan hasrat fisik, sifatnya netral, maksudnya dapat dipuaskan dengan cara yang bermoral maupun tidak bermoral. Dari sinilah seringkali perbuatan buruk berasal.
Ketiga, peran keinginan dan keputusan seseorang. Meskipun ada banyak pembatasan yang diakibatkan oleh berbagai keadaan internal dan eksternal, manusia bebas untuk membuat keputusannya. Tanpa keyakinan akan kehendak bebas, maka sebenarnya tidak ada moralitas. Dan dalam kehendak bebasnya itu, manusia pastilah menganut nilai atau cita-cita yang mengarahkan perbuatan mereka.
Keempat, peran kemampuan mental dan intelektual serta bakat (misalnya kebiasaan baik). Kelima, peran keadaan. Yang dimaksud dengan keadaan adalah sifat atau ciri khas yang berada di sekitar pembuatan keputusan. Itu bisa keadaan fisik dan mental pelaku (mis: sehat atau sakit), perasaan pelaku (mis: senang atau sedih), kemampuan pelaku, keadaan orang lain yang terlibat, waktu, tempat, hukum, budaya, sumber alam yang ada, alat, dan sarana. Setiap perubahan dalam kondisi ini akan mengharuskan pelaku mengubah penilaian terhadap keputusan atau tindakan mereka.
Selanjutnya Shomali menjelaskan bahwa setiap keputusan mestilah memenuhi syarat-syarat pilihan rasional. Dalam hal ini, Shomali mengadopsi pemikiran Paul Taylor. Taylor percaya bahwa sebuah pilihan adalah rasional selama ia bebas, tercerahkan, dan netral. Tetapi situasi ini memang sedikit utopis, karena Taylor sendiri yakin bahwa tidak ada pilihan yang sepenuhnya bebas, tercerahkan dan netral. Namun Shomali menganjurkan hal ini sebagai alat bantu bagi pelaku tindakan untuk membuat penilaian dan keputusan yang lebih baik.
Syarat-syarat kebebasan adalah tidak ditentukan oleh motif yang tidak disadari, tidak dalam keadaan terpaksa atau dengan kata lain orang tersebut sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh hambatan eksternal, dan segala pilihan sepenuhnya ditentukan oleh keputusan orang itu sendiri. Syarat pencerahan adalah mengetahui hakikat jalan hidup yang dipilih, mengetahui segala kemungkinan akibat-akibat dari menjalani suatu pandangan hidup, dan mengetahui sarana apa yang diperlukan untuk menjalankan pandangan hidup itu. Syarat sikap netral adalah bersifat murni, tidak memihak atau bersifat objektif, dan tidak menyimpang, maksudnya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis bawaan yang kronis.

Sifat Manusia: Hal yang Diabaikan oleh Relativisme Moral
Setelah mengikuti alur penjelasan Shomali di atas, terakhir dia menekankan bahwa adanya perbedaan cita-cita atau nilai moral semata tidak menyiratkan bahwa tidak ada satu moralitas yang benar dan paling masuk akal. Menurutnya ada hubungan nyata antara cinta-diri kita dan hasrat, cita-cita dan sifat kita yang sejati. Agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, kaum relativis harus menunjukkan adanya perbedaan jenis sifat manusia. Masyarakat atau individu dengan sistem moral yang berbeda harus terbukti tidak termasuk dalam spesies manusia yang sama. Dan itu tidak mungkin! Salah satu implikasi yang tidak dikehendaki dari pandangan ini adalah bahwa jika seseorang atau sebuah masyarakat memutuskan untuk menganut sebuah moralitas baru, maka orang itu atau masyarakat itu pertama-tama harus mengubah sifat-nya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak dapat mengubah pendirian moral mereka, kecuali jika sifat mereka sudah diubah. Inilah, menurut Shomali, yang tidak dapat diterima oleh kaum relativis.
Kajian tentang sifat manusia jauh lebih sulit daripada yang dapat dilakukan dalam pembahasan tentang relativisme moral. Menurut Shomali ada alasan yang baik untuk berpikir bahwa manusia memiliki sifat yang sama. Tentu secara biologis manusia itu sama. Tetapi yang dimaksud Shomali dengan sifat manusia lebih dari sekadar unsur biologis. Sifat manusia merupakan pandangan ontologis yang menciptakan sifat-sifat yang sama pada semua manusia. Seandainya tidak ada sifat semacam ini di antara manusia, tentu tidak akan ada ruang bagi disiplin ilmu-ilmu. Semua ilmu ini berasumsi bahwa manusia itu sama dan bersikap sama dalam keadaan yang sama.
Manusia terikat dengan sifat mereka dan manusia dengan sifat yang sama itu tidak dapat menganut moralitas yang berbeda. Kaum relativis harus menunjukkan bahwa manusia yang berada dalam keadaan yang sama dapat memiliki moralitas yang berbeda. Ini bisa dianalogikan seperti misalnya kesehatan. Manusia dalam keadaan yang berbeda mungkin membutuhkan bentuk perawatan yang berbeda atau jenis makanan maupun vitamin yang berbeda. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa manusia secara biologis dan fisik hampir sama dan dalam keadaan yang sama mereka membutuhkan gizi dan perawatan kesehatan yang sama. Oleh karena itu, perbedaan dalam bentuknya tidak berarti bahwa kesehatan bukanlah tujuan, atau tidak ada prinsip umum menyangkut kesehatan.
Dengan demikian, objektivitas moral atau penolakan terhadap relativisme moral tidak memutlakkan bahwa semua orang harus berbuat sama. Orang yang berbeda dengan sifat yang sama secara moral bisa diharapkan untuk berbuat secara berbeda. Yang diduga akan dilakukan oleh seorang anak kecil berbeda dari apa yang harus dilakukan oleh orang dewasa. Hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang ibu jelas berbeda dari hal yang benar bagi seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang anak, saudara, atau istri. Orang yang sama, dengan peran yang sama secara moral, bahkan mungkin saja harus melakukan sesuatu yang bertentangan pada waktu atau tempat yang berbeda. Misalnya, Ibu M yang harus menyusui anaknya yang masih bayi, tetapi dia tidak boleh berbuat serupa ketika anak-anaknya itu sudah dewasa. Oleh karena itu, berasumsi bahwa orang yang berbeda mempunyai sifat yang berbeda atau kewajiban maupun tanggungjawab yang berbeda tidak membuktikan relativisme.

Karakteristik Cita-cita Moral yang Benar
Dengan menggunakan pemikiran yang telah dikembangkan sebelumnya, Shomali mencoba menyusun argumennya tentang absolutisme. Argumennya berangkat dari kenyataan bahwa setiap manusia pasti memiliki cita-cita. Dalam prakteknya, manusia menganut berbagai bentuk cita-cita. Cita-cita ini dibentuk oleh berbagai faktor, semisal agama, budaya, pendidikan, profesi, dan lingkungan keluarga. Cita-cita yang dianut melalui cara ini mungkin saja berbeda dan memang bertentangan satu sama lain. Tetapi memiliki fungsi yang sama, yakni menentukan nilai seseorang dan menciptakan bentuk kehidupannya. Setiap orang yang berakal harus selalu memikirkan cita-citanya dan melihat apakah cita-cita itu layak dianut sebagai cita-cita atau tidak. Maka di sini, kita harus membedakan antara apa yang Shomali sebut sebagai cita-cita moral yang sejati dan apa yang secara kebetulan (relatif) dianut sebagai sebuah cita-cita moral.
Shomali menyusun enam karakteristik cita-cita moral yang sejati. Pertama, cita-cita moral yang sejati pastilah selaras dengan sifat manusia. Kedua, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dipahami oleh akal kita, sehingga kita bisa mengikutinya. Ketiga, cita-cita moral itu memenuhi syarat rasional, yakni bebas, tercerahkan dan netral. Keempat, cita-cita moral yang sejati pastilah didukung oleh hasrat sejati kita. Jika tidak demikian, ia tidak dapat menggerakkan kita untuk bertindak menurut apa yang kita anggap baik bagi kita. Kelima, cita-cita moral yang sejati pastilah dapat dicapai dan bersifat praktis. Jika tidak demikian, ia hanyalah mimpi saja dan bukan pedoman hidup. Keenam, cita-cita moral yang sejati mampu mencakup nilai dan ukuran moral yang lain dan menempatkannya dengan tepat dalam tingkatan nilainya, sehingga dapat menjelaskan tujuan atau nilai yang dituju atas suatu perbuatan.
Menurut Shomali, cita-cita memiliki kedudukan penting dan krusial dalam sistem nilai manusia. Terlepas apa atau bagaimana seharusnya cita-cita moral itu, dan terlepas apakah “baik” dapat didefinisikan atau tidak, bagi setiap orang, cita-cita moral merupakan kebaikan tertinggi. Jika misalnya kita menanyakan setiap orang tentang alasan tindakannya, lambat laun dia akhirnya mencapai titik di mana dia tidak dapat bertolak lebih jauh lagi. Titik inilah yang kita anggap sebagai cita-citanya atau tujuan tertingginya. Sedangkan tujuan-tujuan lain hanyalah suatu rangkaian tujuan yang muaranya adalah cita-cita tertinggi itu. Kedekatan atau kejauhan tujuan-tujuan lain tadi dengan tujuan tertinggi akan menentukan kedudukan setiap tujuan atau nilai dalam sistem moral tersebut. Dengan mempertimbangkan hierarki nilai itu, pelaku tindakan dapat memutuskan apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan konflik praktis antara beberapa nilai. Orang harus membedakan antara yang baik dan yang lebih baik atau antara yang buruk dan yang lebih buruk. Shomali menambahkan bahwa argumen relativisme moral sebenarnya berangkat dari perselisihan membedakan manakah hierarki nilai yang benar.

Tali Simpul: Menyoal Korupsi
Pada bagian terakhir Shomali mengembangkan teori tentang dasar-dasar moralitas. Dia mencoba menyelami hakikat moralitas, cita-cita moral dan sifat-sifatnya, berbagai faktor yang terdapat dalam proses itu dan hasil dari pengambilan keputusan. Menurut Shomali, setiap sistem moral didasarkan atas cita-cita moral. Pada mulanya cita-cita moral menentukan nilai seseorang dan kemudian menata nilai-nilai itu. Bagi setiap orang, cita-cita moralnya merupakan kebaikan tertinggi atau tujuan akhir. Cita-cita moral kita pada gilirannya ditentukan oleh cinta kita kepada diri sendiri, dan dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk hidup bahagia. Status moral setiap perbuatan bergantung pada hubungan antara perbuatan itu dan cita-citanya. Sebuah perbuatan adalah baik jika ia dapat mengantar kita pada cita-cita kita. Cinta kita kepada diri sendiri juga membentuk serangkaian hasrat yang mungkin memberi kita motivasi yang memadai untuk melaksanakan apa yang diajarkan penalaran praktis kepada kita. Hal itu menjadi sarana yang baik demi mencapai cita-cita, tujuan dan maksud kita. Apapun yang dituntut oleh hasrat sejati kita (hasrat yang nyata dan tidak dapat direduksi) menjadi nilai alamiah bagi kita. Fakta ini sangat erat kaitannya dengan fakta lain, bahwa “baik” dan “buruk” tidak bersifat konvensional, tetapi benar-benar ada dan dapat diwujudkan serta ditemukan oleh akal manusia dengan cara mencermati hakikat, bakat, potensi, dan kesempurnaan manusia.
Selanjutnya Shomali mengatakan bahwa satu-satunya usaha yang masuk akal bagi kaum relativis atau penganut toleransi permisif adalah menunjukkan bagaimana setiap individu atau masyarakat dapat menganut cita-cita yang sejajar dan rasional. Namun, agar mampu menunjukkan adanya cita-cita yang sejajar itu, mereka harus membuktikan adanya bermacam-macam sifat manusia, sebab menurut Shomali ada hubungan yang nyata antara cita-cita dan sifat manusia. Masyarakat atau individu, dengan bermacam sistem moral harus dianggap bagian dari spesies manusia yang berbeda, bukan bagian dari apa yang biasanya kita pahami sebagai sifat manusia yang sama. Dengan menyebutkan implikasi yang tidak masuk akal dari asumsi ini, Shomali berpendapat bahwa sikap menerima perbedaan sifat manusia tidak malah berarti mendukung toleransi permisif. Sebab manusia terikat pada sifatnya. Orang yang sama tidak dapat menganut moralitas yang berbeda, sedangkan kaum toleran permisif harus membuktikan bahwa orang yang sama dalam keadaan yang sama benar-benar dapat memiliki moralitas yang berbeda.
Dengan demikian, apa yang digagas oleh Shomali mengenai dasar-dasar moralitas memberikan jawaban yang memadai mengenai aspek penting yang dapat mengubah seseorang melakukan tindakan moral universal. Wacana-wacana kontemporer seperti multikulturalisme, HAM, korupsi, aborsi ataupun etika lingkungan di Indonesia dapat berpijak dari teori ini.
Baiklah bila di akhir tulisan ini, kita memakai gagasan Shomali sebagai pisau cukur dalam menjawab persoalan tentang korupsi. Setidaknya ada tiga permasalahan di balik korupsi. Pertama, budaya korupsi mewabah karena adanya prinsip tahu sama tahu di antara orang-orang di dalam birokrasi apapun di negeri kita ini. Ada semacam konvensionalisme moral implisit, toh sama-sama melakukan korupsi, jadi tidak perlu dilaporkan apalagi dibicarakan —sambil diam-diam memasukkan uang ke dalam kantongnya. Makanya, para koruptor tidak merasa bersalah dengan tindakannya karena mereka memiliki alibi bahwa ada banyak orang yang melakukan hal yang sama. Dengan demikian kalau ada banyak orang melakukannya, kejahatan tersebut adalah sesuatu hal yang biasa. Akibatnya, kebiasaan itu menciptakan hak. Dan kalau satu dituntut, lalu semua harus bertanggungjawab. Kalau “semua bertanggungjawab” bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggungjawab? Ini berarti di antara mereka sendiri tidak mungkin saling menyalahkan. Di sini timbullah semacam kreasi sosial, yang secara tidak sengaja dirancang untuk mengatasi pertentangan antarpribadi. Lebih baik membiarkan saja –toleran dan bertindak permisif— daripada ikut terjerat dalam hukum.
Kedua, tiadanya sanksi hukum membuat orang berani melakukan korupsi karena yakin tidak ketahuan atau didiamkan saja. Ketiga, korupsi itu berwajah banyak atau anonim, sebab yang dirugikan tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan penyelewengan uang negara atau rakyat. Siapa yang dirugikan tidak langsung terlihat, berbeda dengan penodongan atau perampokan.
Dari ketiga permasalahan itu, tampak jelas bahwa orang lebih baik bertindak permisif dan toleran daripada memulai untuk mengungkapkan korupsi atau menjadi seorang whistle blower, apalagi bila keberanian untuk jujur itu menjadi ‘senjata makan tuan’, seperti yang dialami oleh Khairiansyah sendiri. Keberanian itu taruhannya memang mahal. Tetapi bila sikap permisif lebih dibudayakan, tidakkah itu berarti kita bukan manusia atau melawan kodrat kemanusiaan kita —seperti apa yang dikatakan Shomali! Jadi, sekalipun keberanian itu mahal harganya, itu tidaklah melawan nilai alamiah (kodrat) yang kita miliki, malahan justru sejajar dengannya.
Selain itu, manusia dengan sifatnya pastilah memiliki cita-cita. Cita-cita yang merusak—lewat praktek korupsi—bukanlah cita-cita yang sejati. Itu hanyalah cita-cita yang secara kebetulan dianut, demi hasrat fisik kita semata. Oleh karena itu, tidak ada cara lain dalam menghancurkan budaya korupsi kecuali dengan cara melawan budaya permisif. Sebab, melawan budaya permisif terhadap korupsi sama halnya dengan mengedepankan salah satu nilai dalam cita-cita kemanusiaan kita, yakni nilai kejujuran. Sebagai kata akhir, peganglah diktum ini, “Hentikan budaya permisif!”***

-salah satu artikel dlm Buku "Korupsi Kemanusiaan" (Andang Listya ed.)
Read More...